Anda di halaman 1dari 7

TASYRI’ PADA MASA TAQLID

A. Pendahuluan
Al-Quran dan sunnah merupakan sumber hukum utama umat Islam. Namun, karena turunnya al-Quran dan
sunnah terbatas oleh waktu, sedangkan hukum semakin berkembang dari masa ke masa, maka diperlukan adanya
ijtihad untuk menggali hukum yang terkandung di dalamnya.
Pada sejarahnya, pengambilan hukum dengan menggunakan ijtihad merupakan fase yang panjang. Hingga
datang fase di mana ijtihad tidak lagi gencar dilakukan, yakni fase di mana para ulama merasa cukup puas dengan
hanya mengikuti imam madzhab mereka tanpa perlu melakukan ijtihad sendiri.
Fase ini biasa disebut dengan fase taqlid. Jika pada fase-fase sebelumnya yang dilakukan dalam pengambilan
hukum adalah merujuk langsung pada al-Quran dan sunnah, maka pada fase ini yang dilakukan adalah merujuk
hukum dari kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para imam yang dianggap berkompeten.

Untuk mengetahui mengenai tasyri pada masa taqlid lebih dalam, maka akan dipaparkan gambaran sosio-historis
pada masa ini. Tidak hanya itu, dalam makalah ini juga akan memaparkan mengenai kemunduran dan
tertutupnya masa ijtihad, beberapa tokoh yang hidup pada masa itu, serta karakteristik hukum Islam yang ada di
dalamnya.

B. Pembahasan
1. Gambaran Sosio-Historis Masa Taqlid
Periode taqlid dimulai pada abad 4 H/ 10 M, yakni sejak berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah sampai abad ke
19. Pada periode ini, ditandai dengan menyebarnya pusat-pusat kekuasaan Islam di berbagai wilayah, sehingga
umat Islam dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran.[1]

Pada masa itu ulama lebih memilih untuk ber-taqlid karena salah satu faktornya adalah pergolakan politik yang
menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil. Di timur ada Negara Sasan dengan ibukota
Bukhara, dan di Andalusia ada negara kecil yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, dan di belahan utara
Afrika ada Negara Fatimiyah. Dengan terpecahnya negara Islam ini memudahkan musuh untuk
menghancurkannya dan terjadilah Perang Salib.[2]
Pada fase ini sebagian ulama memandang cukup untuk hanya merujuk pendapat imam madzhabnya tanpa perlu
melakukan ijtihad kembali. Jika sebelumnya dalam penetapan hukum merujuk pada al-Quran dan sunnah secara
langsung, maka pada fase ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para imam madzhab.
Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya dan menyeru umatnya untuk ber-taqlid kepada
madzhab yang dianutnya. Ulama Irak mempropagandakan supaya orang ber-taqlid kepada madzhab Imam Abu
Hanifah, sedangkan ulama Madinah mengharapkan orang lain ber-taqlid kepada madzhab Imam Malik. Selain
itu, di kota-kota juga negeri-negeri lain, para ulama menyerukan madzhab Imam Syafi’I dan Imam Ahamd ibn
Hanbal.[3]
2. Kemunduran dan Tertutupnya Masa Ijtihad
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya kemunduran dan tetutupnya masa ijtihad, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang timbul dari umat Islam itu sendiri di antaranya adalah
sebagai berikut:
a. Usaha murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam masyarakat. Mereka berusaha mengembangkan
faham atau pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan oleh guru mereka.
b. Kehakiman atau pengadilan. Rakyat tidak suka lagi memakai qadhi yang berdiri sendiri (berpikiran
merdeka). Mereka lebih suka kepada qadhi yang bermadzhab, yang memutuskan hukum berdasarkan pendapat
imam madzhab yang dianut oleh masyarakat tersebut.
c. Terbukukannya madzhab. Atas usaha para murid, maka terbukukanlah madzhab dan disebarluaskan ke
dalam masyarakat. Sehingga memudahkan mereka untuk mempelajarnya. Hal ini membuat masyarakat enggan
ber-ijtihad sendiri dan lebih mengandalkan pada apa yang tertulis dalam kitab-kitab tersebut.[4]
Sementara faktor eksternal yang menjadi penyebab kemunduran masa ijtihad adalah sebagai berikut:[5]
a. Bangkitnya kalangan Kristen Eropa (renaissance) yang menyebabkan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan di kalangan mereka.
b. Adanya serbuan bangsa Mongol yang meluluh-lantakan peradaban Islam.
c. Munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa maupun di belahan dunia lain seperti Afrika, Timur
Tengah, dan Asia. Keadaan yang demikian membawa kepada ketidakstabilan politik yang berpengaruh pada
perkembangan pemikiran.

Meskipun pada waktu itu semangat ijtihad masih ada, namun jumlah ulama yang melakukan ijtihad sangat
sedikit, sehingga terkesan bahwa gerakan ijtihad telah tertutup. Adapun penyebab mandeg-nya ijtihad para
ulama, oleh Abdul Wahhab Khallaf, disebutkan sedikitnya ada empat faktor, yaitu:[6]
Pertama, terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan para
rajanya, penguasanya dan rakyatnya.

Hal ini menyebabkan mereka selalu sibuk dengan peperangan-peperangan, saling menfitnah, memasang
berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan. Situasi dan
kondisi seperti ini melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan
terhenti. Krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad dalam pembentukan hukum.
Kedua, pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing mempunyai corak
sendiri.

Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula.
Dan setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut dan kader-kader yang berusaha mencurahkan segenap
perhatiaanya dalam rangka membela dan memenangkan madzhabnya masing-masing. Misalnya adakalanya
dalam rangka membela dan memperkuat madzhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi
yang melegitimasi kebenaran madzhabnya sambil mengedepankan kekeliruan madzhab lain yang dinilai
bertentangan dengan madzhabnya.
Disamping itu juga adakalanya dengan cara menyanjung-nyanjung para tokoh ulama dan pemimpin mereka serta
menonjol-nonjolkan kemampuan dan kehebatan mereka. Kondisi inilah yang membuat para ulama madzhab
sibuk dan membelokkan mereka dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu al-Quran dan Sunnah. Dan tak seorangpun
dari mereka yang mau merujuk kembali pada Alquran dan Hadis, kecuali hanya sekedar untuk memperkuat
madzhab imamnya walaupun dengan cara menyimpang dalam memahami dan menakwilkan.[7]

Dengan demikian, kepribadian seorang alim ulama tenggelam dan hancur kedalam kepentingan golongannya
dan semangat kemerdekaan berpikir menjadi mandek dan mati. Orang-orang alim menjadi seperti orang-orang
awam saja yakni sebagai pengikut-pegikut yang ber-taqlid.

Ketiga, umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.


Sementara di sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang
tidak ikut ber-ijtihad kecuali yang memang ahli di bidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan
hukum dan ijtihad yang mengakibatkan praktek ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
keahlian. Orang-orang bodoh mempermainkan nash-nash syariat, mereka berani berfatwa kepada umat Islam,
maka munculah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga
diikuti dengan munculnya berbagai keputusan hukum di peradilan-peradilan sehingga terjadilah keputusan
hukum di peradilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negeri. Semua ini terjadi di kalangan
umat Islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-huum syariat.

Situaisi dan kondisi ini membuat para ulama merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan
hukum dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikat para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya
tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah cara mereka mengatasi
atau mengobati krisis pembentukan hukum Islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan
(statis). Ini terjadi pada akhir abad IV H.

Keempat, para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai pada level orang-
orang yang melakukan ijtihad.
Di kalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau salah seorang di antara
mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan
merendahkan rekan-rekan lainnya. Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya,
maka para ulama lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanya dengan berbagai macam cara. Oleh
karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya tipu daya dari rekan-rekannya dan dari
celaan mereka dengan mengatakan bahwa dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja dan bukanlah seorang
mujtahid, dengan demikian semangat ijtihad mandek dan mati sehinggga tidak ada yang lahir dan terangkat
tokoh-tokoh dalam dunia fiqh Islam. Dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang.
Demikian pula, kepercayaan masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang sehingga dengan demikian mereka
ber-taqlid kepada madzhab-madzhab imam mujtahid terdahulu saja.

3. Tokoh Muslim Masa Taqlid


a. Ibn Hazm (al-Dzahiri)
Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shaleh ibn Sufyan ibn Yazid merupakan nama lengkap dari
Ibn Hazm. Ia adalah keturunan Persia. Kakeknya, Maulana Yazid ibn Abi Sufyan, saudara Mu’awiyah yang
diangkat oleh Abu Bakar menjadi panglima tentara yang dikerahkan untuk mengalahkan Negeri Syam.[8]
Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan Ramadhan tahun 384 H dan dibesarkan dalam keluarga yang diselubungi
kekayaan, kebesaran dan kemegahan. Ia belajar dan menghafal al-Quran di bawah pengawasan ketat oleh
ayahnya.[9]
Ibn Hazm merupakan seorang ulama yang berpikiran bebas dan terlepas dari ikatan madzhab. Alasan Ibn Hazm
memilih madzhab al-Dzahiri adalah karena dalam madzhab ini tidak ada orang yang di-taqlid-i. masing-masing
dari tokoh-tokoh madzhab ini langsung membina madzhabnya tanpa ber-taqlid kepada seorang imam. Madzhab
ini berpegang kepada al-Quran, Sunnah dan ijma’ para sahabat secara langsung tanpa perantara imam yang lain.
[10]

Dzahiri merupakan aliran literalis, yakni terikat dengan teks dalam penetapan hukum, tidak menggunaan qiyas
sama sekali. Madzhab ini didirikan oleh Daud bin Ali al-Ashbahani (200-270 H).[11]
Seperti yang disebutkan oleh Hisbi Ash-Shiddieqy, Ibn Hazm berpendapat bahwa taqlid itu bid’ah. Ia
berpendapat bahwa para sahabat dan tabi’in telah melarang seseorang mengambil segala pendapat seorang imam
tanpa menyaring dan membahas pendapat-pendapat itu.

Ibn Hazm menetapkan bahwa orang-orang yang mengikuti seorang imam tanpa penelitian, tanpa tarjih, sedang
ia dari ahlun nadhar dipandang menyalahi imam itu sendiri. Karena imam-imam itu semua melarang ber-taqlid
buta kepadanya.[12]

b. Abu Hamid al-Ghazali (al-Syafi’i)


Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali asth-Thusi merupakan nama lengkap dari al-Ghazali sebagai
panggilannya atau Abu Hamid al-Ghazali. Ia lahir tahun ketiga setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan
di Baghdad, yakni pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus, sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran).[13]

Al-Ghazali lahir dari keluarga yang taat beragama dan bersahaja, dengan seorang ayah yang salih. Meskipun
bukan dari kalangan orang kaya, namun ia selalu tekun mengikuti majelis para ulama dan gemar terhadap
ilmu.[14] Al-Ghazai termasuk seorang pemikir muslim yang produktif, sebagaimana dikutip oleh Mustaqim,
bahwa al-Ghazali telah menghasilkan 80 kitab dan risalah. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa al-Ghazali
menulis hampin 100 buah buku, namun sayang tidak semua karya al-Ghazali tersebut dapat ditemukan sekarang
ini dalam bentuk cetakan.[15]

Sebagaimana ulama fiqh yang lain, al-Ghazali berpendapat bahwa sumber syari’at Islam adalah al-Quran dan
al-Hadits. Pemikirannya ini tidak jauh berbeda dengan imam madzhab yang dianutnya, yakni Imam Syafi’i.
Menurutnya, hukum agama itu harus diambil dari ajaran wahyu, bukan produk akal manusia. Ia berpendapat
bahwa baik dan buruk itu tidak permanen melekat pada sesuatu. Untuk mengetahui baik dan buruk yang
sebenarnya harus kembali kepada wahyu. Maka tanpa wahyu manusia tidak dapat menentukan baik dan buruk
serta benar dan salah.[16]

Meskipun al-Ghazali amat terikat oleh wahyu, ia tidak mengabaikan peranan akal sama sekali. Karena, ia juga
menyadari bahwa persoalan hukum itu akan bertambah terus, sementara jumlah teks wahyu tidak mungkin
bertambah. Karena itu ia berpendapat, apabila sebuah kasus tidak ditemukan dalam nash, maka qiyas dapat
digunakan.

c. Ibn Taimiyah (Hanbali)


Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah atau biasa dikenal dengan sebutan Ibn Taimiyah lahir di Harran pada
tanggal 22 Januari 1263 M/ 10 Rabiul Awwal 661 H. Setelah beberapa tahun tinggal di Harran, pada tahun 677
H Ibn Taimiyah beserta ayahnya dan dua saudaranya pindah ke Damaskus, bertepatan dengan kedatangan Tartar
di Syam.
Sejak kecil, Ibn Taimiyah hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama besar. Ayah dan kakeknya
merupakan ulama penganut madzhab Hanbali. Pada usianya yang ke 20, ayah Ibn Taimiyah meninggal dunia,
sehingga posisi keulamaan ayahnya berpindah kepadanya.[17]

Ajaran Ibn Taimiyah adalah mengembalikan pangkalan tempat bertolak fikiran dan pandangan hidup muslimin
kepada tauhid yang bersih. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa setiap perkataan seseorang boleh diterima, boleh
pula ditolak, kecuali ucapan Rasul.[18]

Sebagi seorang penganut madzhab Hanbali di dalam garis kaum sunni, beliau berusaha menegakkan faham salaf.
Yaitu kembali kepada kemurnian ajaran Nabi Muhammad SAW dengan tidak dipengaruhi oleh Ta’wil. Ayat-
ayat yang disebut mutasyabih hendaklah diterima dengan bila-kaifa. Menurut Ibn Taimiyah kita tidak disuruh
untuk memikirkan itu, sebab suatu penafsiran dalam suatu zaman dapat berubah pada zaman yang lain. Dan
pendapat yang terpengaruh pada suatu tempat, juga dapat berubah ditempat yang lain.
Berikut tiga asas pandangan keagamaan Ibn Taimiyah:
a. Dalam masalah agama dan keagamaan tidak ada otoritas apapun yang sah yang dijadikan acuan normatif
selain al-Qur’an dan al-Sunnah.
b. Dalam masalah agama dan keagamaan tidak ada paradigma apapun yang dipandang valid selain contoh
dan teladan dari praktek-praktek keagamaan generasi salaf serta mereka yang konsisten dengan metode
keberagamaan salaf.
c. Dalam memahami dan mengamalkan agama harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem Ilahi yang harus
didekati secara integral dan utuh, tidak boleh sepotong-potong.[19]
4. Karakteristik Hukum Islam Masa Taqlid

Dilihat dari kurun waktu imam empat, masa hidup antara masing-masing imam itu beriringan, tidak ada selang
waktu. Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik, dan Imam
Malik, kendati tidak berguru kepada Imam Abu Hanifah, tetapi mereka hidup dalam satu masa. Maka
sepeninggal empat imam madzhab di atas, tampaknya orang Islam sudah merasa puas dengan keempat ulama
tersebut. Para ulama sesudahnya menempatkan diri sebagai mujtahid yang terikat oleh pemikiran salah seorang
empat madzhab itu, tidak memilih bebas ber-ijtihad seperti para ulama besar.

Kegiatan pemikiran hukum Islam kemudian sekedar mengulas serta menambah penjelasan (syarah) atas
pendapat yang sudah ada dengan sedikit pengembangan dan membuat contoh-contoh. Tidak mengherankan
kalau kitab-kitab yang muncul kemudian adalah kitab-kitab syarah. Begitu kuat kesetiaan para ulama terhadap
imam madzhab yang dianutnya sehingga berkembang fanatisme madzhab. Hal ini membuat opini masyarakat
Islam bahwa pintu ijtihad telah ditutup.[20]

Kendati demikian, karena usaha para ulama yang hanya memperluas pemahaman sebatas madzhab yang mereka
ikuti, maka hal ini membuat kajian fiqh madzhab semakin dalam dan terinci, luas dan sistematik. Di antara hal-
hal yang dihasilkan pada masa ini adalah sebagai berikut:[21]
a. Ta’lil (Rasionalisasi Hukum-hukum Fiqh)
Yakni upaya megkaji, ber-ijtihad dan istinbat illat yang dilakukan oleh fuqaha’ madzhab terhadap fiqh yang
diwariskan oleh imam mereka yang belum disebutkan illat-nya.
b. Tarjih
Merupakan upaya untuk menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab yang diriwayatkan oleh
imam madzhab.
c. Upaya pembelaan madzhab dan penulisan fiqh perbandingan
Metode yang digunakan dalam penulisan kitab fiqh perbandingan yaitu dengan menyebutkan satu masalah dan
hukumnya pada setiap madzhab dengan dalil hukumnya, kemudian membandingkan semua dalil yang ada lalu
men-tarjih dalil madzhab mereka. Upaya ini kemudian dinamakan penuliasan kitab fiqh komparasi.

C. Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Periode taqlid dimulai pada abad 4 H/ 10 M, yakni sejak berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah sampai abad
ke 19. Periode ini merupakan fase dimana para ulama enggan untuk mengkaji hukum langsung dari sumber
hukum yang utama, yakni al-Quran dan sunnah. Alih-alih mengkaji al-Quran dan sunnah secara langsung,
mereka lebih memilih menggali hukum dari kitab-kitab fiqh yang telah ada dan hanya menambah keterangan
tambahan (syarah) dari kitab tersebut.
2. Di antara ulama yang hidup pada masa ini adalah Ibn Hazm, al-Ghazali dan Ibn Taimiyah.
3. Terdapat dua faktor yang menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad, yakni fakor internal dan faktor eksternal.
Di antara faktor internal yang terjadi dalam kalangan umat Islam sendiri adalah usaha murid-murid mujtahidin
yang berpengaruh dalam masyarakat, faktor kehakiman atau pengadilan, serta karena terbukukannya madzhab.
Sedangkan faktor ekternal yang menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad di antaranya adalah:
a. Bangkitnya kalangan Kristen Eropa (renaissance) yang menyebabkan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan di kalangan mereka.
b. Adanya serbuan bangsa Mongol yang meluluh-lantakan peradaban Islam.
c. Munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa maupun di belahan dunia lain seperti Afrika, Timur
Tengah, dan Asia. Keadaan yang demikian membawa kepada ketidak stabilan politik yang berpengaruh pada
perkembangan pemikiran.
4. Meskipun pada periode ini banyak terjadi hal-hal yang kurang baik, namun pada periode ini juga
mempunyai jasa yang sangat besar karena berhasil menggali illat-illat hukum, men-tarjih pendapat yang kuat
dan menuliskan semuanya dalam kitab-kitab fiqh yang menjadi rujukan bagi mereka yang datang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001)
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968)
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam Jilid
2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
Azhim, Said Abdul, Ibnu Taimiyah, Pembaruan Salafi & Dakwah Reformasi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005)
Hakim, Atang Abdul, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metode Sampai Teofilosofo, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008)
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’; Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Hukum Islam; Ikhtisar dan Dokumentasinya, Terjemah: Abu Halim, (Bandung:
Marja, 2005)
Kholiq, Abdul, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999)
Simuh, dkk., Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Sopyan, Yayan, Tarikh Tasyri’; Sejarah Pembentuan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010)
Uman, Khairul, Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001)
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997)

[1] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’; Sejarah Pembentuan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.
136
[2] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’; Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 117
[3] Khairul Uman dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), cet. 2, hlm.159
[4] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), cet 4, hlm. 58
[5] Yayan Sopyan, Op.Cit., hlm. 139
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam; Ikhtisar dan Dokumentasinya, Terjemah: Abu Halim,
(Bandung: Marja, 2005), hlm. 92-95
[7] Ibid.
[8] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam
Jilid 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 288
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 82
[11] Yayan Sopyan, Op.Cit., hlm. 141-142
[12] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 82-83
[13] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metode Sampai Teofilosofi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 463
[14] Abdul Kholiq, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), hlm.84
[15] Ibid., hlm. 86
[16] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), cet. 2, hlm. 132-
135
[17] Yayan Sopyan, Op.Cit., hlm. 144
[18] Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah, Pembaruan Salafi & Dakwah Reformasi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar),
2005, hlm: 37-41
[19] Simuh, dkk., Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm 92
[20] Muh Zuhri, Op.Cit., hlm. 129
[21] Rasyad Hasan Khalil, Op.Cit., hlm. 122-125

Anda mungkin juga menyukai