Anda di halaman 1dari 25

STUDI KEANEKARAGAMAN SERANGGA MALAM

BERDASARKAN JAM BIOLOGISNYA DI KAWASAN HUTAN PERBATASAN


JEMBRANA BULELENG TAMAN NASIONAL BALI BARAT

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL) BALI BARAT

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi


yang dibimbing oleh Dr. Fatchur Rohman, M.Si dan Dr.Vivi Novianti, S.Si, M.Si

Disusun oleh:
Pendidikan Biologi Offering C
Kelompok 2

Aisyah Sitti Faizah (160341606073)


Cindy Olivia Safitri (160341606014)
Elsa Novia Fitri Dewi (160341606045)
Inayatul Karimah (160341606039)
Lia Damayanti (160341606064)
Robert Fikri Ahmada (160341606050)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
APRIL 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Bali Barat merupakan satu-satunya taman nasional yang berada di
Provinsi Bali. Bali sendiri merupakan pulau dewata yang menjadi destinasi wisata Internasional
sehingga TN Bali Barat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan. Selain itu, TN
Bali Barat menjadi sangat penting guna menjaga atau mengonservasi satwa yang saat ini sangat
dilindungi, Jalak Bali (Leocopsar rothschildi) yang saat ini jumlahnya tidak lebih dari 20 ekor saja
di alam liar (Supriatna 2014).

Taman Nasional Bali Barat secara geografis terletak pada koordinat antara 8 derajat 5 menit
– 8 derajat 13 menit Lintang Selatan dan 114 derajat 26 menit – 114 derajat 35 menit Bujur Timur.
Kawasan ini berada di wilayah administrasi kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng dan
kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Secara persis letak TN Bali Barat adalah
sejauh 60 km ke arah barat laut dari Ibu Kota Bali, Denpasar. Luas kawasan Taman Nasional ini
adalah 19.002,89 hektare yang terbagi pada kabupaten Jembrana dan Buleleng. Dua desa dan
perkebunan kelapa seluas 618 hektare terdapat di dalam kawasan, yaitu di sepanjang jalan dari
Gilimanuk hingga Singaraja. Terdapat daerah pertanian di bagian selatan yang memanjang ke
bagian tengah hingga ke bagian utara kawasan. Daerah bagian utara dan barat hingga sejauh 1 km
dari pantai merupakan kawasan karang dan perairan termasuk pulau Menjangan (Supriatna, 2014).
Iklim di Taman Nasional Bali Barat termasuk ke dalam iklim tipe D, dengan nilai Q sekitar 85,29%
dan curah hujan berkisar antara 972-1.559 mm/tahun (rata-rata 1.480,6 mm/tahun). Musim hujan
terjadi pada bulan Januari sampai Maret dan musim kemarau terjadi antara bulan April sampai
September. Kelembaban udara rata-rata sekitar 85% dan suhu rata-rata pada bulan November
sampai dengan April berkisar antara 28-29 derajat celcius.

Vegetasi yang ada di Taman Nasional Bali Barat dipengaruhi oleh iklim monsoonal
terutama yang berada di daerah dataran rendah. Ekosistem di daerah ini merupakan ekosistem
peralihan antara daerah beriklim basah dengan ekosistem beriklim kering. Ekosistem-ekosistem
tersebut antara lain : Hutan hujan tropis dataran rendah, Savana, Hutan mangrove, Hutan musim,
Hutan rawa, dan hutan basah.

Keanekaragaman hewan yang paling tinggi dimiliki oleh serangga. Keanekargaman


serangga dapat disebabkan oleh adanya keanekaragaman Sumber Daya Alam seperti sumber
makanan dan topografi alam. Penelitian mengenai keanekaragaman serangga dapat bermanfaat
untuk proses pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, perlu diadakannya studi mengenai
keanekaragaman serangga, khususnya serangga malam di Hutan Perbatasan Jembrana Buleleng
Taman Nasional Bali Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan masalah antara lain
bagaimanakah keanekaragaman spesies serangga malam berdasarkan jam biologisnya di Hutan
Perbatasan Jembrana Buleleng Taman Nasional Bali Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk engetahui keanekaragaman spesies serangga
malam berdasarkan jam biologisnya di Hutan Perbatasan Jembrana Buleleng Taman Nasional Bali
Barat.

1.4 Batasan Penelitian


Sesuai dengan judul dan tujuan dari penelitian ini, maka batasan penelitian dalam penelitian
ini sebagai berikut.

1. Subyek penelitian adalah hewan serangga malam yang terdapat di kawasan Hutan
Perbatasan Jembrana Buleleng Taman Nasional Bali Barat.
2. Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya mengamati jenis/ spesies serangga
malam, keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan tiap-tiap spesies untuk masing-masing waktu
berbeda serta mengidentifikasi spesies serangga malam yang terdapat di kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo.
3. Pengamatan dilakukan pada rentang waktu yang berbeda, yaitu setiap dua jam antara pukul
20.00- 02.00 WIB.

1.5 Definisi Operasional


1. Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari hewan beruas yang bertungkai
enam (tiga pasang); karena itulah mereka disebut pula Hexapoda (dari bahasa Yunani,
berarti "berkaki enam") (anonym, 2010)
2. Keanekaragama
3. n hayati atau biodiversitas (Bahasa Inggris: biodiversity) adalah suatu istilah pembahasan
yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan
menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini
merupakan bagiannya (anonym, 2010)
4. Kemerataan adalah cacah individu masing-masing spesies dalam unit komunitas
(Dharmawan, dkk., 2005)
5. Kekayaan adalah jumlah spesies penyusun komunitas (Dharmawan, dkk., 2005)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional Alas Purwo


Taman Nasional Bali Barat merupakan satu-satunya taman nasional yang berada di
Provinsi Bali. Kawasan ini berada di wilayah administrasi kecamatan Gerokgak, Kabupaten
Buleleng dan kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Secara persis letak TN Bali
Barat adalah sejauh 60 km ke arah barat laut dari Ibu Kota Bali, Denpasar. Taman Nasional Bali
Barat secara geografis terletak pada koordinat antara 8 derajat 5 menit – 8 derajat 13 menit Lintang
Selatan dan 114 derajat 26 menit – 114 derajat 35 menit Bujur Timur.
Dalam keadaan biasa, musim di Taman Nasional (TN) Alas Purwo pada bulan april sampai
oktober adalah musim kemarau dan bulan oktober sampai april adalah musim penghujan. Secara
umum, kawasan Taman Nasional (TN) Alas Purwo mempunyai ciri-ciri topografi datar,
bergelombang ringan sampai berat dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis (322
mdpl).Keadaan tanah hampir keseluruhan merupakan jenis tanah liat berpasir dan sebagian kecil
berupa tanah lempeng.Sungai di kawasan Taman Nasional (TN) Alas Purwo umumnya dangkal
dan pendek.Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya tercatat di bagian barat Taman Nasional
(TN) Alas Purwo yaitu Sungai Segoro Anakan dan Sunglon Ombo (anonym, tanpa tahun).

2.2 Morfologi Serangga

Serangga tergolong dalam filum Arthropoda, sub filum Mandibulata, kelas Insekta.Insekta
memiliki eksoskeleton yang berfungsi melindungi organ-organ dalam.Eksoskeleton berupa
kutikula yang terdiri atas zat khitin dan terbagi menjadi segmen-segmen.Antara segmen yang satu
dengan yang lain terdapat sutura yaitu bagian yang lunak, dan yang berfungsi untuk memudahkan
pergerakan abdomen, sayap, kaki, antenna, dll.Sayap segmen tersusun dari potongan-potongan
terpisah yang dikenal sebagai sklerit.Beberapa sklerit segmen khusus tidak dapat dibedakan
sehingga sutura tidak berfungsi lagi.Kepala pada dasarnya terdiri atas 6 segmen yang
berfusi.eksoskeleton kepala dikenal sebagai epicranium yang terletak disebelah belakang,
merupakan daerah diantara dan dibelakang mata.Genea merupakan bagian yang terletak di kedua
sisi lateral kepala bagian depan. Sedangkan sklerit empat persegi panjang yang terletak di bawah
epicranium disebut sebagai clypeus (Kastawi,2003).Pada kedua sisi kepala terdapat mata
majemuk.Mata majemuk dilindungi oleh bagian transparan dari kutikula yaitu kornea, dimana
terbagi menjadi sejumlah besar potongan terbentuk segi enam yang disebut sebagai facet.Selain
mata majemuk serangga juga mempunyai mata sederhana atau ocellus (ocelli).Selain mata juga
terdapat sepasang antena (Kastawi, 2003).Bagian-bagian mulut yang berfungsi untuk menggigit
yang sering disebut sebagai tipe penggigit disebut tipe mandibularis, yang terdiri atas: (a) Bibir
atas atau labrum yang menggantung dibawah clypeus, (b) Lidah yang terletak disebelah median
dibelakang mulut berupa hypopharynx, (c) Dua rahang lateral yang disebut mandibulla yang
masing-masing mempunyai gigi sebelah dalam untuk memotong makanan, Sepasang maxillae
dengan bagian-bagian yang mempunyai bagian yang gilig, yang berfungsi sebagai alat sensoris
dan disebut sebagai palpus maxillaris, (e) Bibir bawah atau labium yuang mempunyai palpus
labialis yang pendek (Jasin, 1984). Thorax terdiri
atas 3 segmen yaitu prothorax, mesothorax, dan metathorax.Tiap-tiap segmen tertutup oleh
eksoskeleton, di bagian dorsal disebut tergum, disisi lateraldisebut pleura, dan dibagian ventral
disebut sternum (Kastawi, 2003). Masing-masing kaki terdiri atas buku: (a) Buku pendek coxa,
yang melekat pada tubuh, (b) Buku kecil yang disebut trochanter yang bersenyawa dengan bagian,
(c) Buku paha atau femur, (d) Bukubulat kecilpanjang disebut tibia, (e) Buku tarsus, yang terdiri
atas tiga bagian, proksimal pada bagian ventralnya mengandung 4 pasang bulu pada bagian
ventralis, sedang bagian distal merupakan bagian yang lunak yang disebut pulvinalis yang berakhir
dengan kuku kait (Jasin, 1984). Abdomen terdiri dari atas kurang lebih 11 buku dengan beberapa
bagian terminal,misalnya genital.Alat pencernaan terdiri atas bagian muka, bagian tengah, dan
bagian belakang.Mulut memiliki kelenjar ludah.Jantung berbentuk gilig dan mempunyai anterior
aorta tetapi tidak memiliki pembuluh darah kapiler dan vena, coelom teredusir menjadi haeocoel.
Respirasi dengan system trachea yang berupa saluran yang berdinding gelang kutikula dan
bercabang-cabang sehingga sampai pada semua bagian tubuh sebelah dalam. Dengan demikian
udara yang mengandung oksigen akan sampai pada bagian dalam dan terjadilah proses
pengambilan oksigen secara langsung. Alat ekskresi terdiri atas dua atau lebih badan yang
membentuk tabung yang disebut dengan buluh malphigi.System saraf terdiri atas ganglion-
ganglion pada tiapruas.Seks terpisah yakni ada individu jantan dan ada individu betina.
Pembuahan terjadi di dalam tubuh, ova banyak menganduxeng yolk dan pada fase terakhir akan
terbentuk cangkang (Jasin, 1984).
2.3 Habitat Serangga
Serangga dapat ditemukan pada hampir semua habitat baik di lingkungan akuatik, semi
akuatik, dan di atas atau di bawah tanah (Borror, 1992).Oleh karena itu serangga dikatakan bersifat
kosmopolit.Aktivitas serangga sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari dan
kemampuan dalam menyerap intensitas cahaya matahari yang berbeda-beda.Beberapa serangga
membutuhkan cahaya yang sedikit, sehingga serangga tersebut lebih aktif melakukan aktivitasnya
pada malam hari (nocturnal).Namun tidak jarang ada serangga yang membutuhkan banyak dalam
melakukan aktivitasnya sehingga lebih aktif pada siang hari (diurnal).Hewan seringkali mengatur
aktivitas mereka untuk menghindari dehidrasi sehingga mereka bergerak ke tempat terlindung atau
cenderung aktif pada malam hari (Soejtipto, 1993).
Farb 1980 dalam Irawan 1990 menyatakan bahwa ada tiga hal yang menunjang suksesnya
kehidupan serangga dalam habitatnya, yaitu sebagai berikut.
a. Serangga mengalami metamorphosis sehingga pada tingkat larva dan dewasa hidup di
tempat yang berbeda dengan makanan yang berbeda pula.
b. Ada beberapa ordo yang memiliki sayap depan menebal menjadi penutup keras sehingg
melindungi bagian tubuh yang lunak.
c. Sebagian ordo memiliki mulut bertipe pengunyah sehingga dapat memakan makanan yang
keras.

2.4 Klasifikasi Serangga


Menurut E.L. Yordan dan P.S. Verma dalam Kastawi 1994, serangga diklasifikasikan
menjadi dua subklas, yaitu Apterygota dan Pterygota.Dasar pengklasifikasian ini adalah pada ada
tidaknya sayap. Menurut Kastawi dalam Brawan 1999, dua subclass tersebut ada 33 ordo dan 12
diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
 Ordo Orthoptera
Hewan yang tergolong ordo ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Memiliki ukuran tubuh 4-75 mm
b. mempunyai dia sayap, sayap depan panjang menyempit dan sayap belakang meleba
c. Hewan tersebut memiliki tipe mulut penggigit dan pengunyah.
d. Hewan jantan mempunyai alat penghasil suara yang terletak di dada.
e. Contoh serangga yang tergolong dalam ordo ini adalah Blatella gertnatica.
 Ordo Dermaptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut,
a. Tubuh pipih dan berukuran 4-30 mm
b. Bersifat hemimetabola
c. Mulut bertipe pengunyah
d. Tidak bersayap atau dengan 1-2 sayap (sayap depan kecil seperti kulit, sayap belakang
seperti selaput, dan melipat di bawah depan bila sedang hinggap)
e. Hewan jantan mempunyai catut yang kokoh
f. Aktif pada malam hari (nocturnal)
g. Contoh spesies dalam ordo ini yaitu Farficula dan Anisolabis maritime
 Ordo Mecoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut,
a. Tubuh ramping dengan kuran 1-35 mm
b. Bersifat holometabola
c. Mulut bertipe pengunyah
d. Antenna dan kaki panjang dengan kepala memanjang
e. Tidak bersayap atau memiliki dua pasang sayap yang panjang, sempit dan berupa membran
f. Mempunyai organ penjepit yang terletak di ujung posterior abdomen dan organ tersebut
menyerupai organ penyengat pada kalajengking
g. Makanan berupa buah dan serangga yang mati
h. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Panorpa rufescens dan Hyloittacus
picalis.
 Ordo Plecoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 6-10 mm
b. Sayap dua pasang, ada yang bersayap panjang dan ada yang bersayap pendek
c. Antenna panjang, tubuh kunak dan bersifat liemimetabola
d. Mulut bertipe pengunyah (tetapi tidak berkembang pada saat dewasa)
e. Nympha bersifat akuatik dan memiliki bekas insang tracheal yang terletak di posterior setiap
pasang kaki
f. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Allocapnia pygmae dan Cilloperla clio.
 Ordo isoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 6-13 mm
b. Sayap dua pasang (sayap depan dan belakang memiliki bentuk dan ukuran yang sama)
c. Tipe mulut penggigit dan pengunyah yang memiliki cerci dua ruas
d. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Zootermopsis nevademis dan Termites.
 Ordo Odonata
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 19-75 mm
b. Bersifat homometabola
c. Mulut pada hewan dewasa bersifat pengunyah
d. Memiliki dua pasang sayap berwujud membran
e. Antenna pendek, kaki dan abdomen panjang dan ramping
f. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Macromia magnified dan Dragonflies.
 Ordo Hemiptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 1-66 mm
b. Antenna panjang, mulut bertipe penghisap yang muncul di depan kepala
c. Parasit pada hewan vertebrata
d. Memiliki dua pasang sayap seperti membran
e. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Gerris remigis dan Mesove uiamusanti.
 Ordo Trichoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 9-22 mm
b. Sayap seperti selaput, berambut dan bersisik
c. Antenna panjang dan ramping
d. Tipe mulut penggigit
e. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Macromemum cebratum.
 Ordo Lepidhoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 3-35 mm
b. Bersifat holometaboal
c. Tidak memiliki mandibula, mata besar, memiliki dua pasang sayap yang seperti membran
d. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Calpodes ethlius dan Pyrulis frinalis.
 Ordo Coleoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 0,5-125 mm
b. Sayap depan keras dan tebal menanduk, sedangkan sayap belakang bersifat membranous
c. Tipe mulut penggigit
d. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Adalia bipimctat dan Hydrophillus
teriangiilaris.
 Ordo Hymenoptera
Serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut,
a. Ukuran tubuh 5-40 mm
b. Sayap satu pasang seperti selaput
c. Bersifat holometabola
d. Mulut tipe pengunyah atau penghisap
e. Contoh spesies yang tergolong dalam ordo ini adalah Formica sp.

2.5 Keanekaragaman Jenis Serangga


Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik dari tingkatan komunitas yang
didasarkan pada organisasi biologisnya.Keanekaragaman jenis ini dapat digunakan untuk
menyatakan struktur komunitas. Soegianto (1994) dalam Purwahyuni (2001) menyatakan bahwa
suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun
oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika
komunitas itu disusun oleh sedikit spesies yang domonan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
Hubungan keeratan antara serangkaian data kelimpahan suatu jenis hasil observasi dengan
keanekaragaman maksimum yang mungkin dicapai (richness) dan jumlah spesies dapat
menentukan indeks keanekaragamannya.Indeks Shannon-Wiener diperoleh dengan perhitungan
spesies darimkedua aspek tersebut dari distribusi individu diantara spesies.Odum (1993)
menyatakan bahwa fungsi Shannon atau indeks H’ menggabungkan komponen keanekaragaman
(variety) dan komponen kemerataan (eveness) sebagai suatu indeks keanekaragaman secara
keseluruhan (over all indeks for diversity) (Soegiyanto 1994 dalam purwahyuni 2001).

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman


Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekarangaman ada enam dan tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Faktor waktu
Irawan (1999) menyebutkan bahwa waktu mempengaruhi kematangan suatu komunitas
selama perubahan waktu suatu organisme akan berkembang dan mengalami proses
keanekaragaman menjadi lebih baik. Ditambahkan lagi bahwa keanekaragaman ini merupakan
produk evolusi. Di daerah tropis organisme berkembang dan memiliki keanekaragaman lebih
tinggi dibandingkan dengan organisme di daerah kutub, dan komunitas memiliki proses
keanekaragaman sepanjang waktu sehingga komunitas yang lebih tua memiliki lebih banyak
spesies daripada komunitas yang muda.
2. Faktor heterogenitas spasial (ruang)
Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) relief atau topografi atau heterogenitas
makrospasial memiliki efek yang besar terhadap keanekaragaman spesies.Wilayah tropis
mempunyai kompleksitas lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini factor fisik, komunitas tumbuhan
dan hewan sangat heterogen dan sangat cepat mengalami proses keanekaragaman spesies. Di area
yang memiliki relief topografi yang tinggi terdapat banyak habitat yang berbeda sehingga berisi
banyak spesies.
3. Faktor kompetisi
Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) menjelaskan bahwa peran kompetisi mempengaruhi
kekayaan spesies yang digambarkan melalui hubungan relung antar spesies.Factor ini sangat
penting dalam evolusi karena merupakan persyaratan habitat untuk hewan dan tumbuhan menjadi
lebih terbatas dan makanan untuk hewan juga menjadi sedikit. Komunitas di daerah tropis
memiliki lebih banyak spesies karena memiliki relung yang kecil dan overlap relung yang tinggi.
4. Faktor predasi
Predasi dan kompetisi sama-sama mempengaruhi keanekaragaman spesies.Dalam
komunitas yang kompleks dan mendukung banyak spesies, interaksi yang dominan adalah predasi,
sedangkan dalam komunitas sederhana yang dominan adalah kompetisi.Keberadaan predator dan
parasit dapat menekan populasi mangsa sampai pada tingkat yang sangat rendah. Adanya
pengurangan kompetisi memungkinkan bertambahnya suatu spesies sehingga akan mendukung
munculnya predator baru.
5. Faktor stabilitas lingkungan
Factor ini menunjukkan bahwa semakin stabil parameter lingkungan maka spesies yang
ada semakin banyak.Adanya kombinasi factor stabilitas dengan waktu dapat mempengaruhi
keanekaragaman.
6. Faktor produktivitas
Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) stabilitas dari produktivitas mempunyai
pengaruh utama terhadap keanekaragaman spesies dalam komunitas.Semakin besar
produktivitasnya, maka keanekaragamannya juga semakin besar.Namun tidak selalu benar kalau
semakin rendah produktivitasnya maka keanekaragamannya juga semakin rendah.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Kegiatan praktikum ini dilakukan pada tanggal 29 Maret 2018 tepatnya di hutan Taman
Nasional Bali Barat Pemasangan jebakan (lampu dan mika) dilaksanakan pada pukul 20.00-00.00
WITA.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan sebagai berikut:
 Set kain putih lightrap
 Kabel roll
 Lampu (dop) 25 watt
 Botol film (plakon)
 Kuas kecil
 Vacum serangga
 Mikroskop stereo
Bahan yang digunakan sebagai berikut.
 Tali rafia
 Larutan formalin atau alkohol
 Amplop
 Kertas label

3.3 Prosedur Kerja


Adapun cara kerja yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memasang kabel, pitting dan lampu yang telah terhubung arus listrik.
2. Memasang set kain putih lightrap menggunakan tali raffia untuk diikatkan ke pohon
(Pemasangan telah siap pada pukul 18.00 WIB).
3. Mengamati dan mengambil serangga malam yang terjebak light trap (menggunakan
vacuum untuk serangga kecil, dan menggunakan tangan untuk serangga yang besar atau
yang bersayap rapuh untuk dimasukkan ke dalam amplop) pada pukul 20.00, 22.00, 00.00
WITA.
4. Memindahkan specimen dari light trap yang telah berisi serangga yang sudah terjebak ke
dalam botol plakon yang telah berisi air dan larutan formalin dengan menggunakan kuas.
5. Memberikan label/ identitas pada botol plakon.
6. Melakukan pengamatan di laboratorium biologi menggunakan mikroskop stereo dan kunci
determinasi serangga
7. Memasukkan data yang diperoleh ke dalam table data light-trap.

3.4 Cara Analisis


Data yang diperoleh dianalisis dengan cara sebagai berikut:Indeks keanekaragaman pada
masing-masing habitat dihitung dengan cara:
a. Indeks keanekaragaman Shanon – Wiener

𝐻 ′ = −( ∑𝑃𝑖 𝐿𝑛 𝑃𝑖)
Keterangan:
Pi = n/N
H’ : Indeks keanekaragaman Shanon – Wiever
ni : Nilai rata-ratamasing-masing spesies
N : Jumlah total nilai rata-rata spesies dalam sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

b. Selanjutnya menghitung nilai indeks kemerataan (Evennes) dengan rumus:

𝐻′
𝐸=
ln 𝑠
Keterangan:
E : Indeks kemerataan evennes
H’ : Indeks keanekaragaman Shanon – Wiever
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, …..)
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

c. Selanjutnya dihitung nilai kekayaan dengan menggunakan rumus indek Richness:


𝑠−1
𝑅=
ln 𝑁
Keterangan:
R : Indeks Richness
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)
BAB IV
Data dan Analisis

4.1 Data Pengamatan


Dari data pengamatan menunjukkan bahwa serangga yang tertangkap berdasarkan jam
biologisnya sebanyak 9 spesies. Hasil data dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1. Jumlah Serangga Yang Tertangkap Berdasarkan Jam
Biologisnya
Jumlah spesimen
No Taksa 20.00 22.00 00.00
WITA WITA WITA
1 Epiphyos postuistoma
2 1

2 Geostropes splenstidus 1 1

3 Planeta americana
1

4 Linnei sp
1

5 Ogcodes sp 1

6 Tribolium castoreum 1
7 Lathrobium argulare 1

8 Oecophyllaa sp 1
9 Tribica pruinosa 1

Jumlah 4 5 3
11
4.2 Analisis Data
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, dilakukan analisis mengenai indeks
keanekaragaman (H’), kemerataan (E), dan kekayaan (R), dari spesies serangga malam di Hutan
Taman Nasional Bali Barat.

1. Perhitungan H’,E,R Pukul 20.00 WITA


a. Perhitungan Pi pukul 20.00 WITA

𝑛
Pi =
𝑁

2
Pi Epiphyos postuistoma sp = 4 = 0,5

1
Pi Geostropes splenstidus sp = = 0,25
4

1
Pi Planeta americana sp = = 0,25
4

b. Perhitungan InPi pukul 20.00 WITA

Epiphyos postuistoma sp = In 0,5

= -0.69314718

Geostropes splenstidus = In 0,25

= -1.386294361

Planeta americana = In 0,25

= -1.386294361

c. Perhitungan –(Pi.InPi) pukul 20.00 WITA

Epiphyos postuistoma sp = 0,367437743

Geostropes splenstidus sp = 0,34657359

Planeta americana sp = 0,34657359


Nilai H’ = ∑ –(Pi.InPi)

= 1,03921

𝐻′
Nilai E = 𝐼𝑛 𝑆 = 0,94593

𝑆−1
Nilai R = 𝐼𝑛 𝑁 = 1,442695

2. Perhitungan H’.E,R pukul 22.00 WITA


a. Perhitungan Pi pukul 22.00 WITA

𝑛
Pi =
𝑁

1
Pi Epiphyos postuistoma sp = 5 = 0,2

1
Pi Geostropes splenstidus sp = = 0,2
5

1
Pi Linrei sp = = 0,2
5

1
Pi Ogcodes sp = = 0,2
5

1
Pi Tribolium castoreum = = 0,2
5

b. Perhitungan InPi pukul 22.00 WITA

Epiphyos postuistoma sp = In 0,2

= -0.32189

Geostropes splenstidus sp = In 0,2

= -0.32189

Linrei sp = In 0,2

= -0.32189
Ogcodes sp = In 0,2

= -0.32189

Tribolium castoreum = In 0,2

= -0.32189

c. Perhitungan –(Pi.InPi) pukul 22.00 WITA

Epiphyos postuistoma sp = -1,60944

Geostropes splenstidus sp = -1,60944

Linrei sp = -1,60944

Ogycodes sp = -1,60944

Tribolium castoreum sp = -1,60944

Nilai H’ = ∑ –(Pi.InPi)

= 1,609438

𝐻′
Nilai E = 𝐼𝑛 𝑆 = 1.000007

𝑆−1
Nilai R = 𝐼𝑛 𝑁 = 2,48534

3. Perhitungan H’,E,R pukul 00.00 WITA

a. Perhitungan Pi pukul 00.00 WITA

𝑛
Pi =
𝑁
1
Pi Lathrobium argulare = 3 = 0,3

1
Pi oechopa sp = 3 = 0,3

1
Pi Tribica pruinosa sp = 3 = 0,3

b. Perhitungan InPi pukul 00.00 WITA

Lathrobium argulare = ln 0,3

= -1,20397

Oecophyllaa sp = ln 0,3

= -1,20397

Tribica pruinosa sp = ln 0,3

= -1,20397

c.Perhitungan –(Pi.InPi) pukul 00.00 WITA

Lathrobium argulare = 0,36119

Oecophyllaa sp sp = 0,36119

Tribica pruinosa sp = 0,36119

Nilai H’ = ∑ –(Pi.InPi)

= 1,08375

𝐻′
Nilai E = 𝐼𝑛 𝑆 = 0,986308

𝑆−1
Nilai R = 𝐼𝑛 𝑁 = 1,820470
BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, diketahui bahwa indeks keanekaragaman
(H’) dan kemerataan (E) yang tertinggi terdapat pada waktu pengambilan pukul 22.00 WITA.
Adapun indeks kekayaan (R) yang tertinggi terdapat pada pukul 22.00 WITA. Menurut
Dharmawan (2005), indeks keanekaragaman yang tinggi (H’) dipengaruhi oleh indeks kemerataan
(E) dan kekayaan spesies (R) yang tinggi pula. Berdasarkan klasifikasi tingkat keanekaragaman
oleh Arisandi (1999), yaitu: Sangat Tinggi H > 3,0; Tinggi jika H > 2,0; Sedang jika 1,6 < H <
2,0; Rendah jika 1,0 < H < 1,5; Sangat rendah jika H < 1,0. Berdasarkan klasifikasi tersebut, indeks
keanekaragaman pada waktu pengambilan pukul 22.00 WITA dapat dikategorikan sedang.
Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman serangga antara lain: 1) waktu, 2)
heterogenitas spasial, 3) relung, dan 4) tingkat stabilitas lingkungan dan ketersediaan sumber daya
alam. Waktu turut mempengaruhi keanekaragaman temporal yang dijumpai karena setiap hewan
memiliki siklus hidup yang membuatnya tidak selalu dapat teramati sebagai serangga dewasa.
Selain itu, waktu juga memiliki peran dalam aktivitas serangga setiap harinya. Serangga malam
yang dijumpai memiliki jam biologis pada malam hari untuk melakukan aktivitas hidupnya seperti
mencari makan dan tempat bersarang. Menurut Odum (1993) serangga malam merupakan
golongan hewan yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk beraktifitas pada malam hari.
Sebagai hewan berdarah dingin (poikilotermik) serangga memiliki mekanisme pertahanan diri
terhadap suhu yang rendah. Borror, dkk (1992) menjelaskan bahwa beberapa serangga tahan hidup
pada suhu-suhu yang rendah ini menyimpan etilen glikol di dalam jaringan tubuh mereka untuk
melindungi dari pembekuan.
Faktor heterogenitas spasial mempengaruhi keanekaragaman sebagai mana yang dijelaskan
oleh Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) bahwa relief atau topografi atau heterogenitas
makrospasial memiliki efek yang besar terhadap keanekaragaman spesies. Wilayah tropis
mempunyai kompleksitas lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini faktor fisik, komunitas tumbuhan
dan hewan sangat heterogen dan sangat cepat mengalami proses keanekaragaman spesies. Di area
yang memiliki relief topografi yang tinggi mengandung banyak habitat yang berbeda sehingga
berisi banyak spesies. Berdasarkan pernyataan tersebut, diketahui keanekaragaman topografi dapat
meningkatkan keanekaragaman komunitas dan dapat meningkatkan keanekarganman serangga
yang dijumpai.

Faktor relung mempengaruhi keanekaragaman dikarenakan setiap makhluk hidup memiliki


relungnya masing-masing.Adanya keterbatasan Sumber Daya Alam (seperti makanan dan tempat
bersarang) dapat mengakibatkan tumpang tindih relung, sehingga terjadi kompetisi.Menurut Krebs
(1985) dalam Widagdo (2002) menjelaskan bahwa peran kompetisi mempengaruhi kekayaan
spesies yang digambarkan melalui hubungan relung antar spesies. Faktor ini sangat penting dalam
evolusi karena merupakan persyaratan habitat untuk hewan dan tumbuhan menjadi lebih terbatas
dan makanan untuk hewan juga menjadi sedikit. Komunitas di daerah tropis memiliki lebih banyak
spesies karena memiliki relung yang kecil dan overlap relung yang tinggi.Predasi dan kompetisi
sama-sama mempengaruhi keanekaragaman spesies. Dalam komunitas yang kompleks dan
mendukung banyak spesies, interaksi yang dominan adalah predasi, sedangkan dalam komunitas
sederhana yang dominan adalah kompetisi. Keberadaan predator dan parasit dapat menekan
populasi mangsa sampai pada tingkat yang sangat rendah. Adanya pengurangan kompetisi
memungkinkan bertambahnya suatu spesies sehingga akan mendukung munculnya predator baru.
Serangga memiliki peran yang beraneka ragam dalam suatu ekosistem, seperti sebagai polinator
tumbuhan berbunga ataupun predator bagi serangga lainnya.

Faktor stabilitas lingkungan dan ketersediaan Sumber Daya Alam merupakan salah satu
faktor yang paling berpangaruh terhadap keanekaragaman. Stabilitas lingkungan menunjukkan
tingkat kematangan dari komunitas suatu daerah. Daerah yang memiliki Sumber Daya Alam
(SDA) yang beranekaragam, memiliki keanekaragaman yang tinggi.
BAB VI
PENUTUP

3.6 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa indeks
keanekaragaman (H’) dan kekayaan (R) yang tertinggi terdapat pada waktu pengambilan pukul
00.00 WITA. Adapun indeks kemerataan (E) yang tertinggi terdapat pada pukul 22.00 WITA.
Spesies serangga yang paling banyak ditemukan berasal dari ordo Dictyoptera. Keanekaragaman
tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: waktu, heterogenitas spasial, relung, dan
tingkat stabilitas lingkungan serta ketersediaan sumber daya alam.

3.7 Saran
Pelaksanaan praktikum pengamatan serangga malam menggunakan light trap sebaiknya
dilakukan secara berkala selama satu tahun. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh data yang
baik dan bisa menggambarkan keberadaan serangga yang sangat dipengaruhi oleh siklus hidupnya.
Selain itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap faktor abiotik yang mempengaruhi
keanekaragaman serangga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Borror, T., J. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Terjemahan oleh Soetiyono
P. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Dharmawan, A., Ibrohim, Tuwarita, H., Suwono, H., Susanto, P. 2005. Ekologi Hewan. Malang:
Universitas Negeri.
Irawan, K.F. 1999. Kemelimpahan dan Keanekaragaman Serangga Malam di Hutan Pantai
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang:
IKIP
Kastawi, Yusuf, 2003. Zoologi avertebrata.Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.

Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance Third
Edition. Harper and Row, New York. 800 pp.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi.Terjemahan oleh Tjahyono.Yogyakarta: UGM

Supriatna J. 2014. Berwisata Alam di Taman Nasional. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia
(YOI)

Anda mungkin juga menyukai