PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Manusia atau orang diartikan dari sudut pandang yang berbeda-
beda, baik itu menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau
secara campuran. secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai
homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) yang merupakan sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan
dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan
hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan,
mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam
semesta dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik
positif maupun negatif. Manusia merupakan bagian dari kehidupan
mahluk sosial yang ada di muka bumi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan
dalam rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan adalah :
1. Menjelaskan bagaimana seharusnya perilaku manusia
memperlakukan alam semesta
2. Menjelaskan semestinya rekonstruksi pemikiran manusia terhadap
alam semesta
3. Menjelaskan tindakan penyelamatan alam semesta dari berbagai
bentuk yang dapat merugikan seluruh makro kosmos
2
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan ini adalah menjadi tambahan
refrensi atau rujukan terhadap manusia dan alam semesta
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penulisan ini adalah sebagai masukan
bagi siapapun di alam semesta ini agar dapat bertindak
berdasarkan nilai-nilai kemanusian yang senantiasa memandang
alam semesta sebagai kesatuan makrokosmos yang tidak dapat
dipisahkan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Teori
1. Manusia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:714) manusia
diartikan sebagai “makhluk yang berakal budi” (mampu menguasai
makhluk yang lain). Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari
yang dikutip oleh. mahmud dan Tedi Priatna (2005:62) manusia
adalah hewan yang berfikir. Berfikir adalah bertanya. Bertanya
adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari
kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, manusia,
artinya mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia.
Jadi, pada akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.
Socrates (470-399 SM) yang dikutip oleh Ahmad Tafsir (2006:8)
mengatakan tentang hakikat bahwa manusia adalah makhluk yang
dalam dirinya tertanam jawaban mengenai berbagai persoalan
dunia. Manusia bertanya tentang dunia dan masingmasing
mempunyai jawaban tentang dunia. Lanjut Socrates, seringkali
manusia itu tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam
jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya. Oleh
karena itu, perlu adanya bantuan orang lain untuk mengemukakan
jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Diperlukan
orang lain untuk melahirkan ide yang ada dalam manusia itu.
Senada dengan hal di atas, Ibnu Khaldûn dalam kitab
Muqaddimah (2004: 525-526) mengatakan bahwa : “Manusia
adalah makhluk sosial, pernyataan ini mengandung arti bahwa
seorang manusia tidak bisa hidup sendirian dan eksistensinya
4
tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Dia tidak
akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur
kehidupannya dengan sempurna secara sendirian. Benar-benar
sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam
memenuhi kebutuhannya”
Selanjutnya manusia dapat dilihat dari aspek antropologi.
Antropologi adalah studi tentang asal-usul, perkembangan,
karakteristik jenis manusia. Dalam pandangan antropologi biologis,
manusia adalah puncak evolusi dari makhluk hidup (Redja
Mudyahardjo, 2008:17)
3. Alam Semesta
Kata alam berasal dari bahasa Arab 'a-l-m, satu akar kata
dengan 'ilm (pengetahuan) dan alamat (pertanda). Disebut
demikian karena jagad raya ini adalah pertanda (dapat sebagai
5
pertanda) adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam bahasa Yunani alam jagad raya ini disebut cosmos
yang berarti serasi, harmom's.' Alam sebagai pertanda adanya
Pencipta, sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman yang
menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah pertanda yang
menunjukkan kepada sesuatu yang berada di afasnya dan bahwa
tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya
tidak pernah ada. Dari ungkapan-ungkapan tersebut dapat
dipahami bahwa alam ini adalah makhluk ciptaan Allah. Dalam sisi
pandang yang lain alam ini adalah cakrawala langit, bumi, bintang,
gunung dan daratan, sungai dan lembah, tumbuh-tumbuhan,
binatang, insan dan segala benda-benda dengan seluruh sifat-
sifatnya. Ada juga yang disebut alam syahadah dan alam ghaib
(Taufiq, 2007:2320).
B. Kerangka Konsep
6
masing individu manusia atuapun kelompok manusia yang selalu
berinteraksi dengan alam sekitarnya.
7
C. Perilaku Manusia terhadap Alam Semesta
8
diketahui bahwa manusia dan alam semesta itu mempunyai hubungan
timbal balik. Manusia sangat membutuhkan alam semesta yang baik,
aman dan kondusif. Karena dengan alam semesta yang baik tersebut
manusia dapat berkembang dengan baik pula, sebaliknya alam
semesta juga membutuhkan manusia, dengan manusia yang baik
maka baik pula alam semesta.
a. Paham Determinisme
Paham determinisme memberikan penjelasan bahwa
manusia dan perilakunya ditentukan oleh alam. Tokoh ilmuwan
yang menganut atau mengembangkan paham determinisme
diantaranya Charles Darwin, Frederich Raztel dan Elsworth
Huntington yang mampu beradaftasi dengan lingkungan.
Charles Darwin (1809) merupakan ilmuwan berkebangsaan
Inggris yang terkenal dengan teori evolusinya. Menurutnya,
makhluk hidup secara berkesinambungan mengalami
perkembangan dan dalam proses perkembangannya terjadi seleksi
alam (natural selection). Makhluk hidup yang mampu beradaptasi
dengan lingkungannya akan mampu bertahan dan lolos dari seleksi
alam. Dalam hal ini alam berperan penting yang sangat
menentukan.
Frederich Ratzel (1844-1904) merupakan ilmuwan
berkeabangsan Jerman yang sangat dikenal dengan teori
”Antopoggeographhie”nya. Manusia dan kehidupannya sangat
bergantung pada alam. Perkembangan kebudayaan ditentukan
oleh kondisi alam, demikian halnya dengan mobilitasnya yang tetap
dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam di permukaan bumi.
9
Elsworth Huntington merupakan ilmuwan berkeabangsan
Amerika Serikat yang dikenal dari karya tulisnya berupa buku
berjudul ”Princple of Human Geographie” menurutnya, Iklim sangat
menentukan perkembangan kebudayaan manusia sebagaimana
telah kalian pelajari dalam mata pelajaran Geografi, iklim di dunia
sangat beragam, keragaman iklim tersebut menciptkan
kebudayaan yang berlainan. Sebagai contoh ; kebudayaan di
daerah beriklim dingin berbeda dengan kebudayaan di daerah
beriklim hangat atau trofis.
b. Paham Posibilisme
Paham Posibilisme memberikan penjelasan bahwa kondisi
kondisi alam itu tidak menjadi faktor yang menentukan, melainkan
menjadi faktor pengontrol, memberikan kemungkinan atau peluang
yang mempengaruhi kegiatan atau kebudayaan manusia. Jadi
menurut paham ini, alam tidak berperan menentukan tetapi hanya
memberikan peluang. Manusia berperan menentukan pilihan dari
peluang-peluang yang di berikan alam.
Ilmuwan yang menganut paham ini, diantaranya ilmuwan
berkebangsaan Prancis Paul Vidal de La Blanche (1845-1919).
Maurutnya faktor yang menentukan itu bukan alam melainkan
proses produksi yang dipilih manusia yang berasal dari
kemungkinan yang diberikan alam, seperti iklim, tanah dan ruang di
suatu wilayah. Menurut Paham ini Manusia bersifat aktif dalam
pemanfatannya. Manusia dan kebudayaanya dapat memilih
kegiatan yang cocok sesuai dengan keungkinan yang di berikan
oleh alam.
10
terus berkembang. Bahkan, dengan kemajuan teknologi saat ini
manusia menjadikan teknologi segala-galanya. Mereka sangat
optimis bahwa bahwa teknologi berkembang apapun dapat
menjamin kebutuhan manusia. Teknologi bukan lagi alternatif tetapi
teknologi telah menjadikan keyakinan yang dapat menjamin hidup
dan kehidupan manusia. Teknologi telah menjadikan sebagian
manusia tidak lagi percaya pada Tuhan, padahal teknologi
merupakan ciptaan manusia.
11
ontologi, epistemologi dan axiologi (Suriasumantri: 1988 dalam
Bernadus Wibowo Suliantoro (2011;113-115) ketiga landasan tersebut
diurai sebagai berikut :
a) Landasan Ontologi
12
Kedudukan manusia dalam keseluruhan struktur kosmis
merupakan satu keluarga. Manusia bukan penguasa alam
melainkan anggota bagian dari alam. Keberadaan sesama sebagai
saudara maupun saudarinya yang saling memperkaya (Shiva,
1993). Shiva (1993) mengutip surat pejabat Seattle, menyatakan
bumi bukanlah milik manusia, melainkan manusia milik bumi.
Semua saling terkait layaknya hubungan darah yang menyatukan
sebuah keluarga. Kesatuan antara manusia dengan alam
digambarkan seperti ikatan emosional yang intim antara seorang
ibu dengan anaknya. Mereka saling melindungi, saling menyayangi,
saling mengasihi, saling meneguhkan dan saling menghormati satu
dengan yang lain. Penderitaan yang dialami oleh anak akan
dirasakan juga oleh ibu, kebahagiaan yang dirasakan anak juga
menjadi kebahagiaan ibu. Apapun yang menimpa bumi akan
dirasakan juga anak-anak bumi. Konsep keluarga bumi mencegah
kemungkinan adanya ekploitasi, dominasi dan mengambil
keuntungan secara membabi buta.
b) Landasan Epistimologi
13
mengetahui dan mengenal yang kreatif dan manusiawi adalah
mengagumi.
Dasar dari suatu proses mengenal, mengetahui, mencari
tahu tentang sesuatu adalah kekaguman. Kekaguman merupakan
ibu segala ilmu pengetahuan (Woi, 2008). Kekaguman merupakan
titik awal untuk memahami realitas sosial maupun alam semesta
secara konstruktif dan positif.
Maka berdasarkan landasan epistimologi diharapkan
manusia dapat memiliki pengetahuan atas alam semesta sehingga
terbentuk watak dan karaktek untuk menjalin hubungan
harmonisasi antara manusia dengan alam semesta, yang pada
akhirnya melahirkan keselarasan hidup dari seluruh ekosistem alam
yang sempurna tanpa adanya ketertindasan baik terhadap
manusia, maupun terhadap lingkungan alam semesta itu sendiri.
c) Landasan Aksiologi
14
E. Penyelamatan Alam Semesta
15
Lingkungan mengingatkan bahwa masalah lingkungan hidup adalah
masalah moral manusia atau persoalan perilaku manusia. Kerusakan
bukan masalah teknis tetapi krisis moral manusia. Untuk mengatasi
masalah lingkungan hidup dewasa ini langkah awalnya adalah dengan
cara merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam
secara mendasar melalui pengembangan etika lingkungan.
Secara teoritis terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu
yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate
Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini
juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme
(Keraf, 2002, dalam Sulistyastuti, 2013). Dimana masing-masing ketiga
model teori tersebut diuraikan sbb :
a. Antroposentrisme
Etika lingkungan yang bercorak pada antroposentrisme
merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula
dari Aristoteles hingga filusuf modern, di mana perhatian utamanya
menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia.
Antroposentrisme adalah aliran yang memandang bahwa manusia
adalah pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang memiliki
nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi
pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia
dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan
manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh
melakukan apa saja. Cara pandang seperti itu melahirkan sikap
dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap
alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada
diri sendiri.
b. Biosentrisme
16
Biosentrisme memiliki pandangan bahwa setiap kehidupan
dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya
sendiri. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri dan
pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu
diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi
manusia atau tidak. Ada empat keyakinan biosentris, yaitu pertama,
berkeyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas
kehidupan di bumi dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang
sama di mana makhluk hidup yang lain juga anggota dari
komunitas yang sama. Kedua, keyakinan bahwa spesies manusia
bersama dengan dengan semua spesies lainnya adalah bagian dari
sistem yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga
kehidupan ditentukan oleh relasi satu dengan lainnya. Ketiga,
keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan yang
mempunyai tujuan sendiri. Keempat, keyakinan bahwa manusia
pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari makhluk hidup lainnya.
Pandangan itu membuat manusia menjadi lebih netral dalam
memandang semua makhluk hidup dengan segala kepentingannya.
Tentu saja manusia akan selalu memandang kepentingannya lebih
penting. Dengan keyakinan tadi, manusia akan lebih terbuka untuk
mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan makhluk
hidup lainnya secara serius, khususnya ketika ada benturan
kepentingan antara manusia dengan makhluk hidup yang lainnya.
c. Ekosentrisme
Sedikit berbeda dengan biosentrisme, ekosentrisme lebih
memandang etika berlaku pada keseluruhan komponen
lingkungan, seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun
tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis
lainnya saling terkait satu sama lainnya. Karena itu, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup
17
tetapi juga pada lingkungan tak hidup. Etika Ekosentrisme
sekarang ini populer dengan Deep Ecology sebuah istilah yang
diperkenalkan pertama kali oleh Arne Naess, seorang filusuf
Norwegia, tahun 1973. Deep Ecology menuntut etika baru yang
tidak hanya berpusat pada manusia, tapi berpusat pada makhluk
hidup seluruhnya dalam kaitannya dengan upaya mengatasi
persoalan lingkungan hidup. Hal yang baru adalah, pertama,
manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain. Deep Ecology memusatkan seluruh spesies
termasuk spesies bukan manusia, kepada seluruh lapisan
kehidupan (biosfer). Kedua, etika lingkungan hidup yang
dikembangkan Deep Ecology dirancang sebagai sebuah etika
praktis, yaitu sebagai sebuah gerakan. Artinya prinsip moral etika
lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkrit.
Dengan demikian, Deep Ecology menuntut orang-orang untuk
mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu
gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama
memperjuangkan isu lingkungan dan politik. Suatu gerakan yang
menuntut perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya
hidup.
Cara pandang antroposentrisme, saat ini dikritik secara
tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Pada faham
biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang
sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk biologis atau
makhluk ekologis, yaitu sebagai makhluk yang kehidupannya
tergantung dari dan terikat dengan semua kehidupan lain di alam
semesta. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup yang lain, manusia
tidak akan bertahan hidup, karena manusia mempunyai kedudukan
yang sama dalam ”jaringan kehidupan” di alam semesta ini.
Manusia berada dalam alam dan terikat serta tergantung dari alam
dan seluruh isinya.
18
Dari pemahaman ini, biosentrisme dan ekosentrisme
memperluas pemahaman etika yaitu menganggap komunitas biotis
dan komunitas ekologis sebagai komunitas moral. Etika tidak lagi
dibatasi hanya bagi manusia. Etika dalam pemahaman
biosentrisme dan ekosentrisme berlaku bagi semua makhluk hidup.
Etika lingkungan yang diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme
dan ekosentrisme adalah kembali kepada etika masyarakat adat,
yang dipraktikkan oleh hampir semua suku asli di seluruh dunia.
Krisis lingkungan terjadi karena didasari oleh perspektif yang
keliru berkenaan dengan manusia dan alam semesta. Pengaruh
tersebut diprakarsai oleh sebuah pandangan dunia yang kini
merajalela, yakni modernisme. Salah satu anak kandung dari
modernisme yakni, sains modern. Hegemoni sains modern
merasuk ke dalam pikiran manusia, sehingga melahirkan
paradigma yang mengabaikan unsur filosofi, budaya, dan kerangka
spiritual. Maka, kebenaran tereduksi hanya terbatas pada hal-hal
yang bersifat material. Dengan kata lain, kebenaran adalah segala
sesuatu yang dapat diindra (diobservasi) sesuai dengan prinsip
dalam sains modern. Oleh karenanya kita sebagai manusia
memiliki kewajiban untuk mengelola alam semesta dengan penuh
tanggungjawab demi lestarinya alam semesta itu sendiri. Oleh
karenanya dalam menyelamatkan alam semesta maka menjadi
penting untuk dipahami mengenai status dan peranan manusia
dalam lingkungan hidup.
Maka pandangan manusia terhadap alam lingkungan dapat
dibedakan atas dua golongan, yaitu pandangan imanen (holistik)
dan pandangan transenden.
19
tumbuhan, gunung, sungai dan lain-lain. Namun demikian, manusia
masih merasa adanya hubungan fungsional dengan faktor-faktor
biofisik itu sehingga membentuk satu kesatuan sosio-biofisik.
Sebaliknya menurut pandangan transenden, sekalipun secara
ekologi manusia tidak dapat dipisahkan dari alam lingkungan tetapi
pada pandangan ini manusia merasa terpisah dari lingkungannya.
Alam lingkungan hanya dianggap sebagai sumber daya alam yang
diciptakan untuk diekspoitasi sebesr-besarnya untuk kesejahteraan
manusia.
b. Pandangan Transenden
Pandangan ini berkembang pada masyarakat Barat,
sedangkan pandangan imanen hidup dan berkembang pada
masyarakat Timur yang masih ”tradisional”. Pandangan transenden
mengakibatkan banyaknya kehancuran alam lingkungan.
Kerusakan itu diawali pada saat revolusi industri di Eropa. Saat ini,
dengan dorongan kebutuhan yang semakin serakah terhadap
makanan, pakaian, dan berbagai tuntutan hidup yang melebihi dari
apa yang diperluakan telah berdampak terhadap kerusakan
lingkungan. Contohnya, suatu keluarga cukup memiliki satu buah
rumah, namun karena ingin dianggap kaya maka terkadang mereka
memiliki 2 atau 3 rumah, padahal tidak diisi semuanya. Dari rumah
yang ia bangun tentu saja membutuhkan kayu yang ditebang dari
hutan. Pohon di hutan jumlahnya berkurang hanya untuk memenuhi
rasa gengsi manusia serakah.
Pandangan imanen (holistik) yang diakui oleh masyarakat
timur, awalnya terkesan kuno atau primitif tetapi jika direnungkan
mereka lebih bersahabat dengan alam. Aturan para leluhurnya
dijadikan sebagai norma untuk menjaga lingkungan alam. Aturan itu
menjadi kebiasaan, kewajiban, pantangan, dan tabu yang secara
langsung atau tidak langsung memelihara lingkungan alam.
20
Misalnya di kalangan masyarakat Baduy ada sejumlah Buyut atau
Tabu yang harus dijauhi oleh orang Baduy bahka oleh orang ”luar”
yang kebetulan sedang berada di wilayah Kanekes. Larangan
tersebut adalah mengubah jalan air, merombak tanah, masuk hutan
larangan, menebang dan mengambil hasil hutan larangan, memiliki
dan menggunakan barang-barang pabrik yang dibuat oleh mesin
(misalnya cangkul dan bajak), mengubah jadwal bertani,
menggunakan pupuk kimia, mandi pakai sabun, memakai pasta
gigi, memakai bahan bakar minyak, dan membuang sampah di
sembarang tempat. Jika melanggar norma, maka orang Baduy
akan diusir dari lingkungan Baduy dalam.
Proses kerusakan lingkungan berjalan secara sangat cepat
akhir-akhir ini membuat lingkungan bumi makin tidak nyaman bagi
manusia, bahkan jika terus berjalan akan dapat membuatnya tidak
sesuai lagi untuk kehidupan kita. Kerusakan tersebut karena kita
melanggar dari norma atau etika lingkungan. Untuk mengatasi hal
tersebut, salah satu jalannya adalah dengan mendidik generasi
penerus dan atau mengembangkan sumber daya manusia (SDM)
pengelola lingkungan yang handal dan memiliki komitmen untuk
menyelamatkan bumi. Syarat utama untuk kehandalan itu adalah
bahwa SDM itu sadar lingkungan yang berpandangan holistik,
sadar hukum, dan mempunyai komitmen terhadap lingkungan.
Tanpa ini, penguasaan teknologi pengelolaan lingkungan yang
paling canggih sekalipun tidak akan banyak gunanya. Bahkan
dengan berkembangnya teknologi, kemampuan untuk
mempengaruhi lingkungannya makin besar sehingga dengan makin
berkembangnya teknologi, kesadaran lingkungan seharusnya
semakin tinggi karena teknologi dapat menjadi ancaman terhadap
lingkungan.
Dalam pengembangan SDM tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan setempat. Budaya antroposentris yang masih
21
berkembang di kalangan masyarakat harus diubah menjadi
ekosentris. Masyarakat sebagai pengelola lingkungan mempunyai
kewajiban untuk mengelola lingkungan dengan baik, seperti tertera
dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, kita akan mencapai kemajuan yang besar dalam
pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, prioritas pengembangan
SDM seyogyanya diberikan pada masyarakat umum, kecuali
jumlahnya yang besar pengembangan masyarakat menjadi
pengelola lingkungna juga merupakan hal yang strategis.
Budaya cinta lingkungan haruslah dikembangkan sejak dini antara
lain, tidak membuang sampah sembarangan, mengajak anak
berjalan kaki untuk bepergian dalam jarak pendek sehingga dapat
mengurangi konsumsi bensin dan pencemaran, menanam dan
memelihara tanaman, mendaur ulang sampah dengan membuat
kompos, peduli terhadap perilaku hemat listrik, dan lain-lain.
Berdasarkan kedua pandangan tersebut diatas maka status
dan peranan manusia dapat diuraikan sebagai berikut :
22
disebabkan karena kemampuan serta karena jumlahnya yang
banyak. Manusia memiliki pengetahuan dan teknologi, sehingga
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menguasai dan
mendominasi makhluk hidup lainnya. Selain itu, pertambahan
penduduk yang sangat cepat menyebabkan populasi manusia
merupakan populasi yang terbesar dibandingkan dengan populasi
makhluk hidup lainnya.
23
dan melestarikan daya dukung lingkungan. Peranan manusia
yang menguntungkan antara lain adalah :
1) Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tepat dan
bijaksana terutama sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
2) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga
kelestarian keanekaan jenis flora serta untuk mencegah
terjadinya erosi dan banjir.
3) Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah, agar
kadar bahan pencemar yang terbuang ke dalam lingkungan
tidak melampaui nilai batas ambangnya.
4) Melakukan system pertanian secara tumpang sari atau multi
kultur ntuk menjaga kesuburan tanah.
5) Membuat peraturan, organisasi atau undang-undang untuk
melindungi lingkungan dan keanekaan jenis makhluk hidup.
24
dari alam semesta dimana manusia sebagai makhluk hidup
memiliki perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan
sesama makhluk hidup lain.
d. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for
nature). Manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan
melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa
diskriminasi dan tanpa dominasi yang muncul dari kenyataan
bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua
makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara,
tidak disakiti, dan dirawat.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
26
3. Berbagai bencana atas alam ini merupakan akumulasi atau tali
temali dari faktor-faktor struktural, institusional, dan cultural secara
bervariasi, sehingga disimpulkan bahwa pemeliharaan atas alam
semesta wajib dilakukan oleh seluruh manusia di alam raya ini.
B. Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
http://suplirahim 2013.blogspot.co.id/2013/03/jenisetika-lingkungan-dan-
prinsip.html
28