Anda di halaman 1dari 8

DASAR PEMIKIRAN PELAKSANAAN TAHLILAN HARI KE 7, 40, 100, DST

Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat)
yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini
sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya,
ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu
yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a,/ dzikir Page | 1
berjama’ah, permohonan ampun (istighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa
mengubah kebiasaan (adat) sehingga tidak lagin bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu
bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau
dengan kaca mata syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.

Jika kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendalam maka
kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya
boleh dalam syariat Islam, sesuai kaidah ushul fiqh “ al ‘adatu muhkamatun” adat itu merupakan
hukum, dengan catatan bahwa adat tersebut tidak lagi bertentangan dengan Al qur’an dan As
sunnah dan juga ijma’ para ulama salaf(terdahulu)

Oleh karena itu mari kita mencoba menyingkap beberapa ilmu yang menjadi pertimbangan para
ulama tentang hal ini.

Kita tarik satu masalah , yaitu tentang pelaksanan dzikir dan do’a berjamaah guna menghibur
shohibul mushibah dan mendoakan mayit yang baru saja meninggal dunia atau biasa dikenal dengan
acara “tahlilan “.

Pelaksanaan tahlilan atau dzikir bersama untuk mendo’akan saudara muslim yang telah mendahului
kita pada malam ke 1 sampai malam ke 7 merupakan suatu sunnah yang baik, begitu juga dengan
hari hari berikutnya, yang biasa dilakukan oleh masyarakat muslim yaitu pada hari ke 7, 40, 100, dan
haul.

Salah satu keterangan yang digunakan diantaranya

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan al-Hafidz Abu
Nu’aim didalam al-Hilyah tentang anjuran memberi makan setelah kematian ;

‫قال اإلمام أحمد بن حنبل رضي هللا عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا االشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن‬
‫ قال الحافظ أبو نعيم في الحلية حدثنا أبو بكر بن مالك‬.‫الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك األيام‬
‫ثنا عبد هللا بن أحمد ابن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا األشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا‬
‫فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك األيام‬.

“Imam Ahmad bin Hanbal radliyallahu ‘anh berkata : “Menceritakan kepada kami Hisyam bin al-
Qasim, ia berkata, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata : Thawus berkata,
“sesungguhnya orang mati terfitnah (ditanya malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka
mereka mengajurkan supaya memberikan makanan (yang pahala) untuk mereka pada hari-hari
tersebut”.

Al-Hafidz Abu Nu’aim berkata : “Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan
kepada kami Abdulllah bin Ahmad Ibnu Hanbal, menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim,
menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata, Thawus berkata : sesungguhnya orang
mati terfitnah didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan agar bersedekah
makanan yang pahalanya untuk mereka pada hari-hari tersebut”

Hal ini sesuai dengan hadis Shohih yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan imam Bukhori tentang
masalah sampainya pahala sedekah kepada mayit:
“dari A’isyah, bahwasanya ada seorang lelaki mendatangi Nabi S.A.W dan berkata, Ya Rasulallah,
sesungguhnya ibuku telah mati, dan dia tidak memberikan wasiyat, dan aku menyangkanya, apabila
dia berbicara dia akan bersedekah, apakah dia akan mendapakat pahala bila aku bersedekah
atasnya? Nabi menjawab : Na’am (iya).( Shohih Muslim , hadits no 1672)

“Dari Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW dan Page | 2
mengatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia, lantas apakah ibunya akan mendapat manfaat
jika dia bersedekah atas namanya? Rasulullah SAW menjawab : “Ya (bermanfaat baginya).”
Kemudian lelaki itu menyedekahkan kebunnya atas nama ibunya dengan disaksikan oleh Rasul SAW.

(HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits lain yang bersesuaian sebagai pendukung hadits diatas, yang diriwayatkan oleh imam ahmad
bin Hanbal,

،‫قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجالن مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا‬
‫وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا‬.

“Ibnu Juraij didalam mushnafnya berkata, dari al-Harits Ibnu Abi al-Harits dari ‘Ubaid bin Umair, ia
berkata ; dua laki-laki terfitnah yakni mukmin dan munafik, adapun orang mukmin terfitnah selama 7
hari, sedangkan orang munafik terfitnah selama 40 hari”.

Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di
hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah
kemaslahatan dan tidak ada larangannya, sebab pengkhususan hari-hari tertentu dalam melakukan
amal-amal kebaikan adalah boleh. al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan
ketika mengomentari hadits al-Bukhari no. 1118, sebagai berikut ;

“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz)
pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan)
melakukannya”.

Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal
shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya,

Menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan dzikir bersama atau tahlilan pada malam ke 7, 40,
100 dst , ini tergolong kedalam Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik) sebagaimana yang dilakukan oleh
khalifah Umar bin Khotab ra. Dalam hadis berikut :

“Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Umar Bin khatab (Khalifah
Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke Mesjid Madinah. Di dalam mesjid itu orang-orang
shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan beberapa
orang di belakangnya. Maka Umar RA berkata : ”Saya berpendapat akan mempersatukan orang-
orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan shalat
Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam, namanya Ubai
bin Ka’ab.

Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke mesjid, lalu kami melihat orang shalat berjama’ah
di belakang seorang Imam. Umar RA. berkata : ”INI ADALAH BID’AH YANG BAIK”. (Shahih Bukhari Juz
I hal. 242)

Coba kita perhatikan yang dilakukan para ulama yaitu mengumpulkan masyarakat yang melakukan
kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a/ dzikir berjama’ah , seperi halnya
Khalifah Umar bin Khottob yang mengumpulkan umat yang bercerai berai dalam sholat tarawih
menjadikan satu jamaah dengan satu imam yang dianggap lebih syar’i.

Lalu jika ditanya apa bid’ah hasanah dibenarkan dalam islam? Jawabnya jika memang bid’ah hasanah
tidak dibenarkan maka sama saja menuding khalifah Umar bin Khattab Ra sebagai pendosa karena
telah melakukan perbuatan yang tidak diajarkan oleh Rosul. Page | 3

Diantara dalil adanya pentakhsisan hadis “KULLU BID’ATIN DHOLALAH (SETIAP BID’AH ITU SESAT)”
menjadi dua bagian yaitu Bid’ah Sayyiah(buruk) dan Bid’ah Hasanah (baik), yaitu terletak pada
keumuman lafadznya yaitu menggunakan KULLUN yang bermakna majmu’ dan juga hadis hadis
berikut (selain dari hadis diatas tentang perkataan umar adanya Bid’ah Hasanah) sebagai
pentakhsisnya :

(1 )Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Sahabat (Ahlul Yamaamah) yg mereka itu
para Huffadh (Hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra.

Berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :

“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas Ahlul Yamaamah dan
ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku
(Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat
suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??

Maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan,
dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dgn Umar, dan engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas dan kami tak menuduhmu (kau
tak pernah berbuat jahat) kau telah mencatat wahyu dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah
Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”

Berkata Zeyd : “Demi Allah, sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada
gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian
berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”

“Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dgn mereka berdua dan
aku mulai mengumpulkan Alqur’an.” (Shahih Bukhari Hadits no.4402 & 6768)

(2) Dan dikuatkan dengan Hadis berikut :

‫ من سن في االسالم سنة‬. ‫من سن في االسالم سنة حسنة فعل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها وال ينقص من أجورهم شئ‬
‫ (رواه مسلم‬. ‫)سيئة فعل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها وال ينقص من أوزارهم شئ‬

“Barangsiapa yang mengadakan dalam islam SUNNAH HASANAH (sunnah yg baik) maka diamalkan
orang (dikemudian hari) sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang
yang mengerjakan tersebut, dengan tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yg mengerjakan
kemudian hari itu

Dan Barangsiapa yang mengadakan dalam islam SUNNAH SAYIAH (sunnah yg buruk) maka diamalkan
orang (dikemudian hari) sunnah yg buruk itu, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang
yang mengerjakan tersebut, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa orang yg mengerjakan
kemudian itu”. (HR. Muslim)
Hadis hadis diatas merupakan beberapa dalil yang digunakan oleh para imam mujtahid untuk ber
ijthad. Ijtihad merupakan penetapan Hukum yang di formulasikan dari Al Qur’an dan As Sunnah, jadi
intinya perbuatan Bid’ah yang hasanah tidak lepas dari Al qur’an dan As Sunnah, sebagaimana
diterangkan dalam Hadis yang Shohih tentang Ijtihad:

Dari Rasululloh Saw ketika beliau mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bersabda, yang artinya:
Page | 4
“Bagaimana engkau menghukumi?.” Muadz berkata: “Aku akan menghukumi dengan apa yang ada
di dalam Kitabullah.” Beliau bersabda: “Maka jika tidak ada dalam Kitabullah?.” Muadz menjawab:
“Maka dengan sunnah Rasululloh Saw.” Beliau berkata lagi: “Maka jika tida ada dalam sunnah
Rasululloh ?.” Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan fikiranku.” Rasululloh Saw bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq pesuruh Rasululloh Saw.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi dan Darami)

WalHasil hal-hal seperti ini (tahlilan)merupakan hasil ijthad para ulama yang dapat dipertanggung
jawabkan dengan Al qur’an dan As sunnah yang jauh dari kata kata sesat , khurafat, dholalah atau
lainnya.

Ada sebagian golongan yang menganggap dan melarang hal semacam ini merupakan buat-buatan
atau menambah-namabah syariat yang sudah sempurna dengan dalil ayat Al Qur’an :

“Hari inilah KUSEMPURNAKAN agamamu ini untuk kamu sekalian dengan Kucukupkan NikmatKu
kepada kamu, dan yang Kuridhoi Islam inilah menjadi agama kamu.” (QS. Al Maidah : 3)

Berdasarkan penjelasan diatas hal semacam ini tidaklah menyimpang dari ayat ini, karena apa yang
dilakukan para ulama tersebut bukanlah menambah nambah syariat dan tidak ada dasarnya, jadi
jelaslah perkataan seperti itu adalah pemahaman yang sempit tentang makna sempurna dalam ayat
tersebut dan hanya dalih untuk saling menyalahkan antara sesama muslim.

Sebagai tambahan untuk menutup kemungkinan sebagian golongan yang berpendapat dzikir
berjamaah dan jahr merupakan perbuatan yang tidak diajarkan Rosululloh , padahal hal seperti ini
Rosululloh Saw dan para Shahabatlah yang mengajarkan , karena itu saya lengkapi dengan hadis
hadis Berikut :

Dalil dzikir bersama :

‫س َماءِ أَن قُو ُموأ َمغفُو ًرا لَ ُكم –أخرجه الطبراني‬


َ ‫هللا َال ي ُِريدُونَ بِذَالِكَ َإال َوج َههُ تَعَالَى َإال نَا َداهُم ُمنَاد مِ نَ ال‬
َ َ‫َما مِ ن قَوم اجت َ َمعُوا يَذ ُك ُرون‬

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridha Allah kecuali
malaikat akan menyeru dari langit : Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian.(HR.
Ath-Thabrani)

Dalil dibolehkannya dzikir dengan Jahr (keras)

Rasulullah SAW bersabda :

َ ‫ أَنا َ عِن َد‬:‫يَقُو ُل هللاُ تَعَالَى‬


‫ فَإن ذَك ََرنِي فِي نَف ِس ِه ذَكَرتُه ُ فِي نَفسِي َوإن ذَك ََرنِي فِي َم َل ذَكَرتُه ُ فِي‬،‫ظنِي عبدِي بِي َوأنَا َمعَه ُ عِن َد ذَك ََرنِي‬
‫َم َل خَي ًرا مِ نه ُ –منقق عليه‬

Allah Ta’ala berfirman : Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku
senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut
nama-Ku. Jika ia menyebut nama-Ku dengan lirih, Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan
sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebut-Ku secara berjama’ah atau dengan suara keras maka Aku
akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia.(HR Bukhari-Muslim)

Diantara dalil-dalil dzikir bersama:


Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka hendaklah kalian
bersenang-senang padanya.” Para Sahabat beliau bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau
maksud dengan taman-taman surga?” Beliau pun menjawabnya : “Halaqah-halaqah dzikir.”

(HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya, juz 5 hal. 498 Kitabud Da`awat bab Ma Ja`a fi Aqdit Tasbih bil Yadi
no hadits 3510 dari Anas bin Malik ra.)
Page | 5
Abu Said Al-Khudri ra menceritakan : Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah keluar dari rumahnya
menuju masjid dan mendapati di masjid itu halaqah (posisi duduk segerombol orang dengan formasi
lingkaran). Maka Mu’awiyah menanyai mereka: “Untuk apa kalian duduk-duduk di sini?” Mereka
pun menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah.” Mua’wiyah pun mengulang
pertanyaannya sembari memastikan : “Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk itu?”
Mereka pun menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk di sini kecuali untuk itu.” Maka Mu’awiyah
menyatakan kepada mereka : “Tidaklah aku meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai
kejujuran kalian. Dan tidaklah ada seorang pun yang kedudukannya dekat dengan Nabi SAW yang
lebih sedikit dariku dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW. Dan sesungguhnya Nabi SAW pernah di
suatu hari keluar dari kamarnya ke masjid beliau dan mendapati satu halaqah dari para Sahabat
beliau. Maka beliau pun menanyakan kepada mereka yang duduk di halaqah itu: (“Mengapa kalian
duduk di sini?”) Mereka pun menjawab : (“Kami duduk di sini adalah untuk berdzikir kepada Allah
dan bertahmid kepada-Nya karena Dia telah menunjuki kami kepada Islam dan telah memberi kami
kenikmatan dengan agama ini.”).

Kemudian Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka : (“Demi Allah kalian tidak duduk di sini
kecuali untuk keperluan itu?”). Maka mereka pun segera menjawab : (“Demi Allah kami tidak duduk
di sini kecuali untuk keperluan tersebut.”) . Setelah mendapat jawaban demikian Nabi pun
menyatakan kepada mereka : (“Ketahuilah, sesungguhnya aku tidaklah meminta kalian bersumpah
karena aku mencurigai kalian. Akan tetapi, telah datang kepadaku Malaikat Jibril. Dia
memberitahukan kepadaku bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia telah berbangga dengan
majelis kalian di hadapan para Malaikat-Nya.”

(HR. Muslim dalam Shahih nya, juz 17 hal. 190 Kitab Adz-Dzikir wad Du’a wat Taubah wal Istighfar ,
Bab Fadl-lul Ijtima’ `ala Tilawatil Qur’an wa `ala Adz-Dzikri . Hadits ke 2701/40, Kitab Al-Haj no. 436
dan HR. Nasa’i dalam Kitab Al-Qudhat Bab 37)

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berputar-putar di jalan-
jalan untuk mencari orang-orang yang berdzikir. Maka bila mereka mendapati satu kaum yang
sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka pun saling panggil-memanggil dengan menyatakan :
Kemarilah kalian karena di sini ada yang kalian cari.” Selanjutnya Nabi SAW menceritakan: “Maka
para Malaikat itu merendahkan sayap-sayap mereka, demikian bertumpuk-tumpuk sampai ke langit
terdekat (dengan bumi).”

Nabi SAW pun berkata : “Maka Tuhan mereka Yang Maha Agung dan Maha Mulia menanyai mereka
dan Allah Maha Tahu dari mereka : “Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba- Ku?” Maka para
malaikat itu menjawab : “Mereka bertasbih kepada-Mu dan mereka bertakbir kepada-Mu dan
mereka bertahmid kepada-Mu dan mereka mengagungkan Engkau.”

Kemudian Allah menanyai para malaikat itu : “Apakah mereka yang berdzikir itu pernah melihat
Aku?” Para Malaikat pun menjawab : “Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihat Engkau.” Allah
menanyakan lagi : “Bagaimana seandainya mereka melihat Aku.” Maka para Malaikat pun
menyatakan : “Seandainya mereka melihat Engkau, niscaya ibadah mereka kepada-Mu akan lebih
kuat, dan mereka akan lebih kuat semangatnya dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak
bertasbih kepada-Mu.”
Kemudian Allah menanyai para malaikat itu: “Apakah yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat
pun menjawab : “Mereka meminta dari-Mu surga.” Allah bertanya lagi kepada para Malaikat-Nya:
“Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab oleh malaikat : “Tidak pernah mereka melihatnya
demi Allah.” Selanjutnya Allah bertanya lagi : “Bagaimana pula kalau mereka pernah melihatnya?”
Malaikat menjawab : “Seandainya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka akan lebih besar
keinginannya untuk mendapatkannya, dan lebih kuat semangatnya untuk meminta dan
Page | 6
mencapainya.” Allah bertanya lagi : “Dan apakah yang mereka berlindung daripadanya? ” Para
Malaikat itu menjawab : “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari api neraka.” Allah pun
bertanya : “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab oleh Malaikat : “Tidak, demi Allah mereka
belum pernah melihatnya.” Kemudian Allah menanyakan lagi : “Bagaimana pula kalau seandainya
mereka pernah melihatnya?” Malaikat menjawab : “Mereka akan lebih kuat semangat
menghindarinya dan akan lebih takut daripadanya.” Maka Allah menyatakan kepada para Malaikat
itu : “Aku jadikan kalian sebagai saksi, bahwa Aku mengampuni dosa-dosa mereka.” Maka
berkatalah salah satu dari para Malaikat itu: “Di majelis dzikir itu ada si fulan yang sesungguhnya
bukan dari mereka yang berdzikir itu. Dia datang ke majelis itu untuk satu keperluan.” Allah pun
menyatakan: “Mereka itu adalah majelis yang tidak akan celaka siapa pun yang duduk di majelis itu.”

(HR. Bukhari dalam Shahih nya, lihat Fathul Bari juz 11 hal. 208 no hadits 6408 Kitabud Da’awaat bab
Fadl-lu Dzikrillahi `Azza wa Jalla dan HR. Muslim dalam Shahih nya Kitab Ad-Dzikir no.25)

Demikianlah sebagian dalil-dalil dzikir bersama dari sekian banyak hadits-hadits shahih yang
menerangkannya.

Semoga dapat kita ambil manfaat dengan pemahaman yang sebaik-baiknya.. amiin ya Robbal
‘alamiin.

Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari

 naneyanar

6 tahun yang lalu

Iklan

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam.
Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi
jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

‫ حدثنا األشجعى عن سفيان قال‬:‫ حدثنا هاشم بن القاسم قال‬: ‫قال االمام أحمد بن حنبل رضي هللا عنه فى كتاب الزهد له‬

‫ حدثنا‬:‫ قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة‬, ‫ ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك األيام‬:‫قال طاوس‬
‫ ان‬:‫ قال طاوس‬:‫أبو بكر بن مالك حدثنا عبد هللا بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا األشجعى عن سفيان قال‬
‫الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك األيام‬

Artinya:

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab
zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan
kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman
Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan
mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka
yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal
selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu
Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang
meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan
bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah
Page | 7
meninggal selama hari-hari tersebut.”

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

‫ان سنة االطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى األن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى األن و انهم أخذوها‬
‫خلفا عن سلف الى الصدر األول‬

ِArtinya:
ِ

“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan


perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah
dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai
sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in

Oleh: Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Siapa bilang budaya berssedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari)
atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ?

Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan,
pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya.
Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram
dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang
budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di ; http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-
dakwah-wali-songo.html atau di
; http://www.facebook.com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif&notif_t=g
roup_activity.

Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa
‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi
Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh
Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat
dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab: “Yang dimaksud perkara yang baik dalam
hadits tersebut adalah :

‫هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي‬

“ Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang
diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam.

Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai
tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru
ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para
sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.

Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :

Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan : Page | 8

‫ ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك االيام‬: ‫قال طاووس‬

“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan
mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan
makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Sementara dalam riwayat lain :

‫ فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا‬,‫ يفتن رجالن مؤمن ومنافق‬: ‫عن عبيد بن عمير قال‬

“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq
memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan
seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.

Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para
perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.

Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama
negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw.
Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli
mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan
bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah
seorang sahabat Nabi Saw.

Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan
ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-
majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya
adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada
sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).

Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

‫ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك االيام‬

berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama
tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti
dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw
telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.

(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian,
merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui
keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

Anda mungkin juga menyukai