Farmakologi Dan Toksikologi 2
Farmakologi Dan Toksikologi 2
Penyakit
A 1. Definisi Penyakit
Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah
manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan yang
terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh
jantung ke seluruh anggota tubuh. Penyakit hipertensi lebih akrab disebut
sebagai penyakit darah tinggi. Penyakit ini sebenarnya sebuah hipertensi
arteri yang diakibatkan tekanan darah yang meningkat secara kronis.
Penyakit ini terjadi tanpa gejala yang dapat meningkatkan penyakit stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, sampai kerusakan ginjal
(Wiwit S., 2010).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg sampai lebih dari
140 mmHg atau aliran tekanan darah diastolik 90 mmHg sampai lebih dari
90 mmHg pada individu. Hipertensi berat meningkatkan stroke hingga 7 kali
lipat, dan hipertensi perbatasan meningkatkan risiko hingga 1,5 kali lipat
(Goldszmidt et al., 2011).
Mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120
mmHg dan tekanan darah diastolic (TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap
sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan
darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada
dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi
obat (Anonim, 2006).
A.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
a) Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhi seperti genetik, lingkungan,32 hiperaktivitas sususan saraf simpatis,
sistem renin-angiotensin, peningkatan Natrium dan Kalsium intraseluler, dan
faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polositemia (Mansjoer, 2001).
b) Hipertensi Sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya tidak diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,
feokromositoma, koarketasioaorta serta hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan (Mansjoer, 2001).
A.4 Patofisiologi
Mengenal patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidak pastian.
Sebagian kecil pasien (2%-5%) menderita penyakit ginjal atau adrenal sebagai
penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak dijumpai penyebabnya dan
keadaan ini dinamai hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam
mempertahankan tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini
dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Mungkin banyak faktor yang saling
berkaitan ikut berperan dalam terjadinya peningkatan tekanan darah, dan faktor-
faktor ini dapat berbeda pada masing-masing pasien (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2008).
A.7 Obat
1. Catropril (Kowalski, 2010).
GO : ACE Inhibitor
MKO :Dengan menghambat kerja enzim yang mengaktifkan angiotensin.
Penghambat EPA mencegah penyempitan pembuluh darah dan
menurunkan resistensi aliran darah, yang pada akhirnya menurunkan
tekanan darah.
ES : Kemerahan pada kulit atau reaksi alergi lain, hilang selera makan, batuk
kering kronis, dan kerusakan ginjal.
DS : 12,5-100 mg perhari
B. Obat
B.1 Golongan Obat
(Menurut obat-obat penting : 460)
1. Ampicillin golongan penisilin
2. Metformin golongan biguanid
3. Glibenclamid golongan sulfonylurea
1. Ampisilin( Penicilin)
Ampisilin merupakan derivat penisilin yang merupakan kelompok β-laktan yang memiliki
spektrum antimikroba yang luas . ampisilin efektif terhadap mikroba gram positif dan gram
negatif. Ampisilin digunakan untuk infeksi pada saluran urin yang disebabkan oleh Escherichia
coli dn juga infeksi saluran pernapasan, telinga bagian bawah yang disebabkan Streptococus
pneumoniae (Brooks,2001 ; Wattimena,1997).
2. Metformin (Biguanida)
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang
sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia (Jurnal Pharmaceutical
Care.2005).
3. Glibenclamida (Sulfonilurea)
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa tahun
yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea. Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi(Jurnal Pharmaceutical Care.2005).
B.2 Mekanisme kerja Obat
1. Ampicillin : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara menghambat
pembentukan mukopeptida, karena sntesis dinding se terganggu maka
bekteri tersebut tidak mampu mengatas perbedaan tekanan osmosa diluar
dan didalam sel yang mengakibatkan bakteri mati (Wattimena, 1987).
2. Metformin : Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Pharmaceutical Care
untuk penyakit Diabetes Melitus : 2005)
: mulai dari 500 mg lisan dua kali sehari dengan menu terbesar dan
peningkatan oleh 500 mg mingguan seba gai ditoleransi sampai 2500 mg/hari.
Metformin 850 mg dapat subtropis sekali sehari dan kemudian meningkat
setiap 1 untuk 2 minggu untuk maksimum 850 mg tiga kali sehari (2550
mg/hari) (Pharmacotherapy Handbook : 165)
4. Glibenclamid : Dosis permulaan 1 dd 2,5-5 mg, bila perlu dinaikkan setiap minggu sampai
maksimal dd 10 mg (Obat-Obat Penting : 760)
B.6 Farmakokinetik
1. Ampicillin : Mengalami absorpsi di saluran cerna dan ditranspor melalui pembuluh
mesenterika menuju vena porta hepatik dan hepar, sebelum memasuki
sirkulasi sistemik (Tjay dan Rahardja 2002). Distribusi obat ke seluruh tubuh,
tergantung pada aliran darah dan sifat fisikokimia obat. Distribusi fase
pertama terjadi segera setelah absorpsi, ke organ yang perfusinya baik
(jantung, hati, ginjal, otak) dan dilanjutkan ke fase kedua, dengan perfusi
jaringan yang kurang baik (otot, visera, jaringan lemak). Metabolisme
merupakan perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan
dikatalis oleh enzim, sedangkan ekskresi adalah pengeluaran obat atau
metabolitnya dari tubuh, terutama oleh ginjal dan sebagian melalui pulmo,
keringat, air liur, air mata, air susu, empedu , usus dan rambut (Tjay dan
Rahardja 2002).
2. Metformin : Resorpsi dari usus tidak lengkap, BA 50-60%, PP rendah. Praktis tidak
dimetabolisasi dan diekskresi utuh lewat urin. Plasma t1/2 3-6 jam (OOP :
761).
3. Glibenclamid : Absorbsi melalui saluran cerna cukup efektif, makanan dan keadaan
hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma,
sulfonylurea dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum
makan. Dalam plasma sekitar 90-99% terikat protein plasma terutama albumin ikatan ini
paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburd (F dan T : 490).
B.7 Farmakodinamik
1. Ampicillin : Menggangu sintesis dinding sel bakteri , sehingga menyebabkan sel menjadi
lisis (Sumantri,2012).
2. Metformin : Sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu anti hiperglikemik, tidak
menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak meyebabkan
hipoglikemia. Biguanid tidak meragsang ataupunmeghambat perubahan
glukosa menjadi lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat
menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas pula; pada
orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan
kadar glukosa darah (F dan T: 492).
3. Glibenclamid : Obat-obat golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar
pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans masih
dapat diproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa obat ini disebabkan oleh perangsang sekresi
insulin oleh kelenjar pankreas. Pemberian obat golongan ini sangat
bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin, tetapi karena suatu hal terhambar sekresinya
(Jurnal Pharmaceutical care,2005)
B.8 Kontra Indikasi
1. Ampicillin : Hipersensitif terhadap penisillina (Jurnal Pharmaceutical care,2005)
2. Metformin : Tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyait hepar berat, penyakit ginjal
dengan uremia dan penyakit jantung kongestif dan penyakit paruh dengan
hipoksia kronik (F dan T : 492).
3. Glibenclamid : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenil, pasien yang
kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan
keadaan gawat (F dan T : 491).
B.9 Standar Terapi
1. Terapi farmakologi (Dipiro, et al., 2011):
1.
C.1. Pembahasan
Ada seorang pasien bernama Ny. Ani berusia 45 tahun masuk ke RS dengan keluhan
Polifagia, Polidipsia, Poliuria, penglihatan kabur dan penurunan berat badan, serta pasien juga
mengeluh tentang kaki kanan luka akibat tertusuk paku. Luka ada sejak 1 bulan lalu dan berobat di
puskesmas dan diberikan antibiotik. Tetapi luka tak kunjung sembuh. Riwayat keluarga : Adik Ny.
Ani diketahui menderita Diabetes Melitus type 2. Setelah mendengar keluhan dari pasien Ny. Ani
menderita Diabetes type 2 dan diberikan resep oleh dokter yaitu ampisilin 4 x 1 gram, metformin 3
x 500 mg dan glibenclamide 3 x 5 mg.
Berdasarkan kasus, diperoleh Ny.Ani menderita Diabetes Mellitus tipe 2. Hal ini diperkuat
dengan keluhan pasien yang sering mengalami poliuria, polifagia dan polydipsia. Pada kasus ini
ada beberapa jenis obat yang diberikan kepada pasien seperti ampisilin, metformin dan
glibenclamid. Dimana obat ampisillin ini merupakan golongan penisilin yang bekerja menghalangi
sintesa lengkap dari polimer ini spesifik bagi kuman dan disebut murein. Kemudian metformin
merupakan golongan obat biguanida, Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi
glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas, Selain itu juga ada
glibenclamid, yang merupakan golongan obat sulfonylurea yang merangsang sekresi insulin
dikelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel pankreasnya
masih berfungsi dengan baik.
Pada resep yang diberikan kepada Ny.Ani ada beberapa hal yang tidak sesuai, dimana
penggunaan obat ampisilin ini diberikan 4 x 1 mg, yang berdasarkan literatur ampisilin ini
sebaiknya dapat digunakan 3 x 1 mg. Selain itu juga ada, obat glibenclamide yang diberi dosis 3 x 5
mg. Hal ini sebenarnya telah melewati dosis normal ( over dosis), berdasarkan literatur seharusnya
glibenclamide ini hanya dapat digunakan dalam 2 x 5 mg, dimana dosis lazim dewasa: awal 5
mg/hari. Jika untuk lansia atau penderita yang sangat lemah, dosis awal dikurangi menjadi 2,5
mg/hari. Hal ini juga disebabkan karena waktu kerja obat ini 15 jam, sehingga hanya dapat
diberikan 2 x 5 mg/ hari. Sedangkan pada obat metformin berdasarkan literatur sudah sesuai
dengan dosisnya yaitu Dosis awal yang biasa dianjurkan oleh dokter adalah 500 mg atau 850 mg
yang diminum 1-3 kali sehari. Dosis awal kemudian akan direvisi dan disesuaikan dengan kadar
gula darah setelah 10-15 hari. Dosis maksimal obat ini adalah 3 gram yang dibagi dalam 3 dosis per
hari, jadi dosisnya untuk metformin 3 x 1(sehari) 500 mg sama dengan yang ada diresep.
Sebuah penelitian menarik di Swedia dipublikasi tahun 2015 di jurnal British Medical
Journal (BMJ). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa glibenclamide golongan Sulfonilurea lain
memiliki resiko kegagalan terapi tunggal (monoterapi) empat kali lebih besar bila dibandingkan
dengan metformin. Tablet tunggal kombinasi glibenclamide/metformin 2,5 mg/ 400 mg
merupakan pilihan terapi diabetes melitus tipe 2, dengan efektifitas yang baik dan kejadian
hipoglikemia yang rendah. Tablet tunggal (glibenclamide dan metformin) memberikan compliance
lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi dengan masing-masing tablet (2 tablet,
glibenclamide plus metformin). Adapun metformin diberikan bersamaan dengan glibenclamid
karena metformin dapat menekan potensi glibenklamid dalam menaikkan berat badan pada
pasien diabetes mellitus tipe 2, sehingga cocok untuk pasien diabetes mellitus tipe 2.
C.2. Kesimpulan
Diabetes melitus adalah sebuah penyakit dimana kadar glukosa dalam darah
meningkat akibat dari rusaknya kelenjar pankreas, sehingga produksi insulin yang mengubah
glukosa dalam hati menjadi glikogen berkurang. Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan
metabolik yang ditandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Penderita diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia
(banyak makan), polidipsia (banyak minum) dan poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam
hari).
Dari resep yang diberikan ada beberapa dosis yang tidak sesuai, seperti penggunaan
obat ampisilin ini diberikan 4 x 1 mg, yang sebaiknya digunakan 3 x 1 mg. Selain itu juga ada, obat
glibenclamide yang diberi dosis 3 x 5 mg, sebaiknya glibenclamide hanya digunakan dalam 2 x 5
mg. Sedangkan pada obat metformin sudah sesuai dengan dosisnya baik digunakan 3 x 500 mg
perhari.
Daftar Pustaka
Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes. American Journal of
Epidemiology.2003;15(1);150-9
John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru. Cermin Dunia
Kedokteran.2006; 127:37-40
Mayfield, J. M.D., M.P.H., Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus: New Criteria.
American Family Physician 1998, 58/6
Noor, restyana.2015.”Diabetes mellitus tipe 2”. Medical faculty.universitas lampung; lampung
Tjay Tan Hoan., dan Rahardja Kirana. 2015. “Obat-Obat Penting”. PT. Kompas Gramedika:
Jakarta
Wayan, Ida Bagus, dkk. 2010. “Jurnal Preanalitik dan Interpretasi Glukosa Darah untuk
diagnosis diabetes melitus” Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Bali.
WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva. Definition, Diagnosis
and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications. Report of a WHO
ConsultationPart 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus . 1999