Anda di halaman 1dari 6

AGRESI MILITER I (1947)

Dalam bulan november 1946 diselenggarakan perundingan antara pihak Indonesia


dan Belanda di Linggajati (Linggarjati), sebuah tempat peristirahatan disebelah Selatan
Cirebon. Persetujuan Linggajati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, itu berisi
antara lain :
1. Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah
negara yang berbentuk federasi dengan nama RepublikInonesia Serikat (RIS).
2. Pemerintah RIS dan Pemerintah Belanda akan bekerjasama dalam sebuah perserikatan
negara yang bernama Uni Indonesia- Belanda.
Sesudah persetujuan Linggajati ditandatangani, hubungan RI-Belanda semakin
memburuk. Oleh pihak Kolonis Belanda, Persetujun Linggajati memang hanya dianggap
sebagai alat untuk memungkinkan mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang lebih
banyak dari negerinya. Setelah mereka merasa cukup kuat, mereka beralih kepada maksud
semula, yaitu menghancurkan Republik Indonesia dengan kekuatan senjata. Untuk
memperoleh dalih guna menyerang RI, mereka mengajukan tuntutan yang bukan-bukan
seperti :
1. Supaya dibentuk pemerintah federal sementara yang akan berkukasa diselulruh Indonesia
sampai pembentukan RIS yang berarti RI ditiadakan.
2. Pembentukan gandamerie (pasukan keamanan) bersama yang juga akan masuk ke daerah
Republik.
Dengan sendirinya Republik tidak mungkin menerima usul itu, karena akan berarti
llikwidasi bagi dirinya. Dengan penolakan RI itu, Belanda lalu merobek-robek Persetujuan
Linggajati dan pada tanggal 21 juli 1947 melancarkan Aksi Militer I kedalam wilayah
kekuasaan RI.
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirirnkan Nota Ultimatum, yang harus
dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki
Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama. termasuk daerah daerah Republik
yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama): dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda
selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan
reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik. Ketika jawaban yang memuaskan tidak
kunjung tiba, Belanda terus “mengembalikan ketertiban” dengan “tindakan kepolisian”. Pada
tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda
melancarkan ‘aksi polisionil’ mereka yang pertama. Polisionil adalah operasi militer Belanda
di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5
Agustus 1947 (aksi pertama) dan dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949 (aksi kedua).
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah
menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari
Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari
Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih
kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua
pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan,
instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan.
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung
dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam
menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur
dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi
Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk
melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan
merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi
pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut
serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap
Republik.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militemya secara serentak
terhadap kedudukan RI di seluruh daerah de facto Republik. Serangan Belanda yang
mendadak dengan persenjataan yang mutakhir dengan mudah menerobos garis-garis
pertahanan TNI yang linier dengan persenjataan terbatas dan sederhana. Kedudukan-
kedudukan Republik di Sumatera Ctara. Sumatra Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa, Timur serentak di serang. Kapal-kapal terbangnya menyerang dan
membom landasan-landasan terbang serta daerah-daerah penting dan tempat-tempat yang
dianggap sebagai pusat pertahanan militer.
Di Jawa Barat Belanda mengarahkan dua divisi dan dengan cepat berhasil menduduki
kota-kota penting. Pada hari kedua Cirebon jatuh ke tangan Belanda dan dalam waktu kira-
kira satu setengah bulan, kecuali karasidenan Banten. semua kota-kota di Jawa Barat
termasuk Garut dan Tasikmalaya mereka duduki.

Persetujuan Renville dan Hijrah


Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dan dunia internasional,
termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan
India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda
dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan
Resolusi No. 27 tanggal 1 Aaustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata
dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini
terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi
menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama,
yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25
August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28
Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia
dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Dewan keamanan PBB membentuk komisi yang dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga
Negara) dengan anggota-anggotanya Wakil Austalia. Belanda dan Amerika Serikat. Yang
tugasnya adalah membantu mencari penyelesaian sengketa RI-Belanda. Di bawah
pengawasan KTN, pada tanggal 6 Desember 1947 mulailah diadakan perundingan antara RI-
Belanda bertempat di atas kapal perang Amerika Serikat VSS Renville yang berlabuh di
Tanjung Priek.
Perundingan berjalan sangat lambat namun pada tanggal 17 Januari 1948 tercapailah
kesepakatan dan naskah persetujuan Renville di tandatangani. Salah satu isinya adalah
keharusan bagi pasukan-pasukan RI untuk menionggalkan daerah-daerah kantong.
Sehubungan dengan hal itu maka kesatuan-kesatuan TNI dan kesatuan-kesatuan bersenjata
lainnya yang berada di kantong-kantong gerilya di Jawa Barat. Jawa Timur, Sumatera Timur
dan tempat-tempat lain bergerak menuju daerah Republik.
Demikianlah persiapan hijrah telah menyibukkan Divisi Siliwangi di Jawa Barat serta
juga kesatuan-kesatuan TP. Pada tanggal 1 Februari 1948 kolonel T.B Simatupang (sekarang
Letjan Pum) tiba di Tasikmalaya sebagai utusan Kementerian Pertahanan RI untuk membantu
mengatur pelaksanaan hijrah. Ada sebagian kecil dari pasukan Siliwangi yang menyusup
dengan berjalan kaki ke Banten menggabungkan diri dengan Brigade I Tirtayasa di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala yang tidak terkena oleh perintah hijrah
karena mereka berada di daerah yang masih dikuasai R.I.
Pada akhir tahun 1947 oleh salah seorang anggota KNIP diajukan suatu usul agar
diadakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) dalam kalangan TNI. Usul ini terutama
didasarkan pada pertimbangan ekonomis karena pada waktu itu keadaan semakin buruk
akibat dari persetujuan Renville yang telah mempersempit wilayah Republik. Dengan
reorganisasi ini diharapkan pengeluaran Negara dapat ditekan. Lebih-lebih pada waktu itu
dirasakan bahwa ancaman bahaya dari pihak Belanda terhadap RI semakin besar. Untuk
menghadapi segala kemungkinan perlu dibentuk pasukan yang mobilitas atau mudah
digerakkan dan batalyon-batalyon teritorial. Maka pada tanggal 25 Maret 1948 dikeluarkan
instruksi bentuk melaksanakan Rera.
Untuk divisi-divisi yang tidak mempunyai teritorial karena hijrah (seperti divisi
Siliwangi) dan kesatuan-kesatuan yang tidak dapat disusun dalam salah satu divisi yang ada
dibentuklah suatu bagian yang otonom yaitu Kesatuan Reserve umum (KRU). Untuk member
wadah pelajar jawa barat yang berada di daerah RI, dibentuklah oleh panglima Divisi
Siliwangi KRU “W” Corps Pelajar Siliwangi (CPS) pada tahun 1948 di Solo.

AGRESI MILITER BELANDA II (1948)


Agresi Milner Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang
diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan
Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara
ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang
dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di
Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet
mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap
tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak
diplomatik dapat diadakan.
Peristiwa agresi ini terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, dan penyerangan tersebut
terjadi di kota Yogyakarta. Belanda menyerangnya dari segala jurusan dan telah menduduki
kota tersebut.
Penyerangan Belanda ini di karenakan pada pada tanggal 2 November 1948,
Kementrian Penerangan RI menyangkal tuduhan Belanda tentang pelanggaran gencatan
senjata. Tuduhan-tuduhan Belanda itu sama dengan sebelum aksi militernya tanggal 21-7-
1947. Pada tanggal 4-11-1948, Perdana Mentri Hatta merrti atakan. bahwa suasana
Indonesia-Belanda sangat buruk dan mengingatkan kepada keadaan sebelum tanggal 20 Juli
1947 (sebelum aksi militer Belanda D. Dan bersamaan dengan itu Nehru di Kairo
menyatakan, bahwa ada satu kekuasaan kolonial menyerang Indonesia, hal ini akan
menimbulkan reaksi berbahaya di India dan dunia lainnya.
Banyak pihak rang terlibat dalam peristiwa ini, terutama Amerika dan Australia yang
meminta supaya diadakan sidang istimewa dewan keamanan untuk membicarakan agresi
militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia, bersamaan dengan waktu
itu pula, apa yang dinamakan kabinet Negara Indonesia Timur. meletakkan jabatan sebagai
protes atas agresi Belanda terhadap Republik Indonesia.
Putusan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta tentang pemindahan kekuasaan :
kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara, dengan perantaraan radio diberi kuasa untuk
membentuk Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI) di Sumatra. Bersamaan dengan itu apa
yang dinamakan Kabinet Pasundan, menyerahkan mandatnya kepada “Wali Negara” sebagai
protes atas agresi Belanda terhadap Republik Indonesia.
Pada tanggal 22 Desember 1948, KTN mengawatkan kepada dewan keamanan
laporan yang isinya menyalahkan Belanda sebagai aggressor dan yang melanggar perjanjian.
Pada tanggal 23 Desember 1948, Rusia mengajukan resolusi kepada Dev, an Keamanan
mengecam Belanda sebagai aggressor. India dan Pakistan melarang pesawat KLM (Belanda)
terbang di atas wilayahnya serta tidak diperkenankan mendarat disana. Pada tanggal 24
Desember 1948, dewan keamanan menerima Resolusi Amerika Serikat Diperintahkan dengan
segera
kepada Belanda dan Indonesia untuk menghentikan tembak-menembak dan
membebaskan pimpinan-pimpinan republik yang ditawan. Pada tanggal 27 Desember 1948,
Presiden Sukarno, Sultan Sjahrir dan H. Agus Salim ditawan di Brastagi. sedangkan Wakil
Presiden Hatta di Bangka. Juga beberapa pimpinanpimpinan lainn a lath mengalami hal yang
serupa (ditawan di Sumatra).
Pada tanggal 29 Desember 1948, pasukan gerilya menyerang pasukan Belanda di
seluruh kota yogyakarta (serangan pertama). Pada tanggal 31 Desember 1948. Presiden
Sukarno, Syahrir, dan H. Agus Salim oleh Belanda dipindahkan pengasinganya ke Prapat.
Sebagai hasil diplomasi republic maka di New Delhi dari tanggal 20 sampai 23 Januari 1949
berlangsung koprensi Asia yang dihadiri oleh 21 Negara Asia dan Australia. Resolusi
konprensi Asia tersebut tentang senaketa Indonesia-Belanda ini, berpengaruh besar kepada
resolusi Dewan Keamanan PBB berikutnya.
Mr. A. A. Maramis, Mentri Keuangan Republik yang sedang berada di New Delhi, di
tunjuk sebagai Mentri Luar Negeri dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pada tanggal 24 Januari 1949, Resolusi konprensi New Delhi dikirim kepada Dewan
Keamanan PBB, yang menuntut antara lain :
1. Pembebasan para pemimpin (pembesar) Republik Indonesia
2. Penarikan mundur Belanda dari Yogyakarta dan penarikan berangsuirangsur tentara Belanda
dari daerah-daerah yang diduduki sejak 19 Desember 1948.
Pada tanggal 26 Januari 1949 Mr. Sjafrudin Prawiranegara memberi instruksi kepada
Mr. Maramis, supaya mengusahakan dewan keamanan untuk mengirimkan peninjau militer
KTN ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh Republik Sumatra.
Sejak tanggal 31 Januari 1949, perlawanan terhadap Belanda makin hari makin
meluas dan menghebat, terutama di seluruh pulau Jawa dan Sumatra. Pada akhir bulan
Januari dan permulaan Februari 1949, pasukan republic sudah kembali ke kantong-kantong
mereka semula (daerah-daerah asal), dan terus melakukan perang gerilya.

KESIMPULAN
Agresi militer merupakan bentuk rill bahwa Belanda melanggar perjanjian
Internasional (Linggajati). Dalam agresi ini nelanda mencoba menguasai kotakota pelabuhan
dan kota perkebunan yang dianggap penting bagi Indonesia.
Penculikan terhadap pemimpin-pemimpin termasuk presiders Sukarno menjadi salah
sate modus belanda selain menguasai daerah-daerah penting. Pelanggaran yang dilakukan
belanda ini mendapat simpati dari luar negeri termasuk PBB yang akhirnya mengeluarkan
resolusi-resolusi. Perjuangan datri para pahlawan serta dukungan internasional yang mampu
melepaskan Indonesia dari agresi Belanda tersebut.
- See more at: http://iwaka91.blogspot.com/2011/10/agresi-militer-belanda-i-1947-dan-
ii.html#sthash.3qxb1LFT.dpuf

Anda mungkin juga menyukai