Anda di halaman 1dari 40

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KESEHATAN KELUARGA
DEMAM TIFOID

OLEH :
Ratna Budiaty Paisal
(10542 0422 12)

Pembimbing :
dr. Hj. Hatase Nurna

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi tifus abdominalis atau demam tifoid ditularkan melalui


makanan dan minuman yang tercemar kuman S.typhi.1 Waktu inkubasi berkisar
tiga hari sampai satu bulan. Gejala awal meliputi onset progresif demam, rasa
tidak nyaman pada perut, hilangnya nafsu makan, sembelit yang diikuti diare,
batuk kering, malaise, dan ruam bersama dengan relative bradikardi. Tanpa
pengobatan, demam tifoid merupakan penyakit yang mungkin berkembang
menjadi delirium, perdarahan usus, perforasi usus dan kematian dalam waktu satu
bulan onset. Penderita mungkin mendapatkan komplikasi neuropsikiatrik jangka
panjang atau permanen.1,2,3
Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan
masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti hygiene
perorangan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat
umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang
berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular,
termasuk tifoid ini.4
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian
Demam Tifoid berkaitan dengan faktor sanitasi lingkungan dan hygiene
perorangan. Pada penelitian Naelannajah Alladany (2010) mendapatkan hasil
bahwa sanitasi lingkungan dan perilaku kesehatan yang merupakan faktor risiko
kejadian demam Tifoid adalah kualitas sumber air bersih, kualitas jamban
keluarga, pengelolaan sampah rumah tangga, praktek kebersihan diri, pengelolaan
makanan dan minuman rumah tangga.5
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai Negara sedang berkembang. Data World Health Organization tahun
2003, memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per
tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini.6 WHO
memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia. Diperkirakan angka kejadian dari
150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia.7
Di Indonesia angka kejadian kasus Demam Tifoid diperkirakan rata-rata
900.000 kasus pertahun dengan lebih dari 20.000 kematian.6 Penyakit ini tersebar
di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh antar daerah.
Serangan penyakit lebih bersifat sporadis bukan epidemik. Dalam suatu daerah
terjadi kasus yang berpencar-pencar dan tidak mengelompok. Sangat jarang
ditemukan kasus pada satu keluarga pada saat bersamaan. Dari telaah kasus
demam tifoid di Rumah Sakit besar Indonesia, menunjukkan angka kesakitan
cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk.
Angka kematian diperkirakan sekitar 6-5% sebagai akibat dari keterlambatan
mendapat pengobatan serta kurang sempurnanya proses pengobatan. Secara
umum insiden demam tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari
30 tahun. Pada anak-anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun.4
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009 jumlah kejadian
demam tifoid dan paratifoid di Rumah Sakit adalah 80.850 kasus pada penderita
rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia. Sedangkan pada tahun 2010
penderita demam tifoid dan paratifoid sejumlah 41.081 kasus pada penderita rawat
inap dan jumlah pasien meninggal dunia sebanyak 276 jiwa.8
.
Berdasarkan data yang telah diuraikan di atas, maka pembahasan kami
tentang masih tingginya prevalensi demam tifoid baik di dunia, maupun di
Indonesia, terkhusus pada pasien rawat inap di Puskesmas Batua, maka saya
mengangkat topik untuk dilakukan pengkajian penyakit ini sebagai laporan kasus
saya.
BAB II
LAPORAN KASUS
( KEDOKTERAN KELUARGA)

A. IDENTITAS PASIEN
Nama :F
Usia : 4 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Jl. Andi mangerangi 1 LR 1 NO 2 RT 001 RW
004 Kel.Bongaya Kec Tamalate
Tanggal Masuk : 3 Desember 2017

B. ANAMNESIS
Pasien datang ke UGD Puskesmas Jongaya dengan keluhan demam yang
dirasakan sejak kurang lebih 4 hari yang lalu (tanggal 30 november 2017)
namun semakin memberat sejak 2 hari terakhir. Demam dirasakan memberat
mulai sore hari dan semakin tinggi pada malam hari, kemudian demam turun
pada pagi hari. Selain itu pasien mengeluhkan nyeri perut bagian bawah (+),
mual (+) dan muntah (+) sejak tadi pagi, dengan frekuensi 8x.. Keluhan batuk
pilek (+) sejak 4 hari yang lalu. Nafsu makan pasien menurun. BAK frekuensi
sekitar 4-5 kali per hari, warna kuning jernih, dan tidak terasa sakit. Pasien
mengeluhkan BAB 1x dengan konsitensi encer.

Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama dan memiliki riwayat
batuk dan flu sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Penyakit di Lingkungan rumah

Menurut keterangan ibunya, salah satu teman bermain pasien pernah demam
1 minggu yang lalu.

C. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : Lemah
Tek. Darah :- mmHg
Frek. Nadi :90 x/menit
Frek Pernapasan :24 x/menit
Suhu : 37,6 C
Berat Badan : 13 kg
Tinggi Badan : 120 cm
D. PEMERIKSAAN STATUS GENERALIS :
Kepala :
- Ekspresi wajah : Normal
- Bentuk dan ukuran : normal
- Rambut : normal
- Edema : (-)
Mata :
- Simetris
- Alis : normal
- Exophtalmus : (-)
- Ptosis : (-)
- Strabismus : (-)
- Edema palpebra : (-)
- Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-), hiperemis (-/-), pterygium (-/-)
- Pupil : isokor, bulat, refleks (+/+)
- Kornea : normal
Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang telinga : normal, secret (-/-)
- Nyeri tekan : (-)
- Pendengaran : normal
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-)
- Perdarahan (-), secret (-)
Mulut :
- Simetris
- Bibir : sianosis (-) kering (+)
- Gusi : hiperemis (-), perdarahan (-)
- Lidah : glositis (-), atrofi papil lidah (-) kotor (+)
- Mukosa : kering
Leher :
- JVP : normal
Thoraks :
Cor
- Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
- Palpasi : iktus cordis teraba di ICS 5 midklavikula sinistra
- Perkusi : redup
- Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
- Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris,
penggunaan otot bantu nafas (-), pelebaran sela iga (-), frekuensi
pernapasan 24 x/menit.
- Palpasi : pergerakan dinding dada simetris, fremitus raba
dan vocal simetris, provokasi nyeri (-).
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
- Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen :
- Inspeksi : distensi (-), skar (-).
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan regio umbilicus, pembesaran organ (-)
- Perkusi : timpani
Inguinal-genital-anus : tidak diperiksa
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : (+/+)
- Kulit : normal
- Deformitas : (-/-)
- Sendi : dalam batas normal
- Edema : (-/-)
- Sianosis : (-/-)
- Kekuatan : normal
Ektremitas bawah :
- Akral hangat : (+/+)
- Kulit : normal
- Deformitas : (-/-)
- Sendi : dalam batas normal
- Edema : (-/-)
- Sianosis : (-/-)
- Kekuatan : normal
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIPERLUKAN, DITULIS
DENGAN LENGKAP
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis
yakni:
1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. Pemeriksaan Uji Widal
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIDAPATKAN
Hasil pemeriksaan Lab. tanggal Senin 4 desember 2017
 Hasil Pemeriksaan Darah Rutin
Trombosit : 208.000/m3
 Hasil Pemeriksaan Serologi
Widal Slide : S. typhi O = 1/320 S. typhi H = 1/160
G. DIAGNOSIS KERJA
- Demam Tifoid
- Demam Dengue
H. DIAGNOSIS KELUAR
Demam Thyfoid
I. PENATALAKSANAAN
 Non Farmakologi
a. Pola hidup yang sehat
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas
c. Diet rendah serat, cukup vitamin dan mineral
d. Istirahat dan minum air putih yang cukup
e. Makan buah dan Sayuran
 Farmakologi
a. IVFD RL 16 tpm macro
b. Domperidon syr 3x1/2 cth
c. Pararcetamol syr 3x1 cth
d. Thiamex puyer 4x1
J. PROGNOSIS
Quo ad vitam dan fungsional : dubia ad bonam

K. PERKEMBANGAN PENYAKIT
 Home Visit I (tanggal 7 desember 2017)
- Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, diperoleh suhu : 36,5
derajat celcius: pasien sudah tidak demam lagi
- Melakukan pemeriksaan di regio abdomen: nyeri tekan (-)
- Melakukan pemeriksaan gigi dan mulut: lidah kotor (+)
- Memantau kepatuhan pasien meminum obatnya. pasien masih
meminum obatnya.
- Melihat kuku tangan dan kuku kaki pasien tampak panjang dan
kotor.
- Menggali informasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien,
riwayat berobat dan kebiasaan sehari-hari. Saat itu keluhan mual
dan muntah sudah tidak ada tapi pasien malas makan.
- Mengumpulkan data tentang jumlah keluarga, lingkungan tempat
tinggal.
- Saat itu pasien sedang bermain didepan rumah, sehingga diberikan
edukasi untuk, lebih banyak istirahat dan minum air putih yang
banyak.
 Home Visit II (tanggal 11 Desember 2017)
- 4 hari setelah pasien berobat di Puskesmas
- Pasien tidak mengonsumsi obat yang diberikan dari puskesmas,
sehingga kembali di edukasi tentang pentingnya pengobatan untuk
demam tyfoid.
- Pasien sudah lebih banyak istirahat dan tidak bermain diluar
rumah.
- Keluhan nyeri perut sudah tidak ada, nafsu makan mulai membaik.
- Kuku tangan dan kuku pasien sudah bersih, memberikan edukasi
tentang cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah
buang air besar.
- Pemeriksaan gigi dan mulut tampak lidah pasien masih kotor.
- Memberikan edukasi kepada ibu dan juga pasien untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut dengan cara rutin menggosok gigi pagi
dan sebelum tidur.
 Home visit III (tanggal 14 desember 2017)
- Pasien sudah menghabiskan obatnya.
- Pemerikssaan gigi dan mulut,lidah kotor (-).
- Menurut keterangan ibunya, pasien sudah mulai rajin menggosok
giginya.
- Mengedukasi pasien dan keluarganya mengenai pola hidup bersih
dan sehat dalam keluarga.
-
L. KELUARGA

 ANGGOTA KELUARGA

Nama Umur / Status NO.


JK dalam pendidikan Pekerjaan JKN/KIS
keluarga
Ny.S 37 tahun Kepala SLTA IRT -
perempuan Keluarga
N 18 tahun Anak SLTA Pelajar -
Perempuan

N 14 tahun Anak Belum Pelajar -


Perempuan tamat SD
N 13 tahun Anak Belum pelajar -
perempuan tamat SD
N 10 tahun Anak Belum - -
Laki-laki sekolah
M 4 tahun Anak Belum - -
Laki-laki sekolah

M. DIAGNOSA HOLISTIK
1. Aspek personal
 Alasan berobat : Tubuh pasien demam dialami 3 hari, dirasakan
demam timbul pada sore dan malam hari. Disertai adanya nyeri
perut, rasa mual, dan muntah.
 Harapan : Berobat dengan harapan keluhan anaknya teratasi,
dan dapat pulih kembali.
2. Aspek Klinis
Diagnosa kerja : Demam Thyfoid
Diagnosa Banding : Demam Dengue
3. Aspek Faktor Intrinsik
(merupakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi masalah
kesehatan pasien)
- Pola makan pasien, pasien suka mengkonsumsi makanan yang dijual
di depan lorong dekat rumahnya, makanan instant dan berpengawet
seperti mie. Namun, makanan tiap hari di rumah dimasak oleh ibu
pasien sendiri.
- Gaya hidup pasien ; pasien jarang mencuci tangan sebelum makan
dan sesudah buang air besar. Kebiasaan membersihkan peralatan
Makan dan Minum pada Rumah Tangga, Ibu Pasien selama ini
selalu mencuci peralatan makannya dengan sabun. Kebiasaan
menyimpan makanan pada rumah pasien, makanan siap saji yang
telah dimasak hanya diletakkan diatas meja tanpa ditutup
menggunakan tudung saji ataupun penutup lainnya.
- Akitivitas bermain di luar rumah sangat sering dilakukan oleh
pasien, sehingga pasien kurang beristirahat.
4. Aspek Psikososial Keluarga
(merupakan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi masalah
kesehatan pasien)
- Peran keluarga dalam mendukung pasien seperti Ibu mengantar
pasien berobat ke puskesmas dan menjaga pasien ketika pasien di
rawat inap di Puskesmas.
 Penilaian Status sosial dan kesejahteraan hidup
 Lingkungan tempat tinggal
Status kepemilikan rumah : rumah sendiri
Daerah tempat tinggal : padat penduduk
Luas rumah 20x15m
Bertingkat bertingkat
Jumlah penghuni rumah 12 orang
Luas halaman -
Lantai rumah terbuat dari Semen (tegel)
Dinding rumah terbuat dari Tembok dan triplek
Kondisi dalam rumah Sedang
Penerangan listrik Ada
Jamban Ada ( wc umum)
Ketersediaan air bersih Ada (sumur) dan air PDAM untuk
masak

 Kepemilikan barang – barang berharga


o Ny. T memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara
lain yaitu, 3 buah kipas angin, 1 buah rice cooker, 1 buah
dispenser, 1 buah kompor 1 buah Tv.
 Penilaian perilaku kesehatan keluarga
o Ny. T sering membawa anaknya berobat ke puskesmas dengan
menggunakan KK/KTP
 Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga
o Ibu pasien sebagai Ibu Rumah Tangga yang melakukan pekerjaan
di rumah saja dan tinggal bersama tantenya yang sudah
mengasuhnya sejak kecil. Mereka tinggal serumah dengan 3KK
dalam rumah tersebut. Kehidupan sehari hari ditanggung bersama
oleh 3 KK tersebut.
o Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Pola makan 3tidak teratur dengan menu kadang-kadang sayur dan
ikan yang dimasak oleh ibu pasien di rumah.
 Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga
o Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota
keluarga terutama Dengan tante dan sepupu yang tinggal serumah.
 Kebiasaan
o Pasien mempunyai kebiasaan suka bermain dilorong dekat
rumahnya dan jajan sembarangan.
 Lingkungan
o Lingkungan tempat tinggal kurangg baik karena berada dilorong
kecil yang padat penduduk. Kebersihan lingkungan dalam rumah
cukup bersih di daerah ruang tamu dan dapur walaupun tidak
tertata dengan rapih. Pasien tidur dilantai 2 dengan kondisi kamar
yang sedanng dan terdapat 2 tempat tidur yang dipisahkann oleh 2
lemari. Ventilasi rumah pasien sangat minim, sehingga pertukaran
udara tidak terlalu baik, terutama saat ibu pasien memasak ruang
dapur yang sempit. WC yang digunakan adalah WC umum yang
berjarak 2 meter dari rumah pasien. Sumber air bersih diperoleh
pasien dari sumur yang ditampung diember dan air PDAM yang
diambil dari tetangganya untuk dipakai memasak. Jalanan di depan
rumah dalam kondisi kurang baik, karena berada dilorong yang
sangat kecil..

Data sarana pelayanan kesehatan dan lingkungan kehidupan keluarga

Faktor Keterangan Kesimpulan tentang faktor


pelayanan kesehatan
Sarana pelayanan Puskesmas Pelayanan dengan
kesehatan yang menggunakan KK/KTP
digunakan oleh
keluarga
Cara mencapai Naik bentor Jarak puskesmas degan
sarana pelayanan kediaman Ny. H cukup jauh
kesehatan tersebut
Tarif pelayanan Gratis Semua pelayanan dengan
kesehatan yang menggunakan KK/KTP
dirasakan
Kualitas pelayanan Baik Pasien merasa pelayanan baik
kesehatan yang karena dimulai dari
dirasakan pendaftaran , pengambilan
kartu, konsul dokter,
perawatan,pengambilan obat
berjalan dengan lancar.
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisis serta pemeriksaan penunjang


yang diperoleh maka diagnosis demam THYFOID dapat ditegakkan. Dimana
pasien F mengalami demam yang berlangsung selama 3 hari, demam timbul pada
sore dan malam hari, pasien mengeluhkan nyeri perut, terdapat mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesan-kesan tifosa seperti Malaise (+) Lidah
kotor (+) Bibir Kering (+). Anamnesis ini mengarahkan pasien ke penyakit-
penyakit infeksi akut seperti Demam Tifoid, Demam Dengue, juga Demam
Berdarah Dengue. Akan tetapi dapat dikerucutkan karena tidak ditemukan
pendarahan spontan, dan pada pemeriksaan fisis hasil rumple leed (-).
Dikutip dari Nelson, ILMU KESEHATAN ANAK Demam THYFOID
disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam THYFOID
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Demam
THYFOID disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan
rambut getar). Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit sistemik dengan gejala
klini seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala dan sakit perut.
Hasil pemeriksaan penunjang pada pasien F. Pada uji widal didapatkan
hasil Titer O :1/320 dan H 1/160 merupakan faktor pendukung dalam diagnosis
Thyfoid. Dimana Uji widal ini adalah Gold standar untuk mendeteksi adanya
infeksi salmonella thypii pada penderita. Penderita demam thyfoid dengan
gambaran klinis yang jelas sebaiknya memang harus segera memeriksakan diri ke
fasilitas kesehatan, apalagi jika gejala klinis tersebut didapatkan pada anak-anak.
Maka harus segera mungkin ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mencegah
komplikasi. Terutama mencegah terjadinya pendarahan dan perforasi.
Medikamentosa yang diberikan Pada pasien F. Berupa Intake Cairan yang
diberikan melalui IVFD RL 18 tpm, diberikan pula Paracetamol 3x1 yang
merupakan antipiretik.. Dompeidon 3x1/2 diberikan sebagai anti muntah.
Diberikan juga Thiamex puyer 4 x 1 saat ari ke dua perawatan di puskesmas,
dimana merupakan antibiotik thiamphenicol golongan Chloramphenicol,
merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi demam tifoid terutama di
Indonesia., dengan harapan dapat mengurangi kondisi infeksi bakteri yang dialami
oleh pasien.
Non Medikamentosa yang diberikan adalah Tirah baring, dimana penderita
harus mengurangi aktifitasnya, diharuskan istirahat cukup. Dan dilakukan
mobilisasi secara bertahap. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi
penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.
Pasien berobat ke puskesmas menggunakan KK/KTP, dan mendapatkan
pelayanan kesehatan di FPKTP. Dimana pelayanan KK/KTP merupakan peraturan
daerah kota makassar dimana masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan
dengan hanya membawa KK/KTP dipusat pelayanan kesehatan dalam Hal ini
Rumah sakit pemerintah Kota makassar dan beberapa puskesmas dikota makassar.
Setelah Kondisi pasien berangsur-angsur pulih, dan dokter menyatakan
dapat pulang ke rumah. Saya mengunjungi rumah pasien dan melakukan edukasi
terhadap keluarganya mengenai pola hidup bersih dan sehat, sehingga pasien
memperoleh informasi yang dapat memperbaiki quality of life nya dalam
kehidupan sehari-hari terutama untuk diri dan keluarganya. Memberikan edukasi
kepada ibu pasien bahwa pasien harus banyak istrirahat karena sewaktu
kunjungan rumah saya mendapati pasien bermain didepan rumah setelah pulang
dari puskesmas.
Untuk menentukan apakah keluarga pasien merupakan keluarga sehat
dilakukan penilaian berdasarkan indikator keluarga sehat adalah sebagai berikut.
1. Keluarga mengikuti program Keluarga Berencana (KB) : Ya, ibu
pasien menggunakan KB Implant
2. Ibu hamil memeriksa kehamilannya (ANC) sesuai standar : Ya
3. Balita mendapatkan imunisasi dasar lengkap : Ya
4. Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif bayi 0-6 bulan : Ya
5. Pemantauan pertumbuhan balita : Ya
6. Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar
: Tidak terdapat penderita TB paru
7. Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur : Tidak
terdapat penderita hipertensi
8. Tidak ada anggota keluarga yang merokok : Tidak ada
9. Sekeluarga sadar menjadi anggota JKN : tidak
10. Mempunyai sarana air bersih : Ya
11. Menggunakan jamban sehat : ya
12. Anggota keluarga akses dalam pelayanan kesehatan jiwa : Tidak
ada keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat digolongkan keluarga pasien


termasuk dalam keluarga sehat namun tidak memiliki jaminan kesehatan yang
berbayar karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan.
BAB IV

LAMPIRAN

Kunjungan pertama, lidah kotor (+)

Lorong masuk rumah pasien


Ruang tamu

Kamar tidur pasien


Dapur, WC
Kunjungan hari ke dua, lidah masih kotor(+)
Kunjungan Ke Tiga Lidah Kotor (-)
BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi demam tifoid


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam
sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Payer’r.
patch.,9,10,11,12
B. Etiologi demam tifoid
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.
Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella
enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp. salamae; IIIa.
Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp.
diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica
subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe,
beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin,
Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella
Heidelberg, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi,
Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9 Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.10
Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.
C. Epidemiologi demam tifoid
Distribusi dan Frekuensi
- Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien
demam tifoid dengan usia 12 –30 tahun 70 –80 %, usia 31 –40 tahun
10 –20 %, usia > 40 tahun 5 –10 %. Menurut penelitian Simanjuntak,
C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam
tifoid pada umur 3 –19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada
umur 0 –3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
- Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden
rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002
meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
D. Mekanisme penularan dan Patogenesis demam tifoid
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia
melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari
penderita tifoid. 12,15
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1) Penderita Demam Tifoid, yang menjadi sumber utama infeksi adalah
manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik
ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan.
Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit
penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2) Karier Demam Tifoid, penderita tifoid karier adalah seseorang yang
kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun
pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid
yang telah sembuh setelah 2 –3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca
penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah
kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh
karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus
dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan
anatominya. Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :10
- Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi
mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti
pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
- Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa
tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai
sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus
hepatitis.
- Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru
sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber
penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya
kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella,
hepatitis B dan pada dipteri.10
- Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama
seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika.11

Gambar 3.2. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang
bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini
kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar
makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi
(IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan
koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi usus.11
E. Manifestasi klinis demam tifoid
Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid
berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.11
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang
meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu
makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama
pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan
bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala rose spots,
yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan
jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini
disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah
yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi
karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk
jangka waktu yang tidak terbatas.11
F. Diagnosis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini
masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode
diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan
penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat
kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan
kuman secara molekuler.12
1) Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke
kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatka1n bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit
serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara
penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14
2) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan
sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan demam
tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat
terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit
(diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa
lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu
pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat. 10,12
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. 13
3) Uji serologis
a. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.11,12
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat
kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.12
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
- Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya
infeksi akut.
- Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah
pernah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
- Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada
carrier.
b. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini
sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1
c. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
d. Uji Tubex
Tubex merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi
oleh IDL Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya
membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini
mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat
spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut
IDL Biotech 2008: 11
1.Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam
tifoid).
2.Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan
pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
e. Uji Typhidot
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang
diproduksi oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji
Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas
yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada
kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan,
jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48
jam.14,15

G. Terapi Demam Tifoid

Non Medika Mentosa

1) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.2,3,8,11
2) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam
tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.2.3.8.11
3) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak
pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. 2.3.8.11
4) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan
suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat55 pada daerah tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.
Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang,
sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan
vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat
vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan
suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali 2.3.8.11

Medika Mentosa
1) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini
adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin
untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek
mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin. 11, 12, 15
2) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah : 11, 12, 15
- Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.
Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau
kambuh, dan carier.
- Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama
2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
- Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak-anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
- Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan
dosis 50-100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral
dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3
mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6
jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.
H. Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan
vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di
Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 12.13.14
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan.
Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,
sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –12
tahun 0,25 ml dan anak 1 –5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala,
lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.
Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan
anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi
daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan
petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih
dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai
sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan
cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian
makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk
dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
1. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan
usaha surveilans demam tifoid.
2. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di
rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan.Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna
untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila
klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
3. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan
harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama,
serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak
boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena
dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan.
Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah
ampisilin atau amoksilin.
I. Komplikasi Demam Tifoid
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan
mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi
antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi
antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-
3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan
gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan
nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam
nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah
dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial.
Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis,
guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular
coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis,
orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis,
osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian
antibiotik yang tepat.

Gambar 3.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

J. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan


kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,
perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Ind bulan setelah infeksi umumnya
menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak –anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid.12
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization [internet]. [unknown place]: World Health


Organization; 2008, [updated 2008 Jan 5th, cited 2014 July 15th]. Available
from : www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html
2. American Public Health Association. Typhoid fever in: Control of
Communicable Diseases, An officialreport of the American public health
association, 17th edition. Washington DC: American Public Health
Association; 2000.
3. Ashkenazy S, Cleary TG. Infeksi Salmonella dalam Buku Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. Vol. II. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000.
4. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Direktorat Jendral
PP & PL; 2006.
5. Alladany N. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Kesehatan
terhadap kejadian Demam Tifoid di kota Semarang. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2010.
6. World Health Organitation. Background Document : The Diagnosis,
Treatment AnPrevention Of Typhoid Fever, WHO/V&B/03.07. Geneva :
World Health Organization;2003.
7. Sumarmo, dkk. Infeksi & Penyakit Tropis. Jakarta: FKUI; 2002.
8. Tim Penyusun. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2010.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan
Dasar 2007 Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2008.
10. Tumbelaka AR. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update, Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2003.
11. Soedarmo SS et al. Demam tifoid dalam Buku ajar infeksi & pediatri tropis,
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
12. Vollaard AM et al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta,
Indonesia. JAMA. 2004; 291: 2607-15.
13. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid dalam Buku panduan dan diskusi
demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2000.
14. Richard ES, Behrman RM, Ann MA. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15.
Jakarta: EGC; 2000.
15. Widoyono. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga; 2011.

Anda mungkin juga menyukai