LAPORAN KASUS
b. Keterangan prabedah
i. Identitas Pasien
Nama : Ny. Yulia
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : IRT
Alamat : Pasar atas, Bangko
Agama : Islam
MRS : 30 Oktober 2014
ii. Anamnesis
Keluhan Utama :
1
2
RR : 19 x/m
T : 36,5ºC
Kepala : normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil Isokhor, RC +/+
THT : discharge (-), dbn
Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), dbn
Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba
membesar
3
Thorax :
Paru
Abdomen :
o Inspeksi : Cembung
o Auskultasi : BU (+) Normal
o Palpasi :
TFU : 34 cm
Leopold I : Teraba massa lunak tidak melenting
Leopold II : Teraba tahanan memanjang di kanan, teraba bagian
kecil d kiri
Leopold III : Teraba massa keras melenting
Leopold IV : U
Ekstremitas:
o Superior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
o Inferior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
c. Tindakan anestesi
1. Metode : Anestesi regional
a. Tekhnik anestesi : Spinal
b. Lokasi penusukan : L3-L4
c. Analgesia setinggi : Segmen (dermatom) T4-T5
d. Obat anestesi lokal : Bupivacain 0,5% (hiperbarik) 20 mg
e. Adjuvans : Clonidine hydrochloride 45 mg
f. Tambahan : Morfin 0,1 mg
2. Premedikasi : Inj. Ranitidin 50 mg. Inj. Ondansentron 4
mg
3. Medikasi:
a. Bupivacain 20 mg
b. Clonidine hydrochloride 45 mg
5
c. Oksitosin 10 IU drip
d. Metergin 0,2 mg
e. Efedrin 10 mg
4. Cairan
Loading cairan dengan RL 3 kolf
e. Ruang Pemulihan
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M6V5→15
Tanda vital
TD : 120/80 mmhg
HR : 84 x/menit
RR : 18 x/menit
2. Penyulit : Tidak ada
3. Pindah : 11.20 ke zaal kebidanan
f. Instruksi Anestesi
1. Observasi KU, tanda vital tiap 15 menit dalam 1 jam pertama
2. Tidur terlentang menggunakan bantal 24 jam
3. Boleh minum ½ gelas per jam
4. Terapi sesuai operator.
6
g. Observasi Peri Op
Jam 1000→HR : 67x/menit, TD;110/60 mmHg
Jam 1015→HR: 60x/menit, TD:110/62 mmHg
Jam 1030→HR: 61x/menit, TD:120/70 mmHg
Jam 1045→HR: 70x/menit, TD:50/30 mmHg
Jam 1100→HR: 70x/menit, TD:90/60 mmHg
Jam 1115→HR: 72x/menit, TD:103/61 mmHg
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA) :
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia.
Minum bening, air putih, the menis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi.
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. Obat
peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam sebelum
indksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg intramuscular.
Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tida sadar,
sehinggamemungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi
anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Indikasi:1
Kontraindikasi Absolut1
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intracranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anesthesia
Kontraindikasi relatif1
6. Perdarahan
Kehilangan darah selama operasi minimal bila dibandingkan dengan
anestesi umum. Hal ini karena penurunan tekanan darah dan denyut
jantung dan peningkatan draenase vena menyebabkan aliran.
7. Koagulasi
8. Pada umumnya pasca operasi jarang terjadi thrombosis vena dan
emboli paru.
Pasien duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan pada meja
operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.1,8
2.2 HIV/AIDS
2.2.1 Definisi
2.2.2 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
HIV adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan
partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor
untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel
dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV
selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama
2.2.3 Patofisiologi
membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam
oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang
(knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait
pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel -sel CD4 positif
Limposit T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di
atas. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper HIV akan menginjeksikan
dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper, dengan menggunakan
pemrograman ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double stranded DNA. DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitogen ( TNF alfa atau interleukin I ) atau produk gen virus seperti :
akibatnya pada sel T4 yang terifeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas
HIV akan terjadi dan sel T4 dihancurkan. HIV yang baru ini kemudian dilepas ke
18
dalam plasma darah dan menginfeksi CD4+ lainnya. Kalau fungsi limfosit T4
Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun
persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel – sel ini
menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem
imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi berbagai
jaringan tubuh.
14. Limfoma
15. Sarkoma Kaposi
16. Ensefalopati HIV**
2.2.4 Diagnostik
Eiza dilakukan secara serial menggunakan 3 reagen HIV berbeda dalam hal
preparasi antigen, prinsip test dan jenis antigen. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif jika ketiga reagen positif.
2.2.5 Tatalaksana9
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral
di singkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini
akibat infeksi HIV.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini dilakukan teknik anestesi spinal yang sudah sesuai dengan
teori, dengan menggunakan jarum spinal yang berukuran 27 G dan dilakukan
tusukan pada VL3-VL4 dan pasien dalam posisi duduk. Serta sebelum dilakukan
tindakan anestesi tempat tusukan telah disterilkan dengan betadin dan alcohol.
Selama melakukan anestesi spinal ini tidak ditemui adanya kendala.
BB = 52 kg
Maintenance (M)
P : Lama puasa x M
P : 6 x M 6 x 92 cc = 552 cc
Perdarahan = 3 X 300 cc
= 900 cc
= 1580 cc
Pada pasien ini diberikan RL 3 kolf (1500 cc), seharusnya pasien ini
mendapatkan pengganti cairan sebanyak 1580 cc, dengan jumlah cairan yang
diberikan sudah dapat menggantikan hilangnya cairan yang terjadi pada pasien.
25
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui
plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak
semua bayi yang dikandung oleh ibu dengan HIV positif tertular HIV, namun
perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit pada
plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Oleh karena itu, seksio sesaria direkomendasikan bagi wanita hamil dengan
HIV positif karena efek anestesi yang dapat mempersingkat lamanya proses
persalinan lebih efektif dalam mencegah penularan dari ibu ke bayi.
26
DAFTAR PUSTAKA