Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI tercatat 19.973 kumulatif
kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk
tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan
Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung
(11,36), Papua Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36).

Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI, terdapat 19.973 jumlah
kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur
40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok
umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada
kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS
antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1.

Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI, 40,2% penderita AIDS


terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus
AIDS pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah
7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan
(7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat
pada kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun,
3,5% pada kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19
tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14
tahun dan >60 tahun masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok
umurnya

1.2 Tujuan

1
A. TujuanUmum :
Terbentuknya wawasan tentang HIV AIDS
B. TujuanKhusus :
1. Memahami apa itu HIV AIDS serta penularannya
2. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku serta kesadaran
masyarakat tentang HIV AIDS
3. Meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya HIV serta
pencegahanya

1.3 Manfaat
A. Meningkatkan pengetahun penulis tentang upaya pencegahan peningkatan
kasus HIV AIDS.
B. Memberikan informasi ilmiah bagi tenaga kesehatan khususnya yang
berhubungan dengan program HIV AIDS.
C. Sebagai bahan acuan bagi instansi terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat
dan sejahtera khususnya wilayah kerja puskesmas wanasari dan sekitarnya,
yang sehat, produktif dan mandiri.
D. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat tentang HIV AIDS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV

2
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik.
HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+
dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.

HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili
Lentivirinae. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan
DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode
inkubasi yang panjang.16 Satu kali terinfeksi oleh retrovirus, maka infeksi ini
akan bersifat permanen, seumur hidup.

HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV
terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat
karena replikasi nya lebih cepat.17 Secara struktural morfologinya, bentuk
HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang
melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen
yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group
antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).

Gambar 1. Anatomy Virus AIDS

2.2 Epidemiologi

3
1. Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat
19.973 kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus
AIDS per 100.000 penduduk tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45),
DKI Jakarta (31,67), Kepulauan Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91),
Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua Barat dan Jawa Timur
(8,93) dan Riau (8,36).
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember
2009 adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta
(14,16%), Papua (14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna
napza suntik, proporsi AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa
Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa Timur 12,82%, Bali 3,27%,
Sumatera Barat 2,81%.

2. Berdasarkan Kelompok Umur


Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat
19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada
kelompok umur 20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun,
8,82% pada kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-
19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok
umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak
diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1.
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita
AIDS terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU.
Kumulatif kasus AIDS pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga
tahun 2009 adalah 7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605
kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya
(0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada
kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49 tahun,

4
1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59
tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing
0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.

2.3 Etiologi dan Patogenesis


Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.
Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim
ini menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam
bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya.
Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik
virus juga ikut diturunkan.
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker
permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B,
killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah
reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang
CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul
HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen. Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian
terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan
hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif
menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak ada
dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut
juga periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV
asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan
CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60
sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100
sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi
AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/μL.
2.4 Transmisi

5
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen
darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh
karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui,
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta
narapidana.
a. Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual
reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif
tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak
digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual
dengan risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual
yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini
disebabkan karena tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali
mengalami perlukaan saat berhubungan seksual ano-genital. Risiko
perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi perlukaan dengan tangan
(fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-
genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Tingkat
risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya
terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV.
b. Transmisi Non-Seksual
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat
penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang
terkontaminasi HIV. Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian
menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza
suntik (IDU). Pada umumnya, ibukota dan kota-kota metropolitan

6
mempunyai jumlah pengguna napza suntik yang besar.Di negara
berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh
petugas kesehatan.Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang
mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga
dari semua infeksi baru HIV.
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang
mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah
>90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang
terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita
HIV sesudah transfusi itu.Di negara maju resiko penularan HIV pada
penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor
yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan.
Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap
darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir
kehamilan dan saat persalinan. HIV tidak menular melalui peralatan
makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara
bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan
penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial lainnya. Air
susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan nyamuk
belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.

2.5 Gejala Klinis


Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan,ruam
kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandaidengan
supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik
berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum(terutama
sarcoma Kaposi).
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh
gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan,
malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah
(kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran

7
pencernaan , dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama
kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan
timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang,
rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS, sebagai berikut :

Tabel 1. Stadium klinik HIV


Stadium 1 Asimtomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan berat badan 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka disekitar bibir (keilitis angularis)

Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular

eruption))

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

8
Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

TB limfadenopati

Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis

(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang

Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan

Kandidosis esophageal

TB Extraparu

Sarcoma Kaposi

Retinitis CMV (Cytomegalovirus)

Abses otak Toksoplasmosis

Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)

Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis

9
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)

Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi

neurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi

ARV)

Kanker serviks invasive

Leismaniasis atipik meluas

Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

2.6 Diagnosis HIV/ AIDS


1. Anamnesis

a. Berat badan menurun


b. Diare
c. Demam
d. Pembesaran kelenjar getah bening

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum:
 Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC)
yang lebih dari satu bulan
 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
 Limfadenopati meluas

b. Kulit: PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts),
folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu
terkait dengan HIV.

c. Infeksi:
 infeksi jamur:
o kandidiasis oral
o dermatitis seboroik

10
o kandidiasis vaginal berulang
 infeksi viral:
o Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)
o Herpes genital (berulang)
o Moluskum kontagiosum
o Kondiloma

 Gangguan pernafasan:
o Batuk lebih dari satu bulan
o Sesak nafas
o Tuberkulosis
o Pneumonia berulang
o Sinusitis kronis atau berulang
 Gejala neurologis:
o Nyeri kepala semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya
o Kejang demam
o Menurunnya fungsi kognitif

Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV.


( Sumber : WHO SEARO 2007)

3. Pemeriksaan Laboratorium
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan
panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan
strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi
singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau
dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes
dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan
selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu
hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela (Window
Period). Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela
menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama
bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

11
a. Diagnosis HIV pada Bayi
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara
klinis selama periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang
ditemukan pada anak adalah pneumonia yang disebabkan
Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan
infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, Kandidiasis oral,
Diare kronis, atau Hepatosplenomegali. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi infeksi HIV pada bayi adalah PCR (Polymerase
chain reaction), hal ini disebabkan karena antibodi ibu yang masih bisa
dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan
Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV.
b. Diagnosis HIV pada Anak
Anak-anak berusia >18 bulan bisa didiagnosis dengan
menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri
kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting, Limfadenopati
menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Terdapat dua klasifikasi yang biasa digunakan untuk mendiagnosis
anak dengan HIV yaitu :
a. Klasifikasi menurut CDC

i. Kategori N : gejala ringan


Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai
akibat infeksi HIV atau hanya mempunyai satu keadaan yang
terdapat pada kategori A.
ii. Kategori A : gejala sedang
Anak dengan 2 atau lebih kriteria seperti Limfadenopati
(>0,5cm), Hepatomegali, Splenomegali, Dermatitis, Parotitis,
Infeksi pernafasan bagian atas menetap atau berulang,

12
Sinusitis, atau Otitis media, namun tidak menunjukkan adanya
kondisi yang tertera pada kategori B dan C :

iii. Kategori B : gejala sedang


Anak dengan gejala selain daripada yang tertera pada
kategori A atau C yang menunjukkan adanya infeksi HIV,
misalnya Anemia (<8g/dl), Neutropenia (<1000/mm3), atau
Trombositopenia (100.000/mm3) menetap >30 hari, Meningitis
bakterial, Pneumonia atau sepsis, Kandidiasis orofaringeal
yang menetap (>2 bulan) pada anak usia > 6 bulan, Diare
kronis yang berulang, Hepatitis, Stomatitis virus Herpes
simplex berulang (>2 episode dalam 1 tahun), Bronkitis,
Pneumonitis, terserang Herpes zoster sampai 2 kali atau lebih,
Leiomiosarkoma, Pneumonia interstitial limfoid atau lymphoid
hyperplasia complex, Nefropati, demam lebih dari 1 bulan,
Varisella berat.
iv. Kategori C : gejala berat.
Anak yang menunjukkan gejala seperti yang tertera pada
definisi kasus HIV, kecuali Pneumonia interstitial limfoid
(masuk kategori B). Dijumpai adanya infeksi bakteri berat,
sering atau kambuh-kambuh, Kandidiasis esophagus atau paru
(trakeal, bronkus, dan paru), Coccidiomicosis berat, Pneumonia
akibat Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare
Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Ensefalopati,
Histoplasmosis berat, Sarcoma Kaposi, Limfoma terutama di
otak, Tuberkulosis, Leukoensefalopati multifocal progresif,
Tuberkulosis di luar paru, HIV wasting syndrome yaitu
penurunan BB > 10%, disertai diare dan demam >30 hari terus
menerus.

b. Klasifikasi WHO
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit
klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor

13
dan minor. Seorang anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala
minor bisa didiagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau
tes laboratorium lainnya. Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor
dan minor untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi WHO.
1. Gejala mayor
Gagal tumbuh kembang atau penurunan berat badan, Diare kronis,
demam memanjang tanpa sebab serta Tuberkulosis.
2. Gejala minor
Limfadenopati, Kandidiasis oral, batuk menetap, Distress
pernapasan/Pneumonia, infeksi berulang, serta infeksi kulit
generalisata.

2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat
simptomatik dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi
berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.
Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa
(Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur
(Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan
bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular,
Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan
terus-menerus.
c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat
enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup,
menjadikan infeksi opurtunistik.
d. Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6
golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari :
• Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI) NRTIs
bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse transcriptase

14
HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus yang sedang
aktif dan menyebabkan terminasi. Obat golongan ini memerlukan
aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim menjadi bentuk
trifosfat. Golongan ini terdiri dari : Analog deoksitimidin (Zidovudin),
analog timidin (Stavudin), analog deoksiadenosin (Didanosin), analog
adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin
(Lamivudin dan Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir) (Katzung,
2004).
• Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) NNRTIs
bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada situs aktif enzim
reverse transcriptase yang menyebabkan aktivitas polimerase DNA
terhambat. Golongan ini tidak bersaing dengan trifosfat nukleosida dan
tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri
dari: Nevirapin, Efavirenz, Delavirdine (Katzung, 2004).
• Protease inhibitors (PIs)
Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen Gag-
Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian menjadi
partikel yang belum matang . Protease bertanggung jawab pada
pembelahan molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein bentuk
akhir dari inti virion matang dan protease penting untuk produksi
virion infeksius matang selama replikasi. Obat golongan ini
menghambat kerja enzim protease sehingga mencegah pembentukan
virion baru yang infeksius. Golongan ini terdiri dari : Saquinavir,
Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir.
• Fusion inhibitors (FIs)
FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara berikatan
dengan subunit gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus
ke sel target dihambat. Obat golongan ini terdiri dari : Enfuvirtide (T-
20 atau pentafuside).
• Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4 dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel
pejamu. Golongan ini terdiri dari : Maraviroc, Aplaviroc, Vicrivirox.
• Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)

15
Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA
(cDNA) virus dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini terdiri
dari : Raltegravir dan elvitegravir.

2.8 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan
pendekatan “ABC” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak
melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan
seksual, jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya
tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan
juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten
(Use Condom).

Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan


skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan
didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif
lainnya yang kurang perlu.

ODHA juga perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar


penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.
Misalnya :

a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan


mengungkapkan perasaannya.
b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau
mengenang masa lalu yang indah.
c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya.
d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat
mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain.
e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat
disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup :
pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien
tetap bersih dan kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan
pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik

16
relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),
persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang
keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

2.9 Konseling
Konseling HIV/AIDS bersifat komunikasi rahasia antara klien dan petugas
kesehatan bertujuan memungkinkan klien menghadapi stres dan menentukan
pilihan pribadi berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk
melakukan evaluasi risiko penularan HIV pribadi, memberikan fasilitasi
perubahan perilaku, dan melakukan evaluasi mekanisme coping ketika klien
dihadapkan pada hasil tes (+) Konseling pencegahan dan perubahan perilaku
guna mencegah penularan. Diagnosis HIV mempunyai banyak dampak,
seperti dampak psikologik, sosial, fisik dan spiritual. HIV merupakan penyakit
yang mengancam kehidupan. Adapun proses konseling adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama :
Dimulai dari membina hubungan baik dan membina kepercayaan ,
dengan menjaga rahasia dan mendiskusikan keterbatasan rahasia,
melakukan ventilasi permasalahan, mendorong ekspresi perasaan,
diutamakan dapat menggali masalah, terus mendorong klien
menceritakannya. Upayakan dapat memperjelas harapan klien dengan
mendeskripsikan apa yang konselor dapat lakukan dan cara kerja mereka
serta memberi pernyataan jelas bahwasanya komitmen konselor akan
bekerja sama dengan klien.
2. Tahap kedua :
Mendefinisikan dan pengertian peran, memberikan batasan dan
kebutuhan untuk mengungkapkan peran dan batasan hubungan konseling,
mulai dengan memaparkan dan memperjelas tujuan dan kebutuhan klien,
menyusun prioritas tujuan dan kebutuhan klien, mengambil riwayat rinci,
menceritakan hal spesifik secara rinci, menggali keyakinan, pengetahuan
dan keprihatinan klien.

3. Tahap ketiga :

17
Proses dukungan konseling lanjutan yakni dengan meneruskan
ekspresi perasaan / pikiran , mengidentifikasi opsi, mengidentifikasi
ketrampilan, penyesuaian diri yang telah ada, mengembangkan
keterampilan penyesuaian diri lebih lanjut, mengevaluasi opsi dan
implikasinya, memungkinkan perubahan perilaku, mendukung dan
menjaga kerjasama dalam masalah klien, monitoring perbaikan tujuan
yang terindentifikasi , rujukan yang sesuai.
4. Tahap empat :
Untuk menutup atau mengakhiri hubungan konseling . Disarankan
kepada klien dapat bertindak sesuai rencana klien menata dan
menyesuaiakan diri dengan fungsi sehari-hari, bangun eksistensi sistem
dukungan dan dukungan yang diakses, lalu mengidentifikasi strategi untuk
memelihara hal yang sudah beruhah baik . Untuk pengungkapan diri harus
didiskusikan dan direncanakan, atur interval parjanjian diperpanjang,
disertai pengenalan dan pengaksesan sumber daya dan rujukan yang
tersedia, lalu pastikan bahwa ketika ia membutuhkan para konselor
senantiasa bersedia membantu. Menutup atau mengakhiri konseling
dengan mengatur penutupan dengan diskusi dan rencana selanjutnya, bisa
saja dengan membuat perjanjian pertemuan yang makin lama makin
panjang intervalnya.

2.10 Tujuan Konseling HIV/AIDS


Konseling HIV/AIDS merupakan proses dengan 3 (tiga) tujuan umum :
1. Dukungan psikologik misalnya dukungan emosi, psikologi sosial,
spiritual sehingga rasa sejahtera terbangun pada odha dan yang
terinfeksi virus lainnya
2. Pencegahan penularan HIV/AIDS melalui informasi tentang perilaku
berisiko (seperti seks tak aman atau penggunaan alat suntik bersama )
dan membantu orang untuk membangun ketrampilan pribadi yang
penting untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek aman.
3. Memastikan terapi efektif dengan penyelesaian masalah dan isu
kepatuhan

18
2.11 Cara Untuk Mencapai Tujuan Konseling:
Mengajak klien mengenali perasaannya dan mengungkapkannya ,
menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindak lanjut yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi, mendorong perubahan perilaku,
memberikan informasi pencegahan, terapi dan perawatan HIV/AIDS terkini,
memberikan informasi tentang institusi ( pemerintah dan non pemerintah )
yang dapat membantu dibidang sosial, ekonomi dan budaya , membantu
orang untuk kontak dengan institusi diatas.
Membantu klien mendapatkan dukungan dari system jejaring social,
kawan dan keluarga membantu klien melakukan penyesuaian dengan rasa
duka dan kehilangan , melakukan peran advokasi, misal membantu melawan
diskriminasi, membantu individu mewaspadai hak hukumnya, membantu
klien memelihara diri sepanjang hidupnya, membantu klien menentukan arti
hidupnya.
Selain isu yang berkaitan langsung dengan HIV/AIDS, klien dapat
menyajikan : Serangkaian isu tentang keadaan tidak langsung berkaitan
dengan HIV kebutuhan terapi spesifik misalnya : disfungsi seksual, serangan
panik isu terdahulu yang belum terselesaikan, misalnya: isu seksual,
ketergantungan napza, masalah keluarga dll. Siapa yang disebut Konselor
HIV?
 Full time counselor yang berlatar belakang psikologi dan ilmuwan
psikologi (psychiatrists, family therapist, psikologi terapan) yang sudah
mengikuti pelatihan VCT dengan standart WHO.
 Profesional dari kalangan perawat, pekerja sosial, & dokter.
 Community-based dan PLWHA yang sudah terlatih (Peer).

Konselor HIV
1. Konselor Dasar (Lay Counselor)
o Berangkat dari kebutuhan sebaya

o Dekat dengan komunitas

o Lebih mempromosikan VCT dan konseling dukungan.

19
2. Konselor Profesional (Profesional Counselor)

o Pre dan post konseling

o Issue Psikososial

3. Konselor Senior/pelatih (Senior Counselor)

o Memberikan dukungan untuk konselor dan petugas managemen


kasus

o Mendampingi, supervisi dan memberikan bantuan teknis kepada


konselor

2.12 Voluntary Counseling Test (VCT)


a. Definisi Voluntary Counseling Test (VCT):
Proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV
secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini
membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing
memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat testing, pengambilan
keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV yang akan
dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti &
menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan.
Voluntary Counseling Test (VCT) : Merupakan pintu masuk penting
untuk pencegahan dan perawatan HIV.
b. Elemen Penting dalam VCT
 Tersedia waktu
 Penerimaan klien dan berorintasi kepada klien

 Mudah di Jangkau (Accessibility)

 Confidentiality ( rasa nyaman)


c. Tahapan Konseling Pre-test
 Alasan Test
 Pengetahuan tentang HIV & manfaat testing

 Perbaikan kesalahpahaman ttg HIV / AIDS

20
 Penilaian pribadi resiko penularan HIV

 Informasi tentang test HIV

 Diskusi tentang kemungkinan hasil yang keluar

 Kapasitas menghadapi hasil / dampak hasil

 Kebutuhan dan dukungan potensial - rencana pengurangan resiko


pribadi

 Pemahaman tentang pentingnya test ulang.

 Memberi waktu untuk mempertimbangkan.

 Pengambilan keputusan setelah diberi informasi.

 Membuat rencana tindak lanjut.

 Memfasilitasi dan penandatanganan Informed Consent


d. Konseling Pasca Test
 Dokter & Konselor Mengetahui Hasil Untuk Membantu Diagnosa
Dan Dukungan Lebih Lanjut.
 Hasil diberikan dalam amplop tertutup .
 Hasil Disampaikan Dengan Jelas Dan Sederhana

 Beri Waktu Untuk Bereaksi

 Cek Pemahaman Hasil Test

 Diskusi Makna Hasil Test

 Dampak pribadi , keluarga , sosial terhadap odha , kepada siapa &


bagaimana memberitahu.

 Rencana pribadi penurunan resiko

 Menangani reaksi emosional.

 Apakah segera tersedia dukungan ?

21
 Tindak lanjut perawatan & dukungan ke layanan managemen kasus
atau layanan dukungan yang tersedia di wilayah.
e. Alur VCT
Konseling Individual pra-testing  Periksa Darah dg Rapid Testing 
Terima hasil & konseling Pasca Tes  Konseling Dukungan dan rujukan
pelayanan Kesehatan & MK  Rujukan untuk dukungan proses yang
sedang berjalan, termasuk Support group.

BAB III
METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1. Bentuk Kegiatan


Kegiatan dilakukan di ruang tunggu Puskesmas Wanasari berupa
penyuluhan tentang HIV AIDS. Kegiatan dimulai pada pukul 07.30 WIB
dihadiri kurang lebih 20 orang yang hendak berobat di puskesmas dengan
metode penyuluhan kuantitatif dengan cara menerangkan materi kepada
peserta penyuluhan dan disajikan dengan menggunakan powerpoint,
dilanjutkan dengan tanya jawab yang berkaitan dengan materi agar peserta
penyuluhan dapat memahami materi yang telah disampaikan dan dapat
berbagi ilmu kepada keluarga maupun teman dengan apa yang mereka dapat
dari penyuluhan tersebut. Pemateri juga menyediakan reward bagi peserta
yang tahu jawaban atas pertanyaan yang disampaikan pemateri sehingga
peserta penyuluhan lebih merasa semangat dan dihargai.

3.2. Sasaran Kegiatan


Sasaran kegiatan dari penyuluhan ini adalah seluruh pengunjung
Puskesmas Wanasari yang hendak berobat baik perempuan atau pria, terutama
yang memang pekerja di lokalisasi atau yang rumahnya berdekatan dengan
tempat lokalisasi.

22
3.3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan penyuluhan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal : Rabu, 8 september 2017
Waktu : 07.30 – 08.00 WIB
Tempat : Ruang tunggu Puskesmas Wanasari

BAB IV
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Hasil Pelaksanaan


Kegiatan penyuluhan dimulai pada jam 07.30 – 08.00 pada hari Senin
di ruang tunggu Puskesmas Wanasari. Peserta penyuluhan yang sudah berada
di puskesmas dipersilahkan mengisi daftar hadir yang disediakan. Peserta
yang hadir terdiri dari segala jenjang umur yang hendak berobat di Puskesmas
Wanasari. Materi penyuluhan meliputi pengertian HIV AIDS, faktor risiko,
penyebab, tanda, gejala, dampak, dan pencegahannya. Adapun beberapa
permasalahan yang ditemukan pada penyuluhan ini yaitu waktu yang tersedia
kurang karena harus selesai tepat jam 08.00 dimana pelayanan dimulai dan
banyak perhatian pengunjung yang terpecah untuk berburu-buru mendaftar
ketika waktu pelayanan hampir dimulai.

4.2. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan


Dalam pelaksanaan penyuluhan perlu dipertimbangkan waktu, materi,
sasaran, metode yang dilakukan serta sarana dan prasarana yang digunakan.
Pemilihan waktu yang tepat serta penyediaan sarana yang memadai dan tepat
guna akan membuat penyuluhan menjadi lebih efektif, untuk itu diperlukan
pertimbangan mengenai waktu yang tepat dan tempat yang nyaman agar
tujuan yang dimaksud dalam penyuluhan tersampaikan dengan baik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta.
FKUI.

Hurlock E. Psikologi Perkembangan Ed.5. Jakarta. Erlangga.

Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 1. Jakarta. Salemba
Medika.

Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. 2008. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta.
EGC

Soetjaningsih.2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta.


Sagung Seto.

Saddock B, dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan Ed.2. Jakarta. EGC

Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III.
Jakarta. FKUI.

24

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • LML NM
    LML NM
    Dokumen6 halaman
    LML NM
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Jhio
    Jhio
    Dokumen3 halaman
    Jhio
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • KLNMKL
    KLNMKL
    Dokumen3 halaman
    KLNMKL
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Jhiojgjk
    Jhiojgjk
    Dokumen12 halaman
    Jhiojgjk
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • KNKL M
    KNKL M
    Dokumen3 halaman
    KNKL M
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Data Absensi Presentasi Kasus
    Data Absensi Presentasi Kasus
    Dokumen1 halaman
    Data Absensi Presentasi Kasus
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Juyrjmyu
    Juyrjmyu
    Dokumen2 halaman
    Juyrjmyu
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • KN KL
    KN KL
    Dokumen24 halaman
    KN KL
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Juyrjmyu
    Juyrjmyu
    Dokumen2 halaman
    Juyrjmyu
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Juyrjmyu
    Juyrjmyu
    Dokumen2 halaman
    Juyrjmyu
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Jugukj
    Jugukj
    Dokumen2 halaman
    Jugukj
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • JNKLN
    JNKLN
    Dokumen23 halaman
    JNKLN
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Juyrjmyu
    Juyrjmyu
    Dokumen2 halaman
    Juyrjmyu
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Jugukj
    Jugukj
    Dokumen2 halaman
    Jugukj
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • JNKLN
    JNKLN
    Dokumen23 halaman
    JNKLN
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • KN KL
    KN KL
    Dokumen24 halaman
    KN KL
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Sesi Tanya Jawab Penyuluhan
    Sesi Tanya Jawab Penyuluhan
    Dokumen1 halaman
    Sesi Tanya Jawab Penyuluhan
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • HJBJK
    HJBJK
    Dokumen4 halaman
    HJBJK
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Juyrjmyu
    Juyrjmyu
    Dokumen2 halaman
    Juyrjmyu
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Ugoiughb
    Ugoiughb
    Dokumen2 halaman
    Ugoiughb
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • JHKGJK
    JHKGJK
    Dokumen1 halaman
    JHKGJK
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Juyrjmyu
    Juyrjmyu
    Dokumen2 halaman
    Juyrjmyu
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Jhio
    Jhio
    Dokumen3 halaman
    Jhio
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • KLBHKL
    KLBHKL
    Dokumen1 halaman
    KLBHKL
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • HFHJ
    HFHJ
    Dokumen1 halaman
    HFHJ
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat
  • HJBJK
    HJBJK
    Dokumen4 halaman
    HJBJK
    Dhisa Zainita Habsari
    Belum ada peringkat