PENDAHULUAN
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI, terdapat 19.973 jumlah
kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur
40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok
umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada
kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS
antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1.
1.2 Tujuan
1
A. TujuanUmum :
Terbentuknya wawasan tentang HIV AIDS
B. TujuanKhusus :
1. Memahami apa itu HIV AIDS serta penularannya
2. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku serta kesadaran
masyarakat tentang HIV AIDS
3. Meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya HIV serta
pencegahanya
1.3 Manfaat
A. Meningkatkan pengetahun penulis tentang upaya pencegahan peningkatan
kasus HIV AIDS.
B. Memberikan informasi ilmiah bagi tenaga kesehatan khususnya yang
berhubungan dengan program HIV AIDS.
C. Sebagai bahan acuan bagi instansi terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat
dan sejahtera khususnya wilayah kerja puskesmas wanasari dan sekitarnya,
yang sehat, produktif dan mandiri.
D. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat tentang HIV AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik.
HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+
dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.
HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili
Lentivirinae. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan
DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode
inkubasi yang panjang.16 Satu kali terinfeksi oleh retrovirus, maka infeksi ini
akan bersifat permanen, seumur hidup.
HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV
terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat
karena replikasi nya lebih cepat.17 Secara struktural morfologinya, bentuk
HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang
melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen
yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group
antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).
2.2 Epidemiologi
3
1. Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat
19.973 kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus
AIDS per 100.000 penduduk tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45),
DKI Jakarta (31,67), Kepulauan Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91),
Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua Barat dan Jawa Timur
(8,93) dan Riau (8,36).
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember
2009 adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta
(14,16%), Papua (14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna
napza suntik, proporsi AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa
Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa Timur 12,82%, Bali 3,27%,
Sumatera Barat 2,81%.
4
1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59
tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing
0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.
5
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen
darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh
karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui,
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta
narapidana.
a. Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual
reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif
tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak
digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual
dengan risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual
yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini
disebabkan karena tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali
mengalami perlukaan saat berhubungan seksual ano-genital. Risiko
perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi perlukaan dengan tangan
(fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-
genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Tingkat
risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya
terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV.
b. Transmisi Non-Seksual
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat
penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang
terkontaminasi HIV. Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian
menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza
suntik (IDU). Pada umumnya, ibukota dan kota-kota metropolitan
6
mempunyai jumlah pengguna napza suntik yang besar.Di negara
berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh
petugas kesehatan.Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang
mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga
dari semua infeksi baru HIV.
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang
mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah
>90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang
terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita
HIV sesudah transfusi itu.Di negara maju resiko penularan HIV pada
penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor
yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan.
Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap
darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir
kehamilan dan saat persalinan. HIV tidak menular melalui peralatan
makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara
bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan
penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial lainnya. Air
susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan nyamuk
belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.
7
pencernaan , dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama
kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan
timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang,
rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS, sebagai berikut :
eruption))
Dermatitis seboroik
8
Kandidosis oral atau vaginal
TB limfadenopati
(<50.000/ml)
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
9
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
ARV)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum:
Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC)
yang lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenopati meluas
b. Kulit: PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts),
folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu
terkait dengan HIV.
c. Infeksi:
infeksi jamur:
o kandidiasis oral
o dermatitis seboroik
10
o kandidiasis vaginal berulang
infeksi viral:
o Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)
o Herpes genital (berulang)
o Moluskum kontagiosum
o Kondiloma
Gangguan pernafasan:
o Batuk lebih dari satu bulan
o Sesak nafas
o Tuberkulosis
o Pneumonia berulang
o Sinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis:
o Nyeri kepala semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya
o Kejang demam
o Menurunnya fungsi kognitif
3. Pemeriksaan Laboratorium
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan
panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan
strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi
singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau
dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes
dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan
selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu
hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela (Window
Period). Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela
menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama
bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
11
a. Diagnosis HIV pada Bayi
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara
klinis selama periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang
ditemukan pada anak adalah pneumonia yang disebabkan
Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan
infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, Kandidiasis oral,
Diare kronis, atau Hepatosplenomegali. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi infeksi HIV pada bayi adalah PCR (Polymerase
chain reaction), hal ini disebabkan karena antibodi ibu yang masih bisa
dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan
Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV.
b. Diagnosis HIV pada Anak
Anak-anak berusia >18 bulan bisa didiagnosis dengan
menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri
kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting, Limfadenopati
menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Terdapat dua klasifikasi yang biasa digunakan untuk mendiagnosis
anak dengan HIV yaitu :
a. Klasifikasi menurut CDC
12
Sinusitis, atau Otitis media, namun tidak menunjukkan adanya
kondisi yang tertera pada kategori B dan C :
b. Klasifikasi WHO
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit
klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor
13
dan minor. Seorang anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala
minor bisa didiagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau
tes laboratorium lainnya. Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor
dan minor untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi WHO.
1. Gejala mayor
Gagal tumbuh kembang atau penurunan berat badan, Diare kronis,
demam memanjang tanpa sebab serta Tuberkulosis.
2. Gejala minor
Limfadenopati, Kandidiasis oral, batuk menetap, Distress
pernapasan/Pneumonia, infeksi berulang, serta infeksi kulit
generalisata.
2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat
simptomatik dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi
berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.
Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa
(Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur
(Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan
bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular,
Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan
terus-menerus.
c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat
enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup,
menjadikan infeksi opurtunistik.
d. Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6
golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari :
• Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI) NRTIs
bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse transcriptase
14
HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus yang sedang
aktif dan menyebabkan terminasi. Obat golongan ini memerlukan
aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim menjadi bentuk
trifosfat. Golongan ini terdiri dari : Analog deoksitimidin (Zidovudin),
analog timidin (Stavudin), analog deoksiadenosin (Didanosin), analog
adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin
(Lamivudin dan Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir) (Katzung,
2004).
• Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) NNRTIs
bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada situs aktif enzim
reverse transcriptase yang menyebabkan aktivitas polimerase DNA
terhambat. Golongan ini tidak bersaing dengan trifosfat nukleosida dan
tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri
dari: Nevirapin, Efavirenz, Delavirdine (Katzung, 2004).
• Protease inhibitors (PIs)
Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen Gag-
Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian menjadi
partikel yang belum matang . Protease bertanggung jawab pada
pembelahan molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein bentuk
akhir dari inti virion matang dan protease penting untuk produksi
virion infeksius matang selama replikasi. Obat golongan ini
menghambat kerja enzim protease sehingga mencegah pembentukan
virion baru yang infeksius. Golongan ini terdiri dari : Saquinavir,
Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir.
• Fusion inhibitors (FIs)
FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara berikatan
dengan subunit gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus
ke sel target dihambat. Obat golongan ini terdiri dari : Enfuvirtide (T-
20 atau pentafuside).
• Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4 dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel
pejamu. Golongan ini terdiri dari : Maraviroc, Aplaviroc, Vicrivirox.
• Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)
15
Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA
(cDNA) virus dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini terdiri
dari : Raltegravir dan elvitegravir.
2.8 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan
pendekatan “ABC” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak
melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan
seksual, jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya
tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan
juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten
(Use Condom).
16
relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),
persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang
keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.
2.9 Konseling
Konseling HIV/AIDS bersifat komunikasi rahasia antara klien dan petugas
kesehatan bertujuan memungkinkan klien menghadapi stres dan menentukan
pilihan pribadi berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk
melakukan evaluasi risiko penularan HIV pribadi, memberikan fasilitasi
perubahan perilaku, dan melakukan evaluasi mekanisme coping ketika klien
dihadapkan pada hasil tes (+) Konseling pencegahan dan perubahan perilaku
guna mencegah penularan. Diagnosis HIV mempunyai banyak dampak,
seperti dampak psikologik, sosial, fisik dan spiritual. HIV merupakan penyakit
yang mengancam kehidupan. Adapun proses konseling adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama :
Dimulai dari membina hubungan baik dan membina kepercayaan ,
dengan menjaga rahasia dan mendiskusikan keterbatasan rahasia,
melakukan ventilasi permasalahan, mendorong ekspresi perasaan,
diutamakan dapat menggali masalah, terus mendorong klien
menceritakannya. Upayakan dapat memperjelas harapan klien dengan
mendeskripsikan apa yang konselor dapat lakukan dan cara kerja mereka
serta memberi pernyataan jelas bahwasanya komitmen konselor akan
bekerja sama dengan klien.
2. Tahap kedua :
Mendefinisikan dan pengertian peran, memberikan batasan dan
kebutuhan untuk mengungkapkan peran dan batasan hubungan konseling,
mulai dengan memaparkan dan memperjelas tujuan dan kebutuhan klien,
menyusun prioritas tujuan dan kebutuhan klien, mengambil riwayat rinci,
menceritakan hal spesifik secara rinci, menggali keyakinan, pengetahuan
dan keprihatinan klien.
3. Tahap ketiga :
17
Proses dukungan konseling lanjutan yakni dengan meneruskan
ekspresi perasaan / pikiran , mengidentifikasi opsi, mengidentifikasi
ketrampilan, penyesuaian diri yang telah ada, mengembangkan
keterampilan penyesuaian diri lebih lanjut, mengevaluasi opsi dan
implikasinya, memungkinkan perubahan perilaku, mendukung dan
menjaga kerjasama dalam masalah klien, monitoring perbaikan tujuan
yang terindentifikasi , rujukan yang sesuai.
4. Tahap empat :
Untuk menutup atau mengakhiri hubungan konseling . Disarankan
kepada klien dapat bertindak sesuai rencana klien menata dan
menyesuaiakan diri dengan fungsi sehari-hari, bangun eksistensi sistem
dukungan dan dukungan yang diakses, lalu mengidentifikasi strategi untuk
memelihara hal yang sudah beruhah baik . Untuk pengungkapan diri harus
didiskusikan dan direncanakan, atur interval parjanjian diperpanjang,
disertai pengenalan dan pengaksesan sumber daya dan rujukan yang
tersedia, lalu pastikan bahwa ketika ia membutuhkan para konselor
senantiasa bersedia membantu. Menutup atau mengakhiri konseling
dengan mengatur penutupan dengan diskusi dan rencana selanjutnya, bisa
saja dengan membuat perjanjian pertemuan yang makin lama makin
panjang intervalnya.
18
2.11 Cara Untuk Mencapai Tujuan Konseling:
Mengajak klien mengenali perasaannya dan mengungkapkannya ,
menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindak lanjut yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi, mendorong perubahan perilaku,
memberikan informasi pencegahan, terapi dan perawatan HIV/AIDS terkini,
memberikan informasi tentang institusi ( pemerintah dan non pemerintah )
yang dapat membantu dibidang sosial, ekonomi dan budaya , membantu
orang untuk kontak dengan institusi diatas.
Membantu klien mendapatkan dukungan dari system jejaring social,
kawan dan keluarga membantu klien melakukan penyesuaian dengan rasa
duka dan kehilangan , melakukan peran advokasi, misal membantu melawan
diskriminasi, membantu individu mewaspadai hak hukumnya, membantu
klien memelihara diri sepanjang hidupnya, membantu klien menentukan arti
hidupnya.
Selain isu yang berkaitan langsung dengan HIV/AIDS, klien dapat
menyajikan : Serangkaian isu tentang keadaan tidak langsung berkaitan
dengan HIV kebutuhan terapi spesifik misalnya : disfungsi seksual, serangan
panik isu terdahulu yang belum terselesaikan, misalnya: isu seksual,
ketergantungan napza, masalah keluarga dll. Siapa yang disebut Konselor
HIV?
Full time counselor yang berlatar belakang psikologi dan ilmuwan
psikologi (psychiatrists, family therapist, psikologi terapan) yang sudah
mengikuti pelatihan VCT dengan standart WHO.
Profesional dari kalangan perawat, pekerja sosial, & dokter.
Community-based dan PLWHA yang sudah terlatih (Peer).
Konselor HIV
1. Konselor Dasar (Lay Counselor)
o Berangkat dari kebutuhan sebaya
19
2. Konselor Profesional (Profesional Counselor)
o Issue Psikososial
20
Penilaian pribadi resiko penularan HIV
21
Tindak lanjut perawatan & dukungan ke layanan managemen kasus
atau layanan dukungan yang tersedia di wilayah.
e. Alur VCT
Konseling Individual pra-testing Periksa Darah dg Rapid Testing
Terima hasil & konseling Pasca Tes Konseling Dukungan dan rujukan
pelayanan Kesehatan & MK Rujukan untuk dukungan proses yang
sedang berjalan, termasuk Support group.
BAB III
METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
22
3.3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan penyuluhan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal : Rabu, 8 september 2017
Waktu : 07.30 – 08.00 WIB
Tempat : Ruang tunggu Puskesmas Wanasari
BAB IV
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN
23
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta.
FKUI.
Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 1. Jakarta. Salemba
Medika.
Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. 2008. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta.
EGC
Saddock B, dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan Ed.2. Jakarta. EGC
Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III.
Jakarta. FKUI.
24