Anda di halaman 1dari 20

SINUSITIS MAKSILARIS AKUT

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: Michaela.tan@hotmail.com

Abstrak

Sebagian besar infeksi virus penyebab pilek seperti common cold dapat menyebabkan

suatu sumbatan pada hidung, yang akan hilang dalam beberapa hari. Namun jika terjadi

peradangan pada sinusnya dapat muncul gejala lainnya seperti Infeksi sinus seperti yang

kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik.. Sinus atau sering pula disebut

dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat pada bagian padat dari tulang

tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk memperingan tulang tenggkorak. Rongga

ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Rasa sakit di bagian dahi, pipi, hidung atau

daerang diantara mata terkadang dibarengi dengan demam, sakit kepala, sakit gigi atau bahan

kepekaan indra penciuman kita merupaan salah satu gejala sinusitis. Terkadang karena gejala

yang kita rasakan tidak spesifik, kita salah mengartikan gejala-gejala tersebut dengan

penyakit lain sehingga membuat penyakit sinusitis yang diderita berkembang tanpa diobati.

Kata kunci: Sinusitis, Maksilaris, sinus paranasalis.

Pendahuluan

“Seorang perempuan usia 28 tahun datang ke poliklinik THT dengan keluhan pilek tidak

sembuh sembuh sejak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh sering sakit kepala.

Terdapat nyeri disekitar pipi bila ditekan. Rhinoskopi anterior terdapat sekret kental di

meatus media.”

1
Indonesia sebagai negara berkembang yang terletak pada iklim tropis, memiliki berbagai
ragam budaya, kesenian, flora, fauna dan juga berbagai macam jenis penyakit. Sebagai
negara yang berkembang, sanitasi di Indonesia masih kurang memadai dengan lonjakan
penduduk yang ada. Pemerintah tidak dapat menangani banyaknya wilayah di Indonesia, dan
banyaknya penduduk saat ini. Oleh karena iklim yang baik di Indonesia, banyaknya penyakit
yang lebih marak berkembang di Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
Sinusitis merupakan penyakit yang lazim sekali kita dengar di masyarakat luas. Sinusitis
adalah peradangan pada sinu,s dengan terisinya sinus dengan sekret berupa cairan ataupun
mukoid. Terisinya sinus tersebut di karenakan beberapa bakteri dan virus patogen yang
menyumbat saluran drainase dari carian tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas lebih
lanjut mengenai patogenesis, patofisiologi, pengobatan dan pencegahan dari sinusitis ini,
sehingga pembaca dapat lebih mengerti dan memahami penyakit ini.

Anatomi
A. Hidung

Hidung bagian luar

Bentuk pyramid, pangkalnya berkesinambungan dengan dahi dan ujung bebasnya


disebut puncak hidung. Ke arah inferior hdung memiliki 2 pintu masuk bebrbentuk bulat
panjang, yakni “nostril” atau nares. Yeng terpisah oleh septum nasi. Permukaan infero-lateral
hidung berakhir sebagai alae nasi yang bulat. Kearah medial permukaan lateral ini berlanjut
pada dorsum nasi di tengah. Penyangga hidung terdiri atas tulang dan tulang-tulang rawan
hialin. Rangka bagian tulang terdiri atas os.nasale, processus frontalis maxillae dan bagian
nasal ossis frontalis. Rangka tulang rawannya terdiri atas cartilago septi nasi, cartilago nasi
lateralis dan cartilago ala nasi major dan minor, yang bersama-sama dengan tulang di
dekatnya saling berhubungan.

Gambar 1. Rangka hidung

2
Keterbukaan bagian atas hidung dipertahankan oleh Os.nasale dan processus frontalis
maxillae dan di bagian bawah oleh tulang-tulang rawannya.
Otot yang melapisi hidung merupakan bagian dari otot wajah. Otot hidung tersusun
dari M.nasalis dan M. depressor septi nasi. Pendarahan hidung bagian luar disuplai oleh
cabang-cabang A.facialis, A.dorsalis nasi cabang A. opthalmica dan A. infraorbitalis cabang
A.maxillaris interna. Pembuluh baliknya menuju V.Facialis dan V.opthalmica.
Persarafan otot-otot hidung oleh N.facialis, kulit sisi medial punggung hidung sampai
ujung hidung dipersarafi oleh cabang-cabang infratrochlearis dan nasalis externus
N.opthalmicus/ N. maxillaris/N.V 2.

Rongga hidung
Secara sagital rongga hidung hidung dibagi oleh sekat hidung kedua belah rongga ini
terbuka kearah wajah melalui nares dan ke arah wajah melalui nares dan ke arah posterior
berkesinambungan dengan nasopharynx melalui aperture nasi posterior (choana). Masing-
masing belahan rongga hidung mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial
(sekat hidung).
Rongga hidung terdiri atas tiga region, yakni vestibulum, penghidu dan pernapasan.
Vestibulum ini merupakan sebuah pelebaran yang letaknya tepat di sebelah dalam nares.
Vestibulum ini dilapisi kulit yang mengandung bulu hidung, berguna untuk menahan aliran
partikel yang terkandung di alam udara yang dihisap. Ke arah atas dan dorsal vestibulum
dibatasi oleh limen nasi, yang sesuai dengan tepi atas cartilago ala nasi major. Dimulai
sepanjang limen nasi ini kulit yang melapisi vestibulum dilanjutkan dengan mukosa hidung.
Region penghidu berada di sebelah cranial, dimulai dari atap rongga hidung daerah ini
meluas sampa setinggi concha nasalis superior dan bagian septum nasi yang ada dihadapan
concha tersebut. Region pernapasan adalah bagian rongga hidung selebihnya.
Dinding lateral hidung memperlihatkan tiga elevasi, yakni: concha nasalis superior,
medius dan inferior.

Gambar 2. Dinding lateral hidung


B. Sinus Paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaris. Fungsi sinus-
sinus ini tidak diketahui dengan pasti; sinus meringankan tulang tengkorak dan menambah
resonansi suara. Sebagian besar sinus rudimenter atau tidak ada sejak kelahiran. Sinus
membesar semenjak erupsi gigi permanen dan sesudah pubertas, yang secara nyata
mengubah ukuran dan bentuk wajah.

3
Gambar 3. Sinus paranasalis
Sinus Frontalis
Letak kedua sinus frontalis di sebelah posterior terhadap arcus superciliaris, antara
tabula externa dan tabula interna os.frontale. umumnya sinus ini terproyeksi pada daerah
berbentuk segitiga dengan titik-titik sudut yang dibentuk oleh nasion (lekuk di garis tengah
pada pangkal hidung), sebuah titik 3 cm di atas nasion dan batas lateral 1/3 bagian medial
margo supraorbitalis. biasanya sekat pemisah kedua sinus ini menyimpang dari garis tengah.
Tonjolan arcus superciliaris bukan sebagai petunjuk keberadaan atau ukuran sinus frontalis
ini. Kearah posterior mungkin sinus ini meluas sampai os. Sphenoidale. Sinus ini bermuara
ke dalam bagian anterior meatus nasi medius sisi yang sama, lewat infundibulum ethmoidale
atau ductus frontonasal yang melintasi bagian anterior labyrinth ethmoid. Sinus ini
berkembang baik pada usia 7 dan 8 tahun, mencapai ukuran yang sempurna sesudah pubertas,
terutama pada laki-laki.
Pendarahan disuplai oleh cabang-cabang A.opthalmica, yakni A. supraorbitalis dan A.
etmoidalis anterior. Darah balik bermuara ke dalam vena anastomitik pada incisura
supraorbitalis yang menghubungkan vena-vena supraorbitalis dan opthalmica superior.
Persarafan: N. Supraorbitalis.
Getah bening: menuju Nnll. Submandibularis.

Sinus-sinus ethmoidalis
Tersusun sebagai rongga-rongga kecil tak beraturan, sehingga disebut juga cellulae
ethmoidales. Rongga-rongga kecil ini berdinding tipis di dalam labyrinth ossis ethmoidalis,
disempurnakan oleh tulang-tulang frontale, maxilla, lacrimale, sphenoidalis dan palatinum.
Pada masing-masing sisi hidung jumlah rongga kecil ini bervariasi dari tiga rongga besar
sampai 18 rongga kecil. Cellulae ini terletak antara bagian atas rongga hidung dan rongga
orbita. Terpisah dari rongga orbita ini oleh lamina papyracea. Cellulae ini membentuk
kelompok-kelompok anterior, medius dan posterior. Masing-masing kelompok ini tidak
berbatas tegas.
Kelompok anterior (sinus infundibular) bermuara ke dalam infundibulum etmoidale
atau ductus frontonasalis. Mungkin satu rongga kecil sinus ini terletak pada agger ini,
sementara sebagianbesar kelompok ini berbatas tegas.
Kelompok medius (sinus bullar) bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada/di
cranial bulla ethmoidalis.
Kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior; kadang-kadang ada
rongga yang bermuara ke dalam sinus sphenoidalis. Kelompok ini sangat dekat dengan
canalis opticus dan N. opticus. Cellulae ethmoidales berkembang pada usia 6-8 tahun dan
sesudah pubertas.
Pendarahan disuplai oleh Aa. Ethmoidalis anterior dan posterior serta
A.sphenopalatina. pembuluh baliknya lewat vena-vena yang senama dengan arteri.
Getahbening: kelompok anterior dan mediusmenuju Nnll. Submandibularis; kelompok
posterior menuju Nnll. Retropharyngeal.
Persarafan: oleh N.ethmoidalis posterior dan cabang orbital ganglion pterygopalatinum.

4
Sinus sphenoidalis
Kedua sinus ini terletak di sebelah posterior terhadap bagian atas rongga hidung,
didalam corpus ossis sphenoidalis; bermuara ke dalam recessus spheno-etmoidalis. Disebelah
cranial berbatasan dengan chiasma opticum dan hypophysis cerebri dan sisinya berbatasan
dengan A.carotis interna dan sinus cavernosus. Mungkin rigi-rigi tulang yang dihasilkan oleh
canalis caroticus dan canalis pterygoideus, yang masing-masing berada pada dinding lateral
dan lantainya, berproyeksi ke dalam sinus ini. Sinus inii berkembang sesudah pubertas.
Pendarahan disuplai oleh A.ethmoidalis posterior dan cabang pharyngeal A.maxillaris
interna.
Getah bening: menuju Nnll.retropharyngeal.
Persarafan: oleh N. ethmoidalis posterior dan cabang orbital ganglion pterygopalatinum.

Sinus maxillaris
Sebagian besar sinus ini menempati tulang maxilla. Berbentuk pyramida, berbatasan
dengan dinding lateral rongga hidung; puncaknya meluas kedalam processus zygomaticus
ossis maxillae. Atap berbatasan dengan dasar orbita, seringkali atap ini berigi akibat canalis
infraorbitalis yang ada di atasnya, lantai berbatasan dengan processus alveolaris ossis
maxillae dan biasanya lebih rendah dari lantai rongga hidung. Kedalam lantai ini berproyeksi
elevasi berbentuk kerucut yang sesuai dengan akar-akar gigi molar satu dan dua. Kadangkala
juga berproyeksi akar gigi geligi premolar satu dan dua, molar tiga dan caninus. Sinus ini
bermuara ke dalam bagian terendah hiatus semilunaris. Sering kali ada lubang kedua pada
atau tepat dibawah hiatus semilunaris ini. Kedua lubang ini lebih dekat ke arah atap dari pada
lantai sinus. Sinus maksillaris mencapai ukuran maksimum setelah erupsi semua gigi tetap.
Pendarahan disuplai oleh A. facialis, A.palatina major, A.infraorbitalis yang
merupakan lanjutan A. maxillaris interna dan Aa. Alveolaris superior anterior dan posterior
cabang A. maxillaris interna.
Getah bening: menuju Nnll. Submandibularis.
Persarafan: oleh N. infraorbitalis dan Nn. Alveolaris superior anterior, medius dan posterior.
Ketiga saraf alveolaris superior ini juga membawa persarafan sensorik gigi geligi rahang atas;
dengan demikian, nyeri pada sinus maxillaris dapat dirasakan pula seperti nyeri yang timbul
pada gigi rahang atas, begitu pula sebaliknya (nyeri rujukan).

Fisiologi
Mekanisme pernapasan
Inspirasi dan Ekspirasi1
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah, yaitu
menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses bernapas
dengan mengikuti penurunan gradient tekanan yang berubah berselang-selang antara alveolus
dan atmosfer akibat aktivitas siklik otot-otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan berbeda yang
penting pada ventilasi:
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer terhadap benda-benda di permukaan bumi.
2. Tekanan intra-alveolus (tekanan intrapulmonalis) adalah tekanan di dalam alveolus.
Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran pernapasan, udara dengan

5
cepat mengalir mengikuti penurunan gradient tekanan setiap kali terjadi perbedaan antara
tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer; udara terus mengalir sampai tekanan keduanya
seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga di
kenal sebagai tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga
toraks.
Otot inspirasi utama adalah diaphragm, suatu lembaran otot rangka yang membentuk dasar
rongga toraks dan dipersarafi oleh nervus frenikus. Diafragma yang melemas berbentuk
kubah yang menonjol ke atas ke dalam rongga toraks. Sewaktu berkontraksi karena stimulasi
saraf frenikus, diafragma bergerak ke bawah dan memperbesar volume rongga toraks dengan
menambah panjang vertikalnya. Dinding abdomen, jika melemas, dapat terlihat menonjol ke
depan sewaktu inspirasi karena diafragma yang turun mendorong isi abdomen ke bawah dan
ke depan.
Saat paru mengembang, tekanan intra-alveolus menurun karena molekul dalam jumlah yang
sama kini menempati volume paru yang lebih besar. Pada inspirasi biasa, tekanan intra-
alveolus menurun 1 mmHg menjadi 759 mmHg. Pengembangan paru bukan disebabkan oleh
perpindahan udara ke dalam paru, melainkan udara mengalir ke dalam paru karena turunnya
tekanan intra-alveolus akibat paru yang mengembang. Inspirasi yang lebih dalam (lebih
banyak udara yang masuk) dapat dilakukan dengan mengkontraksikan diafragma dan otot
antariga eksternal secara lebih kuat dan dengan mengaktifkan otot-otot inspirasi tambahan
untuk semakin memperbesar rongga toraks. Pada saat rongga toraks semakin membesar
volumenya dibandingkan dengan keadaan istirahat, paru juga semakin membesar, sehingga
tekanan intra-alveolus semakin turun. Akibatnya, terjadi peningkatan aliran udara masuk paru
sebelum terjadi keseimbangan dengan tekanan atmosfer; yaitu, pernapasan menjadi lebih
dalam.
Pada akhir inspirasi, otot-otot inspirasi melemas. Saat melemas, diafragma kembali ke
bentuknya seperti kubah; sewaktu otot antaiga eksternal melemas, sangkar iga yang terangkat
turun dan dinding dada dan paru yang terengang kembali menciut ke ukuran prainspirasi
mereka karena adanya sifat elastik, seperti membuka balon yang sebelumnya ditiup. Pada
ekspirasi istirahat, tekanan intra-alveolus meningkat 1 mmHg diatas tekanan atmosfer
menjadi sekitar 761 mmHg. Udara sekarang keluar paru mengikuti penurunan gradient
tekanan dari tekanan intra-alveolus yang tinggi ke tekanan atmosfer yang lebih rendah. Aliran
keluar udara berhenti jika tekanan intra-alveolus sama dengan tekanan atmosfer dan tidak
terdapat gradient tekanan.

6
Dalam keadaan normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif karena terjadi akibat penciutan
elastik paru saat otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan kontraksi otot atau
pengeluaran energi. Untuk melakukan ekspirasi aktif atau paksa, otot ekspirasi harus
berkontraksi untuk semakin mengurangi volume rongga toraks dan paru. Otot ekspirasi
terpenting adalah otot-otot di dinding abdomen. Sewaktu otot-otot abdomen ini berkontraksi,
terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma,
mengakibatkan diafragma semakin terangkat ke rongga toraks dibandingkan dengan posisi
istirahatnya , sehingga semakin memperkecil ukuran ventilasi rongga toraks. Otot-otot
ekspirasi lain adalah otot-otot antariga internal, yang kontraksinya menarik iga-iga ke bawah
dan ke dalam, meratakan dinding dada, dan semakin memperkecil ukuran rongga toraks; aksi
otot-otot ini berlawanan dengan aksi otot antariga eksternal.

Anamnesis
 Rinorea, atau rabas dari hidung, sering dikaitkan dengan kongesti nasal, yaitu sensasi
sesak atau sumbatan. Tanyakan lebih lanjut mengenai bersin, mata berair, dan sakit
tenggorok, serta rasa gatal pada mata, hidung, dan tenggorok.
o Penyebabnya antara lain infeksi virus, rhinitis alergi (“hay fever”) dan rhinitis
vasomotor. Gatal lebih disebabkan oleh faktor alergis.1

 Sakit kepala merupakan gejala yang sangat sering terjadi yang selalu memerlukan
evaluasi yang cermat karena sebagian kecil fraksi timbulnya sakit kepala berasal dari kondisi
yang mengancam hidup. Dapatkan gambaran yang lengkap mengenai sakit kepala dan tujuh
karakteristik nyeri pasien. 1

 Apakah sakit kepala menyerang satu sisi atau bilateral? Apakah sifatnya menetap atau
berdenyut? Kontiniu atau hilang-timbul? Minta pasien untuk menunjukkan area nyeri atau
ketidaknyamanan. Kaji pola kronologis dan keparahan. 1
o Ketegangan sakit kepala sering muncul dari area temporal; sakit kepala klaster
kemungkinan menjalar searah retroorbital.
o Sakit kepala yang berubah-ubah atau menghebat secara progresif meningkatkan
kemungkinan tumor, abses, atau lesi massa lainnya. Sakit kepala yang sangat berat dapat
diduga pendarahan subaraknoid atau meningitis. 1

7
 Tanyakan mengenai gejala yang terkait. Dapatkan rincian mengenai mual dan muntah
serta gejala neurologis terkait penyakit, seperti deficit penglihatan atau deficit motoric-
sensorik.
o Aura visual atau skotoma scintillating dapat menyertai migrain. Mual dan muntah
sering terjadi bersamaan dengan migraine tetapi juga dapat terjadi bersamaan dengan tumor
otak dan pendarahan subaraknoid. 1

 Tanyakan aapakah batuk, bersin, atau perubahan posisi kepala dapat berefek (lebih
baik, memburuk atau tidak ada) pada sakit kepala.
o Maneuver ini dapat meningkatkan nyeri pada tumor otak dan sinusitis akut. 1

 Tanyakan mengenai riwayat keluarga


o Riwayat keluarga mungkin postif pada pasien migraine.1

Pemeriksaan Fisik
Kepala:
 Rambut, termasuk kuantitas, distribusi, dan tekstur
o Rambut kasar dan distribusinya jarang terlihat pada miksedema, halus pada
hipertiroidisme
 Kulit kepala, termasuk benjolan atau lesi
o Kista pilar, psoriasis
 Tengkorak, termasuk ukuran dan kontur
o Hirdosefalus, depresi tulang tengkorak karena trauma
 Wajah, mencakup kesimetrisan dan ekspresi wajah
o Paralisis fasial; afek depresi datar, mood seperti marah, kesedihan.
 Kulit, termasuk warna, tekstur, distribusi rambut, dan lesi
o Pucat, halus, berbulu, berjerawat, kanker kulit. 1
Hidung dan sinus
 Inspeksi hidung eksternal
 Inspeksi melalu speculum,
o Mukosa nasal yang melapisi septum dan turbinat, perhatikan warnanya dan
pembengkakan

8
 Pembengkakan dan kemerahan pada rhinitis virus, bengkak dan pucat pada rhinitis
alergika; polip; ulkus karena penggunaan kokain
o Septum nasal terhadap posisi dan integritas
 Deviasi, perforasi
 Palpasi sinus frontalia dan maksilaris untuk adanya nyeri tekan
o Nyeri tekan pada sinusitis akut. 1

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus
paranasal adalah:2
- Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas.
- Pemeriksaan CT-Scan

Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran
anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus parasinalisdan struktur
tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini. 2

Pemeriksaan Foto Kepala


Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus parasanal terdiri atas berbagai macam
posisi, antara lain: 2
a. Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
b. Foto kepala lateral
c. Foto kepala posisi Waters
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
e. Foto Rhese
f. Foto basis kranii dengan sudut optimal
g. Foto proyeksi Towne

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yangpaling baik dan paling utama untuk
mnegevaluasi sinus parasanal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang
tumpang tindih pada daerah sinus parasanal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang
kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien
hanya mendapat radiasi yang minimal. 2

9
Pada beberapa rumah sakit/klinik di Indonesi untuk mengevaluasi sinus parasanal cukup
melakukan pemeriksaan foto AP dan lateral serta posisi Waters. Apabila pada foto di atas
belum dapat menentukan atau belum diperoleh informasi yang lengkap, baru dilakukan
pemotretan dengan posisi-posisi yang lain. 2

Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar yang
cukup teliti dan digunakan focal spot yang kecil (0.6 mm atau lebih kecil). Posisi pasien
paling baik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran, paling tidak foto
Waters dilakukan pada posisi duduk, diusahakan untuk memperoleh hasil yang dapat
mengevaluasi air fluid level dalam sinus-sinus. Apabila pasien tidak dapat duduk, dianjurkan
melakukan foto lateral dengan film diletakkan pada posisi kontralateral dan sinar X
horizontal. 2

 Foto AP kepala (Posisi Caldwell)


Foto ini diambil pada posisi menghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus pada
film. Idealnya pada film tampak piramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita
atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film
dan sentrasi membentuk sudut 150 kaudal.

 Foto lateral kepala


Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi di lusr
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.

 Foto posisi Waters


Foto waters dilakukan dengan posisi di mana kepala menghadap kaset, garis orbitomeatus
membentuk sudut 37 derajat dengan kaset. Sentrasi sinsr kira-kira di bawah garis
interororbital. Pada foto Waters, secara idea piramid tulang petrosum diproyeksikan pada
dasar sinus maksilsris sehingga kedua sinus maksilaris dapst dievaluasi seluruhnya. Foto
Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan
dapat menilai daerah dinding posterior sinus sfenoid dengan baik.

 Foto kepala posisi submentoverteks

10
Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset
dalam bidang midsagital melalui sella tursika ke arah verteks. Banyak variasi-variasi sudut
sentrasi pada posisi submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada
bagiam basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.

 Foto posisi Rhese


Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis optikus
dan lantai dasar orbita sisi lain.

 Foto posisi Towne


Posisi Towne dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30 derajat - 60 derajat ke arah
orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabela dari foto polos kepala dalam
bidang midsagital. Proyeksi ini adalah proyeksi yang paling baik untuk menganalisis dinding
posterior sinus maksilaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus
zygomatikus posterior. 2

Pada sinusistis maksilaris, pada foto polis sinus sfenoidalis tampak normal, tetapi apabila
dilakukan pemeriksaan bakteriologik 67%-75% kasus memperlihatkan foto polos sinus
sfenoidalis.
Kira-kira 50% pada kasus kasus sinusitis sfenoidalis memperlihatkan foto polos sinus
sfenoidalis yang normal, tetapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-scan, maka
tampakkelainan pada mukosa berupa penebalan, pada sinusitis tampak:
- penebalan mukosa
- Air-fluid level (kadang -kadang)
- Perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal.
- Penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus kasus kronik)
Pada sisnusistis, mula mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang paling sering diserang
adalah sinus maksilaris, tetapi pada sinusitis kronik tampak juga sebagai penebalan dinding
sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan jaringan oarut yang menebal. Foto polos
tak dapat membedakan antara penebalan mukosa dan gambaran fibrotik jaringan parut,
dimana hanya tampak sebagai penebalan dinding sinus. CT scan dengan penyuntikan kontras

11
dimana apabila terjadi enhance menunjukkan adanya inflamasi aktif, tetapi bila tidak terjadi
enhance biasanya jaringan fibrotik dan jaringan parut.
Pada kasus kasus sinusistis bakterial akut dengan pemeriksaan posisi waters, sukar
membedakan perselubungan sinus maksilaris yang disebabkan sinusistis murnin atau
disebabkan oleh air-fluid level. Untuk kasus-kasus semacam ini perlu dibuatkan posisi waters
dalam keadaan duduk. Hampir 50% kasus kasus dengan perselubungan pada salah satu sinus
maksilaris pada pemotretan posisi tiduran, ternyata setelah difoto duduk, terdapat air-fluid
level.2
Air-fluid level akan tampak pula pada kasus-kasus:
a. Pada pasien-pasien yang mengalami pencucian sinus maksilaris, biasanya minimal 3-
4hari baru sinus tersebut kosong. Apa bila pemotretan dilakukan dlama 3-4 hari setelah
pencucian sinus, maka akan tampak gambaran sinus tersebut suram. Hal ini dapat didiagnosis
sebagai sinusitis karena reinfeksi.
b. Pada pasien dengan trauma kepala yang disertai fraktur atau tidak fraktur pada dinding
sinus.
c. Pada penyakit golongan blood dyscrasias seperti penyakit von willebrand di mana terjadi
pendarahan pada permukaan mukosa. Hal ini berbeda pada pasien-pasien hemofilia, di mana
terjadi pendarahan pada ruangan sendi.2

Etiologi
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus
paranasalis hanyalah sebagaian dari sistem pernapasan total. Penyakit yang menyerang
bronkus dan paru – paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasalis. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran napas dengan perluasan-perluasan
anatomik harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Infeksi mula-mula dapat menyerang seluruh
sistem pernapasan, namun dalam derajat yang berbeda-beda, dan perubahan patologik dan
kondisi klinis yang ditimbulkannya, tergantung pada predominansi infeksi pada daerah
tertentu, sehingga timbul sinusitis, laringitis, pneumonitis dan seterusnya. Hubungan antara
saluran pernapasan atas dan bawah ini menyebabkan apa yang disebut sebagai sindrom
sinobronkial.3
Telah sangat diketahui bahwa berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional
dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian juga mukosa sinus dalam derajat yang lebih
rendah. Secara umum, sinusitis kronik lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah.
Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar, dan penyakit sistemik umum perlu

12
dipertimbangkan dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan,
misalnya dingin, panas, kelembaban, dan kekeringan, demikian pula polutan atmosfer
termasuk asap tembakau, dapat merupakan predisposisi infeksi. Dalam daftar faktor
predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi sebelumnya, misalnya
common cold. 3
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit sinus. Faktor-faktor ini
akan dijelaskan pada masing-masing penyakit sinus, namun secara umum berupa delormitas
rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma.
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur: 3
 Virus.
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang lazim menye-
rang hidung, laring, dan faring juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan
kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai
dapat meluas ke sinus.
 Bakteri.
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus meciptakan suatu lingkungan
yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini seringkali melibatkan lebih dari
satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis
media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anerob, Branhamella catarrhalis, strep tokok
alfa, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis
kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang menyebabkan sinusitis akut.

Sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi
mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, di mana
proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan
diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang
sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilus influenzae, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermidis, Streptococcus pneumoniae, dan Escherichia coli. Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Coryne-bacterium, Bacteroides, dan Veillonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob seringkali terjadi. 3
Epidemiologi

13
Sinus berkembang pada masa kanak-kanak dan remaja, dan kemudian saat sinus-sinus
tersebut menjadi rentan infeksi. Sinus maksilaris dan etmoidalis sudah terbentuk sejal lahir,
dan biasanya hanya kedua sinus ini yang terlibat dalam sinusitis di masa kanak-kanak. Sinus
frontalis mulai berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada usia sekitar 8 tahun dan
menjadi penting secara klinis menjelang usia 12 tahun, terus berkembang hingga usia 25
tahun. Sinusitis frontalis akut biasanya jadi pada usia dewasa muda. Pada sekitar 20 persen
populasi, sinus frontalis tidak ditemukan atau rudi-menter, dan karenanya tidak mempunyai
makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumati-sasi sekitar usia 8 hingga 10
tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau awal dua-puluhan. 3

Sinusitis
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas atas yang ringan.
Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor
predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Dcformitas rahang-wajah, terutama
palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung menderita
infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan
gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10 persen infeksi sinus maksilaris akut. 3
Sinusitis kronik ialah sinusitis yang sudah berlangsung lebih dari 12 minggu. Gambaran
patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan ireversibel. Mukosa umumnya menebal,
membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami
deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada
suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-
sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh, terdapat infiltrat sel bundar dan
polimorfonuklear dalam lapisan submukosa. Penyebab sinusitis kronik ialah obstruksi pada
kompleks ostiomeatal yang mengakibatkan statis dan infeksi sekret didalam sinus. Obstruksi
tersebut akibat infeksi saluran napas atas, rinitis alergika, trauma, atau pembedahan
sebelumnya. Sinusitis maksilaris kronik dapat meluas ke orbita, pipi, rahang atas, mukut dan
sinus etmoidalis. 3,4
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas
yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bcngkak,
dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun
tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada
palpasi dan perkusi. Secret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non-produktif seringkali ada. 3

14
Pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya puss dalam hidung, biasanya dari meatus
media, atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi
dan perkusi. Transiluminasi berkurang bila sinus penuh cairan. Gambaran radiologik sinusitis
maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus
lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang
memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi
pus yang dapat dilihat pada foto tegak sinus maksilaris. Oleh karena itu, radiogram sinus
harus dibuat dalam posisi telentang dan posisi tegak, yaitu dua posisi yang paling me-
nguntungkan untuk deteksi sinus maksilaris Suatu skrining mode ultrasound juga disebut
sebagai metode diagnostik non-invasif yang aman. 3

Diagnosis banding
Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai
selulitis orbita. Pada dewasa, seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri
dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan
hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah
dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita. 3

Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior.
Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior, dan duktus nasalis frontalis
yang berlekuk-lekuk berjalan amat dekat dengan sel-sel ini. Maka faktor-faktor predisposisi
infeksi sinus frontalis akut adalah sama dengan faktor-faktor untuk infeksi sinus lainnya.
Penyakit ini terutama ditemukan pada dewasa, dan selain daripada gejala infeksi yang umum,
pada sinusitis frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan
mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri yang
hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi. Transiluminasi dapat
terganggu, dan radiogram sinus memastikan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan
sinus menyeluruh, atau suatu air-fluid level. 3

Penatalaksanaan

15
Tabel 1. Antibiotic oral untuk sinusitis akut.5

Sinusitis maksilaris akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti
amoksisilin, ampisilin atau eritromisin plus sulfonimid, dengan alternatif lain berupa
amoksisilin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamid. Dekongestan
seperti pseu-docfedrin juga bermanfaat, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin (Neo-
Syncphrinc) atau oksimctazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi
namun kemudian harus dihentikan. Kompres hangat pada wajah, dan analgetik seperti aspirin
dan asetaminofen berguna untuk meringankan gejala. Pasien biasanya memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan dalam dua hari, dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari,
kendatipun konfirmasi radiologik dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu dua
minggu atau lebih. 3
Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme tidak
lagi peka terhadap antibiotik, atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada
kasus demikian, ostium sinus dapat sedemikian edematosa sehingga drainase sinus terhambat
dan terbentuk suatu abses sejati. Bila demikian, terdapat suatu indikasi irigasi antrum segera.
3

Pada sinusitis kronik dapat dilakukan pembedahan dengan functional endoscopic sinus
surgery (FESS) melalui kompleks ostiomeatal. Sering kali diperlukan modifikasi daerah ostia
untuk mendapatkan penyaliran yang baik misalnya membuang ujung anterior konka media.
Adanya polip harus dibuang dengan pembedahan. 4
Pada sinusitis maksilaris kronik yang tidak sederhana dapat dikerjakan operasi Caldwell-Luc,
yaitu sinusotomi maksila yang dapat dilakukan melalui irisan pada daerah fosa kanina.
Tulang dinding anterior sinus maksilaris direseksi melalui mulut untuk mencapai sinus guna

16
mengeluarkan mukosa yang terinfeksi, kista, serta debris epitel. Pembedahan ini tidak boleh
dilakukan pada anak karena dapat merusak gigi primordial.4

Komplikasi
a) Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan
orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus
maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan:3
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
etmoidalis di dekatnya. Seperti dinyatakan sebelumnya, keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkah
merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan
isi orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih
serius. Keterbatasan gerak otot ckstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu trom-
boflebitis septik. Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari
oftalmoplcgia, kemosis konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan
tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf
kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa pemberian antibiotik intravena dosis
tinggi da pendekatan bedah khusus untuk membebaskan pus dari rongga abses. Manfaat
terapi antikoagulan pada trombosis sinus kavernosus masih belum jelas. Pada kasus
tromboflebitis septik, masuk logika bila dikatakan terapi antikoagulan hanya akan
menyebarkan (diseminata) trombus yang terinfeksi. Perlu diingat bahwa angka kematian
setelah trombosis sinus kavernosus dapat setinggi 80%. Pada penderita yang berhasil sembuh,

17
angka morbiditas biasanya berkisar antara 60 hingga 80%, di mana gejala sisa trombosis
sinus kavernosus seringkah berupa atrofi optik. 3

b) Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini
paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di sekitarnya. Dengan demikian, kista
ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan
gangguan penglihatan dengan menekan saraf di dekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi. Gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat. Eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu drainase yang baik, atau oblitcrasi
sinus merupakan prinsip-prinsip terapi. 3

c) Komplikasi Intrakranial
 Meningitis Akut. Di samping trombosis sinus kavernosus yang telah dijelaskan di
atas, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut. Infeksi dari sinus
paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem
sel udara etmoidalis.
 Abses Dura. Adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien
mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik
lain. Abses subdural adalah kumpulan pus di antara dura mater dan araknoid atau permukaan
otak. Gejala-gejala kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang membandel
dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul
sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang
subaraknoid.
 Abses Otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
dimengerti bahwa dapat terjadi perluasan metastastik secara hematogen ke dalam otak.
Namun, abses otak biasa nya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung.

18
Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas
menembus dura dan araknoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisca korteks
serebri. Pada titik inilah akhir saluran vena permukaan otak bergabung dengan akhir saluran
vena serebralis bagian sentral.
Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu sinusitis supuratif yang berat, dan
proses pembentukan abses otak dapat berlanjut sekalipun penyakit pada sinus telah memasuki
tahap resolusi normal. Oleh karena itu, kemungkinan terbentuknya abses otak perlu
dipertimbangkan pada semua kasus sinusitis frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis supuratif
akut yang berat, yang pada fase akut dicirikan oleh suhu yang meningkat tajam dan
menggigil sebagai sifat infeksi intravena. Kasus seperti ini perlu diobservasi selama beberapa
bulan. Hilangnya napsu makan, penurunan berat badan, kakeksia sedang, demam derajat
rendah sore hari, nyeri kepala berulang, serta mual dan muntah yang tak dapat dijelaskan
mungkin merupakan satu-satunya tanda infeksi yang berlokasi dalam hemisfer serebri. 3
Komplikasi-komplikasi intrakranial ini sekali-sekali tidak boleh ditafsirkan selalu berjalan
mengikuti urutan dari meningitis ke abses lobus frontalis. Komplikasi ini dapat terjadi setiap
saat dengan hanya sedikit atau tanpa keterlibatan varian lainnya. Pengobatan infeksi supuratif
intrakranial yang berat kembali berupa terapi antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang meng-ilami abses dan pencegahan penyebaran infeksi. 3

Prognosis
Pada sinusitis akut yang diberikan terapi adekuat memiliki prognosis yang baik, yaitu dapat
sembuh sempurna tanpa meninggalkan skuele. Tetapi tidak menutup kemungkinan sinusitis
tersebut residif. Namun, jika penanganan tidak adekuat dan pasien tidak menurut maka
kemungkinan dari sinusitis akut menjadi kronik akan sangat besar.

Kesimpulan
Sinusistis merupakan penyakit yang residif, lebih banyak menyerang anak anak daripada
orang dewasa. Bila penanganan tepat maka sinusitis tidak akan menjadi kronik dan
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pengobatan yang diberikan dapat berupa bed rest
dengan posisi kepala yg lebih tinggi selama 10 hari dan pemberian antibiotik yang sesuai
dengan kausa dari sinusitis tersebut. Bila dengan pengobatan antibiotic saja tidak bisa
sembuh, maka perlu dilakukan drainase.

19
Daftar Pustaka
Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Jakarta: EGC.2012.
h.79-90.
Rasad s. Radiologi Diagnostik. Jakarta : Universitas Indonesia. 2011(2).431-7
Adams GL, Boies LR, Higler PA. boies buku ajar tht edisi 6. Jakarta: EGC.2013.h.240-57
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah.
Jakarta: EGC. 2012.h.450-1
Papadapkis MA, Mcphee SJ. Current medical diagnosis & treatment. Mc graw-hill lange.
2012. p.214-216

20

Anda mungkin juga menyukai