Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Sepsis Neonatorum
2.1.1.1 Pengertian
a. Sepsis Neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasive dan
ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah,
cairan sumsum tulang atau air kemih.

b. Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory


Respons Syndrome – SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus,
jamur ataupun parasit.

Berdasarkan pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa sepsis


neonatorum adalah sindrom respon inflamasi sistemik dengan gejala klinis
yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus , jamur ataupun parasit pada
bulan pertama kehidupan.

2.1.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian/insiden sepsis neonatorum di negara berkembang masih
cukup tinggi yaitu 1,8 – 18 / 1000 dibanding dengan negara maju 1-5 pasien /
1000 kelahiran hidup (Gerdes, 2004). Keragaman insidens dari rumah sakit ke
rumah sakit lainnya dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan
prenatal, pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan.
Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tanda-
tanda korioamnionitis, seperti ketuban pecah lama (>18 jam), demam intrapartum
ibu (>37o C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan uterus dan takikardia janin
(>180x/menit). Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi
perempuan. Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan dan BBLR.
Pada bayi berat lahir sangat rendah (<1000 g) kejadian sepsis terjadi pada 26 /

6
7

1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara
1000-2000 gram yang angka kejadiannya antara 8-9/ 1000 kelahiran. Demikian
pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bayi cukup bulan (IDAI, 2012).

2.1.1.3 Etiologi
Pola kuman penyebab sepsis berbeda-beda antar negara dan selalu berubah
dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan
pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama
dari sepsis neonatorum (Moodi dan Carr, 2000).
Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang adalah
kuman gram negatif berupa kuman enteric seperti Enterobacter sp, Klebsiella sp.
dan Coli sp. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang pola
kuman yang terlihat juga tidak banyak berbeda dengan kuman di negara
berkembang lainnya.
Karakteristik mikroorganisme penyebab sepsis di beberapa Rumah Sakit di
Indonesia terlihat dalam tabel 1.
8

Tabel 1. Kuman Penyebab Sepsis Bayi Baru Lahir di Beberapa RS di Indonesia


Peneliti Tempat Jumlah kultur Mikroorganisme terbanyak
darah positif
Suarca (2004) RS Sanglah, 104 Staohylococcus coagulated-
Denpasar negative, Enterobacter sp,
Klebsiella sp,
Siswanto (2004) NICU RS 264 Rerratia sp, Klebsiella
Harapan Kita, pneumonia, Enterobacter
Jakarta aerogenes, Klebsiella sp,
P.aeroginosa
Rohsiswatmo RSCM, Jakarta 320 Acinetobacter calciaceticus,
(2005) Enterobacter sp, Staphylococcus
sp
Yuliana (2006) RS Hasan 53 Staphylococcus epidermidis,
Sadikin, Burkholderia cepacia,
Bandung Klebsiella pneumonia
Sofiah F (2006) RS Moh. 36 Acinetobacter calcoaceticus,
Hoesin, Klebsiella pneumonia,
Palembang Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus viridans
Rahman (2006) RS Sutomo, 36 Staphylococcus coagulated-
Surabaya negative, Acinetobacter,
Enterobacter aerogenes,
Klebsiella pneumoniae
Sumber: Suarca, 2004; Siswanto, 2004; Rohsiswatmo, 2005; Yuliana, 2006;
Sofiah, 2006 dan Rahman (2006).

Selain perbedaan antar Rumah Sakit dan antar negara, pola kuman juga berubah
dari waktu ke waktu, seperti yang disajikan dalam tabel 2.
9

Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun


waktu
1975-1980 1985-1990 1995-2003
RSCM/FKUI Salmonella sp Pseudomonas sp Acinetobacter sp
(Monintja, 1981; Klebsiella sp Klebsiella sp Enterobacter sp
Amir Aminullah E. coli Pseudomonas sp
1993, I 2003) Serratia sp

Amerika Serikat Group B Strep. Group B Strep. E. coli


(Texas Univ.; CDC E. coli Listeria sp Group B Strep
Atlanta) (Shattuck Listeria sp Enterovirus Listeria sp
1992; Schuchat Strep. Pneumoniae
1997)

Inggris Group B Strep. Group B Strep


(Health PT 2003) E. coli Listeria sp
Listeria sp E. coli
Enterovirus Enterovirus
Sumber: Aminullah, 2004

2.1.1.4 Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya sepsis neonatorum dapat dibagi menjadi:
a. Sepsis Awitan Dini (Early Onset Sepsis)
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada
saat proses kelahiran atau in utero. Sepsis neonatorum awitan dini
memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka
mortalitas sebesar 15-50% (Schuchat dkk., 2000).

b. Sepsis Awitan Lambat (Late Onset Sepsis)


Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72
jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit yang disebut
10

infeksi nosokomial (Mupanemunda dan Watkinson, 1999). Proses infeksi


pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%.

2.1.1.5 Patofisiologi
Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:

1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai
janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk
sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH,
Triponema pallidum atau Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis
misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina
masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman
melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
11

Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan

Sumber : Baltimore, 2003.

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator,
kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan
hunian terlalu padat, dll (Baltimore, 2003).

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki
aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan
kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula
bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan
penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada
penatalaksanaan selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan
fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit (Bochud dan Calandra, 2003)

2.1.1.6 Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari
infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS: Systemic
Inflammatory Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan
multi organ, dan akhirnya kematian (Haque, 2005).
12

Tabel 3. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus


Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:
→ FIRS/ SIRS
Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan
desaturasi O2
Suhu tubuh tidak stabil (<36ºC atau >37.5ºC)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik Hitung leukosit
<4000x109/L atau >34000x109/L
CRP >10mg/dl
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
16 S rRNA gene PCR : Positif

Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai


→ SEPSIS
dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat dalam
Tabel 4.

Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal


→ SEPSIS BERAT

Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan


→ SYOK SEPTIK
resusitasi cairan dan obat-obat inotropik

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah


→ SINDROM
mendapatkan pengobatan optimal DISFUNGSI
MULTIORGAN

↓ KEMATIAN
Sumber: Haque, 2005

Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan


laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada
International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai
13

kesepakatan mengenai definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik (Tabel 4
dan 5) (Goldstein, Giroir, Randolph, 2005). Berdasarkan kesepakatan tersebut,
definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi,
baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven).

Tabel 4. Kriteria SIRS


Usia Neonatus Suhu Laju nadi per Laju napas Jumlah leukosit x
menit per menit 103/mm3
Usia 0-7 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >50 >34
Usia 7-30 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
Sumber: Goldstein, Giroir dan Randolph, 2005

Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria
dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit).

Tabel 5. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik


Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab
atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom
klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).

Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.

Sepsis berat Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai
gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti
gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

Syok septik Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada
bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein, Giroir dan Randolph, 2005
14

2.1.1.7 Diagnosis
Untuk diagnosis sepsis neonatorum mempunyai masalah tersendiri
karena gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Tanda dan gejala
sepsis neonatorum tidak berbeda dengan penyakit non-infeksi bayi baru
lahir lain seperti sindrom gangguan nafas, perdarahan intrakranial dan
lain-lain. Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan
untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis
(termasuk adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis),
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda
antara satu tempat dengan tempat lainnya (Rohsiswatmo, 2005).
Kriteria diagnosis sepsis neonatorum di RSMH yaitu gejala klinis
sepsis ditambah lebih dari 1 pemeriksaan laboratorium yang positif.
1. Gejala Klinis
a. Gejala umum: bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang
disertai penurunan berat badan, keadaan umum memburuk
hipotermi/hipertermi.
b. Gejala Sistem saraf pusat: letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor,
kejang, hipotoni/hipertoni, serangan apnea, gerak bola mata tidak
terkoordinasi.
c. Gejala pernapasan: dispnea, takipnea, apnea, dan sianosis.
d. Gejala traktus gastrointestinal
muntah, diare, meteorismus, hepatomegali.
e. Kelainan kulit: purpura, eritema, pustula, sklerema.
f. Kelainan sirkulasi: pucat/sianosis, takikardi/arirmia, hipotensi,
edema, dingin.
g. Kelainan hematologi: perdarahan, ikterus, purpura.

2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Leukosit <5000/mm3 atau >34.000 /mm3
b. IT ratio ≥ 0.2
c. mikro LED >15 mm/jam
15

d. CRP > 9 mg/dl


e. kultur darah positif.

2.1.1.7.1 Anamnesis
Anamnesis kita mengidentifikasinya dari faktor risiko ibu dan
faktor risiko neonatus terhadap sepsis:
A. Faktor risiko ibu
1) Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila
ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi
meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis,
kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
2) Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli,
dan komplikasi obstetrik lainnya.
3) Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
4) Kehamilan multipel.
5) Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
6) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

B. Faktor risiko neonatus


1) Prematuritas dan berat lahir rendah.
2) Dirawat di Rumah Sakit.
3) Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang
mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan.
4) Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian
ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral,
kateter intratorakal.
5) Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.
coli), defek imun, atau asplenia.
6) Cacat bawaan.
16

7) Tanpa rawat gabung.


8) Tidak diberi ASI.
9) Pemberian nutrisi parenteral.
10) Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
11) Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.
12) Buruknya kebersihan di NICU.

2.1.1.7.2 Gambaran Klinis


Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan
Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 6). Penegakan
diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan
kategori tersebut (Depkes RI, 2004).
17

Tabel 6. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis


Kategori A Kategori B
 Gangguan napas (misalnya: apnea,  tremor
frekuensi napas > 60 atau < 30  letargi atau lunglai/layuh
kali/menit, retraksi dinding dada,  mengantuk atau kurang aktif
merintih pada waktu ekspirasi, sianosis  iritabel atau rewel
sentral)  muntah (menyokong ke arah
 Kejang sepsis)
 Tidak sadar  distensi abdomen (menyokong ke
 Suhu tubuh tidak normal (tidak normal arah sepsis)
sejak lahir dan tidak memberi respons  tanda mulai muincul sesudah hari
terhadap terapi atau suhu tidak stabil ke-4 (menyokong ke arah sepsis)
sesudah pengukuran suhu normal  air ketuban bercampur mekonium
selama tiga kali atau lebih, menyokong  malas minum, dimana sebelumnya
ke arah sepsis) dapat minum dengan baik
 Persalinan yang dilakukan di (menyokong ke arah sepsis)
lingkungan yang kurang higienis
(menyokong ke arah sepsis)
 kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong ke arah sepsis)
Sumber : Rohsiswatmo, 2005

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-tanda


dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari


- Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);
- Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6),
atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);
- Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;
18

- Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja


timbulnya;
- Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi
tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam
lagi.

b. Bayi berumur lebih dari tiga hari


- Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga
tanda atau lebih pada Kategori B;
- Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.

Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis


pasti pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu
dilakukan.

2.1.1.7.3 Pemeriksaan Penunjang


2.1.1.7.3.1 Laboratorium
a. Kultur Darah
Sampai saat ini biakan darah merupakan gold standard/
baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Namun,
pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru
akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari (Kumar dkk, 2001).
Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum
awitan dini maupun lanjut.

b. Kultur Urin
Kultur urin sering dilakukan pada anak yang lebih besar.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi di
saluran kemih. Menurut Andersen-Berry (2006) dan Rodrigo
19

(2002), kultur urin lebih baik dilakukan pada kasus sepsis


neonatorum awitan lambat. Urin diambil melalui kateterisasi steril
atau aspirasi suprapubik kandung kemih (Kuschel, 2003).

c. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram merupakan pemeriksaan laboratorium
yang paling sering digunakan untuk menentukan adanya infeksi
bakteri dibanding dengan biakan kuman. Pewarnaan gram ini
hanya untuk membedakan bakteri yang menginfeksi merupakan
bakteri gram positif atau gram negatif. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada rumah sakit dengan fasilitas terbatas sebagai
langkah awal untuk menentukan penggunaan antibiotik sebelum
mendapat hasil dari kultur bakteri (Rand dan Tillan, 2006).

d. Hitung trombosit.
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari
150.000/μL jarang ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya.
Menurut Andersen-Berry (2006), pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit
kurang dari 150.000/μL).

e. Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.


Menurut Andersen-Berry (2006), pada sepsis neonatorum
jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun jumlah
leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis
dengan kultur bakteri positif sehingga menjadikan pemeriksaan ini
tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat memberikan
hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses
persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur)
lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,
eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil
20

abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada


2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat
memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis.
Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu
penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan
periventrikular serta intraventrikular.

f. Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).


Pemeriksaan ini seringkali dipakai sebagai pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis sepsis neonatorum.
Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang
dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam
pertama kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio
turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan. Menurut
Andersen-Berry (2006), sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-
90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan
fisiologis lainnya. Oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan
dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum
dapat ditegakkan. Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan
serial agar dapat dilihat perubahan yang terjadi selama proses
infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau peningkatan
rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui
sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress
pada saat proses persalinan.

g. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)


C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang
disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat
kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang
dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di
neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat
21

pada 50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi


CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam
waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya
teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan
kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada
diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai suatu
pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon
antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor
yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan,
umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis,
granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat
seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza.
Menurut Mustafa dkk. (2005), untuk diagnosis sepsis
neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%, spesifisitas
78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi positif
48,77%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif
untuk sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis
awitan lanjut adalah 98,7% (Weitkamp, 2005).

2.1.1.7.3.2 Pencitraan
a. Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa
gambaran, misalnya:
- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang
biasanya difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan
gambaran pada RDS (Respiratory Distress Syndrome).
- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini
(Andersen-Berry, 2006).
- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi
toraks karena ditemukan pada sebagian besar bayi,
meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti
dengan kultur (Rodrigo, 2002)
22

b. Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis


neonatal kompleks untuk melihat hidrosefalus obstruktif,
lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses.
c. USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat
menunjukkan ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim,
cairan ekstraselular dan perubahan kronis. Secara serial, USG
kepala dapat menunjukkan progresivitas komplikasi
(Andersen-Berry, 2006).

2.1.1.8 Pendekatan Diagnosis


Spector, Ticknor dan Grossman (1981) menggunakan sistem skoring
dengan memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk
pendekatan diagnosis sepsis. Faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 7.
Dikemukakan bahwa bayi yang mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor
lebih besar atau sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat
antibiotik. Sistem skoring yang dipakai disini sepertinya hanya dipergunakan
untuk pendekatan diagnosis sepsis awitan lambat.

Tabel 7. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal


Penemuan Skor
Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada
sistem pernafasan, gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan
1
kulit).
Jumlah leukosit total <10.000 atau ≥20.000 / mm3. 1
Jumlah neutrofil absolut <1000 / mm3. 1
Rasio neutrofil batang : neutrofil matur ≥0.1 1
Usia >1 minggu. 1
Sumber: Spector, Ticknor dan Grossman, 1981

Ada pula skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium yang


dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil
23

pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic


scoring system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 8.

Tabel 8. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis


neonatorum awitan dini dan lambat
Penemuan Skor
Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat. 1

Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun. 1

Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) ≥ 0,3 1

Jumlah imatur PMN meningkat. 1

Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (≤5000/mm3 atau 1


≥25.000, 30.000, dan 21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan
usia 2 hari).

Terdapat perubahan degeneratif pada PMN ≥3+ untuk vakuolisasi, 1


granulasi toksik, dan badan Dohle.

Jumlah trombosit ≤150.000 / mm3. 1


Sumber : Rodwell, Leslie dan Tudehope, 1998

Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum
awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar
jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor ≥3
maka sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV
99%. Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana
karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan
darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah
mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang
menunjang sistem skoring tersebut.
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
24

dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan


menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi seperti yang disajikan dalam tabel 9 (Haque,
2005).

Tabel 9. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus


Variabel Klinik
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )

Variabel Perfusi Jaringan


Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque, 2005


25

2.1.2 Trombositopenia
Trombositopenia merupakan gangguan yang paling sering dijumpai pada
bayi baru lahir dengan gangguan trombosit. Penyebab yang paling sering adalah
ibu dengan pre-eklampsia dan DM, IUGR dan sepsis neonatorum (Lissaver dan
Fanaroff, 2006). Trombositopenia merupakan keadaan dimana jumlah trombosit
<150.000/ μL. Biasanya diketahui dari pemeriksaan darah lengkap. Manifestasi
klinis dari trombositopenia adalah ptekiae, purpura, perdarahan gusi, epistaksis,
perdarahan gastrointestinal, menorrhagia, hematuria, perdarahan CNS, hematoma
dan perdarahan otot yang jarang ditemukan.
Etiologi trombositopenia ada 4 yaitu:
a. Menurunnya produksi trombosit
Gangguan ini jarang dijumpai pada neonatus. Biasanya disebabkan
karena infiltrasi sumsum tulang (neoplasma, infeksi), trauma sumsum
tulang (akibat obat dan toksin), trombopoiesis inefektif (defisiensi nutrisi).

b. Meningkatnya penghancuran atau konsumsi trombosit


Hal ini lah yang paling sering ditemui menjadi penyebab
trombositopenia pada neonatus. Etiologi ini terbagi menjadi:
- Imun
Trombositopenia jenis ini terjadi sekunder akibat gangguan autoimun
ibu. Penyakit maternal, seperti ITP, SLE, gangguan limpoproliferatif,
dan hipertiroidisme dapat menyebabkan trombositopenia autoimun
neonatus. Pada keadaan ini, ditemukan antibodi pada trombosit ibu dan
pasien. Bayi tampak sehat dan dapat mengalami petekie pada usia 2
hari pertama. Diagnosis dibuat dengan gambaran klinis pada ibu dan
bayi. Bayi dapat memiliki jumlah trombosit yang rendah dengan PT
dan PTT normal.
- Non imun
Penyebab non imun neonatus yang sakit meliputi DIC, infeksi virus
kongenital, asfiksia, gawat pernapasan, enterokolitis nekrotikans,
infeksi, sepsis dan hiperbilirubinemia yang diobati dengan fototerapi.
26

c. Splenic sequestration
Menjurus pada jumlah-jumlah platelet yang rendah sebagai akibat
dari pembesaran limpa. Ketika limpa membesar, ia dapat menahan lebih
banyak jumah platelet-platelet dari biasanya. Penyebab-penyebab umum
dari trombositopenia yang disebabkan oleh pembesaran limpa yaitu
berhubungan dengan sirosis, myeloproliferatif disorders, limfoma.

d. Penyebab lain
Trombositopenia dapat disebabkan oleh kondisi lain seperti
trombositopenia gestasional, Bernard-Soulier syndrome, gray platelet
syndrome, May-Hegglin anomaly, pseudotrombositopenia.

2.1.3 Proses inflamasi yang menyebabkan trombositopenia


Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan
pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular
yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab,
sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab
(Short, 2004).
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri.
Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri gram
negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida
mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag
(Bochud dan Calandra, 2003).
Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
(2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.
27

Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin


proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak
mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon
imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif.
Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan
pelepasan mediator inflamasi sepsis seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag.
Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.

Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis


Sumber : Short, 2004

Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas


selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem
imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur
komplemen. Pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk
mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T
akan berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2).
28

Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor


(TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12
serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -
10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur
melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi
terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman
penyebab. Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang
berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan
multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan
penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan
mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan
dengan baik (Carrigan, Scott dan Tabrizian, 2004).
Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara
langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric
oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF),
prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi
makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi
leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan
kerusakan organ (Short, 2004).
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami
cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan
fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada
permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu,
inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos
pembuluh darah.
Pada sepsis terjadi hubungan antara inflamasi dan koagulasi.
Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi
TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan
melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan
mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik
29

adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua jalur
tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin
dan fibrinogen diubah menjadi fibrin. Kolagen dan kalikrein juga
mengaktivasi jalur intrinsik. Trombin mempunyai pengaruh yang beragam
terhadap inflamasi dan membantu mempertahankan keseimbangan antara
koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel
endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan pelepasan TF, faktor
pengaktivasi trombosit dan TNF-α. Selain itu, trombin merangsang
chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi
kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan
bioamin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan kebocoran kapiler.
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur
ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat
rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF
juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik.
Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.

Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi
sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan
penyembuhan luka. Aktivator fibrinolisis tissue-type plasminogen
activator (t-PA) dan urokinase-type plasminogen activator (u-PA) akan
dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika
plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis fibrin.
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan. Sepsis mengganggu respons fibrinolisis
30

normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu menghancurkan


mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya
kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan
fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup
D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator
proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan
kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil
hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara
klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas,
hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan
kematian.
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis
akan tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator
plasminogen khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya
dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini dihambat oleh
peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi tidak adekuat,
dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam mikrovaskular.
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau pembekuan
intravaskular menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada
sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi
komplikasi perdarahan berat. Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya
trombositopenia pada sepsis.

Anda mungkin juga menyukai