Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan
stigmatik. Identitas budayanya itu dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jati
diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan
berkehidupan. Kehidupan mereka di tempat asal maupun di perantauan kerapkali
membawa dan senantiasa dipahami oleh komunitas etnik lain atas dasar identitas
kolektifnya itu. Akibatnya, tidak jarang di antara mereka mendapat perlakuan
sosial maupun kultural secara fisik dan/atau psikis yang dirasakan tidak adil,
bahkan tidak proporsional dan di luar kewajaran.
Berbagai deskripsi perilaku absurd orang-orang Madura terbiasa diungkap
dan ditampilkan misalnya, dalam forum-forum pertemuan komunitas intelektual
(well-educated) sehingga kian mengukuhkan generalisasi identitas mereka dalam
nuansa tersubordinasi, terhegemonik, dan teralienasi dari “pentas budaya”
berbagai etnik lainnya sebagai elemen pembentuk budaya nasional. Kendati pun
setiap etnik mempunyai ciri khas sebagai identitas komunalnya, namun identitas
Madura dipandang lebih “marketable” daripada etnik lainnya untuk diungkap dan
diperbincangkan, terutama untuk tujuan mencairkan suasana beku atau kondisi
tegang pada suatu forum pertemuan karena dipandang relatif mampu dalam
menghadirkan lelucon-segar (absurditas perilaku).
Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat
(memedomani) ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan
“dilema,” untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal
dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural dalam praksis keberagamaan
mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran formal yang diyakini dan
dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata tidak selalu
menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka. Dilema
praksis keberagamaan mereka itu, kiranya menjadi tema kajian menarik terutama
untuk memahami secara utuh, mendalam, dan komprehensif tentang etnografi
Madura di satu sisi, dan keberhasilan penetrasi ajaran Islam pada komunitas etnik

1
2

Madura yang oleh sebagian besar orang/etnik lain masih dipandang (diyakini?)
telah mengalami internalisasi sosiokultural, di sisi lain.
Pemahaman demikian diharapkan dapat memberi kontribusi yang
bermakna terutama bagi kejernihan dan kecerahan pola pandang elemen warga-
bangsa.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah Kehidupan Masyarakt Madura ?
b. Apa saja Kebijakan pemerintah Daerah dalam Mempertahankan Tradisi
Madura ?
c. Bagaiman Posisi Seni Tradisional dalam Tantangan Global ?
C. Tujuan Masalah
a. Bagaimanakah Kehidupan Masyarakt Madura ?
b. Apa saja Kebijakan pemerintah Daerah dalam Mempertahankan Tradisi
Madura ?
c. Bagaiman Posisi Seni Tradisional dalam Tantangan Global ?
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehidupan Masyarakt Madura
Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian
dari keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi
(ajaran?) Islam dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun
begitu, kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu mencerminkan
nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapat dipahami karena penetrasi
ajaran Islam yang dipandang relatif berhasil ke dalam komunitas etnik Madura
dalam realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan kompleksitas
elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama variabel keberdayaan
ekonomik, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke
dalamnya kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan sekaligus
juga unik.
Oleh karena itu, pemahaman dan penafsiran atas ajaran Islam normatif
pada warga etnik Madura pada perkembangannya berjalan seiring dengan
kontekstualitas konkret budayanya yang ternyata sangat dipengaruhi jika tidak
dikatakan bermuatan heretical oleh lingkup lokalitas dan serial waktu yang
membentuknya.1 Dalam perwujudannya, keberagamaan etnisitas komunal itu
ternyata menampakkan diri dalam bentuk local tradition di mana Islam sebagai
great tradition (ajaran dan praksis normatif) membentuk konsepsi tentang realitas
yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural masyarakatnya atau komunitas
yang dibentuknya itu.2 Kehadiran dan keberadaan Islam ke dalam suatu entitas
sosial budaya telah menjadi “gerakan aktual-kultural” yang mengakomodasi
dialog dalam/dengan beragam segmentasi kehidupan sehingga wajah Islam
normatif dimungkinkan mengalami perubahan walaupun pada sisi periferalnya.
Kenyataan demikian tampak pada konsepsi yang teraktualisasikan dalam
bentuk-bentuk perilaku pada budaya orang-orang Madura yang ternyata
mengalami perubahan format jika tidak disebut bias atau deviasi dari norma

1
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago;
The university of Chicago Press, 1999), hlm. 141.
2 Azra, Azumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. (Jakarta: Paramadina,
2012), hlm. 12.
4

asalnya. Perilaku demikian dapat diungkapkan, antara lain: sebagian pedagang


Madura berjualan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diucapkan (dijanjikan),
tindakan premanisme, penghormatan berlebihan atau kultus individual pada figur
kiai, ketersinggungan yang sering berujung atau dipahami sebagai penistaan harga
diri, perbuatan heretikal, temperamental, reaktif, keras kepala, dan penyelesaian
konflik melalui tindak kekerasan fisik (biasa disebut carok).
Contoh-contoh tersebut tidak saja menggambarkan bahwa keberagamaan
sebagian masyarakat Madura “berseberangan” dengan ajaran normatif, moral, dan
perenial Islam, melainkan berdampak juga pada munculnya stigma dan
stereotipikal etnik secara komunal dan kultural dalam realitas praksis yang
berjangkauan luas. Menghadapi kenyataan demikian, kearifan pandangan budaya
benar-benar perlu dihadirkan sebagai bagian dari upaya solutif atas beragam
problema tersebut. Hal itu didasari karena bias-bias perilaku mereka terwujud
sebagai deviasi produk akomodatif Islam dan kenyataan sosial budaya dalam
praksis dan kontekstualitas kehidupannya.
B. Kebijakan pemerintah Daerah dalam Mempertahankan Tradisi Madura
Kesenian Tradisional suatu daerah adalah salah satu aspek dari
kebudayaan yang mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan
kebudayaan dan pariwisata di suatu daerah. Keberhasilan pelestarian kesenian
tradisional suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah
dalam merumuskan program dan kebijakan pelestarian kesenian tradisional yang
nantinya akan dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah bersama kelompok-
kelompok masyarakat.3
Pemerintah Madura dalam menjalankan kebijakan tersebut dalam rangka
pelestarian kesenian tradisional tentunya tidaklah berjalan dengan mudah sesuai
dengan apa yang diharapkan, Pemerintah Madura akan mendapatkan tantangan
sebagai penghambat dari tugas dan fungsinya dalam rangka pelestarian kesenian
tradisional yang dilaksanakan, namun dilain pihak Pemerintah Madura juga
mendapatkan beberapa faktor pendukung untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya dalam rangka pelestarian kesenian tradisional. Kebijakan (aktivitas

3
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo persada, 2011), hlm. 76.
5

pemerintah) Madura dalam rangka pelestarian (merawat, melindungi,


mengembangkan) kesenian tradisional khas Madura adalah sebagai berikut:4
1. Pelaksanaan Pembinaan kelompok kesenian.
Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Madura bagian kesenian melaksanakan
pembinaan kelompok kesenian yang ada di Madura Pembinaan kelompok
kesenian yang dilakukan berupa pengkaderan yang dilaksanakan oleh dinas
kebudayaan dan pariwisata kepada grup/kelompok kesenian yang ada di Madura.
kelompok/grup kesenian yang telah melaksanakan pengkaderan akan diberikan
fasilitas oleh dinas kebudayaan dan pariwisata, fasilitas yang diberikan dalam
bentuk sarana dan prasarana (baju tradisional, alat musik tradisional). Selain
fasilitas, dalam hal pembinaan Dinas kebudayaan dan pariwisata Madura juga
membantu kelompok–kelompok seni yang ada di Madura untuk aktif dan
mengikut sertakan dalam kegiatan dan acara–acara yang diselenggrakan
pemerintah Madura dan non pemerintah, program ini juga membantu
memperkenalkan kelompok–kelompok seni tersebut kepada masyarakat luas baik
itu di dalam atau luar Madura serta mempromosikan Kesenian tradisional Khas
Madura.
2. Bekerja sama dengan kelompok kesenian di Madura
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata bagian Kesenian menggunakan media
Sanggar/kelompok kesenian di Madura untuk bekerja sama dalam melestarikan
kesenian tradisional. Salah satu caranya yaitu mengaktifkan kelompok –
kelompok seni tersebut dalam kegiatan atau acara yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Madura.
3. Pemerintah menjadi fasilitator (sarana/prasarana) dalam kegiatan
pelestarian kesenian tradisional di Madura
Salah satu cara mendukung pelestarian kesenian daerah (tradisional)
adalah Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata memberikan fasilitas kepada organisasi
kesenian tradisional untuk pelaksanaan kegiatannya dalam rangka pelestarian
kesenian tradisional. Fasilitas bukan dalam bentuk dana (uang) tetapi berupa
Sarana dan prasarana seperti baju tradisional, alat musik, dan lain-lain.

4
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya........hlm, 85
6

4. Pemerintah menjadi Mediator untuk Masyarakat mendapatkan bantuan


dana dari Instansi Non Pemerintah dalam rangka pelestarian Kesenian
Tradisional
Pemerintah mempunyai kebijakan yaitu membantu msyarakat yang ingin
mengembangkan potensi pariwisata di daerah setempatnya (dalam hal ini
kesenian tradisional) untuk mendapatkan bantuan dana dari Instansi–Instansi
swasta. Dinas kebudayaan Dan pariwisata mengarahkan kepada masing–masing
kecamatan yang ada di Madura untuk melaksanakan pembinaan masyarakat
pariwisata, pembinaan berupa mengajarkan masyarakat untuk mengembangkan
potensi kepariwisataan yang ada di masing–masing kecamatan.
5. Mengadakan acara rutin pagelaran seni tradisional
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata juga melakukan acara rutin berupa
pagelaran seni tradisional khas Madura dan kelompok kelompok seni yang
tersebar di Madura sebagai pengisi acara tersebut. Acara rutin tersebut
dilaksanakan bekerja sama dengan instansi lainnya yaitu instansi non pemerintah
dalam rangka pelestarian kesenian tradisional.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam hal melaksanakan pelestarikan
kesenian tradisional mempunyai beberapa faktor yang mendukung kegiatan
pelestarian kesenian tradisional tersebut diantaranya yaitu:5
1. Pemerintah
Salah satu faktor pendukung yang sangat mempengaruhi pelestarian
kesenian daerah (tradisional) adalah peran dari pemerintah pusat maupun daerah.
pemerintah melibatkan dan menggandeng masyarakat setempt dalam upaya
pelestarian seni budaya dan pengembangan wisata budaya. Pemerintah
memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat dan komunitas seni
budaya setempat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan
wisata budaya. Sehingga masyarakat setempat tidak saja dapat meningkatkan
kesejahteraannya namun secara tidak langsung masyarakat juga dilibatkan dalam
upaya pelestarian kesenian tradisional. Salah satu bentuk dari dukungan dari
pemerintah terhadap berbagai kelompok seni dapat dilakukan dengan cara
melibatkan mereka dalam pendataan, inventarisasi, pendokumentasian,

5
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya.......hlm, 86.
7

pengembangan seni budaya tradisional. Indonesia sanat berkepentingan menjaga


dan melestarikan beragam seni budaya tradisional agar terus dapat dinikmati oleh
generasi berikutnya,perlu adanya serangkaian kebijakan yang terencana,
kompherensif dan terintegrasi dari pemerintah pusat maupun daerah untuk
melindungi seni budaya tradisional dari ancaman kepunahan.
2. Masyarakat
Manusia memiliki hubungan erat dengan kebudayaan,begitu juga untuk
melestarikan kebudayaan manusia sangat berperan penting. Sebab, manusia yang
menciptakan budaya, dan manusia juga yang harus menjaga,mempertahankan dan
melestarikan budaya tersebut. Salah satu unsur dari kebudayaan adalah kesenian
tradisional. bangsa Indonesia dianugrahi sejumlah besar jenis tradisional,baik seni
rupa maupun seni pertunjukan, namun sebanyak itu pula masalah yang dihadapi
sehubungan dengan warisan yang berharga itu. Salah satu ciri masyarakat maju
adalah kemampuannya dalam menyelamatkan dan melestarikan kesenian
tradisional daerahnya. Indonesia sebagai bangsa yang dianugrahi begitu banyak
jenis kesenian tradisional selayaknya sangat peduli dengan upaya penyelamatan
dan pelestarian itu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam hal melaksanakan pelestarikan
kesenian tradisional mempunyai beberapa tantangan yang menjadi faktor yang
menghambat kegiatan pelestarian kesenian tradisional tersebut diantaranya yaitu :6
1. Modernisasi
Instruksi presiden RI Nomor 16 tahun 2005 tentang kebijakan
pembangunan kebudayaan dan pariwisata menegaskan agar pemerintah daerah
mengambil langkah nyata guna mengoptimalkan akselerasi pembangunan
kebudayaan dan pariwisata dalam upaya tidak hanya melestarikan tetapi juga
mensejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja, dan memeratakan
pembangunan. Namun dalam konteks kekinian dimana pola pikir dan modernisasi
terus berkembang , kebudayaan dan seni tradisi yang pernah ada dan tumbuh
berkembang di masyarakat semakin terpinggirkan,bahkan berbenturan dengan
pemahaman perubahan masyarakat.

6
Mahendra PK, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, (Yogyakarta: Kreasi Total
Media, 2007), hlm. 58.
8

Kota metropolitan seperti Madura tidak terlepas dari yang namanya


modernisasi. Faktor tersebut biasanya merupakan faktor penghambat dari jalannya
suatu aturan.Modernisasi menyebabkan laju informasi dan komunikasi kian tahun
semakin pesat. Tidak heran orang-orang pada berlomba untuk mendapatkan
sesuatu yang mereka inginkan segera. Modernisasi menyebabkan kehidupan
semakin hari kian modern.
2. Media Kurang Memuat Informasi dan Tayangan Tentang Kesenian
Tradisional.
Dunia ini dengan segala isi dan peristiwanya tidak bisa melepaskan diri
dari kaitannya dengan media massa; sebaliknya, media massa tidak bisa
melepaskan diri dari dunia dengan segala isi dan peristiwanya. Hal ini disebabkan
karena hubungan antara keduanya sangatlah erat sehingga menjadi saling
bergantung dan saling membutuhkan. Segala isi dan peristiwa yang ada di dunia
menjadi sumber informasi bagi media massa.
Oleh karenanya, dalam komunikasi melalui media massa, media massa
dan manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan dan saling
membutuhkan karena masingmasing saling mempunyai kepentingan, masing-
masing saling memerlukan. Media massa membutuhkan berita dan informasi
untuk publikasinya baik untuk kepentingan media itu sendiri maupun untuk
kepentingan orang atau institusi lainnya; di lain pihak, manusia membutuhkan
adanya pemberitaan, publikasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
3. Kurangnya minat remaja mempelajari kesenian tradisional
Remaja saat ini cenderung menyukai sampai meniru kebudayaan dari luar.
Adanya fasilitas seperti internet,tv,radio,majalah yang banyak menampilkan
kebudayaan asing membuat para remaja tidak dapat membendung rasa
keingintahuan mereka untuk mencoba dan meniru,sehingga kebudayaan lokal
mereka anggap sebagai hal yg kuno dan ketinggalan zaman dan kebudayaan asing
mereka anggap sebagai yang modern dan maju.
4. Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari
cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, budaya,
9

komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan


baru dalam masyarakat.
Perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat sekarang ,yakni
perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka. Ilmu
pengetahuan dan tekhnologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi
dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas batas budaya
setiap bangsa. Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh
terhadap keberadaan kesenian kita. Kesenian tradisional kita adalah bagian dari
kebudayaan nasional yang harus dijaga kelstariannya.
5. Para Pelaku Seni Tradisional yang kurang kreatif dan Inovatif
Banyak yang beranggapan bahwa kesenian tradisional tidak menghibur
jika dibandingkan dengan kesenian yang sering disiarkan melalui televise,yang
sebagian besar adalah kesenian modern dan meninggalkan kesenian tradisional.
Jika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan dengan kreatifitas para pelaku
kesenian tradisional dalam rangka melakukan adaptasi terhadap perkembangan
zaman,maka pelan-pelan kesenian tradisional tersebut akan kehilangan pengikut
atau penonton. Kesenian tradisional tanpa penonton ibarat guru yang tidak
memiliki murid. Eksistensinya sebagai media hiburan akan hilang sehingga
kesenian tradisional akan terancam punah.
C. Pengaruh Global tehadap Seni Tradisional
Di era globalisasi yang sekaligus memunculkan kepentingan pasar, para
seniman tradisional ikut tertantang memenuhi permintaan masyarakat. Para
seniman (pengrajin) pembuat barang-barang seni biasanya melayani
mayarakatnya untuk upacara sakral dan kegiatan lain yang berhubungan dengan
aktivitas ketradisionalan. Barang-barang seni yang dihasilkannya masih
mempunyai nilai artistik tinggi. Karena mengetahui banyaknya masyarakat yang
datang dan para pedagang yang memesannya, maka para seniman pengrajin mulai
mengalihkan perhatiannya untuk memenuhi permintaan pembeli.
Akhirnya, keluarlah produk barang seni yang sudah tidak didasarkan atas
ide dan selera seniman tradisional karena semata-mata hanya untuk memenuhi
kebutuhan pemesannya dalam bentuk massal. Selera seniman disesuaikan dengan
selera konsumen. Maka dibuatlah barang-barang seni sebanyak-banyaknya
10

dengan cara mengemas menjadi bentuk minim dengan tujuan agar dapat dibeli
dengan harga murah dan mudah dibawa kemana-mana, tanpa memperhitungkan
mutu barang seni tersebut. Terjadilah transformasi budaya yang menyatakan
pembuatan barang-barang seni itu merupakan mode of consumption artinya dibuat
untuk memenuhi konsumsi pembeli. Barang-barang tradisional itu dapat dijumpai
di toko-toko atau stand-stand di pingir jalan yang mudah dijangkau oleh pembeli,
antara lain keris, pedang, topeng, wayang, kuda kepang, dan sebagainya.
Anehnya, barang-barang tradisional itu laku cepat, dan ini sebagai akibat
banyaknya interaksi manusia di era globalisasi yang ditopang oleh teknologi
komunikasi modern.
Sementara itu masuknya arus globalisasi juga dibarengi dengan
munculnya media elektronik sebagai dampak proses industrialisme seperti tape
recorder, TV, video, VCD, DVD, membawa dampak pada bentuk seni tradisional
yang tadinya utuh harus terpaksa dipadatkan atau diringkas bentuk penyajiannya
karena telah masuk dapur rekaman Sebagai contoh, jika pertunjukan seni
tradisional Jathilan biasanya disajikan selama enam jam dari jam 12.00 siang
hingga jam 18.00 sore, maka setelah masuk industri rekaman harus mengalah
disajikan dalam tempo satu jam. Rekaman dalam bentuk audio-visual berdurasi
satu dipadatkan dalam bentuk CD. Hasil rekaman hidup ini telah dijual di pasar-
pasar tradisional dan di pinggir-pinggir jalan dengan harga murah-meriah yaitu
lima ribu rupiah.
Dengan demikian, seni Jathilan memasuki fase baru yang mau tidak mau
harus beradaptasi dengan selera pasar. Jika pasar sekarang kontekstual dengan
sasarannya yaitu generasi muda pedesaan yang notabene sebagai pengemar seni
pertunjukan misalnya musik dangdut dan campursari. Dalam iringan Jathilan,
kedua musik itu juga berperan mencampuri yang berakibat pada tergesernya lagu-
lagu lama.7
D. Posisi Seni Tradisional dalam Tantangan Global
Di samping seni Kerapan sapi ikut larut dalam arus globalisasi, tetapi juga
menentang arus tersebut. Sebagai seni tradisional Madura yang masih
dibanggakan oleh masyarakat pedesaan, ia juga harus berani menerjang pengaruh
7
Bouvier, Helene. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002). Hlm. 32.
11

arus globalisasi. Dalam arti, ia masih menonjolkan unsure-unsur lama yang


dipegang teguh sampai sekarang. Penggunaan lagu-lagu baru yang mengadopsi
lagu-lagu campursari dan dangdut dinyatakan tidak boleh masuk. Demikian juga
instrument drum yang sekarang dipakai oleh kelompok-kelompok seni Kerapan
sapi pada umumnya juga ditolak. Pendek kata telah terjadi reposisi pertunjukan
Kerapan sapi dalam era global, adalah melawan (resistensi) dengan tetap kukuh
untuk mempertunjukkan secara asli. Jadi dalam hal ini juga terpengaruh oleh arus
globalisasi.
Terpengaruh arus globalisasi seperti tidak sedikit para wisatwan kritis
(turis pintar) yang menanyakan latar belakang dan keaslian seni tradisional.
Mereka memiliki pandangan bahwa kedatangannya ke Indonesia buka-buka untuk
melihat jenis kesenian tiruan atau seni pertunjukan yang sudah diramu dengan
unsure-unsur Barat. Mereka justru kecewa ketika melihat kesenian tiruan. Mereka
mengatakan bahwa dengan melihat seni pertunjukan tradisional aslinya bisa
digunkan sebagai media pembelajaran.
Seorang seniman mengekspresikan perasaanya tidak berpindah-pindah
orientasi seperti bakseorang politikus yang berganti-ganti haluan atau seperti bayi
yang tertawa dan menangis. Ia merumuskan aspek-aspekyang sulit dimengerti dari
sebuah realita, yang biasanya berupa sesuatu yang tidak terbentuk dan semrawut,
yaitu membuat objektivikasi dari ranah objektif.8
Demikian pula ketika menghadapi arus globalisasi, seni Kerapan sapi tidak
begitu saja mudah tergerus. Seni tradisional Kerapan sapi harus mampu menata
diri dengan kembali pada kittah kerapan sapi itu sendiri, yakni sosok Kerapan sapi
yang tidak menoleh ke kanan ataupun kekiri, dan tiba-tiba nilai-nilai luhurnya
mudah copot dimakan jaman. Yang dimaksud kembali ke kittah bukan berarti
kaku atau sempit dalam menghadapi arus globalisasi.
Tetapi merupakan seni Kerapan sapi yang percaya diri akan muatan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga sudah terbukti bertahun-tahun, seni
kerapan sapi telah menjadi penyanga kebudayaan masyarakat desa yang telah
berlangsung ratusan tahun. Atas dasar itu, dapat disinyalir bahwa seni tradisional
yang hidup di daerah pedesaan dengan jumlah mencapai ratusan kelompok dapat

8
Langer, Susan K. Problematika Seni. (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006), hlm. 29.
12

dipastikan memiliki nilainilai kearifan lokal (local wisdom) dan kejeniusan lokal
(local genius). Hanya saja belum banyak digali nilai-nilai itu. Padahal sekarang
kenyataan sudah terbukti, bahwa sendisendi budaya lokal kita banyak yang
mengalami kehancuran seiring dengan masuknya arus budaya global. Oleh
karenanya, jika dipandang perlu, dan khusunya untuk melawan budaya global,
nilai-nilai luhur dalam seni tradisional Kerapan sapi dapat diangkat ke permukaan.

BAB III
PENUTUP
13

A. KESIMPULAN
Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian dari
keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi
(ajaran?) Islam dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun
begitu, kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu mencerminkan
nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapat dipahami karena penetrasi
ajaran Islam yang dipandang relatif berhasil ke dalam komunitas etnik Madura
dalam realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan kompleksitas
elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama variabel keberdayaan
ekonomik, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke
dalamnya kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan sekaligus
juga unik.
Kesenian Tradisional suatu daerah adalah salah satu aspek dari kebudayaan
yang mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan kebudayaan dan
pariwisata di suatu daerah. Keberhasilan pelestarian kesenian tradisional suatu
daerah sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah dalam merumuskan
program dan kebijakan pelestarian kesenian tradisional yang nantinya akan
dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah bersama kelompok-kelompok
masyarakat.
Di era globalisasi yang sekaligus memunculkan kepentingan pasar, para
seniman tradisional ikut tertantang memenuhi permintaan masyarakat. Para
seniman (pengrajin) pembuat barang-barang seni biasanya melayani
mayarakatnya untuk upacara sakral dan kegiatan lain yang berhubungan dengan
aktivitas ketradisionalan. Barang-barang seni yang dihasilkannya masih
mempunyai nilai artistik tinggi. Karena mengetahui banyaknya masyarakat yang
datang dan para pedagang yang memesannya, maka para seniman pengrajin mulai
mengalihkan perhatiannya untuk memenuhi permintaan pembeli.
14

DAFTAR ISI
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago; The university of Chicago Press, 1999)
Azra, Azumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:
Paramadina, 2012
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya,
Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2011
Mahendra PK, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Yogyakarta:
Kreasi Total Media, 2007
Bouvier, Helene. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002
Langer, Susan K. Problematika Seni. (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006

Anda mungkin juga menyukai