Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keterpesonaan pandangan ketika langit malam bertabur bintang


membangkitkan rasa dan inspirasi dalam bayangan yang artistik
dibalik spiritual panjang peradaban manusia. Memperhatikan persepsi
ini, mungkin saja kita dapat berpendapat bahwa alam semesta tidak
memiliki arti, bahkan merupakan antitesis dari kehidupan di Bumi, yang
mana suatu mekanisme sesaat dari serentetan proses alami yang juga
tak memiliki arti dalam alam semesta ini. Yang disebabkan atas asumsi
bahwa seluruh proses tersebut hanya proses mekanistik semata.

Alam semesta yang begitu besar untuk kehidupan kita di Bumi


menjadikan hidup manusia akan tetap nyaman seperti sekarang ini,
meskipun kaki langit kurang indah dalam pandangan manusia, namun
tak heran alam semesta ini nampak besar, tua, panas dan dingin. Alam
semesta memerlukan belasan milyard tahun semenjak saat lahirnya
untuk mempersiapkan dirinya menerima kehidupan kita semua yang
berdiam dan bermukim di dalamnya. Di titik persimpangan ini kita
mencoba untuk berhenti sejenak untuk membayangkan betapa agung
dan mulianya kehidupan, suatu persiapn yang dahsyat dari alam
semesta sebelum dapat membentuk kehidupan dan menyediakan
sarananya yang layak bagi kehidupan umat manusia.

Manusia sebagai mahkluk yang memiliki pemikiran-pemikiran


tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan tindakan-
tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai bagian dari
alam semesta senantiasa melakukan hubungan dan keterikatan
dengan lingkungan dimana mereka berada.

1
Manusia atau orang diartikan dari sudut pandang yang berbeda-
beda, baik itu menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau
secara campuran. secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai
homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) yang merupakan sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan
dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan
hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan,
mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam
semesta dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik
positif maupun negatif. Manusia merupakan bagian dari kehidupan
mahluk sosial yang ada di muka bumi.

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana uraian pada latar belakang diatas, maka yang


menjadi perhatian dalam rumusan masalah ini adalah :
1. Bagaimana semestinya manusia berperilaku terhadap alam
semesta
2. Bagaimana rekonstruksi pemikiran manusia terhadap alam
semesta
3. Bagaimana menyelamatkan alam semesta

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan
dalam rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan adalah :
1. Menjelaskan bagaimana seharusnya perilaku manusia
memperlakukan alam semesta
2. Menjelaskan semestinya rekonstruksi pemikiran manusia terhadap
alam semesta
3. Menjelaskan tindakan penyelamatan alam semesta dari berbagai
bentuk yang dapat merugikan seluruh makro kosmos

2
D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan ini adalah menjadi tambahan
refrensi atau rujukan terhadap manusia dan alam semesta

2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penulisan ini adalah sebagai masukan
bagi siapapun di alam semesta ini agar dapat bertindak
berdasarkan nilai-nilai kemanusian yang senantiasa memandang
alam semesta sebagai kesatuan makrokosmos yang tidak dapat
dipisahkan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Teori

1. Manusia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:714) manusia
diartikan sebagai “makhluk yang berakal budi” (mampu menguasai
makhluk yang lain). Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari
yang dikutip oleh. mahmud dan Tedi Priatna (2005:62) manusia
adalah hewan yang berfikir. Berfikir adalah bertanya. Bertanya
adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari
kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, manusia,
artinya mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia.
Jadi, pada akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.
Socrates (470-399 SM) yang dikutip oleh Ahmad Tafsir (2006:8)
mengatakan tentang hakikat bahwa manusia adalah makhluk yang
dalam dirinya tertanam jawaban mengenai berbagai persoalan
dunia. Manusia bertanya tentang dunia dan masingmasing
mempunyai jawaban tentang dunia. Lanjut Socrates, seringkali
manusia itu tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam
jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya. Oleh
karena itu, perlu adanya bantuan orang lain untuk mengemukakan
jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Diperlukan
orang lain untuk melahirkan ide yang ada dalam manusia itu.
Senada dengan hal di atas, Ibnu Khaldûn dalam kitab
Muqaddimah (2004: 525-526) mengatakan bahwa : “Manusia
adalah makhluk sosial, pernyataan ini mengandung arti bahwa
seorang manusia tidak bisa hidup sendirian dan eksistensinya

4
tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Dia tidak
akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur
kehidupannya dengan sempurna secara sendirian. Benar-benar
sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam
memenuhi kebutuhannya”
Selanjutnya manusia dapat dilihat dari aspek antropologi.
Antropologi adalah studi tentang asal-usul, perkembangan,
karakteristik jenis manusia. Dalam pandangan antropologi biologis,
manusia adalah puncak evolusi dari makhluk hidup (Redja
Mudyahardjo, 2008:17)

2. Rekonstruksi Pemikiran Tentang Alam Semesta


Pengertian Rekonstruksi menurut M.N Marbun,
“Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang
semula, Penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-
bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau
kejadian semula, sedangkan menurut, James P. Chaplin
berpandangan bahwa rekonstruksi merupakan penafsiran data
psikoanalitis sedemikian rupa, untuk menjelaskan perkembangan
pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya yang sekarang
ada bagi individu yang bersangkutan, berbeda dengan apa yang
diungkapkan oleh Ali Mudhofir dimana rekonstruksionisme adalah
salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang bercirikan radikal.
Bagi aliran ini persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan
dilihat jauh kedepan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata
peradaban yang baru.

3. Alam Semesta
Kata alam berasal dari bahasa Arab 'a-l-m, satu akar kata
dengan 'ilm (pengetahuan) dan alamat (pertanda). Disebut
demikian karena jagad raya ini adalah pertanda (dapat sebagai

5
pertanda) adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam bahasa Yunani alam jagad raya ini disebut cosmos
yang berarti serasi, harmom's.' Alam sebagai pertanda adanya
Pencipta, sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman yang
menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah pertanda yang
menunjukkan kepada sesuatu yang berada di afasnya dan bahwa
tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya
tidak pernah ada. Dari ungkapan-ungkapan tersebut dapat
dipahami bahwa alam ini adalah makhluk ciptaan Allah. Dalam sisi
pandang yang lain alam ini adalah cakrawala langit, bumi, bintang,
gunung dan daratan, sungai dan lembah, tumbuh-tumbuhan,
binatang, insan dan segala benda-benda dengan seluruh sifat-
sifatnya. Ada juga yang disebut alam syahadah dan alam ghaib
(Taufiq, 2007:2320).

B. Kerangka Konsep

1. Perilaku terhadap Alam Semesta


Perilaku merupakan kebiasaan atau tingkah laku yang
dilakukan oleh seseorang dalam menjalani segala kehidupannya,
disamping itu perilaku yang sering disebut etika adalah ilmu
pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Yakni merupakan suatu
konsepsi atas tingkah laku yang benar dan salah, bermoral-tidak
bermoral, dimana terdapat sebuah proses penentuan yang
kompleks tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu
hidup ini. Proses tersebut meliputi penyeimbangan pertimbangan
pada kondisi dalam diri manusia itu sendiri dan kondisi alam
semesta sebagai makrokosmos dari lingkungan luar manusia yang
diperlakukan dalam kebiasaan maupun pengalaman dari masing-

6
masing individu manusia atuapun kelompok manusia yang selalu
berinteraksi dengan alam sekitarnya.

2. Rekonstruksi Pemikiran Manusia terhadap Alam Semesta


Rekonstruksi alam semesta harus dimulai dari sebuah
manifestasi konsep tentang manusia dan alam semesta sebagai
poin utama dalam melakukan perancangan atas seluruh efek yang
dapat berpengaruh terhadap alam semesta, dimana manusia
sebaga makhluk yang berfikir dituntut untuk berperan secara
konseptual dan praktis dan aktif mengembalikan segala sesuatunya
pada kondisi secara alamiah, beberapa konsep rekonstruksi
pemikiran manusia terkait alam semesta, namun semua konsep
tersebut akan lebih efektif apabila dilakukan secara tersetruktur
sehingga manfaat dari rekonstruksi tersebut dapat dirasakan,
dapat digunakan dalam menata alam semesta.

3. Penyelamatan Alam Semesta


Manusia dalam menjalankan fungsinya sebagai pengendali
alam semesta dituntut untuk melakukan pemeliharaan,
pembenahan dan penataan secara berkesinambungan atas seluruh
efek yang dapat berpengaruh terhadap alam semesta, dimana
manusia berperan aktif mengembalikan segala sesuatunya pada
kondisi secara alamia sebagaimana asal mula seuatu tersebut,
dalam pemahaman tersebut manusia sebagai makhluk perancang,
pembangun, dan penggerak tidak serta merta membatasi diri untuk
tidak menjama alam semesta, namun dituntut untuk merancang
suatu konsep atas alam semesta sehingga manfaat dari konseptual
atas pengelolaan alam semesta tetap pada rambu-rambu yang
ditetapkan dalam melakukan tata kelola alam semesta secara bijak
dan adil.

7
C. Perilaku Manusia terhadap Alam Semesta

Bukti kecintaan manusia terhadap Tuhannya yaitu dengan cara


mencintai ciptaan Nya. Manusia selain memiliki hubungan dengan
Tuhan (habluminallah) dan sesama manusia (habluminannas), juga
memiliki hubungan dengan alam semesta atau kehidupan (habluminal
hayat) yang bererti manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka
bumi bukan hanya harus berbuat baik kepada manusia melainkan juga
berbuat baik kepada seisi alam raya dan kehidupan ini. Franz Magnis
Suseno (1989: 205) dalam Syarifah Wardah El Firdausy dan
Yusmilayati Yunos menyebutkan, masyarakat Jawa merasa
berkepentingan untuk menjaga keselarasan alam semesta dengan
cara dapat menguasai diri, menjaga kerukunan dan mengakui
kedudukan masing-masing pihak. Ajaran tersebut telah ditanamkan
sejak kecil, sehingga masyarakat Jawa tidak mudah bertindak tidak
rukun dan tidak hormat terhadap sesama termasuk pula terhadap alam
semesta. Perubahan lingkungan di alam semesta sebagai akibat
tindakan manusia tidak jarang memberikan dampak negative, yaitu
kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup merupakan
problema besar yang di alami umat manusia sekarang ini.
Sehingga semestinya antara manusia dan lingkungan alam
semesta memiliki hubungan ketergantungan yang sangat erat.
manusia dalam hidupnya senantiasa berinteraksi dengan lingkungan
alam semesta di mana manusia itu bermukim. Karena alam semesta
yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya, mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. sebagaimana

8
diketahui bahwa manusia dan alam semesta itu mempunyai hubungan
timbal balik. Manusia sangat membutuhkan alam semesta yang baik,
aman dan kondusif. Karena dengan alam semesta yang baik tersebut
manusia dapat berkembang dengan baik pula, sebaliknya alam
semesta juga membutuhkan manusia, dengan manusia yang baik
maka baik pula alam semesta.

Dalam memahami hubungan manusia dengan alam semesta


maka terdapat beberapa aliran paham yang menjelaskan hakekat
hubungan manusia dengan lingkungan alam semesta tersebut, yaitu :

a. Paham Determinisme
Paham determinisme memberikan penjelasan bahwa
manusia dan perilakunya ditentukan oleh alam. Tokoh ilmuwan
yang menganut atau mengembangkan paham determinisme
diantaranya Charles Darwin, Frederich Raztel dan Elsworth
Huntington yang mampu beradaftasi dengan lingkungan.
Charles Darwin (1809) merupakan ilmuwan berkebangsaan
Inggris yang terkenal dengan teori evolusinya. Menurutnya,
makhluk hidup secara berkesinambungan mengalami
perkembangan dan dalam proses perkembangannya terjadi seleksi
alam (natural selection). Makhluk hidup yang mampu beradaptasi
dengan lingkungannya akan mampu bertahan dan lolos dari seleksi
alam. Dalam hal ini alam berperan penting yang sangat
menentukan.
Frederich Ratzel (1844-1904) merupakan ilmuwan
berkeabangsan Jerman yang sangat dikenal dengan teori
”Antopoggeographhie”nya. Manusia dan kehidupannya sangat
bergantung pada alam. Perkembangan kebudayaan ditentukan
oleh kondisi alam, demikian halnya dengan mobilitasnya yang tetap
dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam di permukaan bumi.

9
Elsworth Huntington merupakan ilmuwan berkeabangsan
Amerika Serikat yang dikenal dari karya tulisnya berupa buku
berjudul ”Princple of Human Geographie” menurutnya, Iklim sangat
menentukan perkembangan kebudayaan manusia sebagaimana
telah kalian pelajari dalam mata pelajaran Geografi, iklim di dunia
sangat beragam, keragaman iklim tersebut menciptkan
kebudayaan yang berlainan. Sebagai contoh ; kebudayaan di
daerah beriklim dingin berbeda dengan kebudayaan di daerah
beriklim hangat atau trofis.

b. Paham Posibilisme
Paham Posibilisme memberikan penjelasan bahwa kondisi
kondisi alam itu tidak menjadi faktor yang menentukan, melainkan
menjadi faktor pengontrol, memberikan kemungkinan atau peluang
yang mempengaruhi kegiatan atau kebudayaan manusia. Jadi
menurut paham ini, alam tidak berperan menentukan tetapi hanya
memberikan peluang. Manusia berperan menentukan pilihan dari
peluang-peluang yang di berikan alam.
Ilmuwan yang menganut paham ini, diantaranya ilmuwan
berkebangsaan Prancis Paul Vidal de La Blanche (1845-1919).
Maurutnya faktor yang menentukan itu bukan alam melainkan
proses produksi yang dipilih manusia yang berasal dari
kemungkinan yang diberikan alam, seperti iklim, tanah dan ruang di
suatu wilayah. Menurut Paham ini Manusia bersifat aktif dalam
pemanfatannya. Manusia dan kebudayaanya dapat memilih
kegiatan yang cocok sesuai dengan keungkinan yang di berikan
oleh alam.

c. Paham Optimisme Teknologi


Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagian
rahasia alam terungkap dan teknologi untuk mengekploitasinya

10
terus berkembang. Bahkan, dengan kemajuan teknologi saat ini
manusia menjadikan teknologi segala-galanya. Mereka sangat
optimis bahwa bahwa teknologi berkembang apapun dapat
menjamin kebutuhan manusia. Teknologi bukan lagi alternatif tetapi
teknologi telah menjadikan keyakinan yang dapat menjamin hidup
dan kehidupan manusia. Teknologi telah menjadikan sebagian
manusia tidak lagi percaya pada Tuhan, padahal teknologi
merupakan ciptaan manusia.

Dari ketiga paham tersebut, masing-masing memiliki


kebenarannya. sebagaian aktivitas manusia sangat ditentukan oleh
alam, terutama yang memanfaatkan alam ini secara langsung
seperti aktivitas pertanian. Pakaian manusia dalam banyak hal juga
tergantung pada kondisi cuaca. Hal ini merupakan bukti paham
determinisme lingkungan. Namun demikian, seiring dengan
kemajuan peradaban, manusia banyak melakukan upaya rekayasa
untuk mengoptimalkan pemanfaatan alam, sehingga paham
posibilisme dan optimisme teknologi semakin menunjukkan
kenyataan.

D. Rekonstruksi Pemikiran Manusia terhadap Alam Semesta

Adapun rekonstruksi pemikiran manusia sebagai peran sentral


dalam menjaga alam semesta dengan cara mengungkap dan
merumuskan ide-ide dasar yang menjadi fondasi dalam menjalin relasi
dengan sesama maupun dengan seluruh isi kosmis. Ide-ide dasar dari
pemikiran ekofeminime ditelusuri berdasarkan asumsi ontologis,
epistemologis dan axiologis.
Dalam landasan Pemikiran kefilsafatan terhadap rekonstruksi
pemikiran manusia maka jalinan ekofeminisme akan berdiri secara
kokoh apabila disangga oleh tiga landasan pokok yaitu landasan

11
ontologi, epistemologi dan axiologi (Suriasumantri: 1988 dalam
Bernadus Wibowo Suliantoro (2011;113-115) ketiga landasan tersebut
diurai sebagai berikut :

a) Landasan Ontologi

Ontologi Ekofeminisme memandang keberadaan manusia


dengan seluruh isi kosmos merupakan “ada yang berelasi”. Seluruh
unsur yang ada di dalam kosmos tidak dapat hidup tanpa berelasi
satu dengan yang lain. Manusia secara ontologis tidak mungkin
hidup terpisah dengan makhluk yang lain. Jati diri manusia dapat
ditemukan manakala berkorelasi dengan lingkungannya, oleh
karenanya ia harus menyatukan diri dalam kebersamaan dengan
lingkungan (Gunawan, 1993,) Sikap yang mengandalkan relasi
merupakan bagian yang menonjol dari hakikat hakikat wanita
(Giligan, 1993). Eksistensi manusia selalu ber-koeksistensi dengan
sesama maupun dengan segala lingkungan yang melingkupinya.
Bumi merupakan ekosistem yang didalamnya terdiri atas berbagai
bagian yang antara satu dengan yang lainnya saling terkait, saling
membutuhkan, saling mempengaruhi dan saling menentukan.
Bagian-bagian terikat dalam satu kebersamaan membentuk jaring-
jaring kehidupan. Masing-masing bagian tidak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal tanpa dukungan yang lain (Primavesi,
1990). Ekofeminisme mengembangkan relasi saling
ketergantungan antara manusia dengan seluruh unsur kosmis
tanpa harus jatuh ke dalam relasi penindasan. Gerakan
ekofeminisme menyeberluaskan penyadaran akan adanya tali
temali seluruh komos, the cosmic interwovenness, the
interconnectednes of all (Banawiratma, 1997).

12
Kedudukan manusia dalam keseluruhan struktur kosmis
merupakan satu keluarga. Manusia bukan penguasa alam
melainkan anggota bagian dari alam. Keberadaan sesama sebagai
saudara maupun saudarinya yang saling memperkaya (Shiva,
1993). Shiva (1993) mengutip surat pejabat Seattle, menyatakan
bumi bukanlah milik manusia, melainkan manusia milik bumi.
Semua saling terkait layaknya hubungan darah yang menyatukan
sebuah keluarga. Kesatuan antara manusia dengan alam
digambarkan seperti ikatan emosional yang intim antara seorang
ibu dengan anaknya. Mereka saling melindungi, saling menyayangi,
saling mengasihi, saling meneguhkan dan saling menghormati satu
dengan yang lain. Penderitaan yang dialami oleh anak akan
dirasakan juga oleh ibu, kebahagiaan yang dirasakan anak juga
menjadi kebahagiaan ibu. Apapun yang menimpa bumi akan
dirasakan juga anak-anak bumi. Konsep keluarga bumi mencegah
kemungkinan adanya ekploitasi, dominasi dan mengambil
keuntungan secara membabi buta.

b) Landasan Epistimologi

Pengetahuan merupakan kekuatan yang dapat membentuk


watak dan ciri khas kebudayaan. Melalui pengetahuan manusia
dapat membudayakan diri, sesama dan lingkungannya.
Pengetahuan merupakan salah satu dasar kebudayaan manusia,
untuk itu pengembangan pengetahuan harus berada pada jalur
tanggung jawab budaya (kultural) (Meliono, 2009). Ekofeminisme
menolak titik tolak pandangan Francis Bacon tentang proses
pengenalan pengetahuan. Semboyan Bacon yang terkenal
“Science is power” menjadikan aktivitas mengetahui mengarah
pada proses menguasai Kegiatan mengenal yang ditujukan untuk
menguasai merupakan aktivitas yang tidak manusiawi karena dapat
memunculkan logika penindasan dan eksploitatif. Aktivitas

13
mengetahui dan mengenal yang kreatif dan manusiawi adalah
mengagumi.
Dasar dari suatu proses mengenal, mengetahui, mencari
tahu tentang sesuatu adalah kekaguman. Kekaguman merupakan
ibu segala ilmu pengetahuan (Woi, 2008). Kekaguman merupakan
titik awal untuk memahami realitas sosial maupun alam semesta
secara konstruktif dan positif.
Maka berdasarkan landasan epistimologi diharapkan
manusia dapat memiliki pengetahuan atas alam semesta sehingga
terbentuk watak dan karaktek untuk menjalin hubungan
harmonisasi antara manusia dengan alam semesta, yang pada
akhirnya melahirkan keselarasan hidup dari seluruh ekosistem alam
yang sempurna tanpa adanya ketertindasan baik terhadap
manusia, maupun terhadap lingkungan alam semesta itu sendiri.

c) Landasan Aksiologi

Landasan ini menyiratkan bahwa alam semesta haruslah


dijama atau dikelola sebagaimana semestinya agar tujuan dari
kehidupan seluruh ekosistem alam dapat dinikmati, beberapa
pendapat mengilustrasikan aksiologi dalam feminisme, seperti
Henrika, (2008) Laki-laki maupun perempuan dituntut kesadaran
dan tanggung jawabnya terlibat dalam pelestarian lingkungan.
Mereka hendaknya mengembangkan sikap dan pemikiran berhati
ibu Panggilan berhati ibu ditandai dalam hidupnya
mengembangkan nilai-nilai: hormat terhadap kehidupan (pro-life) ,
pengurbanan (rela berkurban demi kebaikan dan kesejahteraan
bersama), kecantikan (membuat lingkungan sosial maupun
ekologis semakin indah), kedamaian (menciptakan rasa nyaman
dan aman bagi sekitarnya) dan kasih sayang (memberikan
hidupnya bagi perkembangan kepribadian sesama maupun
lingkungannya).

14
E. Penyelamatan Alam Semesta

Data BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa 85 % lebih


bencana yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2002 –
2011 adalah terkait bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir
bandang, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang
pasang. Berdasarkan jumlah kejadian terbanyak adalah banjir yaitu
sebanyak 403 kali. Berbagai kerusakan alam ini disebabkan oleh
banyak faktor, di antaranya perubahan iklim global, degradasi
lingkungan, kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk.
Berbagai bencana itu pun telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian
yang besar. Apabila dikaji lebih mendalam, terjadinya berbagai
kerusakan lingkungan merupakan akumulasi atau tali temali dari
faktor-faktor structural, institusional, dan cultural secara bervariasi.
Pada tingkat structural yang paling menonjol adalah strategi
pembangunan dan industrialisasi yang eksploitatif, tidak
mengindahkan keselarasan bahkan menimbulkan kerusakan alam dan
kesenjangan social yang menyengsarakan masyarakat lemah. Pada
tingkat insitutusional kerusakan lingkungan dikarenakan berbagai
perangkat kelembagaan yang rentan lemah, tidak terkoordinasi dan
cenderung korup. Sedangkan dalam tingkat cultural terjadinya
kerusakan lingkungkan dikarenakan rendahnya kesadaran dan
perilaku ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya
budaya pragmatis dan hedonis dalam kehidupan masyarakat.
(Miftahulhaq :2012).

Dengan melihat besarnya manfaat lingkungan alam bagi


kehidupan manusia, seharusnya manusia melakukan introspeksi diri
terhadap apa yang dilakukannya pada alam. Kerusakan alam bukan
hanya di seluruh nusantara, tetapi hampir di seluruh dunia.
Keraf (2002) dalam Sulistyastuti (2013) bukunya berjudul Etika

15
Lingkungan mengingatkan bahwa masalah lingkungan hidup adalah
masalah moral manusia atau persoalan perilaku manusia. Kerusakan
bukan masalah teknis tetapi krisis moral manusia. Untuk mengatasi
masalah lingkungan hidup dewasa ini langkah awalnya adalah dengan
cara merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam
secara mendasar melalui pengembangan etika lingkungan.
Secara teoritis terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu
yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate
Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini
juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme
(Keraf, 2002, dalam Sulistyastuti, 2013). Dimana masing-masing ketiga
model teori tersebut diuraikan sbb :

a. Antroposentrisme
Etika lingkungan yang bercorak pada antroposentrisme
merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula
dari Aristoteles hingga filusuf modern, di mana perhatian utamanya
menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia.
Antroposentrisme adalah aliran yang memandang bahwa manusia
adalah pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang memiliki
nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi
pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia
dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan
manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh
melakukan apa saja. Cara pandang seperti itu melahirkan sikap
dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap
alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada
diri sendiri.

b. Biosentrisme

16
Biosentrisme memiliki pandangan bahwa setiap kehidupan
dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya
sendiri. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri dan
pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu
diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi
manusia atau tidak. Ada empat keyakinan biosentris, yaitu pertama,
berkeyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas
kehidupan di bumi dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang
sama di mana makhluk hidup yang lain juga anggota dari
komunitas yang sama. Kedua, keyakinan bahwa spesies manusia
bersama dengan dengan semua spesies lainnya adalah bagian dari
sistem yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga
kehidupan ditentukan oleh relasi satu dengan lainnya. Ketiga,
keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan yang
mempunyai tujuan sendiri. Keempat, keyakinan bahwa manusia
pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari makhluk hidup lainnya.
Pandangan itu membuat manusia menjadi lebih netral dalam
memandang semua makhluk hidup dengan segala kepentingannya.
Tentu saja manusia akan selalu memandang kepentingannya lebih
penting. Dengan keyakinan tadi, manusia akan lebih terbuka untuk
mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan makhluk
hidup lainnya secara serius, khususnya ketika ada benturan
kepentingan antara manusia dengan makhluk hidup yang lainnya.

c. Ekosentrisme
Sedikit berbeda dengan biosentrisme, ekosentrisme lebih
memandang etika berlaku pada keseluruhan komponen
lingkungan, seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun
tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis
lainnya saling terkait satu sama lainnya. Karena itu, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup

17
tetapi juga pada lingkungan tak hidup. Etika Ekosentrisme
sekarang ini populer dengan Deep Ecology sebuah istilah yang
diperkenalkan pertama kali oleh Arne Naess, seorang filusuf
Norwegia, tahun 1973. Deep Ecology menuntut etika baru yang
tidak hanya berpusat pada manusia, tapi berpusat pada makhluk
hidup seluruhnya dalam kaitannya dengan upaya mengatasi
persoalan lingkungan hidup. Hal yang baru adalah, pertama,
manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain. Deep Ecology memusatkan seluruh spesies
termasuk spesies bukan manusia, kepada seluruh lapisan
kehidupan (biosfer). Kedua, etika lingkungan hidup yang
dikembangkan Deep Ecology dirancang sebagai sebuah etika
praktis, yaitu sebagai sebuah gerakan. Artinya prinsip moral etika
lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkrit.
Dengan demikian, Deep Ecology menuntut orang-orang untuk
mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu
gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama
memperjuangkan isu lingkungan dan politik. Suatu gerakan yang
menuntut perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya
hidup.
Cara pandang antroposentrisme, saat ini dikritik secara
tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Pada faham
biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang
sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk biologis atau
makhluk ekologis, yaitu sebagai makhluk yang kehidupannya
tergantung dari dan terikat dengan semua kehidupan lain di alam
semesta. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup yang lain, manusia
tidak akan bertahan hidup, karena manusia mempunyai kedudukan
yang sama dalam ”jaringan kehidupan” di alam semesta ini.
Manusia berada dalam alam dan terikat serta tergantung dari alam
dan seluruh isinya.

18
Dari pemahaman ini, biosentrisme dan ekosentrisme
memperluas pemahaman etika yaitu menganggap komunitas biotis
dan komunitas ekologis sebagai komunitas moral. Etika tidak lagi
dibatasi hanya bagi manusia. Etika dalam pemahaman
biosentrisme dan ekosentrisme berlaku bagi semua makhluk hidup.
Etika lingkungan yang diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme
dan ekosentrisme adalah kembali kepada etika masyarakat adat,
yang dipraktikkan oleh hampir semua suku asli di seluruh dunia.
Krisis lingkungan terjadi karena didasari oleh perspektif yang
keliru berkenaan dengan manusia dan alam semesta. Pengaruh
tersebut diprakarsai oleh sebuah pandangan dunia yang kini
merajalela, yakni modernisme. Salah satu anak kandung dari
modernisme yakni, sains modern. Hegemoni sains modern
merasuk ke dalam pikiran manusia, sehingga melahirkan
paradigma yang mengabaikan unsur filosofi, budaya, dan kerangka
spiritual. Maka, kebenaran tereduksi hanya terbatas pada hal-hal
yang bersifat material. Dengan kata lain, kebenaran adalah segala
sesuatu yang dapat diindra (diobservasi) sesuai dengan prinsip
dalam sains modern. Oleh karenanya kita sebagai manusia
memiliki kewajiban untuk mengelola alam semesta dengan penuh
tanggungjawab demi lestarinya alam semesta itu sendiri. Oleh
karenanya dalam menyelamatkan alam semesta maka menjadi
penting untuk dipahami mengenai status dan peranan manusia
dalam lingkungan hidup.
Maka pandangan manusia terhadap alam lingkungan dapat
dibedakan atas dua golongan, yaitu pandangan imanen (holistik)
dan pandangan transenden.

a. Pandangan Imanen (Holistik)


Menurut pandangan ini bahwa manusia dapat memisahkan
dirinya dengan sistem biofisik sekitarnya, seperti dengan hewan,

19
tumbuhan, gunung, sungai dan lain-lain. Namun demikian, manusia
masih merasa adanya hubungan fungsional dengan faktor-faktor
biofisik itu sehingga membentuk satu kesatuan sosio-biofisik.
Sebaliknya menurut pandangan transenden, sekalipun secara
ekologi manusia tidak dapat dipisahkan dari alam lingkungan tetapi
pada pandangan ini manusia merasa terpisah dari lingkungannya.
Alam lingkungan hanya dianggap sebagai sumber daya alam yang
diciptakan untuk diekspoitasi sebesr-besarnya untuk kesejahteraan
manusia.

b. Pandangan Transenden
Pandangan ini berkembang pada masyarakat Barat,
sedangkan pandangan imanen hidup dan berkembang pada
masyarakat Timur yang masih ”tradisional”. Pandangan transenden
mengakibatkan banyaknya kehancuran alam lingkungan.
Kerusakan itu diawali pada saat revolusi industri di Eropa. Saat ini,
dengan dorongan kebutuhan yang semakin serakah terhadap
makanan, pakaian, dan berbagai tuntutan hidup yang melebihi dari
apa yang diperluakan telah berdampak terhadap kerusakan
lingkungan. Contohnya, suatu keluarga cukup memiliki satu buah
rumah, namun karena ingin dianggap kaya maka terkadang mereka
memiliki 2 atau 3 rumah, padahal tidak diisi semuanya. Dari rumah
yang ia bangun tentu saja membutuhkan kayu yang ditebang dari
hutan. Pohon di hutan jumlahnya berkurang hanya untuk memenuhi
rasa gengsi manusia serakah.
Pandangan imanen (holistik) yang diakui oleh masyarakat
timur, awalnya terkesan kuno atau primitif tetapi jika direnungkan
mereka lebih bersahabat dengan alam. Aturan para leluhurnya
dijadikan sebagai norma untuk menjaga lingkungan alam. Aturan itu
menjadi kebiasaan, kewajiban, pantangan, dan tabu yang secara
langsung atau tidak langsung memelihara lingkungan alam.

20
Misalnya di kalangan masyarakat Baduy ada sejumlah Buyut atau
Tabu yang harus dijauhi oleh orang Baduy bahka oleh orang ”luar”
yang kebetulan sedang berada di wilayah Kanekes. Larangan
tersebut adalah mengubah jalan air, merombak tanah, masuk hutan
larangan, menebang dan mengambil hasil hutan larangan, memiliki
dan menggunakan barang-barang pabrik yang dibuat oleh mesin
(misalnya cangkul dan bajak), mengubah jadwal bertani,
menggunakan pupuk kimia, mandi pakai sabun, memakai pasta
gigi, memakai bahan bakar minyak, dan membuang sampah di
sembarang tempat. Jika melanggar norma, maka orang Baduy
akan diusir dari lingkungan Baduy dalam.
Proses kerusakan lingkungan berjalan secara sangat cepat
akhir-akhir ini membuat lingkungan bumi makin tidak nyaman bagi
manusia, bahkan jika terus berjalan akan dapat membuatnya tidak
sesuai lagi untuk kehidupan kita. Kerusakan tersebut karena kita
melanggar dari norma atau etika lingkungan. Untuk mengatasi hal
tersebut, salah satu jalannya adalah dengan mendidik generasi
penerus dan atau mengembangkan sumber daya manusia (SDM)
pengelola lingkungan yang handal dan memiliki komitmen untuk
menyelamatkan bumi. Syarat utama untuk kehandalan itu adalah
bahwa SDM itu sadar lingkungan yang berpandangan holistik,
sadar hukum, dan mempunyai komitmen terhadap lingkungan.
Tanpa ini, penguasaan teknologi pengelolaan lingkungan yang
paling canggih sekalipun tidak akan banyak gunanya. Bahkan
dengan berkembangnya teknologi, kemampuan untuk
mempengaruhi lingkungannya makin besar sehingga dengan makin
berkembangnya teknologi, kesadaran lingkungan seharusnya
semakin tinggi karena teknologi dapat menjadi ancaman terhadap
lingkungan.
Dalam pengembangan SDM tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan setempat. Budaya antroposentris yang masih

21
berkembang di kalangan masyarakat harus diubah menjadi
ekosentris. Masyarakat sebagai pengelola lingkungan mempunyai
kewajiban untuk mengelola lingkungan dengan baik, seperti tertera
dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, kita akan mencapai kemajuan yang besar dalam
pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, prioritas pengembangan
SDM seyogyanya diberikan pada masyarakat umum, kecuali
jumlahnya yang besar pengembangan masyarakat menjadi
pengelola lingkungna juga merupakan hal yang strategis.
Budaya cinta lingkungan haruslah dikembangkan sejak dini antara
lain, tidak membuang sampah sembarangan, mengajak anak
berjalan kaki untuk bepergian dalam jarak pendek sehingga dapat
mengurangi konsumsi bensin dan pencemaran, menanam dan
memelihara tanaman, mendaur ulang sampah dengan membuat
kompos, peduli terhadap perilaku hemat listrik, dan lain-lain.
Berdasarkan kedua pandangan tersebut diatas maka status
dan peranan manusia dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Status Manusia dalam Lingkungan


Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang
memiliki daya fakir dan daya penalaran yang tinggi. Di samping itu
manusia mempunyai budaya, pranata social dan pengetahuan
serta teknologi yang makin berkembang. Kondisi yang demikian
menyebabkan manusia mempunyai status yang khusus dalam
lingkungan yang berbeda dengan satus komponen biotis yang
lainnya. Manusia mempunyai status sebagai komponen biotik
lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan karena dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya manusia secara aktif dapat mengelola
merubah ekosistem.
Di samping itu manusia merupakan makhluk dominan
terhadap makhluk hidup lainnya. Dominasi manusia ini terutama

22
disebabkan karena kemampuan serta karena jumlahnya yang
banyak. Manusia memiliki pengetahuan dan teknologi, sehingga
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menguasai dan
mendominasi makhluk hidup lainnya. Selain itu, pertambahan
penduduk yang sangat cepat menyebabkan populasi manusia
merupakan populasi yang terbesar dibandingkan dengan populasi
makhluk hidup lainnya.

2. Peranan Manusia dalam Lingkungan


Dalam hal ini, ada yang bersifat positif dan bersifat negatif,
yaitu:
a. Peranan manusia yang yang bersifat negative adalah peranan
yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung
timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam
gejala :
1) Makin menciutnya (depletion) persediaan sumber daya alam
karena eksploitasi yang melampaui batas.
2) Punah atau merosotnya jumlah keanekaan jenis biota yang
juga merupakan sumber plasma nutfah.
3) Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang
menjadi ekosistem binaan yang tidak mantap karena terus
memerlukan subsidi energi
4) Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu
kestabilan tanah hingga dapat menimbulkan longsor.
5) Masuknya energi, bahan atau senyawa tertentu ke dalam
lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara dan
tanah.

b. Peranan manusia bersifat positif adalah peranan yang


berakibat menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga

23
dan melestarikan daya dukung lingkungan. Peranan manusia
yang menguntungkan antara lain adalah :
1) Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tepat dan
bijaksana terutama sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
2) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga
kelestarian keanekaan jenis flora serta untuk mencegah
terjadinya erosi dan banjir.
3) Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah, agar
kadar bahan pencemar yang terbuang ke dalam lingkungan
tidak melampaui nilai batas ambangnya.
4) Melakukan system pertanian secara tumpang sari atau multi
kultur ntuk menjaga kesuburan tanah.
5) Membuat peraturan, organisasi atau undang-undang untuk
melindungi lingkungan dan keanekaan jenis makhluk hidup.

Beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan dan


tuntunan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam.
seperti :

a. Sikap hormat terhadap alam (respect for nature). Hormat


terhadap alam merupakan prinsip dasar bagi manusia sebagai
bagian dari alam semesta seluruhnya. Setiap anggota
komunitas ekologis, termasuk manusia, berkewajiban
menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies
serta menjaga keterkaitan dan kesatuan komunitas ekologis.
b. Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for
nature). Manusia mempunyai tanggung jawab terhadap alam
semesta (isi, kesatuan, keberadaan dan kelestariannya).
c. Solidaritas kosmis (cosmic solidarity). Prinsip solidaritas muncul
dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian yang menyatu

24
dari alam semesta dimana manusia sebagai makhluk hidup
memiliki perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan
sesama makhluk hidup lain.
d. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for
nature). Manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan
melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa
diskriminasi dan tanpa dominasi yang muncul dari kenyataan
bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua
makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara,
tidak disakiti, dan dirawat.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Manusia dan lingkungan alam semesta memiliki hubungan


ketergantungan yang sangat erat. manusia dalam hidupnya
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan alam semesta di mana
manusia itu bermukim. Karena alam semesta yang merupakan
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya,
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya, sehingga dapat disimpulkan
bahwa perilaku manusia terhadap alam semesta mesti dijalankan
dan diterapkan dalam menjalin hubungan ketergantungan antara
manusia dan alam semesta.

2. Keberadaan manusia dengan seluruh isi kosmos merupakan satu


kesatuan yang saling berelasi. Seluruh unsur yang ada di dalam
kosmos tidak dapat hidup tanpa berelasi satu dengan yang lain.
Disamping itu pengetahuan manusia merupakan kekuatan yang
dapat membentuk watak dan ciri khas dari manusia itu sendiri
terhadap alam semesta sehingga masalah rekonstruksi pemikiran
manusia terhadap alam semesta seharusnya dan semestinya
dilakukan.

26
3. Berbagai bencana atas alam ini merupakan akumulasi atau tali
temali dari faktor-faktor struktural, institusional, dan cultural secara
bervariasi, sehingga disimpulkan bahwa pemeliharaan atas alam
semesta wajib dilakukan oleh seluruh manusia di alam raya ini.

B. Saran

Dalam setiap karya ada harapan, kami telah berupaya untuk


menghasilkan karya tersebut dengan baik namun tentunya dalam
karya tulis ini terselip pula kekeliruan dan kekurangan, atas hal
tersebut kiranya penulis yang tertarik untuk melakukan penulisan
makalah sebagaimana judul dari makalah ini tentunya dapat
memberikan masukan konstruktif dan memperbaiki dari kekurangan
makalah ini.

27
DAFTAR PUSTAKA

Bernadus, Wibowo Suliantoro. 2011. Rekonstruksi Pemikiran Etika


Lingkungan Ekofeminisme Sebagai Fondasi Pengelolaan Hutan
Lestari. Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm.
111 – 119, Diakses Tanggal 4/4/2016

Erikson, Damanik. 2014. Pengertian Manusia Secara Umum Menurut Ahli,


http://ariplie.blogspot.co.id, diakses Tanggal 05/4/2016

Sahrotul Fitria. 2013. Hubungan Manusia dan Lingkungan.


http://kalidanastiti-space.blogspot.co.id.htm, Diakses tanggal
4/4/2016.

Sulistyastuti, Euis . 2013. Peranan Manusia dalam Lingkungan Hidup.


https://belajarpengetahuanalam.wordpress.com

Syarifah, Wardah El Firdausy Dan Yusmilayati Yunos. Etika Manusia


Kepada Alam Semesta Dalam Falsafah Jawa.
https://www.academia.edu/15460809/ Diakses tanggal 4/4/2016.

Taufik, Muhammad. 2007. Perspektif Filsafat Pendidikan Islam,


Xermeneia. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, Nomor 2,
Juli-Desember 2017, diakses tanggal 05/4/2016

http://suplirahim 2013.blogspot.co.id/2013/03/jenisetika-lingkungan-dan-
prinsip.html

28

Anda mungkin juga menyukai