Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Kehamilan pada umumnya berlangsung 40 minggu (280 hari) dihitung dari

hari pertama haid terakhir. Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang

berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid

terakhir (HPHT). Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada

definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia

kehamilan.

Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan

diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan

marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus

maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami

gangguan yang berat. Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama

haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen, kini dengan

adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat,

terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6-11 minggu.

Kehamilan postterm terutama berpengaruh terhadap janin, meskipun hal ini

masih banyak diperdebatkan, dalam kenyataannya kehamilan postterm

mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin sampai kematian janin. Ada

janin yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat badannya

meningkat terus, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat badan

kurang dari semestinya, atau meninggal dalam kandungan karena kekurangan

makanan dan oksigen. Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia

1
obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi.

Sementara itu, risiko bagi ibu dengan kehamilan postterm dapat berupa

perdarahan pasca oersalinan ataupun tindakan obstetrik yang meningkat. Berbeda

dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun, kematian perinatal

tampaknya masih menunjukan angka yang cukup tinggi.

Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti

mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi

pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak

selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur

sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan

menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya

mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim.

Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena

pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,

didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah

sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan

yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih

menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung

dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil

dilakukan pemantauan kesejahteraan janin.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,

kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post

datisme atau pascamaturitas.

Menurut WHO, kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih

dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir

(HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari.

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians

and Gynecologists, kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih

dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir

(HPHT).

Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosis kehamilan postterm

adalah penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT seringkali tidaklah mudah,

karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu penentuan saat

ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang

mempengaruhi perhitungan yaitu, variasi siklus haid, kesalahan perhitungan oleh

ibu dan sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester

I, usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat , dengan penyimpanagn hanya lebih

atau kurang satu minggu.

3
2.2 EPIDEMIOLOGI

Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat

waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy,

postdate/ post datisme atau pascamaturitas.

Menurut WHO, kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih

dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir

(HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari.

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians

and Gynecologists, kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih

dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir

(HPHT).

Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosis kehamilan postterm

adalah penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT seringkali tidaklah mudah,

karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu penentuan saat

ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang

mempengaruhi perhitungan yaitu, variasi siklus haid, kesalahan perhitungan oleh

ibu dan sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester

I, usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat dengan penyimpangan hanya lebih

atau kurang satu minggu.

2.3 ETIOLOGI

Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini

masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk

menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

4
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya

kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron

melewati waktu yang semestinya.

2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita

hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab

terjadinya kehamilan postterm.

3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta

sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen.

Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi

prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti

anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan

menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan

berlangsung lewat bulan.

4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm

terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari

pleksus Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada

keadaan kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah

janin.

5.Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm

telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al menyatakan

dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan

postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm

pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan

bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Mogren

5
menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat

melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan

mengalami kehamilan postterm.

2.4 PATOFISIOLOGI

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan

amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan

tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Perubahan pada Plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada

kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta

mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun

terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan

peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan

fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasenta

laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai yaitu, penimbunan

kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai dengan

progresivitas degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta yang terjadi

seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervilli, spasme arteri

spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah tebal dan

jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport

plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium,

glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami gangguan sehingga

janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.

6
2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan

amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu,

yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan

40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar

480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu.

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan

dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan

pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan

hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat

menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan

oligohidramnion. Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus

kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian

perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan

kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan

keadaan gawat janin saat intra partum.

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion

sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik

kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-

paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin

menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan

mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko

terjadinya aspirasi mekonium.

7
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah

satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari

kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil

penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan

anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau

kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.

3. Perubahan pada janin

Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka

terjadi penurunan berat janin. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat

berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya

umur kehamilan. Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada

kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih besar.

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan

postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan

pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas.

Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus,

kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo. Keadaan ini

menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan

lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau

kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus

kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta.

Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada

kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium:

8
a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa

kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit

c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

2.5 DIAGNOSIS

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19%

dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh

karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada

penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai

lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin

lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan

neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya,

pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak

yang merugikan bagi ibu maupun janin.

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan

apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm

berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh

American College of Obstetricians and Gynecologists, yaitu kehamilan yang

berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama

siklus haid terakhir (HPHT).

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak

bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al, jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis

kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid

9
dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin

betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti

hamil setidaknya 3 bulan terakhir.

Hasil penelitian Savitz, et al menunjukkan bahwa usia kehamilan yang

ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai

kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi

yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada

asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari

pertama siklus haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi menyebabkan

kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi

bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak

selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular,

yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki

siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.

Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya


(Bennett, et al., 2004)
dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi.

Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT

adalah ± 1,37 minggu.

2. Riwayat pemeriksaan antenatal

Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah

terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan telah berlangsung 6

minggu.

Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan

18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu,

10
sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan

ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20

menit, atau secara obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar

mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar

pada usia kehamilan 10-12 minggu.

Pernoll, et al menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai

kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan

sebagai berikut:

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif

b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan

stetoskop Laennec.

3. Tinggi Fundus Uteri

Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam

sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang

setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur

kehamilan secara kasar.

4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah

banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan

postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia

11
kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih

tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang

didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa

kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal

perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump

length) adalah ± 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan antara 16-26

minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur

(femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan.

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut

hasil penelitian Cohn, et al memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah

dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Pemeriksaan sesaat

setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air

ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm,

tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran biometri janin

pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat

kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat

kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan

USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan

usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
7
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.

12
5. Pemeriksaan laboratorium

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel

lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak

melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan

apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu

atau lebih.

b. Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil

membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah.

Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia

kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia

kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA

antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.

c. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S

pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan

±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan

menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan

postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup

usia/matang untuk dilahirkan.

Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)

mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat

dipakai untuk menentukan usia gestasi.

13
2.6 PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak

perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan

postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu

dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana

yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada

±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor

Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena

itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus

dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan

induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan

pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia

sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk

mengakhiri kehamilan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan

keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks,

perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.

1. Pemantanauan kesejahteraan janin

Manning dkk telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik

untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini

memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel

saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel

yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-

stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e)

volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0

14
bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada

pemeriksaan profil biofisiknya.

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai

akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal

dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam

keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi

sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini

dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat

akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan

peningkatan usia kehamilan.

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi

(contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah

tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai

fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering

digunakan untuk menilai kesejahteraan janin.

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan

dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin,

ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan

dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang

terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan

kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion

yang menyerupai gerakan pada saat batuk.

15
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya

keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses

evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara

episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas

menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk melakukan penelitian observasi selama

24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran

karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya

menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan

nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa

untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu

observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin,

pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain,

misalnya pemeriksaan denyut jantung janin.

c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak

minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir

kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak

pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil

baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20

minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat

dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. Antara minggu

ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai

memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan

16
gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal

telah terbentuk pada 80% janin.

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur

kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per

12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32

kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi

kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan

amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas

pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur

janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang

terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga.

d. Pemeriksaan tonus janin

Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi

ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi

fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang

membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,

gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus

janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama

30 menit pemeriksaan.

e. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan

antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes

ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan

17
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada

akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion.

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG

dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian

dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari

setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah

turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya

oligohidramnion.

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion

vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume

cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.

Gambar 2.1 Amniotic Fluid Index

Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka

didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor

profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

18
Tabel 2.1 Penilaian Skor Profil Biofisik

Tabel 2.2 Interpretasi dan Penatalaksanaan berdasarkan Skor Biofisik

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa

penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan

pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka

penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.

19
Pengeloloaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan

pemantauan secara berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan janin

dapat dilakukan pengelolaan aktif.

2. Induksi persalinan

Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi

untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan kondisi bayi yang

cukup baik atau optimal.

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum

inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya

kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah tindakan farmakologik atau cara lain

untuk memperlunak atau meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk

meningkatkan keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini

adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan

terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan

janin tetap ada.

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa

keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks

(favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan

menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang

didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan

keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi

serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi

serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.

20
Tabel 2.3 Pelviks skor menurut Bishop

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan

yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan

serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan

serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida)

ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).

Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai oematangan serviks (Skor

Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor bishop > 5

maka di induksi dengan infus oksitosin,tetapi bila skor bishop ≤ 5 maka diberikan

misoprostol 25 µg per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor bishop

sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih

sama atau ≤ 5 maka dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama.

Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin.

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan

dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos

uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat

persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus

secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan

dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang

21
dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan
(Cunningham, et al., 2010)
kadar oksitosin 10-20 mU/mL. Terdapat berbagai macam

metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan

dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 2.4 Rejimen drip induksi dengan oksitosin.

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20

mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih

tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan.

Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin

dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik

atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga

zmeningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau

didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit

dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih.

2.7 Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion

Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung

pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan

evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan

22
postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan

pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin.

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa

penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk yang dikutip dari

(Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu

hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol

yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko

seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih

tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7

pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk yang

dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien

postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang mengalami deselerasi denyut

jantung janin dan aspirasi mekonium.

Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin

postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat

dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan

neonatal yang memadai.

Menurut Mochtar, et al pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm

mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin.

Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.

b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.

c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi

kegawatan janin

23
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah

neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan

resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur

mekonium.

e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

Gambar 2.2 Skema penatalaksanaan kehamilan postterm

24
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi
perineum, perdarahan post partum, endomiometritis dan penyakit tromboemboli.
Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom
gawat nafas, hipoglikemia, hipofungsi adrenal.

25
BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

1. Kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang

terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) menurut rumus

Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari.

2. Menurut Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi (POGI),

insidens kehamilan lewat waktu sangat bervariasi, insidens kehamilan 42

minggu lengkap : 4 – 14 %, 43 minggu lengkap 2 – 7 %

3. Pasien terjadi perubahan-perubahan pada kasus persalinan postterm,

yaitu perubahan plasenta, oligohidramnion, dan perubahan janin

4. Informasi penetapan usia kehamilan sangat penting dalam kasus

kehamilan postterm

5. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan

tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks, perkiraan

berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G., et al. 2013. Postterm Pregnancy, Antepartum

Assessment, In : Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York.

2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, Kehamilan Lewat Waktu, Jakarta, 2014

3. Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology,

2nd edition, W.B. Sauders company,2011, page 316-318

4. Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and

Treatment Obstetrics & Gynacology 10th edition; McGraw-Hill, 2012 page

187-189

5. Rosa C. 2013. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles

for Practice, McGraw-Hill. New York, America: 388-395

6. Asrat T.,Quilligan E.J., 2012. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in

Obstetrics and Gynecology, edisi 5. WB. Saunders Company. Philadelphia

America:321-322

27

Anda mungkin juga menyukai