Pada mulanya, adzan Jum’at hanya dikumandangkan satu kali, yaitu ketika Khatib
duduk di atas mimbar. Demikian itu berlangsung sejak zaman Rasulullah SAW hingga
pada zaman Khalifah Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. yaitu sampai tahun 23 H. Kemudian
Khalifah yang ketiga yakni Sayyidina Utsman bin ‘Affan r.a. (berkuasa dari tahun 23 H
sampai dengan tahun 35 H) menambah satu adzan lagi sebelum Khatib naik ke atas
mimbar. Hal ini beliau lakukan karena melihat jumlah manusia sudah mulai banyak dan
tempat tinggalnya atau tempat kerjanya yang berjauhan, sehingga dibutuhkan satu adzan
lagi untuk memberi tahu bahwa Shalat Jum’at segera akan dilaksanakan. Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a.:
الم ْنبَ ِرعلى َع ْه ِد َ َب ب ِْن يَ ِز ْيدَ قال كان النِِّدا ُء يَ ْو َم ال ُج ُمعَ ِة َّأولُهُ إذا َجل
ِ س اإلما ُم على ِ ِسائ
َّ عن ال
َ
ُ َّعثمان رضى هللا عنه َو َكث َ ُر الن
َ اس زادَ النِِّدا َء الثا ِل
ث ُ فَلَ َّما كان,ع َم َر
ُ ي ِ ﷺ وأبي َب ْك ٍر َو
ِّ ِالنِّب
)228 ص1 صحيح البخاري ج: (رواه البخاري.راء َّ على
ِ الز ْو
“Dari Saib bin Yazid beliau berkata: ‘Pada mulanya adzan Jum’at
dikumandangkan ketika Khatib duduk di atas mimbar. Yaitu berlangsung pada masa
Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, dan ‘Umar. Namun ketika masa Khalifah Utsman r.a
dan manusia semakin bertamabah banyak, maka beliau menambah adzan yang ketiga,
yang dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar di Madinah).’” (HR. Bukhari:
Shahih Bukhari, Juz I, Hal. 228).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga:
1
ketika masa Khalifah ‘Utsman r.a dan kaum muslimin sudah semakin banyak, maka
beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut
dikumandangkan di atas Zaura.’ Maka menjadi ketetapan hukum sampai sekarang.’”
(HR. Bukhari: Shahih Bukhari, Juz I, Hal. 229).
Dalam kedua Hadits tersebut, yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah
adzan yang dikumandangkan sebelum Khatib naik ke atas mimbar, yang ditambahkan
oleh Khalifah ‘Utsman r.a yang kemudian disebut dengan adzan pertama. Sebab adzan
Jum’at pada zaman Nabi Hanya dua kali, yaitu adzan ketika Imam atau Khatib telah
duduk di atas mimbar untuk berkhutbah yang pada zaman dahulu disebut adzan pertama,
kemudian pada masa Khalifah ‘Utsman r.a dan seterusnya dinamakan adzan kedua.
Adzan kedua zaman dahulu ialah Iqomah yang dilaksanakan setelah Imam atau
Khatib selesai menyampaikan Khutbahnya, hal ini dilakukan untuk memberi tahu kepada
jama’ah bahwa Shalat akan segera dimulai.
Selanjutnya, Ijtihad yang dilakukan oleh Khalifah ‘Utsman itu ternyata diikuti
oleh seluruh Sahabat pada masa itu, tidak ada satupun dari mereka yang menentangnya,
semuanya diam yang berarti setuju pada keputusan hukum yang telah ditetapkan, yaitu
adzan yang ditambahkan oleh Khalifah ‘Utsman. Hal itulah yang disebut dengan Ijma’
Sukuti, yakni satu kesepakatan para ‘Ulama’ (dalam hal ini adalah Sahabat Nabi SAW)
terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya, dan Ijma’ Shahaby itu
dapat digunakan sebagai dasar hukum Fiqh menurut ‘Ulama’ Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dalam kitab Al Mawahib Al Laduniyyah disebutkan:
2
“Dan disunnahkan adzan dua kali untuk Shalat Shubuh, yakni sebelum Fajar dan
sesudahnya, jika hanya mengumandangkan satu kali saja, maka yang utama dilakukan
ialah sesudah Fajar. Dan disunnahkan dua kali adzan untuk Shalat Jum’at, salah satunya
setelah Khatib naik ke atas mimbar dan yang lain sebelumnya.” (Fathul Mu’in: 15).
Selain itu, mengikuti sunnah sahabat ‘Utsman itu berarti mengikuti sunnah Nabi
SAW. sebab Nabi SAW memerintahkan seluruh ummat Islam agar mengikuti Nabi SAW
dan mengikuti Khulafa’ Ar-Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, dan Ali
Radhiyallahu ‘Anhum, dan ‘Utsman adalah salah satu di antara mereka. Sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW berikut:
ص4 سنن أبو داود ج:الرا ِش ِديْنَ ِم ْن بَعدى (رواه أبو داود ِ َسنَّ ِة ال ُخل
َّ فاء ُ علي ُك ْم
ُ سنَّ ِتى و
)201
“Pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin sesudahku.” (HR.
Abu Dawud: Sunan Abu Dawud, Juz IV, Hal. 201).
Jika ada orang yang menanyakan: ‘Mana yang lebih baik dikerjakan, apakah
ibadah yang dikerjakan Nabi SAW atau yang dikerjakan oleh Khalifah ‘Utsman r.a.’,
maka jawab kita: ‘Yang baik dikerjakan ialah kedua-duanya, yakni perintah Nabi SAW
diikuti dan perintah Sayyidina ‘Utsman juga diikuti. Karena kita diperintahkan untuk
mengikuti Nabi SAW dan mengikuti Sayyidina ‘Utsman sebagai salah satu dari Khulafa’
Ar-Rasyidin.’ Kalau adzan Jum’at hanya dilakukan satu kali, memang sudah mengikuti
Nabi 50%, karena Nabi memerintahkan untuk mengikuti Sayyidina ‘Ustman sebagai
salah satu Khulafa’ Ar-Rasyidin belum terlaksana.
Memang kalu kita hanya dituntut membandingkan mana yang lebih baik di antara
dua adzan itu saja, sudah barang tentu yang di masa Rasulullah SAW yang lebih baik.
Pengertian inilah yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm sebagai
berikut:
3
‘Utsman, walaupun yang terjadi pada masa Rasulullah SAW lebih disukai, karena beliau
memakai sighat ‘Isim tafdhil’ pada perkataan itu.
Bagi kaum muslimin di zaman sekarang ini adzan Jum’at pertama itu sangat
berguna, sebab jumlah manusia yang semakin bertambah dan tempat tinggalnya atau
tempat kerjanya yang berjauhan, sehingga diperlukan satu waktu yang cukup untuk
mempersiapkan diri pergi ke Masjid untuk Shalat Jum’at.
Kalau adzannya sau kali saja, yaitu ketika Khatib sudah naik ke atas mimbar,
maka sulit bagi yang tempatnya berjauhan dan bagi yang masih ada pekerjaannya untuk
segara sampai ke Masjid,dan terutama tidak ada pula waktu melaksanakan Shalat
Qobliyah Jum’at karena sesudah adzan Khatib sudah berkhutbah. Oleh karena itu adzan
yang pertama itu dihukumi sunnah, karena diperlukan untuk persiapan Sholat Jum’at
sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan pula:
َ َّكأن تَ َوق
ف ُ ِّعثمان رضي هللاُ عنه ِلما كثِّر الن
ْ اس فاستِ ْحبابُهُ عند الحا َج ِة ُ ُإنَّما أ َ ْحدَثَه
)15 :ار على اإل ِت ِّبَاعِ (فتح المعين َ ِ وإالَّ لَكانَ اإل ْقت,ض ْو ُر ُه ْم عليه
ُ ص ُ ُح
“Hanya saja dua kali adzan Sholat Jum’at itu dilakukan pertama kali oleh
‘Utsman r.a karena kaum muslimin semakin bertambah banyaknya. Maka adzan itu
dihukumi sunnah karena keadaannya diperlukan, sebagaimana kehadiran kaum
muslimin (untuk Shalat Jum’at di Masjid) tergantung pada adzan itu, kalau tidak
demikian maka lebih afdhal melakukan satu kali saja sebagai Ittiba’i (mengikuti)
Rasulullah SAW.” (Fathul Mu’in: 15).
Kesimpulannya bahwa, hukum adzan yang ketiga yang sekarang disebut adzan
pertama adalah sunnah, bukan bid’ah dhalalah sebagaimana tuduhan sebagian orang.
Sebab kebijakan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam,
yaitu Ijma’ para Sahabat.