Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Hubungan Antara Osteoporosis Dengan Penyakit Periodontal

Disusun Oleh:
Anisa Kusuma Astuti
G99162109
Periode: 26 Maret – 8 April 2018

Pembimbing:
Christianie, drg., Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit periodontal adalah penyakit yang mengenai jaringan pendukung


gigi, yaitu ginggiva/gusi dan atau jaringan periodontal, yaitu jaringan yang
menghubungkan gigi dan tulang penyangga gigi yaitu tulang alveolar. Penyakit
yang sering mengenai jaringan periodontal adalah ginggivitis dan periodontitis.
Periodontitis adalah peradangan jaringan periodontium yang merupakan
kelainan jaringan penyangga gigi yang paling sering terjadi. Periodontitis
memiliki karakteristik kerusakan jaringan-jaringan penyokong gigi, dan tulang
alveolar sehingga dapat menyebabkan tanggalnya gigi. Periodontitis kronik
merupakan tipe periodontitis yang paling sering, biasanya terjadi pada orang
dewasa, namun dapat juga mengenai anak-anak. Derajat keparahan dari
periodontitis kronik sebanding dengan faktor kesehatan rongga mulut dan jumlah
paparan agen patologik yang ada pada rongga mulut.
Pada periodontitis terjadi perluasan peradangan dari ginggiva ke jaringan
periodontal yang lebih dalam. Perkembangan periodontitis kronis yang tidak
diobati dapat membahayakan gigi utuh, yang menyebabkan kehilangan gigi dan
gangguan estetika, gangguan fungsi oral, serta kualitas hidup. Pasien dengan
periodontitis kronis memerlukan manajemen seperti perawatan periodontal
suportif dan operasi, termasuk penggantian gigi. Untuk menghindari komplikasi
yang mungkin terjadi, maka pencegahan aktif periodontitis kronis adalah penting,
dan penyelidikan faktor risiko potensial periodontitis kronis sangat dibutuhkan.
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia.
Pada penderita penyakit ini, tulang menjadi titpis dan rapuh dan pada akhirnya
akan patah. Perubahan kepadatan tulang rahang lebih banyak dijumpai pada
penderita osteoporosis dibandingkan dengan orang normal. Tulang rahang atas
lebih mudah mengalami osteoporosis dibanding tulang rahang bawah.
Kekurangan hormon estrogen berpengaruh pada hilangnya massa tulang rahang.
Kondisi ini telah mendapat perhatian di bidang kedokteran gigi karena
jumlah penderita osteoporosis yang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Kerusakan tulang rahang akibat terjadinya osteoporosis disebabkan:
rendahnya kepadatan tulang mandibula, terjadinya resorbsi residual ridge alveolar,
menipisnya korteks mandibula, dan bertambahnya jumlah gigi yang hilang karena
kondisi tulang rahang yang berubah kepadatannya akibat osteoporosis yang
dipengaruhi oleh: variasi kondisi penderita yang berhubungan dengan tekanan
mekanis pada tulang rahang, perbedaan jumlah gigi, dan riwayat pemeliharaan
gigi. Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit
resorptif tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi
pada massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang.
Kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis membuat host
rentan terhadap penyakit periodontal. Kondisi osteoporosis dan kehilangan tulang
pada rongga mulut merupakan gejala asimtomatik, biasanya baru diketahui setelah
timbulnya patah tulang dan kegoyahan gigi.
Osteoporosis merupakan faktor resiko penyebab hilangnya tulang dalam
rongga mulut yang dihubungkan dengan derajat keparahan resorbsi residual ridge.
Hubungan antara osteoporosis sistemik dan kesehatan mulut masih menjadi
masalah yang menarik untuk diteliti sampai saat ini. Resorbsi residual ridge
merupakan proses biofisika yang kompleks sehingga menyebabkan hilangnya
kandungan mineral dan perubahan struktur tulang. Jumlah keseluruhan tulang
dan kecepatan resorbsi tulang akan bervariasi diantara individu yang berbeda,
individu yang sama dengan waktu yang berbeda.
Dalam penelitian Taguchi et al menyimpulkan bahwa osteoporosis pada
bagian tubuh lain berhubungan dengan tanda-tanda dalam mulut, antara lain
berupa resorpsi tulang alveolar, berkurangnya ketebalan korteks mandibula
dan hilangnya sejumlah gigi. Defisiensi estrogen dan osteoporosis dibuktikan oleh
Payne sebagai faktor resiko berkurangnya densitas tulang alveolar. Dengan
adanya tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bahwa
osteoporosis dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut, sehingga dapat
dilakukan perawatan.11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Struktur Jaringan Periodontal


Jaringan periodontal adalah jaringan yang mengelilingi gigi dan
berfungsi sebagai penyokong gigi, terdiri dari ginggiva, cementum,
ligamen periodontal dan tulang alveolar.1

Gambar 2.1 Struktur jaringan periodontal pada gigi-geligi manusia

Jaringan ini terbagi atas dua bagian :


1. Gingiva yang dalam bahasa awam disebut gusi adalah jaringan lunak
mengelilingi dan menyangga gigi. warnanya bergantung pada
pigmentasi seseorang. Gingiva melekat pada gigi dan tulang alveolar.
Gingiva berfungsi melindungi jaringan di bawah perlekatan gigi
terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut
2. Struktur periodontal pendukung, yang terdiri atas cementum, ligamen
periodontal, dan tulang alveolar
a. Cementum
Cementum merupakan bagian yang menyelimuti akar gigi.
Bersifat keras, tak berpembuluh darah, serta merupakan perlekatan
utama periodontal ligament.4
b. Ligamen Periodontal
Sebagian besar periodontal ligament bersifat lunak, terutama
jaringan yang berada diantara cementum yang menyelimuti akar gigi
dan tulang. Fungsi dari periodontal ligament adalah senantiasa
menjaga gigi pada tempatnya yang disesuaikan dengan kekuatan
mengunyah, dan sebagai sensori reseptor pada rahang selama
pengunyahan, serta sebagai cadangan sel untuk regenerasi.4
c. Tulang Alveolar
Adalah tulang yang berongga, tepatnya di samping periodontal
ligament. Lapisan luar terdiri dari compact bone, lapisan tengah
spongiosa bone, serta lapisan dasar adalah alveolar bone.Lapisan
luar (compact bone) dan lapisan tengah (spongiosa/trabecular bone)
tersusun atas lamel-lamel dengan system havers. Trabecular tulang
tidak hadir pada daerah anterior dari gigi, dan pada beberapa kasus,
cortical plate dan alveolar bone yang melekat satu sama lain, tanpa
adanya spongiosa bone.4

2. Penyakit Periodontal
1. Definisi

Penyakit periodontal merupakan gangguan yang terjadi pada


jaringan periodontal.Ada dua tipe penyakit periodontal yang biasa
dijumpai yaitu gingivitis dan periodontitis.Gingivitis adalah bentuk
penyakit periodontal yang ringan dengan tanda klinis ginggiva berwarna
merah, membengkak dan mudah berdarah tanpa ditemukan kerusakan
tulang alveolar.Adapun periodontitis adalah suatu penyakit peradangan
jaringan penyokong gigi yang disebabkan oleh kelompok mikroorganisme
tertentu yang biasanya berasal dari plak gigi, yang dapat mengakibatkan
penghancuran progresif jaringan ikat periodontal dan tulang alveolar,
dengan pembentukan saku, resesi, atau keduanya. Infeksi periodontal
dimulai oleh invasi oral patogen yang berkolonisasi pada permukaan akar
gigi.5,6

Kebersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat dapat memudahkan


terjadinya penumpukan bakteri patogen dalam jaringan periodontal di
celah gingiva dan membentuk struktur terorganisir yang dikenal sebagai
"biofilm bakteri". Dalam biofilm matang, bakteri memiliki sejumlah faktor
virulensi, termasuk lipopolisakarida (LPS) yang mungkin menyebabkan
kerusakan langsung pada jaringan periodontal atau merangsang host untuk
mengaktifkan respon inflamasi lokal. Biofilm plak gigi merupakan struktur
kompleks bakteri yang ditandai dengan ekskresi matriks pelindung dan
perekat. Dalam matriks tersebut terdapat di dalamnya bakteri Gram negatif
anaerob dan bakteri mikroaerofilik yang berkoloni pada struktur gigi dan
kemudian memulai proses inflamasi sehingga dapat menyebabkan
hilangnya tulang dan migrasi junctional epithelium. Aktivitas bakteri
tersebut kemudian dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal.6
Sejalan dengan waktu, bakteri dalam plak gigi akan menyebar dan
berkembang kemudian toksin yang dihasilkan bakteri akan mengiritasi
ginggiva sehingga merusak jaringan penyokongnya. Ginggiva menjadi
tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku yang akan bertambah
dalam sehingga makin banyak tulang dan jaringan penyokong yang rusak.
Bila penyakit ini berlanjut terus dan tidak segera dirawat maka lama
kelamaan gigi akan goyang dan lepas dengan sendirinya.6
2. Etiologi
Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.Faktor lokal merupakan
penyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan faktor
sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan
umum.Kerusakan tulang dalam penyakit periodontal terutama disebabkan
oleh faktor lokal yaitu inflamasi ginggiva dan trauma oklusi, atau
gabungan keduanya. Kerusakan yang disebabkan oleh inflamasi ginggiva
mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang alveolar.7
Yang termasuk dalam factor local penyebab penyakit periodontal
antara lain:
a. Plak Bakteri
Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba
yang melekat erat pada permukaan gigi dan ginggiva bila seseorang
mengabaikan kebersihan mulut. Berdasarkan letak huniannya, plak
dibagi atas supra ginggival yang berada disekitar tepi ginggival dan
plak sub-ginggiva yang berada apikal dari dasar ginggival.6,7
Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus ginggiva
mempermudah kerusakan jaringan.Hampir semua penyakit
periodontal berhubungan dengan plak bakteri dan telah terbukti bahwa
plak bakteri bersifat toksik. Bakteri dapat menyebabkan penyakit
periodontal secara tidak langsung dengan jalan mengganggu
pertahanan jaringan tubuh dan menggerakkan proses imunopatologi.7
Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal, akan tetapi masih banyak faktor lain
sebagai penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi interaksi
antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya
tahan tubuh.7
b. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang
mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara
alamiah. Kalkulus merupakan penyebab terjadinya gingivitis dan lebih
banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya gingivitis
adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan
kalkulus, mempengaruhi ginggiva secara tidak langsung.5,7
c. Impaksi Makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan)
merupakan keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau miring merupakan
tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya plak,
sedangkan gigi dengan oklusi yang baik akan lebih mudah dibersihkan
oleh proses-proses alami. Tanda-tanda yang berhubungan dengan
terjadinya impaksi makanan yaitu:6
1) perasaan tertekan pada daerah proksimal
2) rasa sakit yang sangat dan tidak menentu
3) inflamasigingiva, perdarahan, dan daerah tersebut sering berbau.
4) resesi ginggiva
5) pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak
dari soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan
sensitive terhadap perkusi.
6) kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar
d. Pernafasan Mulut
Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan
buruk.Hal ini sering dijumpai secara permanen atau
sementara.Permanen misalnya pada anak dengan kelainan saluran
pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan membuka
mulut terlalu lama. Misalkan pasien penderita pilek dan pada beberapa
anak yang gigi depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan
menutup bibir. Keadaan ini menyebabkan kekentalan saliva akan
bertambah pada permukaan ginggiva maupun permukaan gigi, aliran
saliva berkurang, populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan
palatum menjadi kering dan akhirnya memudahkan terjadinya
penyakit periodontal.5

e. Sifat Fisik Makanan


Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan
yang bersifat lunak seperti bubur atau campuran semi cairan
membutuhkan sedikit pengunyahan, menyebabkan debris lebih mudah
melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta
memudahkan pembentukan karang gigi. Makanan yang mempunyai
sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa yang sangat
lengket bila bercampur dengan ludah.7
Makanan yang demikian tidak dikunyah secara biasa tetapi
dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah atau
makanan cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan terjadinya
penyakit. Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang
mempunyai sifat mudah dibersihkan dan berserat yaitu makanan yang
dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut secara lebih efektif,
misalnya sayuran mentah yang segar, buah-buahan dan ikan yang
sifatnya tidak melekat pada permukaan gigi.5,6
f. Iatogrenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena
pekerjaan dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu
melakukan perawatan pada gigi dan jaringan sekitarnya sehingga
mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi.7
g. Trauma Oklusi
Trauma oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodontal,
tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut
traumatik oklusi.7
Yang termasuk dalam faktor sistemik penyebab penyakit periodontal
antara lain:
a. Kelainan Genetik
Pertahanan hospes yang dibawa sejak lahir dapat menentukan individu
mana yang dapat terkena periodontitis dengan derajat yang parah. Monosit
atau makrofag ditemukan dalam kadar tinggi pada individu yang rentan
terhadap periodontitis destruktif yang hebat. Gen IL-1 ini menyebabkan
terjadinya inflamasi dan destruksi periodontal yang lebih parah.6
b. Ketidakseimbangan Hormon
Pada hiperparatiroidisme terjadi mobilisasi dari kalsium tulang secara
berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan osteoporosis dan kelemahan tulang
yang hebat pada periodontitis karena plak.6

c. Defisiensi Nutrisi
Defisiensi vitamin C yang berat dapat menginduksi kerusakan jaringan
periodontal secara nyata pada manusia.Perubahan awal dapat
bermanifestasi sebagai ginggivitis ringan hingga sedang, yang diikuti oleh
pembesaran ginggiva yang terinflamasi akut, edematous dan
hemoragik.Gejala oral ini disertai perubahan fisiologik menyeluruh seperti
kelesuan, lemah, malaise, nyeri sendi, ekimosis, dan turunnya berat badan.
Jika tidak terdeteksi pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan jaringan
periodontal yang hebat.6
Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis yang
bermanifestasi sebagai riketsia pada anak atau osteomalasia pada orang
dewasa. Kedua kondisi ini dapat dikaitkan dengan kerusakan jaringan ikat
periodontal dan penyerapan tulang alveolar.7
d. Diabetes Mellitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menekan respon imun inang dan
menyebabkan penyembuhan luka yang tidak baik serta infeksi kambuhan
Manifestasi dalam rongga mulut dapat berupa abses periodontal multipel
atau kambuhan dan selulitis. Pasien penderita diabetes mellitus yang tidak
terkontrol atau tidak terdiagnosa, lebih rentan terhadap gingivitis,
hyperplasia ginggiva, dan periodontitis. 7

C. Periodontitis
1. Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan
penyangga gigi yang melibatkan gingival, ligament periodontal,
sementum, dan tulang alveolar. Periodontitis dapat berkembang dari
gingivitis (peradangan atau infeksi pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi
akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan
kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodontal.8

2. Etiologi
Penyebab utama periodontitis adalah plak. Plak gigi adalah suatu
lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak
dibersihkan. Lokasi dan laju pembentukan plak bervariasi diantara
individu. Proses pembentukan plak dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu:
1. Pembentukan pelikel dental
2. Kolonisasi awal pada permukaan gigi
3. Kolonisasi sekunder dan pematangan plak
Selain plak gigi sebagai penyebab utama periodontitis, ada beberapa
faktor yang menjadi faktor resiko periodontitis. Faktor ini bisa berada di
dalam mulut atau lebih sebagai faktor sistemik terhadap host. Secara
umum faktor resiko penyakit periodontal adalah oral hygiene yang buruk,
penyaki sistemik, umur, jenis kelamin, taraf pendidikan dan penghasilan.9

3. Patofisiologi
Periodontitis dimulai dengan gingivitis. Gingivitis yang tidak dirawat
akan menyebabkan kerusakan tulang pendukung gigi atau disebut
periodontitis. Sejalan dengan waktu, bakteri dalam plak gigi akan
menyebar dan berkembang kemudian toksin yang dihasilkan bakteri akan
mengiritasi gingiva sehingga merusak jaringan pendukungnya. Gingiva
menjadi tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku (poket
periodontal) yang akan bertambah dalam sehingga makin banyak tulang
dan jaringan pendukung yang rusak.9,10
Poket periodontal digolongkan dalam 2 tipe, didasarkan pada
hubungan antara epitelium junction dengan tulang alveolar:10
a. Poket periodontal suprabony yaitu dasar poket merupakan bagian koronal
dari puncak tulang alveolar
b. Poket periodontal infrabony yaitu dasar poket merupakan bagian apikal
dari puncak tulang alveolar.


Gambar 2.2 Perbedaan gigi sehat dan periodontitis

Gambar 2.3 Periodontitis kronis


4. Diagnosis
Pasien bisa saja datang tidak dengan keluhan sakit gigi atau gejala
lainnya, namun melalui anamnesis dan pemeriksaan gigi, tanda-tanda
periodontitis yang perlu diperhatikan adalah:8,10
a. Gusi berdarah saat menggosok gigi
b. Gusi berwarna merah, bengkak dan lunak
c. Terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi
d. Terdapat nanah diantara gigi dan gusi
e. Gigi goyang
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan periodontal probing, yaitu
teknik yang digunakan untuk mengukur kedalaman pocket periodontal
(kantong yang terbentuk di antara gusi dan gigi). Kedalaman pocket ini
dapat menjadi salah satu petunjuk seberapa jauh kerusakan yang terjadi.
Sebagai tambahan, pemeriksaan radiologi juga perlu dilakukan untuk
melihat tingkat keparahan kerusakan tulang.8

5. Terapi
Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:10
a. Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara menghilangkan
beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa melakukan
tindakan bedah periodontal atau melakukan perawatan restoratif dan
prostetik. Berikut ini adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada
fase I:
1) Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak
2) Scaling dan root planning
3) Perawatan karies dan lesi endodontic
4) Menghilangkan restorasi gigi yang over contour dan over hanging
5) Penyesuaian oklusal (occlusal adjustment)
6) Splinting temporer pada gigi yang goyah
7) Perawatan ortodontik
8) Analisis diet dan evaluasinya
9) Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut di atas
b. Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas
anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni
oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya
dan menjadi faktor predisposisi atau rekurensi dari penyakit
periodontal. Berikut ini adalah bebertapa prosedur yang dilakukun
pada fase ini
1) Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan cara antara
lain: kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap
periodontal, rekonturing tulang (bedah tulang) dan prosedur
regenerasi periodontal (bone and tissue graft)
2) Penyesuaian oklusi
3) Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi
yang hilang
c. Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah
beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini
1) Riwayat medis dan riwayat gigi pasien
2) Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat
skor plak, ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan
mobilitas gigi
3) Melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal
dan tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali
4) Scalling dan polishing tiap 6 bulan seksli, tergantung dari
efektivitas kontrol plak pasien dan pada kecenderungan
pembentukan calculus
5) Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies

D. OSTEOPOROSIS
1. Definisi
Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas
tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah.

Gambar 2.4 Perbedaan tulang sehat dan osteoporosis


2. Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak bisa diubah:
a. Umur
Tiap peningkatan 1 dekadi, risiko meningkat 1,4-1,8
b. Genetik
Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia), seks (wanita >
pria), riwayat keluarga.
Faktor risiko yang bisa diubah:
a. Lingkungan
Defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid,
anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, defisiensi vitamin D,
alkohol, gangguan makan (anoreksia), risiko terjatuh yang meningkat
(gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan)
b. Hormonal dan penyakit kronis
Defisiensi estrogen/androgen, tirotoksikosis, hiperparatiroidisme
primer, hiperkortisolisme, penyakit kronik (sirosis hepatis, gagal ginjal,
gastrektomi)
c. Sifat fisik tulang
Densitas, ukuran dan geometri, miroarsitektur, komposisi.
3. Klasifikasi
Pembagi osteoporosis sebagai berikut :
a. Osteoporosis Primer
Adalah suatu osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dengan
jelas, ini merupakan kelompok terbesar. Osteoporosis primer dibagi
menjadi: 1) Osteoporosis tipe I yang timbul pada wanita post
menoupouse, 2) Osteoporosis tipe II yang terdapat pada kedua jenis
kelamin dengan usia yang semakin bertambah (senilis).
b. Osteoporosis Sekunder
Adalah suatu osteoporosis yang diketahui penyebabnya jelas. Biasanya
disebabkan oleh : 1) Penyakit endokrin, 2) Nutrisi, 3) Obat-obatan.
c. Osteoporosis Idiopatik
Adalah terjadinya pengurangan masa tulang pada: 1) Anak-anak, 2)
Remaja, 3) Wanita pra menoupouse, 4) Laki-laki berusia
muda/pertengahan. Osteoporosis jenis ini lebih jarang terjadi.
4. Patofisiologi
a. Umum
Sel tulang terdiri atas osteoblas, osteosit dan osteoklas yang dalam
aktifitasnya mengatur homeostasis kalsium yang tidak berdiri sendiri
melainkan saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada tingkat seluler
didahului penyerapan tulang oleh osteoklas yang memerlukan waktu 40
hari, disusul fase istirahat dan kemudian disusul fase pembentukan tulang
kembali oleh osteoblas yang memerlukan waktu 120 hari. Dalam
penyerapannya, osteoklas melepas Transforming Growth Factor yang
merangsang aktivitas awal osteoblas. Dalam keadaan normal, kuantitas
dan kualitas penyerapan tulang oleh osteoklas sama dengan kuantitas dan
kualitas pembentukan tulang baru oleh osteoblas. Pada osteoporosis
penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru.
b. Osteoporosis Primer
Estrogen memang merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mencegah hilangnya kalsium tulang. Selain itu, estrogen juga merangsang
aktivitas osteoblas serta menghambat kerja hormon paratiroid dalam
merangsang osteoklas. Estrogen memperlambat atau bahkan menghambat
hilangnya massa tulang dengan meningkatkan penyerapan kalsium dari
saluran cerna. Dengan demikian, kadar kalsium darah yang normal dapat
dipertahankan. Semakin tinggi kadar kalsium di dalam darah, semakin
kecil kemungkinan hilangnya kalsium dari tulang (untuk menggantikan
kalsium darah).
Estrogen juga menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone
marrow stromal cell dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF-
α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian
penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi
berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
Menopause juga menurunkan absorbsi kalsium di usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Untuk mengatasi keseimbangan
negatif kalsium, maka kadar PTH akan meningkat sehingga osteoporosis
akan semakin berat. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis
berbagai protein yang membawa 1,25 (OH)2 D, sehingga pemberian
estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH)2 D di dalam plasma.
Secara umum, pada usia tua terjadi ketidakseimbangan remodeling
tulang, dimana resorpsi tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak
berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa
tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.
Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen
terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada usia
tua, tetapi hal ini lebih menujukkan peningkatan turnover tulang dan
bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui pasti
penyebab penurunan fungsi osteoblas pada usia tua, diduga karena
penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
c. Osteoporosis Sekunder
Defisiensi kalsium dan vitamin D sering disebabkan oleh asupan
yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan paparan sinar matahari yang
rendah. Akibat defisiensi kalsium akan timbul hiperparatiroidisme
sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi
tulang dan kehilangan massa tulang.
Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan
menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan
menyebabkan osteoporosis karena meningkatkan karboksilasi protein
tulang, misalnya osteokalsin.
Defisiensi estrogen juga menjadi salah satu penyebab osteoporosis
baik pada pria maupun wanita. Defisiensi estrogen pada pria juga berperan
pada kehilangan massa tulang. Karena pria tidak pernah mengalami
menopause (penurunan kadar estrogen mendadak), maka kehilangan massa
tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada
pria berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan
progesteron mengatur formasi tulang. Penipisan trabekula pada pria terjadi
karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekular pada
wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat
penurunan kadar estrogen yang drastis saat menopause.
Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1 juga berperan
terhadap peningkatan resorpsi tulang.
5. Manifestasi Klinis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada
penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak
menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau
hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan
di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika
penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa
sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang
belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari
tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot
dan sakit.
Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan
yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius
adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang
lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan,
yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah
tulang cenderung menyembuh secara perlahan.
6. Diagnosis
Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis
osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen
tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan
keadaan lainnya yang bisa diatasi, yang bisa menyebabkan osteoporosis.
Untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang
dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang
paling akurat adalah DXA (dual-energy x-ray absorptiometry).
Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam
waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk:
a. wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis
b. penderita yang diagnosisnya belum pasti
c. penderita yang hasil pengobatannya harus dinilai secara akurat.

E. Penyakit Periodontal dan Osteoporosis


Osteoporosis ditandai dengan berkurangnya jumlah kalsium dan fosfor
pada tulang. Menurunnya kadar kalsium dalam darah berpengaruh pada
pelepasan kalsium oleh tulang yang berperan menjaga kadar mineral dalam
darah tetap seimbang. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral
dalam tulang, tulang menjadi kurang padat, lebih rapuh seperti yang terjadi
pada kondisi osteoporosis. Tulang yang mengalami osteoporosis tidak dapat
menahan beban fungsional tubuh sehingga pada akhirnya menyebabkan
resorbsi tulang berlangsung lebih cepat bahkan terjadi fraktur. Pelepasan
kalsium tulang ke dalam darah akan memperparah kondisi kehilangan massa
tulang pada penderita osteoporosis. Kekurangan hormone estrogen berperan
pada terjadinya osteopenia.
Beberapa penelitian menemukan hubungan antara osteoporosis, osteopenia
dan hilangnya tulang rongga mulut. Manifestasi oral pada penderita
osteoporosis berupa: kehilangan tulang pada rongga mulut, kehilangan
sebagian besar gigi karena gigi banyak yang goyah sehingga perlu dicabut,
berkurangnya kepadatan mineral tulang, dan resorbsi alveolar ridge.
Osteoporosis merupakan derajat terberat akibat osteopenia atau berkurangnya
massa tulang, yang dapat mengakibatkan rasa sakit, kerusakan bentuk, dan
fraktur tulang. Hormon estrogen yang berkurang npada kondisi osteoporosis
akan berpengaruh pada kepadatan tulang rongga mulut dan tulang rangka
tubuh.
Tanda awal osteoporosis dapat terlihat pada rontgen gigi yang ditunjukkan
dengan perluasan lamina dura, hilangnya gigi pada mandibula dan hilangnya
perlekatan jaringan periodontal. Radiografi rongga mulut digunakan untuk
mengetahui kepadatan residual ridge sehingga dapat dipakai untuk
mengidentifikasi individu dengan kepadatan mineral tulang yang rendah,
perubahan kepadatan massa tulang, resiko tinggi terjadinya patah tulang
osteoporosis. Penilaian radiografi diperlukan sebelum dilakukan rencana
perawatan prostodonsi untuk mengetahui kepadatan mineral tulang (BMD)
rahang, sepeerti radiografi panoramic dan radiografi periapikal. Kepadatan
mineal tulang rangka tubuh dapat dihubungkan dengan kondisi kesehatan
tulang pada rongga mulut seperti: pengurangan residual ridge, pengurangan
tinggi tulang alveolar, dan kepadatan massa tulang mandibula. Hubungan
antaara kepadatan mineral tulang rangka tubuh dengan kondisi kesehatan
rongga mulut dapat dibandingkan dengan menggunakan pengukuran secara
radiografis. Porositas tulang korteks mandibulka pada pemeriksaan
raadiografik panoramic berkaitan erat dengan fraktur tulang rangka akibat
osteoporosis. Radiografi tulang basal dan tulang alveolar pada wanita
penderita osteoporosis memperlihatkan adanya perubahan morfologi tulang
trabekula mandibula dan maxilla. Pemeriksaan kepadatan tulang pada
radiografi gigi dapat untuk mendeteksi gejala awal osteoporosis sehingga
seorang dokter gigi dapat segera merujuk pasiennya kepada seorang dokter
untuk penanganan lebih lanjut. Perbandingan kepadatan tulang rongga mulut
dengan tulang rangka tubuh dapat digunakan untuk mendeteksi gejala awal
osteoporosis, apabila ditemukan gambaran radiografis berkurangnya
kepadatan tulang.
Selama dekade terakhir ini, beberapa orang peneliti yang mempelajari
hubungan antara osteoporosis dan kehilangan tulang di sekitar rongga mulut
menyimpulkan bahwa osteoporosis menyebabkan perubahan yang nyata pada
tulang belakang, tulang panjang, dan juga terjadi pada tulang mandibula.
Dalam penelitian Lindawati et al (2004) menyimpulkan bahwa adanya
hubungan antara densitas tulang mandibula dan densitas tulang lainnya,
dimana dalam penelitian ini digunakan analisis trabekulasi tulang mandibula
melalui radiograf periapikal, karena osteoporosis pada wanita pasca
menopause lebih banyak mengenai tulang trabekula, yang disebabkan adanya
perbedaan respon tulang kortikal dan tulang trabekula terhadap kehilangan
tulang.11
Fisiologi tulang normal bergantung pada aktivitas seimbang 3 jenis sel
yaitu osteoblas yang berguna untuk membentuk tulang, osteosit untuk
mempertahankan, serta osteoklas untuk menghancurkan tulang. Bila
keseimbangan ini terganggu, maka tulang akan resorpsi. Gangguan
keseimbangan fisiologis tulang dapat terjadi akibat kombinasi faktor
anatomis, metabolik, dan mekanis. Faktor anatomis berupa kualitas dan
kuantitas tulang alveolar, faktor metabolik berupa faktor sistemik seperti
berkurang hormon estrogen, hormon paratiroid, faktor mekanis berupa besar,
lama, serta arah gaya yang bekerja pada tulang alveolar. Weinman dan Sicher
menyatakan bahwa beban pada tulang akan menghambat sirkulasi darah pada
tulang dan menyebabkan resorpsi tulang.
Defisiensi estrogen mempertinggi tingkat kerusakan komponen jaringan
ikat dari ginggiva dengan menstimulasi sinstesis matrix metalloproteinases
(MMP-8 dan MMP-13), nitric oxide, dan beberapa sitokin yang terlibat dalam
resorpsi tulang. Defisiensi estrogen juga meningkatkan konsentrasi IL-6 pada
sumsum tulang, serum, dan ginggiva, yang secara kooperatif menstimulasi
resorpsi tulang osteoklas. Sebuah studi cross sectional pada wanita pre dan
postmenopausal melaporkan korelasi yang signifikan antara alveolar dan
metacarpal BMD dan peningkatan konsentrasi IL-6 saliva pada wanita
postmenopause.
Kribbs pada penelitiannya membuktikan adanya hubungan antara densitas
mandibula dengan tulang skeletal, serta adanya pengaruh langsung
osteoporosis pada tulang mandibula. Ini dapat diasumsikan bahwa pasien
dengan densitas mandibula yang kurang, patut dicurigai adanya osteoporosis.
Kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis
membuat host rentan terhadap penyakit periodontal. Beberapa gambaran dapat
menerangkan kemungkinan hubungan, walaupun osteoporosis adalah suatu
penyakit metabolit tulang dan penyakit periodontal adalah suatu penyakit
inflamasi. Proses resorpsi tulang dapat diperhitungkan untuk menghubungkan
osteoporosis dan penyakit periodontal. Penyakit periodontal adalah penyakit
inflamasi kronik yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan dari struktur
penyangga gigi, termasuk resorpsi dari tulang alveolar rahang. Periodontitis
adalah penyakit yang paling sering pada tulang pada manusia, menjadi cukup
berat untuk menyebabkan kehilangan gigi pada 10-15% orang dewasa dan
dapat dieksaserbasi oleh faktor sistemik, seperti defisiensi estrogen.
Suatu penelitian menyimpulkan bahwa tingginya kehilangan perlekatan
disertai oleh besarnya kedalaman probing dan resesi ginggiva telah ditemukan
pada tempat-tempat osteoporosis di mandibula bukan pada maksila.
Parameter periodontal dipengaruhi oleh pemeriksaan faktor penumpukan
plak, lokasi gigi, dan rahang. Mereka juga mendukung bahwa osteoporosis
pascamenopause mempunyai peranan dalam patogenesis penyakit
periodontal, khususnya pada mandibula, walaupun penyebab dari penyakit
periodontal masih tetap multifaktorial.11
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan literatur mengenai faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
baik penyakit periodontal dan osteoporosis, telah diajukan hipotesis mengenai
hubungan timbal balik. Periodontitis hasil dari bakteri yang menimbulkan respon
inflamasi host, yang saat sedang protektif, dapat menyebabkan kehilangan tulang
alveolar serta hilangnya dukungan kolagen dari gigi. Osteoporosis merupakan
penyakit pengeroposan tulang yang umum dan bukannya terlokalisasi,
menyebabkan hilangnya BMD di rahang atas dan rahang bawah dan seluruh tubuh
juga. Oleh karena itu, sebagai hasilnya, penurunan BMD di rahang secara lokal
dapat menentukan stadium untuk kehilangan tulang alveolar yang lebih signifikan.
Kehadiran faktor penyerapan tulang dapat diharapkan menjadi faktor penyebab
untuk menyebabkan kehilangan yang lebih besar dari puncak tulang alveolar
daripada pada individu non-osteoporosis. Faktor risiko lain, seperti diet, tingkat
hormon merokok, diabetes, yang mempengaruhi sistemik. Kehilangan tulang dan
faktor-faktor ini juga dapat berkontribusi pada periodontitis. Oleh karena itu,
mekanisme potensial yang telah diusulkan adalah:
1. Pada osteoporosis, BMD rendah pada tulang rahang dapat dikaitkan dengan
kepadatan tulang sistemik yang rendah. Kepadatan tulang yang rendah atau
kehilangan kepadatan tulang dapat menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap resorpsi tulang alveolar di daerah periodontitis.
2. Faktor sistemik yang memiliki respons jaringan lokal yang dimodifikasi
terhadap infeksi periodontal juga dapat mempengaruhi remodeling tulang.
Individu dengan kehilangan tulang sistemik diketahui mengalami
peningkatan produksi sitokin sistemik (interleukin-1 [IL-1], IL-6) yang
mungkin memiliki efek pada tulang di seluruh tubuh termasuk tulang rahang
atas dan rahang bawah. Kepadatan rendah yang dihasilkan di tulang rahang
menyebabkan peningkatan porositas alveolar mengubah pola trabecular dan
resorpsi tulang alveolar yang lebih cepat setelah invasi oleh patogen
periodontal. Infeksi periodontal telah terbukti meningkatkan produksi
sitokin lokal yang pada gilirannya, meningkatkan aktivitas osteoklastik lokal
yang mengakibatkan peningkatan resorpsi tulang. Faktor genetik yang
mempengaruhi seseorang terhadap kehilangan tulang sistemik juga
mempengaruhi atau mempengaruhi seseorang terhadap kerusakan
periodontal
3. Peningkatan ekspresi gen IL-6 seiring dengan usia mungkin menjadi alasan
mengapa osteoporosis dan penyakit periodontal kronis berhubungan dengan
usia
4. Faktor gaya hidup tertentu seperti merokok dan asupan kalsium suboptimal,
antara lain, dapat menempatkan individu pada risiko perkembangan
penyakit osteoporosis dan periodontal.12
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Baik osteoporosis dan penyakit periodontal sama-sama penyakit
pengeroposan tulang. Periodontitis adalah inflamasi yang ditandai dengan
resorpsi tulang alveolar dan ikatan jaringan lunak ke gigi yang merupakan
penyebab gigi tanggal pada orang dewasa. Karena kehilangan tulang alveolar
adalah penyebab paling utama pada penyakit periodontal, osteoporosis yang
parah dapat menjadi salah satu penyebab peningkatan kejadian destruksi
periodontal.

B. Saran
Dokter gigi harus memberikan beberapa anjuran pada pasien yang
mengalami osteoporosis dan periodontitis. Pertama, dokter gigi harus
menegaskan kebiasaan membersihkan rongga mulut setiap hari dengan tepat.
Kedua, menginstruksikan pada pasien untuk memperbaiki gaya hidup dengan
berhenti merokok serta mengkonsumsi alkohol dan kafein yang terlalu
banyak. Terakhir, dokter gigi harus menginformasikan manifestasi
osteoporosis di rongga mulut sehingga memudahkan evaluasi medis dan
perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Daliemunthe, Saidina Hamzah. 2008. Periodonsia Edisi Revisi. Medan

2. Beck JD, Offenbacher S. 2001. The association between periodontal diseases


and cardiovascular diseases: a state-of-the science review. Ann Periodontol.
Vol. 6: 9-15.

3. Wangsarahardja. 2005. Penyakit periodontal sebagai faktor risiko penyakit.


Universa Medicina. Vol.24(3): 136-144

4. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biology 5th ed vol.3. Jakarta:
Erlangga

5. Carranza FA, Jr. 2012. Glickman's Clinical Periodontology, 11th Edition.


Philadelphia, London: W. B. Saunders Company.

6. Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume
3 Edisi 13. Jakarta: EGC

7. DeRossi SS, Cohen DL. Renal Disease. 2008. In: Greenberg MS, Glick M,
Ship JA, editors. Burket‟s Oral Medicine. 11th ed. Hamilton: BC Decker

8. Rose LF, Mealey BL. 2004. Periodontics: medicine, surgery, and implants.
Saint Louis: Elsevier Mosby; 2004.

9. Suwitra K. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

10. Vernino Arthur.R, G Jonathan, H Elizabeth. 2004. Sylabus Periodontics.


Lippincot Williams & Wilkins

11. M. Lindawati S Kusdhany, Hanna HB Iskandar, Tribudi Rahardjo. 2004.


Faktor-faktor yang berhubungan dengan densitas tulang mandibula pada
perempuan pascamenopause. Journal Dentistry Indonesia: 11(1):8-12
12. Juluri R, Prashanth E, Gopalakrishnan D, Kathariya R, Devanoorkar A,
Viswanathan A, Romanos GE. 2015. Association of Postmenopausal
Osteoporosis and Periodontal Disease: A Double-Blind Case-Control Study.
Journal of International Oral Health 2015; 7(9):119-123

Anda mungkin juga menyukai