PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan
stigmatik. Identitas budayanya itu dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jati
diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan
berkehidupan. Kehidupan mereka di tempat asal maupun di perantauan kerapkali
membawa dan senantiasa dipahami oleh komunitas etnik lain atas dasar identitas
kolektifnya itu. Akibatnya, tidak jarang di antara mereka mendapat perlakuan
sosial maupun kultural secara fisik dan/atau psikis yang dirasakan tidak adil,
bahkan tidak proporsional dan di luar kewajaran.
Berbagai deskripsi perilaku absurd orang-orang Madura terbiasa diungkap
dan ditampilkan misalnya, dalam forum-forum pertemuan komunitas intelektual
(well-educated) sehingga kian mengukuhkan generalisasi identitas mereka dalam
nuansa tersubordinasi, terhegemonik, dan teralienasi dari “pentas budaya”
berbagai etnik lainnya sebagai elemen pembentuk budaya nasional. Kendati pun
setiap etnik mempunyai ciri khas sebagai identitas komunalnya, namun identitas
Madura dipandang lebih “marketable” daripada etnik lainnya untuk diungkap dan
diperbincangkan, terutama untuk tujuan mencairkan suasana beku atau kondisi
tegang pada suatu forum pertemuan karena dipandang relatif mampu dalam
menghadirkan lelucon-segar (absurditas perilaku).
Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat
(memedomani) ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan
“dilema,” untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal
dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural dalam praksis keberagamaan
mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran formal yang diyakini dan
dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata tidak selalu
menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka. Dilema
praksis keberagamaan mereka itu, kiranya menjadi tema kajian menarik terutama
untuk memahami secara utuh, mendalam, dan komprehensif tentang etnografi
Madura di satu sisi, dan keberhasilan penetrasi ajaran Islam pada komunitas etnik
1
2
Madura yang oleh sebagian besar orang/etnik lain masih dipandang (diyakini?)
telah mengalami internalisasi sosiokultural, di sisi lain.
Pemahaman demikian diharapkan dapat memberi kontribusi yang
bermakna terutama bagi kejernihan dan kecerahan pola pandang elemen warga-
bangsa.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah Kehidupan Masyarakt Madura ?
b. Apa saja Kebijakan pemerintah Daerah dalam Mempertahankan Tradisi
Madura ?
c. Bagaiman Posisi Seni Tradisional dalam Tantangan Global ?
C. Tujuan Masalah
a. Bagaimanakah Kehidupan Masyarakt Madura ?
b. Apa saja Kebijakan pemerintah Daerah dalam Mempertahankan Tradisi
Madura ?
c. Bagaiman Posisi Seni Tradisional dalam Tantangan Global ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehidupan Masyarakt Madura
Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian
dari keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi
(ajaran?) Islam dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun
begitu, kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu mencerminkan
nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapat dipahami karena penetrasi
ajaran Islam yang dipandang relatif berhasil ke dalam komunitas etnik Madura
dalam realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan kompleksitas
elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama variabel keberdayaan
ekonomik, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke
dalamnya kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan sekaligus
juga unik.
Oleh karena itu, pemahaman dan penafsiran atas ajaran Islam normatif
pada warga etnik Madura pada perkembangannya berjalan seiring dengan
kontekstualitas konkret budayanya yang ternyata sangat dipengaruhi jika tidak
dikatakan bermuatan heretical oleh lingkup lokalitas dan serial waktu yang
membentuknya.1 Dalam perwujudannya, keberagamaan etnisitas komunal itu
ternyata menampakkan diri dalam bentuk local tradition di mana Islam sebagai
great tradition (ajaran dan praksis normatif) membentuk konsepsi tentang realitas
yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural masyarakatnya atau komunitas
yang dibentuknya itu.2 Kehadiran dan keberadaan Islam ke dalam suatu entitas
sosial budaya telah menjadi “gerakan aktual-kultural” yang mengakomodasi
dialog dalam/dengan beragam segmentasi kehidupan sehingga wajah Islam
normatif dimungkinkan mengalami perubahan walaupun pada sisi periferalnya.
Kenyataan demikian tampak pada konsepsi yang teraktualisasikan dalam
bentuk-bentuk perilaku pada budaya orang-orang Madura yang ternyata
mengalami perubahan format jika tidak disebut bias atau deviasi dari norma
1
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago;
The university of Chicago Press, 1999), hlm. 141.
2 Azra, Azumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. (Jakarta: Paramadina,
2012), hlm. 12.
4
3
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo persada, 2011), hlm. 76.
5
4
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya........hlm, 85
6
5
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya.......hlm, 86.
7
6
Mahendra PK, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, (Yogyakarta: Kreasi Total
Media, 2007), hlm. 58.
8
dengan cara mengemas menjadi bentuk minim dengan tujuan agar dapat dibeli
dengan harga murah dan mudah dibawa kemana-mana, tanpa memperhitungkan
mutu barang seni tersebut. Terjadilah transformasi budaya yang menyatakan
pembuatan barang-barang seni itu merupakan mode of consumption artinya dibuat
untuk memenuhi konsumsi pembeli. Barang-barang tradisional itu dapat dijumpai
di toko-toko atau stand-stand di pingir jalan yang mudah dijangkau oleh pembeli,
antara lain keris, pedang, topeng, wayang, kuda kepang, dan sebagainya.
Anehnya, barang-barang tradisional itu laku cepat, dan ini sebagai akibat
banyaknya interaksi manusia di era globalisasi yang ditopang oleh teknologi
komunikasi modern.
Sementara itu masuknya arus globalisasi juga dibarengi dengan
munculnya media elektronik sebagai dampak proses industrialisme seperti tape
recorder, TV, video, VCD, DVD, membawa dampak pada bentuk seni tradisional
yang tadinya utuh harus terpaksa dipadatkan atau diringkas bentuk penyajiannya
karena telah masuk dapur rekaman Sebagai contoh, jika pertunjukan seni
tradisional Jathilan biasanya disajikan selama enam jam dari jam 12.00 siang
hingga jam 18.00 sore, maka setelah masuk industri rekaman harus mengalah
disajikan dalam tempo satu jam. Rekaman dalam bentuk audio-visual berdurasi
satu dipadatkan dalam bentuk CD. Hasil rekaman hidup ini telah dijual di pasar-
pasar tradisional dan di pinggir-pinggir jalan dengan harga murah-meriah yaitu
lima ribu rupiah.
Dengan demikian, seni Jathilan memasuki fase baru yang mau tidak mau
harus beradaptasi dengan selera pasar. Jika pasar sekarang kontekstual dengan
sasarannya yaitu generasi muda pedesaan yang notabene sebagai pengemar seni
pertunjukan misalnya musik dangdut dan campursari. Dalam iringan Jathilan,
kedua musik itu juga berperan mencampuri yang berakibat pada tergesernya lagu-
lagu lama.7
D. Posisi Seni Tradisional dalam Tantangan Global
Di samping seni Kerapan sapi ikut larut dalam arus globalisasi, tetapi juga
menentang arus tersebut. Sebagai seni tradisional Madura yang masih
dibanggakan oleh masyarakat pedesaan, ia juga harus berani menerjang pengaruh
7
Bouvier, Helene. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002). Hlm. 32.
11
8
Langer, Susan K. Problematika Seni. (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006), hlm. 29.
12
dipastikan memiliki nilainilai kearifan lokal (local wisdom) dan kejeniusan lokal
(local genius). Hanya saja belum banyak digali nilai-nilai itu. Padahal sekarang
kenyataan sudah terbukti, bahwa sendisendi budaya lokal kita banyak yang
mengalami kehancuran seiring dengan masuknya arus budaya global. Oleh
karenanya, jika dipandang perlu, dan khusunya untuk melawan budaya global,
nilai-nilai luhur dalam seni tradisional Kerapan sapi dapat diangkat ke permukaan.
BAB III
PENUTUP
13
A. KESIMPULAN
Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian dari
keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi
(ajaran?) Islam dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun
begitu, kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu mencerminkan
nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapat dipahami karena penetrasi
ajaran Islam yang dipandang relatif berhasil ke dalam komunitas etnik Madura
dalam realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan kompleksitas
elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama variabel keberdayaan
ekonomik, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke
dalamnya kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan sekaligus
juga unik.
Kesenian Tradisional suatu daerah adalah salah satu aspek dari kebudayaan
yang mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan kebudayaan dan
pariwisata di suatu daerah. Keberhasilan pelestarian kesenian tradisional suatu
daerah sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah dalam merumuskan
program dan kebijakan pelestarian kesenian tradisional yang nantinya akan
dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah bersama kelompok-kelompok
masyarakat.
Di era globalisasi yang sekaligus memunculkan kepentingan pasar, para
seniman tradisional ikut tertantang memenuhi permintaan masyarakat. Para
seniman (pengrajin) pembuat barang-barang seni biasanya melayani
mayarakatnya untuk upacara sakral dan kegiatan lain yang berhubungan dengan
aktivitas ketradisionalan. Barang-barang seni yang dihasilkannya masih
mempunyai nilai artistik tinggi. Karena mengetahui banyaknya masyarakat yang
datang dan para pedagang yang memesannya, maka para seniman pengrajin mulai
mengalihkan perhatiannya untuk memenuhi permintaan pembeli.
14
DAFTAR ISI
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago; The university of Chicago Press, 1999)
Azra, Azumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:
Paramadina, 2012
Daulaly Zainul, Pengetahuan Tradisional konsep, dasar hukum dan praktiknya,
Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2011
Mahendra PK, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Yogyakarta:
Kreasi Total Media, 2007
Bouvier, Helene. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002
Langer, Susan K. Problematika Seni. (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006