Anda di halaman 1dari 11

TOURTEREAUX

Aku yang sedang dalam hubungan terlarang. Aku yang


sedang gundah. Memilih antara tinggal diam atau lari
kencang.
“Setiap masalah ada solusi di sekitarnya.”
“Kita punya uang? Kan tidak.”
“Bukan seperti itu.”

Kemudian diam datang lagi. Kami harus pergi.


Bagaimanapun itu kami harus pergi dari sini. Ibu bahkan
sudah tak bisa menerima tapak kaki kita lagi.
“Aku harus kembali ke pekerjaanku yang dulu.”
“Terlalu bahaya. Adele tidak merestui itu!”

“Bantulah aku, ini jalan keluar satu-satunya. Aku bisa


menghasilkan uang sebanyak dulu.”

Aku menangis. Tapi air mata bukan beton yang bisa


menahan langkah kekar Papi. Dengan enggan aku
mendorong kakiku sendiri menuju gang sempit di jajaran
kota-kota di Perancis.

Sisa uang yang bisa terbakar untuk makan malam Papi


gunakan untuk membeli beberapa pisau. Ketika masuk ke
salah satu gang di belakang restoran Escargot, Papi
memintaku menunggu.
“Jangan ikut dulu, kau tunggulah sampai aku selesai
dengannya.”

Aku mengangguk. Menunggu Papi menyelesaikan


bisnisnya terasa lama sekali. Sempat aku menengok, di
sana dengan baju merahnya seorang wanita membagikan
lembut buah dadanya pada tangan kekar Papi. Tak
sanggup melihat, aku hanya bisa menutup wajahku.

Sepatuku aus hingga ada jarum salju membagi rasa


dinginnya. Hingga kudengar suara berat itu begitu lembut
menyebut namaku.
“Adele, dating kemari. Sebelum ada yang melihat.”

Papi memberikan pisau ukiran sedang. Masih tajam.


Sangat lembut memotong kulit lapisan demi lapisan.
“Jangan masukkan terlalu banyak es, kita harus segera
mengirimnya ke…Adele!”
Papi menyadarkanku. Matanya terlihat lelah.
“Maaf, Papi. Dagingnya lembut sekali.”

“Jantung harus dengan keadaan segar saat diterima,


Sayang. Ayolah cepat.”
Mata pirus Papi sangat indah. Bibirnya sangat lembut.
“Bibir Papi terlihat kedinginan. Sini Adele hangatkan.”
֎֎֎
Papi terlihat lega. Penginapan sederhana ini cukup dapat
menghangatkan seluruh tubuh kami walau tak sehelai
kain melekat.
“Kalau begini kita harus terus lari, Papi.”
“Aku tahu. Bukankah memang kita harus terus berlari?”

“Aku ingin sebuah rumah dengan taman di belakangnya.


Akan aku tanam mawar biru di halaman depan dengan
anak-anak kita berlari riang di sana. Sangat indah.”

Papi tersenyum dan mengecup keningku. Lalu dia


menutup matanya. Aku kira dia terlelap hingga suara
dalam gelap berkata,
“Kita berdua tau itu tidak mungkin.”

Sakit. Sangat sakit. Ketika kau harus menerima cinta yang


berada di wadah yang salah. Tapi ini sudah terjadi. Sudah
tumbuh menjadi cinta yang utuh.

Aku tak pernah menangis keras seperti gadis tiga belas


tahun pada umumnya. Aku tidak ingin Papi terganggu
tidur pulasnya. Oh, Papi…

Dengan menghapus air mata kucoba mencari gaun tidurku


dalam gelap. Melangkah perlahan mencari sisa makanan.
Yang seperti ini selalu bisa mengembalikan bara dalam
hatiku.
“Makan…”
Sangat lezat mentah maupun dimasak. Apalagi jika Papi
yang memasaknya di atas kayu bakar. Darah amis yang
dingin kuoleskan lagi…lagi…uh sangat menggairahkan.
Ketika darah itu menetes ke bawah sana dan mulai
kugetarkan, cahaya lilin mendekat.
“Adele, kau kan sudah makan.”
“Darahnya, Papi…”
“Mari bersihkan tubuhmu. Daging itu untuk besok.”

Kamar mandi tak terasa dingin airnya jika kau dipeluk


orang yang kau cintai.
֎֎֎

Paris adalah kota besar. Dengan penegak hukum yang


lebih sigap dari pada di tempat-tempat sebelumnya. Tapi
di sini hidup kami bisa lebih terjamin.
“Aku hawatir kita tak bisa mendapat korban di sini.”

“Banyak orang yang bisa kita makan di sini, Papi. Banyak


orang berlalu-lalang. Banyak sekali…!

Setelah menghabiskan beberapa punting rokok. Kami


mulai mencari gang sepi di belakang rumah bordir. Entah
apa memang Paris selalu seramai ini, atau Fortuna sedang
tak memantau kami. Beberapa wanita dengan pakaian
ketatnya terlihat sangat lembut. Tapi Papi masih diam tak
memberi petunjuk untuk melangkahkan kakinya.
Sangat cepat, seorang pria menarik tanganku dan menutup
mulutku. Aku melihat Papi juga ditarik dengan ganasnya
dan dilempar ke suatu gudang buah.

“Apa yang kalian lakukan? Apa salah Papi? Jangan pukuli


Papi!”

“Bocah tengik itu ramai sekali. Bisa ada yang mendengar.


Hei masuklah ke dalam sana!”

Pria yang menarikku kembali menggunakan tangan


bertatonya. Setelah melemparku ke atas tumpukan jerami
dia melempar pisaunya dan membuka celananya.
“Apa yang diberikan Papimu sebesar ini?”

Giginya yang hitam menjijikkan membuatku muak. Papi


tidak mengizinkan ini tapi aku tidak mau curut itu
menyentuhku. Dengan pikiran anak-anak aku hanya bisa
berdiri, mengambil pisau, menggigit bibirnya, lalu
menggorok tenggorokannya. Daging laki-laki tidak enak.
Aku sudah coba.

Ketika kaluar dari ruangan itu hanya ada Papi yang


tergeletak di sana dengan darah yang mengucur dari salah
satu matanya.
“Papi…! Apa yang mereka lakukan?”

Tidak…Tidak bisa seperti ini. Papi…Papi tidak boleh


disakiti oleh siapapun. Aku tidak bisa diam.
“Jangan… Adele…Papi bisa sembuh.”
“Siapa yang melakukan ini, Papi? Papi bukan orang jahat,
Papi tidak boleh dipukuli. Adele akan membuat orang
yang melakukan ini merasakan apa yang Papi rasakan!”
“Adele…Dia Mami…”
֎֎֎

Aku sayang Mami. Mami dulu juga memanjakaknku.


Dulu kami sering menghabiskan waktu bersama. Kadang
Mami mengajakku ke ruang bawah tanah dan kami bisa
mandi bersama dengan genangan darah gadis muda yang
belum menikah. Kadang Mami bisa memuaskan aku
walau Mami tidak seperti Papi.

Ketika Mami berkata bahwa ingin memilikiku seutuhnya


dan tidak ingin Papi memintaku untuk menemaninya lagi,
aku tidak bisa menangkap perasaan apa yang ada di dalam
hati Mami. Mami dulu suka berbagi. Kadang kami bertiga
bisa bermain bersama di malam hari. Membakar daging
hasil buruan di pesisir pantai, sangat indah kenangan itu.
Tapi ketika Mami mulai mengangkat pisau ke arah Papi
aku tidak tahan lagi.

“Bajingan sialan! Aku yang pantas mejadi pemiliknya,


aku yang merawatnya sejak masih dalam perutku!”

“Dan kau pikir perutmu akan terisi jika tak ada aku?
Lagipula Adele seorang wanita, wanita harus bersama
pria. Iya kan, Adele Sayang?”
Setelah beberapa luka, Papi membawaku lari. Tanpa
membawa sehelai pakaian ganti aku dan Papi
memutuskan untuk meninggalkan Mami agar dia tenang.
Mungkin Mami akan berubah pikiran sesudah meminum
teh hangat dan mengizinkan Papi memelukku lagi.

Papi melihatku menatap awan yang gelap melintas di atas


kepalaku. Dengan mata kosong yang berat aku mencoba
menegakkan punggungku. Aku harus kuat demi Papi.
Luka-luka Papi harus ada yang merawat.
“Papi harus tidur dan istirahat. Adele sudah besar, bisa
mencari makan sendiri. Banyak wanita cantik yang akan
lewat di malam hari.”

“Maafkan Papi yang lemah tak bisa berbuat apa-apa.


Bawalah pisau yang lebih banyak dan letakkan di tempat
yang berbeda. Ingat, kerahkan semua kekuatanmu.
Mereka bisa sangat kuat.”
Cara paling baik menjawab nasihat Papi adalah dengan
kecupan di bibirnya. Kutarik selimut hingga menutupi
dadanya yang bidang. Semoga Papi lekas sembuh.

Dengan baju hangat yang terisi pisau-pisau tajam,


sepatuku kuajak berjalan menuju lorong gelap kota Paris.
Setelah mendapat satu wanita aku dan Papi harus pergi
dari Paris, atau mungkin Prancis. Aku harus bisa kuat
demi Papi yang sudah mengorbankan banyak sayatan
demi aku.
Beberapa wanita cantik menghampiri pria yang bersandar
di dinding, bertanya berapa yang bisa dia dapat. Entah
mengapa tidak ada yang mau menghampiriku. Atau aku
harus menghampiri mereka terlebih dahulu?

“Hei anak kecil apa yang kau lakukan di sini? Apa kau
anak baru? Kurus sekali hahaha kau harus banyak makan
untuk memperbesar mereka.”

Ucapnya dengan menekan dadaku dengan jarinya yang


lentik.
“Kau tidak pernah bersama wanita?”

“Ahahahaha polos sekali. Apa yang bisa kau berikan


untukku, anak kecil?”
“Hanya dua. Uang dan ini…”

Dengan cepat aku memasukkan jariku ke balik gaunnya.


Sepertinya dia suka. Aku berhasil mendapatkan satu.

“Ah…kau hebat juga untuk anak kecil. Kau banyak tahu


rupanya. Hmm ini cukup untuk satu jam. Aku akan
mencari kamar untuk kita.”

“Apa kau bayi hingga butuh kamar agar tidak


kedinginan?”

“Sialan ini, kau nakal juga. Ayo aku punya tempat spesial
untuk memenuhi permintaanmu.”
Di bawah jembatan dia menggenggam tanganku dan
menunjukkan tempat dengan sehelai selimut disiapkan di
sana. Dia berujar ini adalah tempat gelandangan tua tidur
pada siang hari, mereka mengais sampah di malah hari.

Satu jam waktuku. Walau agak tergesa-gesa tapi aku


berharap ini cukup. Kehendak tanganku mengambil belati
kecil di balik mantelku terhenti oleh perintah otakku
untuk menyentuh lekuk indah wanita itu. Dia cantik dan
lembut. Aku bisa bayangkan darahnya yang mengucur
dan lembutnya daging wanita Paris.
“Kau bisa mulai di mana saja.”
“Kalau begitu aku mulai dari perut…”

Jleb! Kujejalkan belati kecil di kiri perutnya dan


menggesernya ke kanan. Aku melihat merah itu sangat
banyak. Indah sekali.
“…Lalu leher…”

Wajahnya memucat, tapi diam saja. Aku kira akan


mendapat perlawanan seperti kata Papi. Tidak ada waktu
untuk bermain dengan tubuhnya. Pokoknya ada jantung,
hati, ginjal, dan mata sudah cukup untuk sementara ini.
Aku harus segera pergi.
֎֎֎
“Apa itu yang kau bawa, Sayang? Kau dari mana saja?”
“Papi di mana?”
“Dia berada di kereta. Siap berangkat.”

“Apa yang Mami katakan pada Papi sehingga Papi pergi


meninggalkan Adele? Mami jahat!”

“Sayang, Papi sudah menyerahkanmu pada Mami. Kita


akan kembali ke rumah. Ayo pergi, kau tidak perlu
bekerja seperti Papi dulu, ini melelahkan, bukan?”
Aku tak percaya Papi pergi. Aku padahal ingin
memberitahu sekarang aku berhasil berburu untuk
pertama kali tanpa Papi. Tidak! Papi tidak akan
meninggalkanku.

“Papi tidak akan meninggakanku. Mami pasti mengusir


Papi..atau…Mami membunuh Papi?”

“Sayang, Mami bukan orang jahat. Ayolah pulang Mami


akan menjelaskannya nanti di rumah.”

Pisau terakhir yang kusembunyikan di balik celanaku,


senjata terakhir yang bisa aku colokkan ke mata
perempuan itu. Mami tidak akan menyakitiku dan Papi,
apalagi membunuh Papi. Wanita itu bukan Mami!

“Wanita sialan! Apa yang kau lakukan pada Papiku? Mati


kau!”

Dia hanya menggelepak ketika dadanya telah hancur


akibat tusukan pisau dari tanganku. Darahnya mengalir
deras, air mataku pun juga. Aku kehilangan orang-orang
yang kucintai karena diriku sendiri. Aku penyebab semua
ini.

“Papi…Mami…aku terlalu bodoh. Aku seharusnya bisa


menyatukan kita kembali.”

Darah Mami begitu manis, setelah pisau itu bersih aku


mengotorinya lagi dengan darahku yang hina. Aku masih
bisa merasakan jantungku berdegup, semakin habis
getarannya. Beberapa langkah aku menunduk melihat air
sungai yang begitu tenang. Aku harus bergabung dengan
mereka, ombak kecil di lautan. Bahagia bersama paus biru
dan lumba-lumba. Tepat sebelum pipiku menyentuh air
kudengar suara teriakan Papi memanggil namaku dengan
menangis.
֎֎֎

Anda mungkin juga menyukai