Anda di halaman 1dari 3

Kisah Inspiratif

Di dunia ini, tercipta berbagai jenis karakter manusia, beberapa di antaranya


ada yang dapat dengan mudah mengekspresikan apa yang dia inginkan, bersikap
sesuai nalurinya. Namun, ada juga beberapa orang yang tak cukup mampu untuk
mengilustrasikan perasaannya, bahkan tak seorangpun yang dapat menerka
bagaimana kehidupannya yang sebenarnya, kecuali memberanikan diri untuk
menelisik tentang mereka secara penuh perhatian.

Kisah ini adalah kisah seorang anak yang bernama Dimas Adi Saputra,
kelahiran Magelang, 07 November 1990. Sebuah kisah yang menceritakan tentang
perjuangan seorang anak introvert dalam bertahan hidup. Sekolah adalah
rutinitasnya, datang ke sekolah dan pulang ke rumah, seperti anak normal pada
umumnya, namun yang berbeda hanyalah sering kali ia diam dan tanpa ekspresi
apapun, tak jarang murid lain sering menjahilinya, karena sikapnya yang penurut
dan bagi anak lain sikap seperti itu terlalu culun, karena tak sepantasnya anak laki-
laki hanya diam dan terus diam. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk Dimas
kecil marah, dan menangis, hanya karena perlakuan teman-temannya, seperti biasa,
tidak ada ekspresi apapun, seolah tidak memiliki rasa, dan siapapun pastinya lelah
dengan anak yang terlihat tidak bergairah dalam hidup. Ya, mungkin seperti itulah
tanggapan orang lain terhadapnya.

Sejak SD, Dimas tinggal di desa, di rumah Kakek dari bapaknya. Tidak
memiliki rumah, berulang kali mengontrak tapi orangtuanya tak cukup mampu
untuk membiayai kehidupan di kota, sehingga akhirnya memutuskan ke desa untuk
terus bertahan hidup, bersama Adik perempuannya, Ayah dan Ibunya menumpang
di rumah kakeknya. Sehingga jarak tempuh ke sekolah menjadi sangat jauh. Untuk
berangkat ke sekolah, anak seusianya harus bangun subuh, lalu berangkat ke
sekolah pukul 5. 30. Tidak naik angkot, tidak diantar, melainkan untuk mengirit
biaya sekolah, ia menumpang dengan tetangganya yang ingin berdagang di pasar.
Setiap hari itulah yang ia lakukan. Lelah, memang sangat melelahkan, tapi itulah
dia, tidak menjadikan itu masalah, melainkan baginya itu sebuah motivasi untuknya
belajar lebih giat lagi. Dan kegigihannya itu, membuatnya sering kali mengikuti
lomba-lomba di sekolah dan memenangkan lomba tersebut, bahkan ia selalu
menjadi juara kelas walaupun dengan keadaan keuangan yang tidak mendukung.

Keuangan Ayahnya terus menipis, SPPnya sering kali tertunggak, untuk


terus bertahan dan ikut ujian Dimas harus membayar uang sekolahnya, dan dengan
akalnya sendiri ia menemukan cara untuk membayar uang SPPnya, meskipun tak
seharusnya hal itu ia lakukan, tapi itu semua demi mewujudkan agar ia tak putus
sekolah.

Kekacauan dalam rumah, keadaan keuangan yang tidak mendukung untuk


hidup, dan akses yang begitu jauh ke sekolah, tidak ada teman, tidak bermain dan
tidak merasakan kehidupan remaja yang semestinya. Ia terus jalani tanpa seorang
Ibu yang sudah tidak lagi berada di sisinya, semua itu membuat hatinya semakin
mengeras, membeku, dingin dan tak seorangpun yang mampu mencairkannya.
Menjadi pendiam, tak berekspresi sudah menjadi ciri khas Dimas sampai ia
beranjak SMA.

Ia pun tamat SMA, untuk melanjutkan kuliahnya ia mencari sekolah ikatan


dinas yang dibiayai pemerintah, seperti IPDN, STSN dan STAN. Namun akhirnya
ia hanya di terima di STAN, walaupun keluarganya kurang mendukung, tapi
kepercayaannya bahwa ia akan diterima di STAN membuatnya terus bersikukuh
untuk mengikuti ujian saringan masuk STAN, dan akhirnya dengan
kepercayaannya itu ia lulus dengan perjuangannya. Ia bilang seolah keajaiban
terjadi padanya, dan ia merasa semua kejadian tersebut telah diatur oleh Tuhan
untuknya menjadi mahasiswa STAN.

Dan akhirnya, ia pun lulus dengan menjalankan pendidikannya selama setahun,


kegigihannya, dan sikapnya yang selalu positif menghadapi apapun dalam
keadaannya yang tertutup terus memacunya untuk hidup lebih baik. Lalu ia pun di
pekerjakan di bawah naungan kementrian keuangan Direktorat Jenderal Bea Cukai
di tahun 2009. Di umurnya yang ke dua puluh tahun, ia sudah bisa jalan-jalan ke
luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Dan dengan usia mudanya di tahun
2014 ia sudah berangkat ke Baitullah dengan biayanya sendiri bersama Kakeknya.
Dan disinilah kami dipertemukan sebuah organisasi Pencinta Alam STAN
yang dikenal sebagai STAPALA. Ia menjadi Kapten Siswa Diklat STAPALA 2015,
dan sekarang dia mengikuti pelatihan persiapan calon atlit SAPTANUSA, sebuah
ekspedisi seven summits Indonesia dari STAPALA, yang akan memberikan
kontribusi dan hadiah nyata kepada Indonesia, sebagai hari Ulang Tahun ke 70
Indonesia, di bulan Agustus mendatang.

Dari pengalaman hidup Dimas ketika SD sampai SMA, menurut saya itu
adalah sesuatu hal yang luar biasa, tidak berekspresi, tidak menunjukkan keadaan
keluarganya, atau bahkan ia tak perlu bercerita ke orang lain, yang bisa saja akan
mempengaruhi kehidupannya, tapi ketika hal itu terjadi Dimas hanya bersikap
tenang dan biasa saja, seolah air yang mengalir dengan tenangnya, walau di
dalamnya bagaikan ombak di lautan, yang tiada henti beriak. Dimas yang dulunya
terkenal pendiam, introvert, sedikit demi sedikit mulai shifting ke kuadran yang
lebih baik lagi. Seperti yang sekarang ini, kepeduliannya terhadap sesama telah
tercipta, dan jiwa kepemimpinannya telah terbukti, bahkan ia tak perlu orang lain
mengetahui tentang kebaikan yang pernah ia lakukan. Tapi, hal yang seperti itu,
sudah memang menjadi keharusan bagi setiap manusia.

Anda mungkin juga menyukai