Anda di halaman 1dari 13

A.

Penyakit
A 1. Definisi Penyakit
 Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah
manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan yang
terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh
jantung ke seluruh anggota tubuh. Penyakit hipertensi lebih akrab disebut
sebagai penyakit darah tinggi. Penyakit ini sebenarnya sebuah hipertensi
arteri yang diakibatkan tekanan darah yang meningkat secara kronis.
Penyakit ini terjadi tanpa gejala yang dapat meningkatkan penyakit stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, sampai kerusakan ginjal
(Wiwit S., 2010).
 Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg sampai lebih dari
140 mmHg atau aliran tekanan darah diastolik 90 mmHg sampai lebih dari
90 mmHg pada individu. Hipertensi berat meningkatkan stroke hingga 7 kali
lipat, dan hipertensi perbatasan meningkatkan risiko hingga 1,5 kali lipat
(Goldszmidt et al., 2011).

A.2 Klasifikasi tekanan darah


Berdasarkan Penyebab ada 2 :
1. Hipertensi Primer 95 %
Penyebab pasti tidak diketahui, meliputi 95 % kasus
2. Hipertensi Sekunder 5 %
Penyebab diketahui (teridentifikasi) meliputi 5 % kasus yang terdiri dari :
 Penyakit (ginjal kronis, hiperaldosteronisme)
 Obat (kortikosteroid, estrogen (pil KB), NSAID, fenilpropanolamin, siklosporin
dan tacrolimus, eritropoetin, antidepresan).

Mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120
mmHg dan tekanan darah diastolic (TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap
sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan
darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada
dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi
obat (Anonim, 2006).
A.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
a) Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhi seperti genetik, lingkungan,32 hiperaktivitas sususan saraf simpatis,
sistem renin-angiotensin, peningkatan Natrium dan Kalsium intraseluler, dan
faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polositemia (Mansjoer, 2001).
b) Hipertensi Sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya tidak diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,
feokromositoma, koarketasioaorta serta hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan (Mansjoer, 2001).

A.4 Patofisiologi
Mengenal patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidak pastian.
Sebagian kecil pasien (2%-5%) menderita penyakit ginjal atau adrenal sebagai
penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak dijumpai penyebabnya dan
keadaan ini dinamai hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam
mempertahankan tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini
dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Mungkin banyak faktor yang saling
berkaitan ikut berperan dalam terjadinya peningkatan tekanan darah, dan faktor-
faktor ini dapat berbeda pada masing-masing pasien (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2008).

A.5 Faktor Resiko


Hipertensi lama atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan
organ pada jantung, otak, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer. Pada jantung
dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung, dan pada otak dapat
terjadi stroke. Pengendalian berbagai factor risiko pada hipertensi sangat penting
untuk mencegah komplikasi kardiovaskular. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
antara lain tekanan darah, kelainan metabolik (diabetes melitus, lipid darah, asam
urat dan obesitas), merokok, alkohol dan inaktifitas, sedangkan yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, dan faktor genetik (Nafrialdi,2007).

A.6 Tanda dan gejala


- Penderita HT primer yang sederhana pada umumnya tidak disertai gejala.
- Penderita HT sekunder dapat disertai gejala suatu penyakit. Penderita
feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal, berkeringat, takikardia,
palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada aldosteronemia primer yang mungkin
terjadi adalah gejala hipokalemia keram otot dan kelelahan. Penderita HT
sekunder pada sindrom Cushing dapat terajdi peningkatan berat badan, poliuria,
edema, iregular menstruasi, jerawat atau kelelahan otot. (ISO F : 120)

A.7 Obat
1. Catropril (Kowalski, 2010).
GO : ACE Inhibitor
MKO :Dengan menghambat kerja enzim yang mengaktifkan angiotensin.
Penghambat EPA mencegah penyempitan pembuluh darah dan
menurunkan resistensi aliran darah, yang pada akhirnya menurunkan
tekanan darah.
ES : Kemerahan pada kulit atau reaksi alergi lain, hilang selera makan, batuk
kering kronis, dan kerusakan ginjal.
DS : 12,5-100 mg perhari

2. HCT (Hidrokortiazid) (Kowalski, 2010).


GO : Diuretic Thiazide
MKO : sebagai vasodilator dengan membuka pembuluh darah
ES : keletihan, keram kaki, lemah, encok (jarang) peningkatan gula darah,
terutama pada penderita diabetes, dan penurunan libido dan atau
impotensi
DS : 12,5-25 perhari
1. Warfarin
GO : Antikoagulan
MKO : bekerja sebagai pencegah pembentukan bekuan baru
ES : Pasien berusia 80 tahun atau lebih mungkin rentan terhadap komplikasi
perdarahan, dengan tingkat 13 berdarah per 100 orang-tahun. Penurunan
vitamin K dengan terapi koumarin meningkatkan risiko kalsifikasi arteri
dan kalsifikasikatup jantung, terutama jika terlalu banyak vitamin D.
DS :
KI : Kecenderungan untuk pendarahan, tekanan darah tinggi, gangguan pada
ginjal dan penyakit parah dari usus dan hati yang menggangu resorpsi dan
produksi vitamin K. (OOP:615)

B. Obat
B.1 Golongan Obat
(Menurut obat-obat penting : 460)
1. Ampicillin golongan penisilin
2. Metformin golongan biguanid
3. Glibenclamid golongan sulfonylurea
1. Ampisilin( Penicilin)
Ampisilin merupakan derivat penisilin yang merupakan kelompok β-laktan yang memiliki
spektrum antimikroba yang luas . ampisilin efektif terhadap mikroba gram positif dan gram
negatif. Ampisilin digunakan untuk infeksi pada saluran urin yang disebabkan oleh Escherichia
coli dn juga infeksi saluran pernapasan, telinga bagian bawah yang disebabkan Streptococus
pneumoniae (Brooks,2001 ; Wattimena,1997).
2. Metformin (Biguanida)
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang
sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia (Jurnal Pharmaceutical
Care.2005).
3. Glibenclamida (Sulfonilurea)
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa tahun
yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea. Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi(Jurnal Pharmaceutical Care.2005).
B.2 Mekanisme kerja Obat
1. Ampicillin : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara menghambat
pembentukan mukopeptida, karena sntesis dinding se terganggu maka
bekteri tersebut tidak mampu mengatas perbedaan tekanan osmosa diluar
dan didalam sel yang mengakibatkan bakteri mati (Wattimena, 1987).
2. Metformin : Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Pharmaceutical Care
untuk penyakit Diabetes Melitus : 2005)

: Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dari hati dan periferal (otot)


jaringan, memungkinkan untuk meningkatkan penyerapan glukosa.
Mengurangi kadar A1C oleh 1,5% menjadi 2%, FPG tingkat oleh 60-80 mg/dL
(3.3-4.4 mmol/L), dan mempertahankan kemampuan untuk mengurangi
tingkat FPG (Menurut Pharmacotherapy Handbook : 165)

3. Glibenclamid : Mekanisme kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul- granul B


Langerhans pancreas. Rangsangnnya melalui interaksinya dengan ATP-
sensitive K channel pada membrane sel sel B yang menimbulkan depolarisasi
membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan terbukannyan
kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel B, merangsang granula yang berisi
insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan
peptide-C. Kecuali itu sulfonylurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar.
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemia (Obat-obat Penting : 490).
:Sulfonylureas mengerahkan hipoglikemik tindakan oleh merangsang
pankreas sekresi insulin. Semua sulfonylureas sama-sama efektif dalam
menurunkan glukosa darah bila diberikan dalam dosis equipotent
(Pharmacotherapy Handbook : 165)
B.3 Efek Samping
1. Ampicillin : dapat melibatkan berbagai organ dan jaringan secra terpisah maupun bersama-
sama dan dapa muncul dalam bentuk yang ringan sampai fatal. Frekuensi
kejadian efek sampning bervariasi, tergantung pada sediaa dan cara pemberian.
Pada umumnya pemberian oral lebih jarang menimbulkan efek samping dari
pada pemberian parental (F dan T : 670).
2. Metformin : Pada awal terapi agak sering (20%) terjadi berupa gangguan alat pencernaan,
antara lain mual muntah diare dan anorexia, terutama pada dosis diatas 1,5
g/hari. Jarang sekali terjadi acidosis asam laktat yang mengancam jiwa,
terutama lansia. Oleh karena itu pasien diatas 60 tahun sebaiknya jangan diberi
metformin sebagai terapi permulaan. Rasa logam dimulut adakalanya dialami,
risiko hipoglikemia sangat kecil. Kehamilan dan laktasi berhubung kekurangan
data mengenai keamanannya, maka metformin tidak dianjurkan selama
kehamilan dan laktasi. Sebagai gantinya adalah insulin parenteral (OOP : 761 )
Efek samping yang paling umum adalah ketidaknyamanan perut, sakit perut,
diare, dan anoreksia jantung kongestif atau kondisi predisposisi hypoxemia atau
asidosis laktat melekat (Menurut Pharmacotherapy Handbook : 165)
3. Glibenclamid : Reaksi alergi jarang sekali terjadi mual, muntah, diare, gejala hematologic,
sunan saraf pusat, mata dan sebagainya. Gangguan saluran cerna ini dapat berkurang dengan
mengurangi dosis, menelan obat bersama makanan atau membagi obat dalam beberapa dosis
(OOP : 490)

B.4 Interaksi Obat


1. Ampicillin : Lama kerjanya diperpanjang oleh obat-obat encok probenesid dan sulfinpirazon,
juga oleh asetosal dan indometasin. Kombinasi dengan probenesid ssering
digunakan untuk maksud tersebut. Efek penisilin dikurangi oleh antibiotika
bakteriostatik (tetrasiklon, kloramfenikol dan makrolida) (OOP : 74).
2. Metformin : Simetidin menghambat sekresi metformin pada tubulus ginjal secara
kompetitif dan meningkatkan daerah dibawah kurva konsentrasi plasma daerah
dibawah kurva konsentrasi plasma metformin terhadap waktu serta
mengurangi ekskresi ginjal metformin (Jurnal pharmaceutical care.2005)
3. Glibenclamid : Golongan Sulfonilurea jika di interaksikan dengan obat tersebut dapat
menyebabkan hipoglikemia adalah insulin, alkohol, fenformin, sulfonamid,
salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezid, dikumarol,
kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, anabolik steroid, fenfluramin,
dan klofibrat. Terutama pemberian Klorpopamid dapat menurunkan toleransi
terhadap alkohol (OOP : 490)
B.5 Dosis
1. Ampicillin : Oral 3-4 dd 250-500 mg 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan, karena
penyerapan diperlambat oleh makanan.
2. Metformin : Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan (maintenance dosage) 3
x 500 mg, dosis maksimal 2,5 g. Obat diminum pada waktu makan. Pasien DM
yang tidak memmberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan
metformin atau dapat pula diberikan sebagai terapi kombinasi dengan insulin
atau sulfonilurea (F dan T : 492).

: mulai dari 500 mg lisan dua kali sehari dengan menu terbesar dan
peningkatan oleh 500 mg mingguan seba gai ditoleransi sampai 2500 mg/hari.
Metformin 850 mg dapat subtropis sekali sehari dan kemudian meningkat
setiap 1 untuk 2 minggu untuk maksimum 850 mg tiga kali sehari (2550
mg/hari) (Pharmacotherapy Handbook : 165)
4. Glibenclamid : Dosis permulaan 1 dd 2,5-5 mg, bila perlu dinaikkan setiap minggu sampai
maksimal dd 10 mg (Obat-Obat Penting : 760)

B.6 Farmakokinetik
1. Ampicillin : Mengalami absorpsi di saluran cerna dan ditranspor melalui pembuluh
mesenterika menuju vena porta hepatik dan hepar, sebelum memasuki
sirkulasi sistemik (Tjay dan Rahardja 2002). Distribusi obat ke seluruh tubuh,
tergantung pada aliran darah dan sifat fisikokimia obat. Distribusi fase
pertama terjadi segera setelah absorpsi, ke organ yang perfusinya baik
(jantung, hati, ginjal, otak) dan dilanjutkan ke fase kedua, dengan perfusi
jaringan yang kurang baik (otot, visera, jaringan lemak). Metabolisme
merupakan perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan
dikatalis oleh enzim, sedangkan ekskresi adalah pengeluaran obat atau
metabolitnya dari tubuh, terutama oleh ginjal dan sebagian melalui pulmo,
keringat, air liur, air mata, air susu, empedu , usus dan rambut (Tjay dan
Rahardja 2002).
2. Metformin : Resorpsi dari usus tidak lengkap, BA 50-60%, PP rendah. Praktis tidak
dimetabolisasi dan diekskresi utuh lewat urin. Plasma t1/2 3-6 jam (OOP :
761).
3. Glibenclamid : Absorbsi melalui saluran cerna cukup efektif, makanan dan keadaan
hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma,
sulfonylurea dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum
makan. Dalam plasma sekitar 90-99% terikat protein plasma terutama albumin ikatan ini
paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburd (F dan T : 490).
B.7 Farmakodinamik
1. Ampicillin : Menggangu sintesis dinding sel bakteri , sehingga menyebabkan sel menjadi
lisis (Sumantri,2012).
2. Metformin : Sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu anti hiperglikemik, tidak
menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak meyebabkan
hipoglikemia. Biguanid tidak meragsang ataupunmeghambat perubahan
glukosa menjadi lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat
menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas pula; pada
orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan
kadar glukosa darah (F dan T: 492).
3. Glibenclamid : Obat-obat golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar
pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans masih
dapat diproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa obat ini disebabkan oleh perangsang sekresi
insulin oleh kelenjar pankreas. Pemberian obat golongan ini sangat
bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin, tetapi karena suatu hal terhambar sekresinya
(Jurnal Pharmaceutical care,2005)
B.8 Kontra Indikasi
1. Ampicillin : Hipersensitif terhadap penisillina (Jurnal Pharmaceutical care,2005)
2. Metformin : Tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyait hepar berat, penyakit ginjal
dengan uremia dan penyakit jantung kongestif dan penyakit paruh dengan
hipoksia kronik (F dan T : 492).
3. Glibenclamid : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenil, pasien yang
kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan
keadaan gawat (F dan T : 491).
B.9 Standar Terapi
1. Terapi farmakologi (Dipiro, et al., 2011):
1.

2. Terapi non farmakologi yaitu terapi tanpa obat


a. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal.
a. Olahraga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur
jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu
olahraga berat, olahraga ringanasal dilakukan secara teratur akan sangat bagus
pengaruhnya bagi kesehatan.
a. Terapi Farmakologi DM (Pharmaceutical Care, 2005)
 Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I,
sel-sel β-Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak
memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin
disamping terapi hipoglikemik oral.
 Terapi Obat hipoglemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM Tipe II.
b. Terapi Nonfarmakologi (Pharmaceutical Care, 2005)
1) Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
2) Olah Raga
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-
85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan
selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa.
(Pharmacotherapy Handbook : 161)
1. pasien gejala awalnya mungkin memerlukan insulin atau kombinasi terapi oral
2. Pasien dengan A1C 7% atau kurang biasanya diperlakukan dengan langkah-langkah terapi
gaya hidup dan agen yang tidak akan menyebabkan hipoglikemia
3. Dekat normal berat pasien mungkin lebih baik diobati dengan insulin
4. Terapi Nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk tipe 1 DM, fokusnya adalah
pada fisiologis mengatur insulin administrasi dengan diet seimbang
5. Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol glikemik dan dapat
mengurangi faktor-faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi terhadap penurunan berat
badan atau pemeliharaan dan meningkatkan kesejahteraan
C. Pembahasan dan Kesimpulan

C.1. Pembahasan

Ada seorang pasien bernama Ny. Ani berusia 45 tahun masuk ke RS dengan keluhan
Polifagia, Polidipsia, Poliuria, penglihatan kabur dan penurunan berat badan, serta pasien juga
mengeluh tentang kaki kanan luka akibat tertusuk paku. Luka ada sejak 1 bulan lalu dan berobat di
puskesmas dan diberikan antibiotik. Tetapi luka tak kunjung sembuh. Riwayat keluarga : Adik Ny.
Ani diketahui menderita Diabetes Melitus type 2. Setelah mendengar keluhan dari pasien Ny. Ani
menderita Diabetes type 2 dan diberikan resep oleh dokter yaitu ampisilin 4 x 1 gram, metformin 3
x 500 mg dan glibenclamide 3 x 5 mg.

Berdasarkan kasus, diperoleh Ny.Ani menderita Diabetes Mellitus tipe 2. Hal ini diperkuat
dengan keluhan pasien yang sering mengalami poliuria, polifagia dan polydipsia. Pada kasus ini
ada beberapa jenis obat yang diberikan kepada pasien seperti ampisilin, metformin dan
glibenclamid. Dimana obat ampisillin ini merupakan golongan penisilin yang bekerja menghalangi
sintesa lengkap dari polimer ini spesifik bagi kuman dan disebut murein. Kemudian metformin
merupakan golongan obat biguanida, Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi
glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas, Selain itu juga ada
glibenclamid, yang merupakan golongan obat sulfonylurea yang merangsang sekresi insulin
dikelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel pankreasnya
masih berfungsi dengan baik.

Pada resep yang diberikan kepada Ny.Ani ada beberapa hal yang tidak sesuai, dimana
penggunaan obat ampisilin ini diberikan 4 x 1 mg, yang berdasarkan literatur ampisilin ini
sebaiknya dapat digunakan 3 x 1 mg. Selain itu juga ada, obat glibenclamide yang diberi dosis 3 x 5
mg. Hal ini sebenarnya telah melewati dosis normal ( over dosis), berdasarkan literatur seharusnya
glibenclamide ini hanya dapat digunakan dalam 2 x 5 mg, dimana dosis lazim dewasa: awal 5
mg/hari. Jika untuk lansia atau penderita yang sangat lemah, dosis awal dikurangi menjadi 2,5
mg/hari. Hal ini juga disebabkan karena waktu kerja obat ini 15 jam, sehingga hanya dapat
diberikan 2 x 5 mg/ hari. Sedangkan pada obat metformin berdasarkan literatur sudah sesuai
dengan dosisnya yaitu Dosis awal yang biasa dianjurkan oleh dokter adalah 500 mg atau 850 mg
yang diminum 1-3 kali sehari. Dosis awal kemudian akan direvisi dan disesuaikan dengan kadar
gula darah setelah 10-15 hari. Dosis maksimal obat ini adalah 3 gram yang dibagi dalam 3 dosis per
hari, jadi dosisnya untuk metformin 3 x 1(sehari) 500 mg sama dengan yang ada diresep.
Sebuah penelitian menarik di Swedia dipublikasi tahun 2015 di jurnal British Medical
Journal (BMJ). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa glibenclamide golongan Sulfonilurea lain
memiliki resiko kegagalan terapi tunggal (monoterapi) empat kali lebih besar bila dibandingkan
dengan metformin. Tablet tunggal kombinasi glibenclamide/metformin 2,5 mg/ 400 mg
merupakan pilihan terapi diabetes melitus tipe 2, dengan efektifitas yang baik dan kejadian
hipoglikemia yang rendah. Tablet tunggal (glibenclamide dan metformin) memberikan compliance
lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi dengan masing-masing tablet (2 tablet,
glibenclamide plus metformin). Adapun metformin diberikan bersamaan dengan glibenclamid
karena metformin dapat menekan potensi glibenklamid dalam menaikkan berat badan pada
pasien diabetes mellitus tipe 2, sehingga cocok untuk pasien diabetes mellitus tipe 2.
C.2. Kesimpulan
Diabetes melitus adalah sebuah penyakit dimana kadar glukosa dalam darah
meningkat akibat dari rusaknya kelenjar pankreas, sehingga produksi insulin yang mengubah
glukosa dalam hati menjadi glikogen berkurang. Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan
metabolik yang ditandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Penderita diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia
(banyak makan), polidipsia (banyak minum) dan poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam
hari).
Dari resep yang diberikan ada beberapa dosis yang tidak sesuai, seperti penggunaan
obat ampisilin ini diberikan 4 x 1 mg, yang sebaiknya digunakan 3 x 1 mg. Selain itu juga ada, obat
glibenclamide yang diberi dosis 3 x 5 mg, sebaiknya glibenclamide hanya digunakan dalam 2 x 5
mg. Sedangkan pada obat metformin sudah sesuai dengan dosisnya baik digunakan 3 x 500 mg
perhari.
Daftar Pustaka

American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes


Care. 2004;27(Suppl 1):S5-S10. American
Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Tanrutedong,
Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb 17]. Available from
Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus. 2005.
Departemen Farmakologi dan Terapi. 2007. “Farmakologi dan Terapi Edisi 5”. Badan Penerbit
FKUI: Jakarta.
DiPiro., Joseph T., Schwinghammer Terry L., Wells Barbara G., Dan DiPiro Cecily V. 2008
“Pharmacotherapy Handbook”. McGraw Hill Education : USA

Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes. American Journal of
Epidemiology.2003;15(1);150-9
John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru. Cermin Dunia
Kedokteran.2006; 127:37-40
Mayfield, J. M.D., M.P.H., Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus: New Criteria.
American Family Physician 1998, 58/6
Noor, restyana.2015.”Diabetes mellitus tipe 2”. Medical faculty.universitas lampung; lampung

Tjay Tan Hoan., dan Rahardja Kirana. 2015. “Obat-Obat Penting”. PT. Kompas Gramedika:
Jakarta
Wayan, Ida Bagus, dkk. 2010. “Jurnal Preanalitik dan Interpretasi Glukosa Darah untuk
diagnosis diabetes melitus” Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Bali.
WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva. Definition, Diagnosis
and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications. Report of a WHO
ConsultationPart 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus . 1999

Anda mungkin juga menyukai