SITTATUN MUKHARROMAH
0906629681
SITTATUN MUKHARROMAH
0906629681
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
vi
Universitas Indonesia
vii
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
ix
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir
15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59
tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun mencapai
angka sekitar 43% (Kirby & Christmas, 1997). Angka kejadian BPH di Indonesia
yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di
dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun
(1994-1997) terdapat 1040 kasus (Rahardjo, 1999). Sedangkan menurut BPOM
(2012) prevalensi BPH pada umur 41-50 tahun sebanyak 20%, 51-60 tahun 50%,
>80 tahun sekitar 90%. Angka di Indonesia, bervariasi antara 24-30% dari kasus
urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit.
tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan
testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet
tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam
proliferasi selsel kelenjar prostat secara tidak langsung (Rahardjo, 1999). Faktor
lain yang mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya
usia, riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan
tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes
Mellitus, dan aktifitas seksual (BPOM, 2012)
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower
urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms)
maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat,
urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi),
merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine
(American Urological Association, 2010). Smelzer & Bare (2001) menambahkan
gejala lainnya yaitu abdomen tegang, volume urin menurun dan harus mengejan
saat berkemih dan urin terus menetes setelah berkemih atau dribbling.
Universitas Indonesia
menyumbat kateter (Rosdahl & Koalski, 2008) Biasanya klien inkontinen setelah
kateter dilepas sehingga mereka tidak mampu mengendalikan spincter ekstrenal
maupun internal. Hal ini dikarenakan selama pemasangan kateter otot detrusor
kandung kemih tidak aktif mengkontrasikan kandung kemih, akibatnya otot
detrusor tidak segera merespon untuk mengosongkan kandung kemih ketika
kateter urin dilepas. Hal ini dapat diatasi dengan latihan kandung kemih yang
disebut bladder training. Bladder training merupakan suatu tindakan untuk melatih
kandung kemih agar dapat bekerja dengan normal (Australian government, 2003).
Karya ilmiah ini akan menganalisis praktik klinik keperawatan kesehatan
masyarakat perkotaan pada pasien BPH post TURP di ruang rawat bedah kelas
RSUP Persahabatan Jakarta.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Perawatan kesehatan masyarakat cakupannya sangat luas, tidak hanya menangani suatu
permasalahan yang membutuhkan adanya penyembuhan dari suatu penyakit tetapi juga
adanya upaya pencegahan. Oleh karena itu di ruang lingkup keperawatan kesehatan
masyarakat mencakup peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif),
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif),
dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga dan
kelompok-kelompok masyarakat kelingkungan sosial dan masyarakat (resosialitatif).
5
Universitas Indonesia
penting dalam melakukan praktik (Allender, 2001) yaitu: (1) merupakan lahan
keperawatan, (2) merupakan kombinasi antara keperawatan publik dan keperawatan
klinik, (3) berfokus pada populasi, (4) menekankan terhadap pencegahan akan penyakit
serta promosi kesehatan dan kesejahteraan diri, (5) mempromosikan tanggung jawab
klien dan self care, (6) menggunakan pengesahan/ pengukuran dan anlisa, (7)
menggunakan prinsip teori organisasi, (8) melibatkan kolaborasi interprofesional.
2.2.2 Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti penyebab BPH. Namun beberapa
hipotesis menyebutkan etiologi BPH berkaitan dengan peningkatan kadar
dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan. Pada usia lanjut, kadar testosteron
menurun, sedangkan estrogen relatif tetap. Estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-
sel tehadap rangsang hormon androgen yang produksinya menurun. Hal ini
menyebabkan penurunan jumlah rangsangan kematian sel-sel prostat karena sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang. Pertumbuhan kelenjar ini
juga sangat tergantung hormon testosteron, di mana sel-sel kelenjar prostat akan
merubah hormon tersebut menjadi metabolit aktif Dihidrotestosteron atau DHT dengan
bantuan enzim 5 alpha reduktase. DHT ini akan memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelenjar prostat.
Universitas Indonesia
b. Sindrom metabolic
Abnormalitas metabolic seperti obesitas, intoleransi glukosa, dislipideia dan
hipertensi. Fakta menunjukkan adanya hubungan kuat antara komponen sindrom
metabolic dengan peningkatan BPH dan LUTS.
c. Diet
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa makronutrien dan mikronutrien bisa
mempengaruhi risiko BPH dan LUTS. Penelitian lain menunjukkan hubungan
langsung antara asam lemak dengan BPH.
d. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang
penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat. Prostat
menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink
membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan
penukaran hormone testosteron kepada DHT (Gass, 2002).
e. Aktivitas fisik
Peningkatan aktivitas fisik diasosiasikan dengan penurunan risiko BPH dan LUTS
pada beberapa penelitian crossectional. Aktivitas fisik mencegah peningkatan berat
bdan, meningkatkan aliran vascular, dan normalisasi konsentrasi serum lipid dan
lipoprotein.
f. Merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas
enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosterone
(Wals, 2001).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.2.5 Komplikasi
Multiple komplikasi bisa terjadi seperti urine yang tertahan didalam kandung kemih
dapat meningkatkan distensi kandung kemih. Diverticula (Outvoching) pada dinding
kandung kemih akibat dari distensi. Distensi juga akan mengakibatkan obstruksi ureter.
Infeksi lebih utama di dalam urine yang tertahan dan didalam diverticula, akan naik
dari kandung kemih ke ginjal. Hidroureter, hidronefrosis, dan insuffisiensi renal
kemungkinan menjadi komplikasi.
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien BPH dipengaruhi oleh faktor penyebab, keparahan obstruksi
dan kondisi pasien antara lain:
1. Watch-full Waiting
Watchfull waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa
tentang perubahan keluhan yang dirasakan. Pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien
BPH dengan keluhan ringan yang tidak menggangu.
2. Medika mentosa
Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
membahayakan kesehatannya, direkomen dasikan medikamentosa. Jenis obat yang
digunakan adalah antagonis adrenergik reseptor α, nhibitor 5 α redukstase, serta
fitofarmaka.
3. Terapi intervensi
Universitas Indonesia
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat
adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan
teknik ins-trumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT,
dilatasi balon, dan stent uretra
Universitas Indonesia
Tindakan pada postat dapat melemahkan otot spinkhter dan penyebab umum dari
inkontnensia stres pada laki-laki. Inkontinensia stres dapat terjadi pada beberapa laki-
laki setelah prosedur TURP, tindakan standar pada BPH berat. Inkontinensia setelah
prosedur prostat biasanya kombinasi antara urgensi dan stres. Karena penelitian sering
mengkombinasikan dua tipe inkontinensia tersebut, belum jelas mana yang lebih
mendominasi (Simon, 2012).
Universitas Indonesia
otot detrusor kandung kemih tidak bekerja optimal dalam mengosongkan kandung
kemih (Black & Hawks, 2005). Tindakan bladder training diharpkan dapat mengurangi
instabilitas detrusor yang dapat mengakibatkan inkontinensia urin.
Universitas Indonesia
BAB III
TINJAUAN KASUS KELOLAAN
1.1 Pengkajian
3.1.1Identitas Pasien
Pasien berjenis kelamin laki-laki bernama Tn. C. berusia 58 tahun. Pasien berstatus
belum menikah, beragama Kristen dari suku batak. Pasien saat ini tidak bekerja dan
tinggal bersama keluarga adiknya di daerah Klender.
3.1.2 Anamnesis
a. Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri di organ kemaluannya terutama saat kencing. Nyeri seperti
tertusuk-tusuk skala 6-7 dan tidak menyebar, nyeri hilang timbul terutama saat BAK.
Klien mengeluhkan sejak sebulan lalu tidak bisa BAK dan sebelumnya BAK tidak
lancar. Oleh karena itu sejak 3 minggu lalu klien di pasang selang kencing hingga
sekarang. Setelah dipasang kateter nyeri berkurang menjadi skala 3-4. Klien juga
mengeluhkan tidak nafsu makan sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
mual tidak ada, muntah tidak ada, demam tidak ada, batu/ sesak tidak ada. TD:
140/90 mmHg, N: 86x/ menir, R: 24x/ menit, S: 36.2 C.
b. Riwayat Kesehatan
Klien memiliki riwayat asma sejak 20 tahun lalu. Kadang-kadang berobat ke poli
asma. Klien juga memiliki riwayat hipertensi, tidak ada diabetes, tidak ada penyakit
jantung.
c. Aktivitas/ istirahat
Saat ini klien tidak bekerja. Aktivitas dirumah yang klien lakukan hanya duduk-
duduk, menonton TV. Klien memiliki cukup waktu tidur namun akhir-akhir ini
terganggu karena gangguan kencing pada malam hari. Klien juga terkadang tidur
siang. Pasien kooperatif, beraktivitas dengan bantuan minimal dari keluarga, tidak
Universitas Indonesia
menggunakan alat bantu, status mental sadar aktif. CRT <3 detik, ektremitas hangat,
mampu menggerakan tubuhnya secara bebas, kekuatan baik, postur tinggi besar.
d. Sirkulasi
Klien memiliki riwayat hipertensi namun tidak merasa pusing atau neyri tengkuk,
tidak ada riwayat penyakit jantung tidak ada, demam rematik, phlebitis,
penyembuhan luka lambat, edema, kesemutan, kebas maupun batuk/ hemoptisis.
Klien mengeluhkan perubahan frekuensi berkemih dimana sebelumnya berkemih
tidak lancar dan akhir-akhir ini tidak bisa BAK sejak 1 bulan lalu. TD; 140/90
mmHg, N: 86x/ menit, Kualitas kuat, irama teratur. Hasil auskultasi ronkhi tidak ada
di kedua lapang apru, wheezing tidak ada, BJ 1 & BJ II normal, suhu 36.2 C. Warna
kulit tidak pucat, membrane mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak ikterik.
e. Integritas Ego
Klien mengalami demensia ringan sehingga dalam keseharian perlu bantuan minimal
dari keluarga, Status perkawinan belum menikah, budaya perkotaan, agama Kristen,
gaya hidup ekonomi menengah. Klien tampak tenang, klien mengatakan agak cemas
akan dioperasi. Namun keluarga selalu mendampingi dan mendukung.
f. Eliminasi
Klien mengatakan biasanya BAB 1 kali per hari, karakteristik feses lunak. Namun
sejak di rumah sakit BAB 2 hari sekali. Tidak ada riwayat perdarahan, konstipasi
maupun diare. Riwayat nyeri BAK ada, riwayat hematuria tidak ada. Tidak ada
riwayat penyakiyt ginjal. Kateter urin dipasang sejak 3 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa, bising usus 5 kali per menit.
g. Makanan/ cairan
Pasien makan makanan nasi biasa, dengan lauk dan sayur. Makan terakhir pagi tadi
namun tidak habis, mual muntah tidak ada, pembatasan makanan tidak ada, alergi
makanan tidak ada, perubahan berat badan tidak ada. BB saat ini 62kg, TB 170cm,
Universitas Indonesia
sehingga didapatkan IMT 21.45 (berat badan normal). Bentuk tubuh tinggi besar
edema tidak ada, membrane mukosa lembab, distensi vena jugularis tidak ada, kodisi
gigi terdapat karies pada geraham bawah kanan dan kiri, lidah midline, agak kotor.
h. Hygiene
Aktivitas personal hygiene dengan bantuan minimal, biasanya mandi dua kali sehari
pagi dan sore. Menggunakan air dingin Namun sejak di rumah sakit hanya sekali
sehari. Penampilan umum baik, pemakaian baju sesuai dengan kondisi, rambut tidak
rapi, tangan kasar dan kering, bau badan tidak tercium, kulit kepala berminyak.
i. Neurosensori
Klien tidak merasa pusing atau sakit kepala, tidak ada kesemutan, mata sudah
mengalami penurunan fungsi, telinga kanan-kiri mampu mendegar. Tidak ada
epistaksis pada hidung, indra penciuman tidak ada masalah, status mental sadar,
bicara terkadang tidak koheren, reaksi pupil positif, tidak menggunakan kacamata
maupun alat bantu dengar.
j. Nyeri/ ketidaknyamanan
Klien mengeluhkan nyeri didaerah kemaluan yang terpasang kateter dengan skala 3-
4, nyeri seperti tertusuk-tusuk dan tidak menyebar, nyeri hilang timbul, durasi 3-6
menit. Wajah tampak mengerutkan muka, tidak ada penyempitan fokus, klien tampak
pasrah dengan keadaannya.
k. Pernapasan
Klien tidak mengeluhkan sesak napas namun ada riwayat asma, batuk tidak ada,
emfisema tidak ada, bronchitis tidak ada, TBC tidak ada, riwayat merokok 1
bungkus/ hari. Klien tidak menggunakan alat bantu pernapasan, frekuensi napas 24
kali/ menit, sianosis tidak ada, pucat tidak ada, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada,
status mental compos mentis.
Universitas Indonesia
l. Keamanan
Klien tidak ada riwayat alergi, perubahan sistem imun tidak ada, penyakit hubungan
seksual tidak ada, pembesaran nodus tidak ada, fraktur/ dislokasi tidak ada, nyeri
sendi tidak ada, gangguan penglihatan ada, gangguan pendengaran tidak ada. Suhu
tubuh 36.2 C, integritas kulit utuh, jaringan perut tidak ada, kemerahan tidak ada,
laserasi tidak ada, lumpuh tidak ada, rentang gerak sempurna, cara berjalan mandiri,
paralisis tidak ada. Kekuatan otot 5555 5555
‘ 5555 5555
m. Seksualitas
Klien belum menikah dan terpasang kateter urin.
n. Interaksi sosial
Klien tinggal dengan keluarga adaik perempuannya karena belum menikah. Klien
mengatakan jarang berinteraksi dengan orang di luar rumah. Klien tidak bekerja.
Keluarga besar tinggal berjauhan sehingga jarang berkumpul. Peran dalam struktur
keluarga sebagai adik. Tidak ada laringektomi. Bicara jelas, dapat dimengerti namun
pelan-pelan. Komunikasi vverbal dan non verbal dengan orang terdekat lain baik,
tidak dengan nada tinggi. Keluarga saling membantu.
o. Penyuluhan/ pembelajaran
Bahasa dominan sehari-hari bahasa Indonesia, melek huruf. Pendidikan terakhir
SMA, klien berobat ke rumah sakit jika ada keluhan penyakit, klien mengalami
demensia ringan.
Faktor risiko keluarga hipertensi ada, penyakit jantung tidak ada, TBC tidak ada,
diabetes tidak ada, stroke tidak ada, kanker tidak ada, penyakit ginjal tidak ada,
penyakit jiwa tidak ada.
Universitas Indonesia
Kimia klinik
Na 145 mmol/L (normal)
K 2.70 mmol/L (turun)
Cl 96 mmol/L (turun)
Hemostasis
Fibrinogen 485 mg/dl (naik)
Control 226.0 (normal0
Masa perdarahan 2 menit (normal)
Masa pembekuan 7 menit (normal)
PT-INR
Masa protrombin 13.4 detik (normal)
INR 1.08 (normal)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kemerahan.
- Crt < 3 detik
- Membran mukosa kering
- TD: 130/80 N: 80 kali/ menit,
R: 22 kali/ menit, S: 35.8 C
7 DS: Risiko Infeksi
- Klien mengatakan tidak ada
bengkak ataupun rasa panas
pada kemaluannya.
DO:
- Klien post TURP
- Klien terpasang kateter urin
- Tidak ada demam
- Lekosit 15.5 ribu/mm3
meningkat.
8. DS: Inkontinensia urin
- Klien mengatakan ingin segera
berkemih setelah kateter urin
dilepas.
- Klien mengatakan urin yang
keluar ± 1 gelas belimbing.
DO:
- Kandung kemih distensi
Universitas Indonesia
b. Ansietas Sedang
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi 1x24 jam cemas teratasi. Kriteria hasil: klien dapat
menyatakan rasa cemas yang dirasakan, ekspresi wajah rileks, klien mengatakan siap
untuk dioperasi.
Intervensi:
1. Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
2. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan perasaanya
3. Lakukan intervensi keperawatan dengan hati-hati dan lakukan komuniasi terapetik.
4. Berikan informasi terkait tindakan pembedahan yang akan dilakukan.
Universitas Indonesia
b. Nyeri akut
Tujuan: setetlah dilakukan intervensi selama 1x24 jam klien menyatakan nyerinya
hilang/ terkontrol. Kriteria hasil: klien akan tampak rileks, istirahat dengan tepat, klien
melaporkan skala nyeri berkurang/ hilang.
Intervensi yang dilakukan:
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 –10)
2. Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan.
3. Berikan pasien informasi akurat tentang kateter, drainase dan spasme kandung
kemih.
4. Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan
punggung) dan aktifitas terapeutik. Dorong penggunaan teknik relaksasi, termasuk
latihan nafas dalam xisualisasi, pedoman imajinasi.
5. Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan
6. Kolaborasi pemberian analgesic sesuai indikasi.
c. Risiko infeksi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi tanda
tanda infeksi. Kriteria hasil: tidak ada demam, lekosit dalam jumlah normal, tidak ada
bengkak, kemerahan pada area post TURP.
Intervensi yang dilakukan adalah:
1. Pertahankan sistem kateter steril. Berikan perawatan kateter regular dengan sabun
dan air, berikan salep antibiotic disekitar sisi katete
2. Ambulasi dengan kantung drainase dependen
3. Awasi TTV, perhatikan demam ringan, menggigil nadi, pernafasan cepat, peka,
disorientasi.
4. Observasi kondisi penis adanya pembengkakan, kemerahan.
5. Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai indikasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Setelah dilakukan intervensi, klien menyatakan lebih nyaman, skala nyeri berkurang
menjadi 3 hingga sebelum operasi. Untuk masalah nyeri post operasi diakhir intervensi,
pasien mengatakan nyeri sudah sangat berkurang skala nyeri 1-2, ketidaknyamanan
dirasakan diarea post TURP.
b. Ansietas
Pada saat hari pertama pengkajian, klie menunjukkan ansietas ringan. Namun setelah
dilakukan intervensi, klien mengatakan sudah agak lega dan siap untuk dioperasi, raut
wajah tampak lebih tenang. TTV masih dalam batas normal tinggi 140/80 mmHg
c. Risiko infeksi
Masalah risiko infeksi setelah intervensi tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti
demam, atau bengkak, kemerahan serta rasa panas di area post TURP. Produksi urin
berwarna jernih. Meskipun begitu hasil lekosit menunjukkan peningkatan dengan nilai
15.5 ribu/mm3. Tindakan yang dilakukan adalah memebrikan antibiotic, memonitor
kepatenan selang drainase serta memotivasi cairan adekuat.
d. Intoleransi aktivitas
Masalah intoleransi aktivitas didapatkan saat post TURP. Dipertahankan untuk bed rest
selama 12 jam mobilisai miring kanan kiri diperbolehkan. Status mental masih apatis
karena pengaruh dari anestesi. Kemudian dimotivasi untuk intake makanan per oral
secara perlahan. Esok harinya klien mengatakan sudah mampu duduk dan melakukan
aktivitas dengan bantuan minimal. Diakhir intervensi klien sudah dapat berjalan dan
aktivitas mandiri.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB IV
ANALISIS SITUASI
Universitas Indonesia
BPH. Dari hasil analisis didapatkan faktor risiko dimana klien berusia lanjut, pola
makan senang mengkonsumsi daging atau ikan dan tidak begitu suka dengan sayur,
serta aktivitas fisik yang rendah.
Klien berusia diatas 56 tahun dimana menurut Mochtar (2005). prevalensi BPH
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Prevalensi BPH yang bergejala pada pria
berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya
usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada
usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Proses penuaan mengakibatkan penurunan
kadar hormon pria, terutama testosteron. sel-sel kelenjar prostat akan merubah hormon
tersebut menjadi metabolit aktif DHT dengan bantuan enzim 5 alpha-reduktase. DHT
ini akan memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Apabila dilihat dari kebiasaan makan sehari hari yang dijalani, pasien mengatakan
sedang mengkonsumsi makanan berasal dari hewani seperti daging, ayam ikan dan
jarang mengkonsumsi sayuran. Menurut Bachmann, A & Rosette, J. (2012)
menyebutkan bahwa beberapa penelitian mengindikasikan bahwa makronutrien dan
mikronutrien bisa mempengaruhi risiko BPH dan LUTS. Penelitian lain menunjukkan
hubungan langsung antara asam lemak dengan BPH. Mark (2010) juga menyebutkan
pada penelitiannya bahwa perbandingan rendahnya intake protein hewani, lemak, dan
kalori dapat mendesak efek anti anabolic yang melindungi laki-laki pedesaan dari BPH.
Dalam kesehariannya klien tidak bekerja dan hanya duduk bersantai. Menurut
Bachmann, A & Rosette, J. (2012), aktivitas fisik yang tinggi diasosiasikan dengan
penurunan risiko BPH dan LUTS pada beberapa penelitian crossectional. Aktivitas fisik
mencegah peningkatan berat badan, meningkatkan aliran vascular, dan normalisasi
konsentrasi serum lipid dan lipoprotein. Oleh karena itu aktivitas fisik yang rendah yang
dijalani klien dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya BPH.
Universitas Indonesia
Kebiasaan merokok klien sebanyak 1 bungkus per hari juga dapat menjadi faktor
pemicu BPH. Beberapa penelitian menyebutkan terdapat hubungan antara merokok
dengan BPH kemungkinan karena penekanan nafsu makan dan penurunan adipose.
Disisi lain, merokok diasosiasikan dengan peningkatan sindrom metabolic. Oleh karena
itu hubungan antara merokok dengan BPH kuat.
Klien masih berstatus belum menikah sehingga klien tidak rutin melakukan aktivitas
seksual. Menurut Meigs et al (2001) menyebutkan bahwa tingkat aktivitas seksual tidak
memiliki efek dengan terjadinya BPH. Penelitian yang dilakukan Bayhakki (2007) juga
menyebutkan hal yang sama dimana analisis statistik secara bivariat aktivitas seksual
yang melakukan hubungan seksual > 1 kali/minggu dan melakukan hubungan seksual ≤
1 kali/minggu tidak memberikan pengaruh terhadap kejadian BPH dengan nilai OR =
1,185 ; nilai p = 0,320 dan 95% Confidence Interval : 0,528- 2,662. Dari hasil analisis
tersebut aktifitas seksual bukan merupakan faktor risiko.
Masalah keperawatan kedua yang dialami yaitu ansietas sedang saat pasien
direncanakan menjalani operasi TURP. Hal ini terlihat bahwa klien tampak gelisah dan
mengajukan banyak pertanyaan terkait prosedur pembedahan. Hal ini dapat dikarenakan
Universitas Indonesia
Masalah keperawatan post op TURP lainnya yaitu intoleransi aktivitas. Hal ini dapat
dikarenakan pasien masih dalam pengaruh anestesi spinal sehingga klien harus tirah
baring hingga 12 jam untuk melancarkan sirkulasi ke ekstremitas bawah. Pasien hanya
diperbolehkan mobilisasi miring kanan dan kriri. Setelah 12 jam tirah baring, pasien
sudah boleh mobilisasi duduk.
Risiko defisit volume cairan juga terjadi pada pasien post TURP. Hal ini terjadi setelah
pasien selesai menjalani prosedur TURP. Pasien post op masih lemah dan belum
mampu masukan cairan per oral secara maksimal. Selain itu, kehilangan cairan saat
dilakukan prosedur operasi seperti perdarahan juga dapat menurunkan volume vascular.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan hidrasi adekuat melalui intravena untuk
mencegah kekurangan volume cairan.
Risiko infeksi juga sering terjadi pada pasien post operasi. Hal ini dapat ditandai dengan
peningkatan suhu badan, rasa nyeri maupun pembengkakan pada penis post TURP.
Pada pemeriksaan penunjang dapat ditandai dengan peningkatan jumlah lekosit.
Pemantauan haluaran urin seperti warna keruh juga dapat menandakan adanya infeksi.
Pada pasien terjadi peningkatan lekosit namun tidak ditemukan tanda-tanda infeksi
lainnya. Oleh karena itu dipertahankan untuk sterilitas pada saat melakukan tindakan
invasive serta pemberian antibiotic.
Masalah keperawatan yang terakhir sebelum pasien pulang yaitu inkontinensia urin.
Sebelumnya klien telah memakai kateter urind alam jangka waktu satu bulan. Hal ini
dapat menyebabkan kelemahan otot detrusor untuk berkontraksi saat berkemih.
Sebelum kateter dilepas telah dilakukan bladder training dengan mengklem kateter
urin. Setelah pasien merasakan sensasi rasa ingin berkemih maka kateter urin dilepas.
Universitas Indonesia
Selanjutnya dilakukan baldder training dengan memberikan interval waktu setiap kali
berkemih.
Salah satu masalah keperawatan post TURP dan pemasangan kateter dalam jangka
waktu lama yaitu inkontinensia urin. Menurut Simon (2012), tindakan pada postat dapat
melemahkan otot spinkhter dan penyebab umum dari inkontinensia stres pada laki-laki.
Inkontinensia stres dapat terjadi pada beberapa laki-laki setelah prosedur TURP,
tindakan standar pada BPH berat. Inkontinensia setelah prosedur prostat biasanya
kombinasi antara urgensi dan stres. Karena penelitian sering mengkombinasikan dua
tipe inkontinensia tersebut, belum jelas mana yang lebih mendominasi. Mmenurut
Wilener (2008), berdasarkan inkotinensia awal post operasi, inkontinensia urgensi
terjadi 38% (TURP) dan 44% pada Holmium laser enucleation of the prostate pada
pasien yang di follow up dalam satu bulan. Berdasarkan review penelitian dari tahun
1989 hingga 2005 didapatkan bahwa inkontinensia wal terjadi pada 30-40% pasien.
Pada pasien ini pemasangan kateter telah dilakukan selama 4 minggu. Ini merupakan
waktu yang lama sehingga risiko inkontinensia menjadi lebih tinggi karena kandung
kencing dalam jangka waktu lama selalu kosong yang akan mengakibatkan kehilangan
potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih.
Terapi perilaku perlu dilakukan untuk mengatasi inkontinensia urin yaitu penjadwalan
waktu berkemih atau bladder training, latihan otot pelvis atau kegel exercise,
Universitas Indonesia
Bladder training merupakan tindakan untuk melatih kandung kemih agar dapat bekerja
dengan normal (Australia Government, 2003). Bladder training bertujuan untuk
mengembalikan pola berkemih pasien kembali normal. Selama kateter urin terpasang,
otot detrusor kandung kemih tidak bekerja optimal dalam mengosongkan kandung
kemih (Black & Hawks, 2005). Tindakan bladder training diharapkan dapat
mengurangi instabilitas detrusor yang dapat mengakibatkan inkontinensia urin.
Pada pasien ini dilakukan bladder training sebelum pelepasan kateter dengan mengklem
katetr urin hingga urin tertampung dalam kandung kemih dan pasien merasakan sensasi
rasa ingin berkemih. Setiap kali pasien merasakan ingin berkemih, klem dibuka dan urin
dialirkan ke urin bag. Setelah itu selang kateter kembali di klem agar urin tertampun
dalam kandung kemih. Hal tersebut dilakukan hingga tiga kemudian kateter dilepas.
Setelah itu dilakukan bladder training dengan memberikan penjadwalan waktu
berkemih. Pasien diberikan interval waktu tertentu diantara bekemih. Pada awalnya
pasien dilakukan interval berkemih selama 2 jam, tetapi klien masih dapat menahan
sehingga interval dinaikkan menjadi 3 jam. Interval ini kemudian ditingkatkan semain
lama sehingga frekuensi berkemih pasien menurun.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Green (2003) menunjukkan bahwa
manfaat dari bladder training terhadap pola berkemih pada pasien inkotinensia urin.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bayhakki (2007) didapatkan bahwa pada 14 pasien
inkontinensia, 8 orang mengalami penurunan frekuensi inkontinensia sampai 100%, 1
sampel menurun hingga 90%, 1 sampel menurun frekuensinya 85%, 3 orang menurun
sebanyak 50%. Ini membuktikan bladder training bermanfaat terhadap pola berkemih
pada pasien inkontinensia urin.
Universitas Indonesia
Meskipun begitu, lamanya kateterisasi yang telah dilakukan dimana pasien telah
dipasang kateter selama 4 minggu juga harus menajdi perhatian. Hal ini dikarenakan
apabila kateterisasi berjalan dalam jangka waktu lama, maka bladder training juga perlu
waktu lama pula. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa bladder training pada
kateterisasi jangka pendek (samopai enam hari) bermanfaat untuk mengembalikan pola
berkemih. Jika tidak ada gangguan pola berkemih tentu waktu untuk kembali berkemih
dengan normal akan lebih cepat (Kozier, 1995).
Selain itu, klien yang sudah berusia lanjut dan penurunan fungsi kognitif juga menjadi
pertimbangan dalam menentukan interval diantara berkemih. Hal ini dikarenakan,
semakin tua usia seseorang maka semakin menurun fungsi sistem tubuh orang tersebut.
Perubahan structural dan fungsional pada usia lanjut dapat menghambat pengosongan
kandung kemih secara sempurna. Hal ini disebabkan penurunan kontraktilitas kandung
kemih karena gangguan miogenik atau neurogenik, structural atau obstruksi seperti
BPH (Smeltzer & Bare, 2001).
Universitas Indonesia
klien masih dapat berkomunikasi tetapi harus dengan intrusi intonasi yang pelan dan
berulang ulang. Oleh karena itu disimpulkan kegel exercise tidak dapat diterapkan
karena sulit dalam evaluasinya nanti.
Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis praktik klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
pada pasien Benign Prostatic Hyperplasia atau BPH di ruang bedah gedung gema
tengah RSUP Persahabatan dapat disimpulkan bahwa:
a. Penyakit BPH merupakan kasus penyakit terbanyak kedua dalam bedah urologi.
Peningkatan pervalensi BPH terjadi seiring dengan pertambahan usia pada laki-laki.
Penyakit ini sering dialami masyarakat perkotaan seiring dengan meningkatnya usia
harapan hidup.
b. BPH dapat terjadi karena multfaktor seperti genetik, pola diet tinggi protein hewani
dan lemak, penurunan aktivitas fisik, serta kebiasaan merokok. Hal-hal seperti sering
dilakukan masyarakat didaerah perkotaan.
c. Pasien dengan BPH biasanya mengalami retensi urin atau bahkan tidak bisa BAK.
Tindakan segera yang dilakukan yaitu pemasangan kateter untuk mengeluarkan urin.
Setelah dilakukan tindakan pembedahan TURP untuk menghilangkan pembesaran
prostat, keluhan selanjutnya yaitu kelemahan untuk pengontrolan berkemih atau
inkontinensia.
d. Perawat dapat melakukan terapi perilaku untuk mengatasi inkontinensia urin dengan
bladder training. Tujuannya yaitu untuk mengembalikan pola berkemih pasien
kembali normal. Bladder training dapat dilakukan saat pasien masih terpasang kateter
dengan mengklem kateter. Setelah kateter dilepas, bladder training dilakukan dengan
menentukan penjadwalan interval waktu berkemih secara bertahap.
5.2 Saran
Berdasarkan keterbatasan dan pembahasan hasil penulisan karya ilmiah ini mengenai
asuhan keperawatan pada pasien BPH post TURP dalam mengatasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Allender, J et al. (2010). Community & Public Health Nursing: Promoting the Public’s
health. Philadelphia: Lipincot William and Wilkins.
Bachmann, A & Rosette, J. (2012). Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary
Tract Symtomps in Men. New York: Oxford University Press.
BADAN POM RI. Alternatif Herbal untuk Kesehatan Prostat. InfoPOM – Vol. 13 No.5
September-Oktober 2012.
Carty, Mark. (2010). Diet/ Lifestyle starteies for preventing Benign Prostatatic
Hyperplasi. NutriGuard Research, In c., 1051 Hermes Ave., Encinitas, CA 92024
Fadlol & Mochtar. (2005). Prediksi Volume Prostat pada Penderita Pembesaran Prostat
Jinak. Indonesian Jurnal of Surgery 2005; XXXIII-4; 139-145
Gass, R. (2002). BPH : The opposite effects of alcohol and coffe intake. BJU
Internasional, 90, 649-654.
Universitas Indonesia
Kirby RS & Christmas TJ. (1997). Benign prostatic hyperplasia, 2nd edition. Mosby
Int.
Meigs et al. (2001). Risk factors for clinical benign prostatic hyperplasia in a
community-based population of healthy aging men. Journal of Clinical
Epidemiology 54 (2001) 935–944.
Rosdahl & Koalski.(2008). Book of Basic Nursing 9th ed. USA: Lippincot & Wilkins.
Smeltzer & Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.2. Jakarta: EGC
Walsh, Patrick C. (1992). Benign prostatic hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 6th ed.
W.B. Saunders.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
jaringan.
7. Kolaborasi pemberian 7. Analgesik memblok lintasan
analgetik nyeri.
2. Ansietas ringan Tujuan: 1. Dampingi klien dan bina 1. Menunjukkan perhatian dan
DS: Setelah dilakukan hubungan saling percaya keinginan untuk membantu.
- Klien mengatakan masih intervensi 1x24 jam 2. Dorong pasien atau orang 2. Memberikan kesempatan
takut akan menjalani cemas teratasi. terdekat untuk menyatakan kepada pasien dan keluarga
operasi. Kriteria hasil: perasaanya untuk mengungkapkan
- Klien menanyakan klien dapat menyatakan perasaan cemasnya.
tentang operasi. rasa cemas yang 3. Lakukan intervensi 3. Agar tidak menambah stresor
DO: dirasakan, ekspresi wajah keperawatan dengan hati-hati pada pasien.
- Klien tampak gelisah rileks, klien mengatakan dan lakukan komuniasi
- TD: 140/90 mmHg, N: siap untuk dioperasi. terapetik.
86 x/ mnt, R: 24 x/ 4. Berikan informasi terkait 4. Informasi yang diberikan
menit, S: 36.2 C. tindakan pembedahan yang dapat membantu klien
- Penyempitan fokus (-) akan dilakukan. memahami tujuan dari
tindakan sehingga
mengurangi kecemasan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
- Klien terpasang kateter infeksi. kapanpun mungkin, gunakan infeksi dapat mencegah
urin Kriteria hasil: tidak ada teknik aseptik bila sepsis.
- Tidak ada demam demam, lekosit dalam merawat/memanipulasi
- Lekosit 15.5 ribu/mm3 jumlah normal, tidak ada IV/area invasif. Perhatikan
meningkat. bengkak, kemerahan edema, drainase purulen.
pada area post TURP. 3. Berikan perawatan kateter 3. Menurunkan kolonisasi
rutin dan pertahankan sistem bakteri dan risiko ISK.
drainase urine tertutup.
4. Dorong nafas dalam, batuk 4. Mencegah atelektasis dam
dan pengubahan posisi memobilisasi sekret untuk
sering. menurunkan risiko infeksi
paru.
5. Kaji integritas kulit. 5. Ekskoriasi akibat gesekan
dapat menjadi infeksi
sekunder.
6. Awasi tanda vital. 6. Demam dengan peningkatan
nadi dan pernafasan adalah
tanda peningkatan laju
metabolik dari proses
inflamasi, meskipun sepsis
dapat terjadi tanpa respons
Universitas Indonesia
demam.
7. Awasi pemeriksaan 7. Meskipun peningkatan SDP
laboratorium, contoh sel dapat mengindikasikan infeksi
darah putih. umum, leukositosis umum
terlihat pada GGA dan dapat
menunjukkan
inflamasi/cedera pada ginjal,
perpindahan diferensial ke kiri
menunjukkan infeksi.
8. Berikan antibiotik tepat 8. Mencegah infeksi
sesuai indikasi.
6. Inkontinensia urin stres Setelah asuhan 1. Dorong pasien untuk 1. Meminimalkan retensi urine
keperawatan selama berkemih tiap 2-4 jam dan dan distensi berlebihan pada
3x24 jam, klien mampu bila tiba-tiba dirasakan. kandung kemih.
berkemih dengan normal. 2. Tanyakan pasien tentang 2. Tekanan uretral tinggi
Kriteria hasil: inkontinensia urine. menghambat pengosongan
Berkemih dengan jumlah kandung kemih atau dapat
yang cukup, tak teraba menghambat berkemih
distensi kandung kemih, sampai tekanan abdominal
tidak ada tetesan. meningkat cukup untuk
mengeluarkan urine secara tak
Universitas Indonesia
sadar.
3. Observasi aliran urine, 3. Berguna untuk mengevaluasi
perhatikan ukuran dan obstruksi dan pilihan
kekuatan. intervensi.
4. Awasi dan catat waktu dan 4. Retensi urine meningkatkan
jumlah tiap berkemih. tekanan dalam saluran
perkemihan atas, yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.
5. Perkusi/palpasi area 5. Distensi kandung kemih dapat
suprapubik. dirasakan di area suprapubik.
6. Dorong masukan cairan 6. Peningkatan aliran cairan
sampai 2-3L/hari, dalam mempertahankan perfusi
toleransi jantung, bila ginjal dan membersihkan
diindikasikan. ginjal dan kandung kemih dari
pertumbuhan bakteri.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sebagian.
P:
- Dx 1: Lanjutkan tirah baring hingga 12
jam, motivasi intake per oral bertahap.
- Dx 2: Monitor TTV, awasi drainase dan
produksi urin, motivasi intake cairan 2-3 L/
hari, terapi cairan RL/ 8 jam.
- Dx 3: Motivasi untuk relaksasi napas
dalam, pertahankan posisi nyaman, berikan
analgesik.
8/6/14 1. Bersihan jalan 1. Mengkaji frekuensi pernafasan, adanya S:
napas tidak dispnea. - Klien mengatakan sesak berkurang
efektif 2. Memberikan posisi semi fowler. - Klien mengatakan sudah minum banyak 8
2. Risiko defisit 3. Memberikan terapi inhalasi. gelas per hari.
volume cairan 4. Memonitor tanda tanda vital. - Klien mengatakan masih nyeri seperti
3. Nyeri akut 5. Memonitor sistem drainase dan keluaran kemarin skala 6-7.
urin. O:
6. Memberikan cairan IV sesuai indikasi. - Napas cepat sudah tidak ada, penggunaan
7. Mengkaji deskripsi nyeri otot bantu napas tidak ada.
8. Memotivasi untuk mempraktikan napas - TD: 130/80 mmHg, N: 82 x/ menit, R: 22x/
dalam saat nyeri. menit, S: 36.2 C.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BIODATA PENULIS