Anda di halaman 1dari 10

1.

Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos
artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi
disamakan dengan value and valuation :
Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya
atau nilai dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai
atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian
makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik
material (Koento, 2003: 13).
Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi
aksiologi :
1. Menurut Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2. Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.
3. Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi
tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan
praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan
dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu
etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang
membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang
nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.

1
5. Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
6. Menurut Bramel (dalam Amsal 2009: 163). Aksiologi terbagi tiga bagian :
a. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus
yaitu etika.
b. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
c. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan
filsafat social politik.

2. lmu dan Moral dalam Perkembangan IPTEK


Ilmu tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman.
Namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala
tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu
mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut
perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam
tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam kaitan dengan
factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral bersangkutan dengan metafisika
keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini berkaitan dengan masalah cara penggunaan
pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan
konsep terdapat masalah moral yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan
dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu
semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih
mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradapan manusia
sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Teknologi tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya
memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang
bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang
terjadi di Bali. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada
nilai-nilai, kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati-hati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. (1996 : 15 – 16)
mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut :

2
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral
maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci
yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah,
baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam
lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya
(objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang
berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia,
dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang
berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang
berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa
kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya
ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah
secara komunal universal. Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya
moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan
ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai
perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan
kebenaran ilmiah.

3. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan


Etika keilmuan merupakan etika normatik yang merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam
perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan
keilmuannya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian
penilaian terhadap perbuataan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang
seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan apa yang seharusnya terjadi.
Di bidang etika tanggung jawab seorang ilmuan adalah bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap
benar dan berani mengakui kasalahan. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan

3
pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat
bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfataan
pengetahuan dan teknologi diperhatikan sebaik-baiknya.
Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat, yaitu :
a. Golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-
nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan
hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah
untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan
ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.
b. Golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada
metafisika keilmuwan, sedangkan dalam penggunannya harus berlandaskan
nilai-nilai moral. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,
yakni:
1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara deskrutif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya perang dunia yang mempergunakan teknologi
keilmuwan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan
lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu
dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan teknik pembuatan sosial.
Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat
tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-
kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika
keilmuwan serta masalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan
keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk
keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

4. Teori dan Penerapan


Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara yaitu:

4
1. Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut
pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung dari pengalaman.
2. Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi,
namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi
logis dan dapat diketahui melalui akal.
3. Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun
kenyataan.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu Pertama, segi pragmatis yang merupakan
suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek
yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan
penilaian.

 Nilai merupakan Kualitas Empiris yang Tidak Dapat Didefinisikan


Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi
dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu
melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau
dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh pengertian baik, artinya pengertian
nilai. Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian
yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu. Pendefinisisan nilai juga
didasarkan pada hal-hal lain, seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya
sesat-pikir naturalistis. Nilai tidak dapat didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat
dipersamakan dengan pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan dengan
cara-cara lain, seperti dengan menunjukkan contohnya sehingga dapat diketahui secara
langsung. Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek
dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak dapat
sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bisa
dipahami.

 Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan


Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah
jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain
yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam
keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang. Dalam hal ini
tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu: sikap setuju atau menentang tersebut sama sekali
bersangkut paut dengan masalah nilai sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang

5
tidak hakiki sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap
nilai. Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan
sikap tersebut ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari
hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x bernilai
maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mempunyai
kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry (dalam Kattsoff, 2004:
329) disebut kepentingan. Perry juga berpendapat bahwa setiap obyek yang ada dalam
kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan,
dapat memperoleh nilai jika berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai
kepentingan.

 Teori Pragmatis Mengenai Nilai


Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang
dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai
berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan
bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga
menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.
Dengan kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang
tersedia dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-obyek
dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan bahwa
pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan kegiatan
manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan
yang diharapkan.

 Nilai sebagai Esensi


Apabila nilai sudah sejak semula terdapat di segenap kenyataan, dapat dikatakan
bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara apa yang ada (eksistensi) dengan apa yang
seharusnya ada. Yang sungguh-sungguh ada yaitu apa yang ada kini dengan yang mungkin
ada (apa yang akan ada). Jika nilai bersifat intrinsik, maka nilai apa yang akan ada
merupakan kelanjutan belaka dari apa yang seharusnya ada. Apabila nilai merupakan ciri
intrnsik semua hal yang bereksistensi maka dunia ini merupakan dunia yang baik, kerena
di dalamnya tidak mungkin terdapat keadaan tanpa nilai. Dengan demikian maka masalah
adanya keburukan di dunia terhapus karena memperoleh pengingkaran.
Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenyataan, namun tidak bereksistensi.
Berhubung dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah merupakan esensi-esensi yang
terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Pandangan ini erat

6
hubungannya dengan pandangan Plato dan Aristoteles (Kattsoff, 2004: 337) mengenai
forma-forma. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada dalam kenyataan. Nilai-
nilai mendasari sesuatu dan bersifat tetap.

5. Ilmu, nilai dan keadaan bebas nilai


Pada zaman dulu pengadilan inkuisisi Galileo selam kurang lebih 2’5 Abad
mempengaruhi proses perkembangan berfikfir di Eropa, yang pada dasarnya
mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nila-nilai diluar bidang
keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilai
sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuan berjuang untuk menegakan ilmu yang berdasarkan
penafsiran alam sebagaimana adanya semboyan ilmu yang bebas nilai setelah pertarungan
kuranglebih 250 tahun, maka para ilmuan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu
memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam
sebagaimana adanya. Konflik seperti inipun terjadi terhadap ilmu-ilmu social dimana
berbagai ideology mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan.
Kejadian ini sering terulang kembali dimana sebagian metafisik keilmuan
dipergunakan dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology tertentu bukan seperti
yang dituntut hakikat keilmuan. Mendapatkan otonomi terbebas dari segenap nilai yang
bersifat dogamatik ini, maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya.
Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan
penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah-masalah praktis. Sehingga konsep ilmiah
yang bersifat abstrak dapat berwujud konkrit yang berupa teknologi.

6. Ilmu Terapan dan Masalah Perkembangan Nilai


Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah
jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain
yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam
keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang.
Nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata
benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory
of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan
keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana
dan tujuan.

7
KESIMPULAN

Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika
dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.

Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran, pada pendapat individu, melainkan pada objektivitas
fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi
penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup
manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan
perkembangan sains dan teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia
berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan teknologi pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik
dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah
mempermudah kehidupan manusia. Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya
mempelajari alam sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat
seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah
mana ilmu akan berkembang?

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan
pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu
secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi terhadap
nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya
ilmu berlandaskan pada moral. golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa
hal yakni:

8
 Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi- teknologi keilmuan.
 Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah
mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.
 Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti
pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial.

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah
dunia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak
bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan
alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat
netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Admojo,Wihadi, et.al. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali pers.

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S.1990. Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Soetriono, & Hanafie,Rita.2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta:


Andi.

http://blog.unsri.ac.id/meilanisafitri/filsafat-ilmu/makalah-filsafat-ilmu-
aksiologi/mrdetail/39767/

http://windyntumuwe.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

10

Anda mungkin juga menyukai