Anda di halaman 1dari 26

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Laporan Anestesi


a. Pendahuluan
Tanggal : 30 Oktober 2014
Nama : Ny. Yulia
Umur ; 31 tahun
BB : 52 Kg
Jenis Kelamin : Perempuan
Diagnosa : G3P2A0 gravida aterm JTH intrauterin preskep + HIV
Tindakan : Sectio sesaria
Ahli Bedah : Dr. dr. Herlambang Noerjasin, Sp.OG, (K) FM
Ahli Anestesi : dr. Ade Susanti Sp.An

b. Keterangan prabedah
i. Identitas Pasien
Nama : Ny. Yulia
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : IRT
Alamat : Pasar atas, Bangko
Agama : Islam
MRS : 30 Oktober 2014
ii. Anamnesis

Keluhan Utama :

Pinggang terasa pegal-pegal ± 1 bulan yang lalu

1
2

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher karena ingin melahirkan dengan


seksio sesaria setelah di diagnosis HIV (+) ±3 bulan yang lalu dan
mendapat obat ARV. Pasien hamil anak ketiga dengan usia kehamilan 36-
37 minggu dengan suami ODHA yang sudah meninggal ±1 bulan yang
lalu.

Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat hipertensi: disangkal


 Riwayat DM: disangkal
 Riwayat penyakit alergi : disangkal
 Riwayat penyakit asma : disangkal

Riwayat penyakit keluarga : suami pasien ODHA

iii. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum: Lemah
 Kesadaran: Composmentis
 GCS : E4M6V5→15
 Vital Sign :TD : 110/70mmHg
Nadi : 82 x/m

RR : 19 x/m

T : 36,5ºC

 Kepala : normocephali
 Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil Isokhor, RC +/+
 THT : discharge (-), dbn
 Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), dbn
 Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba
membesar
3

 Thorax :

Paru

o Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)


o Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
o Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
o Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen :
o Inspeksi : Cembung
o Auskultasi : BU (+) Normal
o Palpasi :
TFU : 34 cm
Leopold I : Teraba massa lunak tidak melenting
Leopold II : Teraba tahanan memanjang di kanan, teraba bagian
kecil d kiri
Leopold III : Teraba massa keras melenting
Leopold IV : U
 Ekstremitas:
o Superior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
o Inferior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)

iv. Pemeriksaan Penunjang


EKG : Normal
Laboratorium
 WBC : 9,0 103/mm3 (3,5-10,0 103/mm3)
 RBC : 3,74 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
 HGB : 11,0 g/dl (11,0-16,5 g/dl)
 HCT : 31,1 % (35,0-50%)
 PLT : 388 103/mm3 (150-390 103/mm3)
4

 PCT : .283 % (0,100-0,500 %)


 MCV : 83 µm3 (80-97 µm3)
 MCH : 29.4 pg (26,5-33,5 pg)
 MCHC : 35,4 g/dl (31,5-35,0 g/dl)
 RDW : 14,2 % (10,0-15,0 %)
 MPV : 7,3 µm3 (6,5-11,0 µm3)
 PDW : 14,0 % (10,0-18,0 %)
 Diff:
 % LYM : 32,2 % (17,0-48,0 %)
 % MON : 4,0 % (4,0-10,0 %)
 % GRA : 63,8 % (43,0-76,0 %)
 # LYM : 2,9 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3)
 # MON : 0,3 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3)
 # GRA : 5,8 103/mm3 (1,2-6,8 103/mm3)
v. Penyakit Penyerta : HIV
vi. Status Fisik : ASA II

c. Tindakan anestesi
1. Metode : Anestesi regional
a. Tekhnik anestesi : Spinal
b. Lokasi penusukan : L3-L4
c. Analgesia setinggi : Segmen (dermatom) T4-T5
d. Obat anestesi lokal : Bupivacain 0,5% (hiperbarik) 20 mg
e. Adjuvans : Clonidine hydrochloride 45 mg
f. Tambahan : Morfin 0,1 mg
2. Premedikasi : Inj. Ranitidin 50 mg. Inj. Ondansentron 4
mg
3. Medikasi:
a. Bupivacain 20 mg
b. Clonidine hydrochloride 45 mg
5

c. Oksitosin 10 IU drip
d. Metergin 0,2 mg
e. Efedrin 10 mg
4. Cairan
Loading cairan dengan RL 3 kolf

d. Keadaan Selama Operasi


1. Letak penderita : Supine
2. Intubasi : Tidak dilakukan
3. Penyulit waktu anestesi : Tidak ada
4. Keadaan bayi : Baik
5. BB bayi : 2600 gram

e. Ruang Pemulihan
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M6V5→15
Tanda vital
 TD : 120/80 mmhg
 HR : 84 x/menit
 RR : 18 x/menit
2. Penyulit : Tidak ada
3. Pindah : 11.20 ke zaal kebidanan

f. Instruksi Anestesi
1. Observasi KU, tanda vital tiap 15 menit dalam 1 jam pertama
2. Tidur terlentang menggunakan bantal 24 jam
3. Boleh minum ½ gelas per jam
4. Terapi sesuai operator.
6

g. Observasi Peri Op
Jam 1000→HR : 67x/menit, TD;110/60 mmHg
Jam 1015→HR: 60x/menit, TD:110/62 mmHg
Jam 1030→HR: 61x/menit, TD:120/70 mmHg
Jam 1045→HR: 70x/menit, TD:50/30 mmHg
Jam 1100→HR: 70x/menit, TD:90/60 mmHg
Jam 1115→HR: 72x/menit, TD:103/61 mmHg
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembagian Anestesi Regional1

Anesthesia regional terbagi atas blok sentral (blok neuroaksial), yaitu


meliputi blok spinal, epidural dan kaudal serta blok perifer misalnya blok pleksus
brakhialis, aksiler, analgesia regional intravena dan lain-lain.

2.1.1 Anatomi Medula Spinalis

Columna vertebralis terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal,


5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pada dewasa dan 4-5 vertebrae
koksigeal menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di
bawah oksipital. Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra
prominens. Garis lurus yang menghubungkan kedua Krista iliaka setinggi akan
memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara L4-L5.1-5

Peredaran darah untuk medulla spinalis di perdarahi oleh a.spinalis


anterior dan a. spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka
jarum suntik akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum
8

supraspinosum ke ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang


epidural, duramater dan ruang subarachnoid.1-5

Medulla spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus).
Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus
duralis berakhir setinggi S2.1-5

Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal


dari pleksus aryeria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Caitran
ini jernih tak berwarna mengisi ruang subaracnoid dengan jumlah total 100-150
ml, sedangkan yang ada di punggung sekitar 25-45 ml.1-5

2.1.2 Analgesia Spinal

Analgesia spinal (intratekal, intradural,subdural, subarachnoid) ialah


pemberian obat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang
subarachnoid. Tekhnik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1

2.1.3 Fisiologi Anestesi Spinal


Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami
kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri
dari sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan saraf otonom mengontrol
caliber pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang
tidak berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dan
sensorik terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah pun dapat terjadi ketika saraf otonom di blok.6

2.1.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia1

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena


untuk mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal,
9

perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke


pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg anestesi
umum.

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat aesthesia sebelumnya


sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak napas asca bedah sehingga kita dapat merencanakan anesthesia berikutnya
dengan lebih baik.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA) :

ASA I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan biokimia

ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang

ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga aktivitas rutin

terbatas

ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat

ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak

akan lebih dari 24 jam


10

Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia.
Minum bening, air putih, the menis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi.

Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. Obat
peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam sebelum
indksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg intramuscular.

Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tida sadar,
sehinggamemungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi
anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai.

2.1.5 Indikasi dan kontraindikasi

Indikasi:1

 Bedah ekstremitas bawah


 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rectum-perineum
 Bedah obsetri-genekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
 Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi
dengan anesthesia umum ringan
11

Kontraindikasi Absolut1

 Pasien menolak
 Infeksi pada tempat suntikan
 Hipovolemia berat, syok
 Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
 Tekanan intracranial meninggi
 Fasilitas resusitasi minim
 Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anesthesia

Kontraindikasi relatif1

 Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)


 Infeksi sekitar tempat suntikan
 Kelainan neurologis
 Kelainan psikis
 Bedah lama
 Penyakit jantung
 Hipovolemia ringan
 Nyeri pinggang kronis

Indikasi anesthesia spinal pada seksio sesarea (-)

Kontraindikasi pada seksio sesarea meliputi:7

 Adanya infeksi pada tempat penyuntikan


 Terdapat gangguan fungsi hepar
 Terdapat gangguan koagulasi
 Tekanan intracranial meninggi
 Alergi terhadap anashesia local
 Hipertensi tak terkontrol
 Pasien menolak
 Syok hipovolemik
12

2.1.6 Komplikasi anestesi spinal7


Komplikasi spinal pada seksio sesarea meliputi:
 Hipotensi
 Bradikardia
 Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
 Menggigil
 Muntah-muntah
 Depresi napas
 Total spinal
 Sequel neurologic
 Penurunan tekanan intracranial
 Meningitis
 Retensio urin

2.1.7 Keuntungan Anestesi Spinal6


1. Biaya
Biaya minimal
2. Kepuasan pasien
Pasien sangat senang dengan teknik ini karena pemulihannya yang
cepat dan tidak ada efek samping.
3. Pernapasan
Efek samping sedikit pada system pernapasan selama blockade yang
terlalu tinggi dihindari.
4. Jalan napas
Control jalan napas tidak terganggu, sehingga menurunkan resiko
penyumbatan saluran napas atau aspirasi isi lambung.keuntungan ini
bias hilang jika obat penenang terlalu banyak diberikan.
5. Relaksasi otot
Anesthesia spinal memberikan relaksasi otot yang sangat baik pada
ekstremitas bawah dan perut bawah.
13

6. Perdarahan
Kehilangan darah selama operasi minimal bila dibandingkan dengan
anestesi umum. Hal ini karena penurunan tekanan darah dan denyut
jantung dan peningkatan draenase vena menyebabkan aliran.
7. Koagulasi
8. Pada umumnya pasca operasi jarang terjadi thrombosis vena dan
emboli paru.

2.1.8 Kekurangan Anestesi Spinal6


Kekurangan anestesi spinal diantaranya adalah sebagai berikut:
 Terkadang akan sulit untuk menemukan ruang dural dan
mendapatkan CSF.
 Hipotensi dapat terjadi pada saat blockade.
 Beberapa pasien tidak cocok secara psikologis untuk tetap sadar,
bahkan jika dibius, selama operasi.
 Ada risiko teoritis bahwa infeksi ke dalam ruang subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Ini seharusnya tidak pernah terjadi jika
peralatan disterilkan dengan benar dan teknik aseptic digunakan.
 Sakit kepala postural dapat terjadi pasca operasi.

Implikasi praktis dari perubahan fisiologis.

Pasien harus terhidrasi dengan baik sebelum anesthesia local di suntikkan


dan harus memiliki infuse intravena ditempat sehingga cairan lebih lanjut atau
vasokonstriktor dapat diberikan jika terjadi hipotensi.

2.1.9 Persiapan Analgisia Spinal8

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada


analgesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal-hal berikut
14

1. Informed Consent (izin dari pasien)


Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial
tromboplastine time)

2.1.10 Peralatan Analgesia Spinal1


1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG
2. Peralatan anetesia/resusitasi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke
bobcock) atau jarum spinal denga ujung pensil (pensil poit whitecare)

2.1.11 Tekhik analgesia spinal

Pasien duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan pada meja
operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.1,8

1. Setelah dimonitor tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus


lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakan stabil. Buat pasien membungkuk maksima agar prosesus
spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya
L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1 dan L-2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
15

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol


4. Beri anestesi local pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml
5. Cara tusukan median atau para median
Unuk jarum spinal besar 22G, 23G, atau 25 G dapat langsung
digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G aytau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum biasanya 10cc. Tusukan intoducer
sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya kelubang jarum tersebut. JIka
menggunakan jarum tajam irisan jarum harus sejajar dengan duramater
yaitu pada posisi tidur miring “bevel” mengarah keatas atau kebawah
untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri pasca spinal. Setelah resistensi menghilang mandarin jarum spinal
juga harus dicabut dan dikeluarkan likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dikeluarkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit hanya untuk menyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin posisi jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar
putar arah jarum 90% biasanya likuor keluar. Untuk analgetik spinal
kontinu dapat dimasukkan kateter
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum flavum
dewasa lebih kurang 6 cm
16

2.2 HIV/AIDS

2.2.1 Definisi

AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai


kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi kuman HIV (Human immunodeficiency virus)9

2.2.2 Etiologi

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut

Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh

Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat

pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional

pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.

HIV adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan

partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel

target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor

untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat

berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel

dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV

selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama

hidup penderita tersebut.


17

2.2.3 Patofisiologi

HIV dikenal sebagai retrovirus yang menunjukan bahwa virus tersebut

membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam

deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang lengkap dibungkus

oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang

terpancung di mana p24 merupakan komponen structural yang utama. Tombol

(knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait

pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel -sel CD4 positif

adalah gp120 dari HIV.

Sel CD4 positif mencakup monosit, makropag dan limposit T4 helper.

Limposit T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di

atas. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper HIV akan menginjeksikan

dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper, dengan menggunakan

enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase HIV akan melakukan

pemrograman ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat

double stranded DNA. DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai

sebuah provirus dan kemudian infeksi yang permanen.

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi

diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,

sitogen ( TNF alfa atau interleukin I ) atau produk gen virus seperti :

CMV(cytomegalovirus), virus Epstein Barr, herpes simplek dan hepatitis. Sebagai

akibatnya pada sel T4 yang terifeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas

HIV akan terjadi dan sel T4 dihancurkan. HIV yang baru ini kemudian dilepas ke
18

dalam plasma darah dan menginfeksi CD4+ lainnya. Kalau fungsi limfosit T4

terganggu mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan

memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius.

Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun

dinamakan infeksi oportunistik.. Infeksi monosit dan makrofag berlangsung secara

persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel – sel ini

menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem

imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi berbagai

jaringan tubuh.

Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas


I 1. Asimptomatik Asimptomatik ,
2. Limfadenopati generalisata aktifitas normal

II 1. Berat badan menurun < 10 % Simptomatik , aktifitas


2. Kelainan kulit dan mukosa normal
yang ringan seperti , dermatitis
seboroik, prurigo,
onikomikosis ,ulkus oral yang
rekuren ,kheilitis angularis
3. Herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir
4. Infeksi saluran napas bagian
atas seperti ,sinusitis
bakterialis
19

III 1. Berat badan menurun < 10% Pada umumnya lemah ,


2. Diare kronis yang berlangsung aktivitas ditempat tidur
lebih dari 1 bulan kurang dari 50%
3. Demam berkepanjangan lebih
dari 1 bulan
4. Kandidiasis orofaringeal
5. Oral hairy leukoplakia
6. TB paru dalam tahun terakhir
7. Infeksi bacterial yang berat
seperti pneumonia, piomiositis
IV 1. HIV wasting syndrome seperti Pada umumnya sangat
yang didefinisikan oleh CDC lemah , aktivitas
2. Pnemonia Pneumocystis carinii ditempat tidur lebih
3. Toksoplasmosis otak dari 50%
4. Diare kriptosporidiosis lebih
dari 1 bulan
5. Kriptokokosis ekstrapulmonal
6. Retinitis virus situmegalo
7. Herpes simpleks mukokutan >
1 bulan
8. Leukoensefalopati multifocal
progresif
9. Mikosis diseminata seperti
histoplasmosis
10. Kandidiasis di esophagus ,
trakea , bronkus , dan paru
11. Mikobakterisosis atipikal
diseminata
12. Septisemia salmonelosis non
tifoid
13. Tuberkulosis diluar paru
20

14. Limfoma
15. Sarkoma Kaposi
16. Ensefalopati HIV**

2.2.4 Diagnostik

Seseorang dinyatakan terinveksi HIV apabila dengan pemeriksaan


laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi
atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.9

Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat


infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Yang dilakukan
di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan rapid test HIV
atau Eliza.

Eiza dilakukan secara serial menggunakan 3 reagen HIV berbeda dalam hal
preparasi antigen, prinsip test dan jenis antigen. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif jika ketiga reagen positif.

2.2.5 Tatalaksana9

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral
di singkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini
akibat infeksi HIV.

Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis yaitu:

1. Pengobatan untuk menekan reflikasi virus dengan obat antiretroviral


21

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang


menyertai HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepetitis, toksoplasma,
sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks
3. Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.

Penatalaksanaan HIV/AIDS pada ibu hamil :

Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT):

1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari


14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas
38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT)
dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu
tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus
diberikan satu dosis dalam 3 hari.
22

2.2.6 Upaya pencegahan dan penanggulangan 9

Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan dibeberapa


negara dan amat dianjurkan oleh badan kesehatan dunia, WHO untuk di
laksanakan secara sekaligus yaitu;

1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda


2. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran
3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik
4. Paket pencegahan kompeherensif untuk pengguna narkotika, termasuk
pengadaan jarum suntik steril
5. Program layanan infeksi menular seksual.

Pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak terdapat 4 kegiatan :

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi


2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang di
kandungnya.
4. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta anak dan keluarganya.
23

BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini dilakukan teknik anestesi spinal yang sudah sesuai dengan
teori, dengan menggunakan jarum spinal yang berukuran 27 G dan dilakukan
tusukan pada VL3-VL4 dan pasien dalam posisi duduk. Serta sebelum dilakukan
tindakan anestesi tempat tusukan telah disterilkan dengan betadin dan alcohol.
Selama melakukan anestesi spinal ini tidak ditemui adanya kendala.

Sebagai premedikasi diberikan Ranitidine 50 mg, Ondansetron 4 mg dan


Dexametason 10 mg. Tujuannya untuk meminimalkan pneumonitis asam yang
disebabkan oleh cairan lambung 25 ml dengan Ph 2,5.

Kemudian induksi dengan Bupivacain 0,5% (hiperbarik) 20 mg dan


Catapres 45 mg dan Morfin 0,1 mg. Pada pasien ini juga diberikan efedrin dengan
dosis 10 mg karena pada saat operasi TD 50/30. Efek efedrin dapat meningkatkan
tekanan darah. Efedrin mempunyai efek minimal terhadap aliran darah uterus.
Namun memulihkan aliran darah uterus jika digunakan untuk mengobati spinal
pada pasien hamil.

Oxiytocin 10 IU (drip) yang bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan


merangsang kontraksi uterus secara ritmik untuk mempertahankan tonus uterus
post partum dan Metergin 0,2 mg juga diberikan dengan tujuan membantu dalam
proses kala III persalinan.

Untuk analgetik diberikan Tramadol 100 mg yang merupakan analgetik


sentral dengan afinitas rendah pada reseptor dan kelemahan analgesinya 10-20%
dibanding Morfin. Tramadol dapat diberikan dengan dosis 50-100 mg dan dapat
diulang 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg. perhari, berdasarkan teori
tersebut pemberian sudah tepat. Ketorolac 30 mg diindikasikan untuk
penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut, sedang, berat setelah
pembedahan. Dosis awal 10 mg diikuti denga 10-30 mg tiap 4-6 jam bila
diperlukan.
24

Loading cairan dengan RL 3 kolf dengan BB 52 kg. Dapat diketahui bahwa

Kebutuhan cairan pada pasien ini:

BB = 52 kg

Maintenance (M)

 4 mL/ kgBB, 10 kg jam pertama  4x10 = 40 mL


 2 mL/kgBB, 10 kg jam kedua  2x10 = 20 mL
 1 mL/kgBB, sisa berat badan  1x32 = 32 mL +
M = 92 ml

Defisit cairan karena puasa (P)

 P : Lama puasa x M
 P : 6 x M  6 x 92 cc = 552 cc

Terapi cairan selama operasi:

 Operasi sedang : 6 cc/kgBB/jam  6 x 52 = 312 cc/jam


 2 jam = 2 x 312 cc = 624 cc

Perdarahan = 3 X 300 cc

= 900 cc

Kebutuhan cairan 1 jam pertama = (½ x Puasa) + M + O + Perdarahan

= (½ x 552) + 92 + 312 + 900

= 1580 cc

Pada pasien ini diberikan RL 3 kolf (1500 cc), seharusnya pasien ini
mendapatkan pengganti cairan sebanyak 1580 cc, dengan jumlah cairan yang
diberikan sudah dapat menggantikan hilangnya cairan yang terjadi pada pasien.
25

Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui
plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak
semua bayi yang dikandung oleh ibu dengan HIV positif tertular HIV, namun
perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit pada
plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.

Pada proses persalinan pervaginam, terjadi kontak langsung antara darah


ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh
bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan
cairan tubuh ibu semakin lama, risiko penularan semakin tinggi.

Oleh karena itu, seksio sesaria direkomendasikan bagi wanita hamil dengan
HIV positif karena efek anestesi yang dapat mempersingkat lamanya proses
persalinan lebih efektif dalam mencegah penularan dari ibu ke bayi.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S.A dkk. Petunjuk praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta;


FKUI;2001
2. Mardjono Mahar, Neurology Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003
3. Snell RS. Neuroanatomi klinik. Edisi kelima. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 2006. hal 3-7.
4. Snell RS. Anatomi klinik. Edisi keenam. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 2006 hal. 897
5. Moore K, Agur. Amr. Anatomi klinis dasar. Edisi pertama. Jakarta;
Hipokrates; 2002
6. Casey WF. Spinal anesthesia – A Practical Guide. United Kingdom:
Consultant Anaesthetist. 2000; Diunduh dari URL:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/ul208-02.htm
7. adli J. Kontraindikasi Anestesi spinal pada pasien multigravida dengan
section caesaria. Yogyakarta: FKUMY. 2010
8. Nugroho AM. Anestesia Obstetrik. Soenarto RF, Chandra S, editor.
Buku ajar anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care; 2012. hal 33-34.
9. Djoerban Z, Djauzi S. Dalam Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata Mk, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-4. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2006. hal. 1803-07.

Anda mungkin juga menyukai