Anda di halaman 1dari 7

Patogenesis

Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi
oleh Th (T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang menggambarkan adanya
respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan
adanya pembentukan granuloma dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan
saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa
dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4 dan IL-10) yang tidak responsif
terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula
kelompok kusta tipe borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk.,
2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like
receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen
mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan
(LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor
virulensi utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi
pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS oleh sel
fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012). Beberapa reseptor signaling
lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR 4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle
(Misch dkk., 2010). Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1 dimediasi oleh
antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12.

Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali lipat lebih tinggi dibanding kusta
tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR
maupun CD40 ini ditemukan lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini
menjelaskan mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan IFN yang
berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015) Makrofag merupakan sel pejamu yang
paling banyak berinteraksi dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC
melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang dipresentasikan kepada
sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik.
Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α
sebagai hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh PGL-
1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012).
Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai
oleh fagosit oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR.
Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS dengan kofaktor nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian
akan mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan
oleh enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif.
Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas dkk., 2015).

Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species terutama NO. Nitric oxide
dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik
yang terinduksi sebagai respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila
dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi sitrulin dan melepaskan
NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat membentuk radikal peroksinitrit yang sangat
reaktif, sebagai hasil penggabungan dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat
membunuh bakteri (Abbas dkk., 2015).

Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf
perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas.
Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada
rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)
berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann, selanjutnya internalisasi
M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri
dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP)
kinase (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015).
Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit
akson yang tidak bermyelin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada
kusta tipe multibasilar (Renault dan Ernst, 2015). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem
imun diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15
dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan
sitokin proinflamasi dan apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro
terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang merupakan
mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas
dan cairan interstisial (edema) pada saraf 17 sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010;
Renault dan Ernst, 2015).

Klasifikasi

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan, prognosis dan
komplikasi serta perencanaan operasional misalnya menemukan pasien yang menular yang mempunyai
nilai epidemiologi tinggi sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat
penting untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang
sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling (1962) yang membagi kusta
menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline
(BB), Borderline Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini didasarkan pada
kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee, dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010).

Klasifikasi kusta yang lain adalah klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional
Kusta di Madrid pada tahun 1953. Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I), Tuberculoid (T),
Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L). Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan
klasifikasi kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta dengan
pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling atau tipe I dan
T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan
Jopling atau tipe B dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global menyebabkan WHO
kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas
jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe
MB dengan jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar 2010).
Lesi TT BT BB BL LL

Jumlah Biasanya Sedikit (s/d 10) Beberapa Banyak asimetris Tidak


tunggal (s/d 3) (10-30) (>30) terhitung,
simetris
Ukuran Bervariasi, Bervariasi, Bervariasi Kecil, beberapa Kecil
umumnya beberapa besar dapat besar
besar
Permukaan Kering, dengan Kering, dengan Kusam atau Mengkilap Mengkilap
skuama skuama, terlihat sedikti
cerah, terdapat mengkilap
infiltrat
Sensasi Hilang Menurun dengan Menurun Sedikit menurun Normal atau
jelas sedang menurun
minimal
Pertumbuh Tidak ada Menurun dengan Menurun Sedikit menurun Normal pada
an Rambut jelas sedang tahap awal
BTA Negatif Negatif/sedikit Jumlah Banyak Banyak sekali
sedang termasuk globi
Reaktivitas Positif kuat Positif lemah (+ Negatif atau Negatif Negatif
Lepromin (+++) atau ++) positif lemah

Diagnosis

Penyakit kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila
individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda kardinal berikut (Kumar
dan Dogra, 2010) :

1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya atau gangguan
sensasi Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau berwarna
seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau
berkilap atau dapat pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel rambut dan lesi
dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit
kusta. Pemeriksaan adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu. (Kumar
dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf Pembesaran saraf
tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus
ulnaris dan peroneus komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih sering
ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan pemeriksaan palpasi. Evaluasi
meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan
ukuran (membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus supraorbital,
nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis,
nervus peroneus, dan nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam Pemeriksaan hapusan
sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan
metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks
bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi
(Eichelmann, 2013; Job dan Ponnaiya, 2010). Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologis. Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma yang
khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan ditemukan gambaran
granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan
gambaran granuloma makrofag. Pada kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma
dengan proporsi sel epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu 20 pemeriksaan titer antibodi
PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR) (Eichelmann; 2013).

Pemeriksaan

Hapusan Sayatan Kulit Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan
pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit yang kemudian
diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari keseluruhan pemeriksaan laboratorium
yang tersedia untuk penyakit kusta, pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling
sederhana. Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi penyakit,
untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan pemantauan pengobatan.
Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan
ibu jari kanan (Mahajan, 2013). Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan
dan kiri serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012).

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung
menunjukkan gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%. Sensitivitas
yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain keterampilan petugas, teknik pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta
kelengkapan alat dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan dkk.,
2010; Bhushan dkk., 2010).

Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi
masing-masing basil diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang
masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau terfragmentasi merupakan
basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi
bakteri dilakukan penghitungan IB dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus. Pada IB,
penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi
dan granular). Penghitungan dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:

1. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu lapangan pandang.
2. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.
3. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.
4. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.
5. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.
6. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang
7. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang

(Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga menghasilkan jumlah basil
yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir
yang memberikan hasil negatif. Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau
solid terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui kemampuan penularan
kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). Indeks
bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun
atau +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih
lambat pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maghanoy
dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB yang tinggi (≥+4) masih tetap positif
setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih
ditemukan dengan IB positif setelah 1 tahun pengobatan.

Terapi Kusta

World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan penggunaan multidrug therapy
(MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan
MDT bertujuan untuk menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta
menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010). Regimen PB terdiri atas
rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas
kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan
dengan lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae meliputi
minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim dan antibiotika golongan beta
laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009).

Anda mungkin juga menyukai