TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian/insiden sepsis neonatorum di negara berkembang masih
cukup tinggi yaitu 1,8 – 18 / 1000 dibanding dengan negara maju 1-5 pasien /
1000 kelahiran hidup (Gerdes, 2004). Keragaman insidens dari rumah sakit ke
rumah sakit lainnya dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan
prenatal, pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan.
Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tanda-
tanda korioamnionitis, seperti ketuban pecah lama (>18 jam), demam intrapartum
ibu (>37o C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan uterus dan takikardia janin
(>180x/menit). Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi
perempuan. Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan dan BBLR.
Pada bayi berat lahir sangat rendah (<1000 g) kejadian sepsis terjadi pada 26 /
6
7
1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara
1000-2000 gram yang angka kejadiannya antara 8-9/ 1000 kelahiran. Demikian
pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bayi cukup bulan (IDAI, 2012).
2.1.1.3 Etiologi
Pola kuman penyebab sepsis berbeda-beda antar negara dan selalu berubah
dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan
pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama
dari sepsis neonatorum (Moodi dan Carr, 2000).
Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang adalah
kuman gram negatif berupa kuman enteric seperti Enterobacter sp, Klebsiella sp.
dan Coli sp. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang pola
kuman yang terlihat juga tidak banyak berbeda dengan kuman di negara
berkembang lainnya.
Karakteristik mikroorganisme penyebab sepsis di beberapa Rumah Sakit di
Indonesia terlihat dalam tabel 1.
8
Selain perbedaan antar Rumah Sakit dan antar negara, pola kuman juga berubah
dari waktu ke waktu, seperti yang disajikan dalam tabel 2.
9
2.1.1.4 Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya sepsis neonatorum dapat dibagi menjadi:
a. Sepsis Awitan Dini (Early Onset Sepsis)
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada
saat proses kelahiran atau in utero. Sepsis neonatorum awitan dini
memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka
mortalitas sebesar 15-50% (Schuchat dkk., 2000).
2.1.1.5 Patofisiologi
Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai
janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk
sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH,
Triponema pallidum atau Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis
misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina
masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman
melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
11
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator,
kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan
hunian terlalu padat, dll (Baltimore, 2003).
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki
aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan
kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula
bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan
penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada
penatalaksanaan selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan
fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit (Bochud dan Calandra, 2003)
2.1.1.6 Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari
infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS: Systemic
Inflammatory Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan
multi organ, dan akhirnya kematian (Haque, 2005).
12
↓ KEMATIAN
Sumber: Haque, 2005
kesepakatan mengenai definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik (Tabel 4
dan 5) (Goldstein, Giroir, Randolph, 2005). Berdasarkan kesepakatan tersebut,
definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi,
baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven).
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria
dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit).
Sepsis berat Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai
gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti
gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).
Syok septik Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada
bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein, Giroir dan Randolph, 2005
14
2.1.1.7 Diagnosis
Untuk diagnosis sepsis neonatorum mempunyai masalah tersendiri
karena gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Tanda dan gejala
sepsis neonatorum tidak berbeda dengan penyakit non-infeksi bayi baru
lahir lain seperti sindrom gangguan nafas, perdarahan intrakranial dan
lain-lain. Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan
untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis
(termasuk adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis),
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda
antara satu tempat dengan tempat lainnya (Rohsiswatmo, 2005).
Kriteria diagnosis sepsis neonatorum di RSMH yaitu gejala klinis
sepsis ditambah lebih dari 1 pemeriksaan laboratorium yang positif.
1. Gejala Klinis
a. Gejala umum: bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang
disertai penurunan berat badan, keadaan umum memburuk
hipotermi/hipertermi.
b. Gejala Sistem saraf pusat: letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor,
kejang, hipotoni/hipertoni, serangan apnea, gerak bola mata tidak
terkoordinasi.
c. Gejala pernapasan: dispnea, takipnea, apnea, dan sianosis.
d. Gejala traktus gastrointestinal
muntah, diare, meteorismus, hepatomegali.
e. Kelainan kulit: purpura, eritema, pustula, sklerema.
f. Kelainan sirkulasi: pucat/sianosis, takikardi/arirmia, hipotensi,
edema, dingin.
g. Kelainan hematologi: perdarahan, ikterus, purpura.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Leukosit <5000/mm3 atau >34.000 /mm3
b. IT ratio ≥ 0.2
c. mikro LED >15 mm/jam
15
2.1.1.7.1 Anamnesis
Anamnesis kita mengidentifikasinya dari faktor risiko ibu dan
faktor risiko neonatus terhadap sepsis:
A. Faktor risiko ibu
1) Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila
ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi
meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis,
kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
2) Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli,
dan komplikasi obstetrik lainnya.
3) Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
4) Kehamilan multipel.
5) Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
6) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
b. Kultur Urin
Kultur urin sering dilakukan pada anak yang lebih besar.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi di
saluran kemih. Menurut Andersen-Berry (2006) dan Rodrigo
19
c. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram merupakan pemeriksaan laboratorium
yang paling sering digunakan untuk menentukan adanya infeksi
bakteri dibanding dengan biakan kuman. Pewarnaan gram ini
hanya untuk membedakan bakteri yang menginfeksi merupakan
bakteri gram positif atau gram negatif. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada rumah sakit dengan fasilitas terbatas sebagai
langkah awal untuk menentukan penggunaan antibiotik sebelum
mendapat hasil dari kultur bakteri (Rand dan Tillan, 2006).
d. Hitung trombosit.
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari
150.000/μL jarang ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya.
Menurut Andersen-Berry (2006), pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit
kurang dari 150.000/μL).
2.1.1.7.3.2 Pencitraan
a. Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa
gambaran, misalnya:
- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang
biasanya difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan
gambaran pada RDS (Respiratory Distress Syndrome).
- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini
(Andersen-Berry, 2006).
- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi
toraks karena ditemukan pada sebagian besar bayi,
meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti
dengan kultur (Rodrigo, 2002)
22
Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum
awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar
jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor ≥3
maka sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV
99%. Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana
karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan
darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah
mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang
menunjang sistem skoring tersebut.
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
24
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
2.1.2 Trombositopenia
Trombositopenia merupakan gangguan yang paling sering dijumpai pada
bayi baru lahir dengan gangguan trombosit. Penyebab yang paling sering adalah
ibu dengan pre-eklampsia dan DM, IUGR dan sepsis neonatorum (Lissaver dan
Fanaroff, 2006). Trombositopenia merupakan keadaan dimana jumlah trombosit
<150.000/ μL. Biasanya diketahui dari pemeriksaan darah lengkap. Manifestasi
klinis dari trombositopenia adalah ptekiae, purpura, perdarahan gusi, epistaksis,
perdarahan gastrointestinal, menorrhagia, hematuria, perdarahan CNS, hematoma
dan perdarahan otot yang jarang ditemukan.
Etiologi trombositopenia ada 4 yaitu:
a. Menurunnya produksi trombosit
Gangguan ini jarang dijumpai pada neonatus. Biasanya disebabkan
karena infiltrasi sumsum tulang (neoplasma, infeksi), trauma sumsum
tulang (akibat obat dan toksin), trombopoiesis inefektif (defisiensi nutrisi).
c. Splenic sequestration
Menjurus pada jumlah-jumlah platelet yang rendah sebagai akibat
dari pembesaran limpa. Ketika limpa membesar, ia dapat menahan lebih
banyak jumah platelet-platelet dari biasanya. Penyebab-penyebab umum
dari trombositopenia yang disebabkan oleh pembesaran limpa yaitu
berhubungan dengan sirosis, myeloproliferatif disorders, limfoma.
d. Penyebab lain
Trombositopenia dapat disebabkan oleh kondisi lain seperti
trombositopenia gestasional, Bernard-Soulier syndrome, gray platelet
syndrome, May-Hegglin anomaly, pseudotrombositopenia.
adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua jalur
tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin
dan fibrinogen diubah menjadi fibrin. Kolagen dan kalikrein juga
mengaktivasi jalur intrinsik. Trombin mempunyai pengaruh yang beragam
terhadap inflamasi dan membantu mempertahankan keseimbangan antara
koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel
endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan pelepasan TF, faktor
pengaktivasi trombosit dan TNF-α. Selain itu, trombin merangsang
chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi
kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan
bioamin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan kebocoran kapiler.
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur
ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat
rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF
juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik.
Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi
sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan
penyembuhan luka. Aktivator fibrinolisis tissue-type plasminogen
activator (t-PA) dan urokinase-type plasminogen activator (u-PA) akan
dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika
plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis fibrin.
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan. Sepsis mengganggu respons fibrinolisis
30