Anda di halaman 1dari 17

2.

1 Anatomi

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk suatu terowongan yang

dipisahkan menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh suatu septum nasi dibagian

tengahnya. Tiap kavum nasi memiliki empat dinding yaitu dinding lateral, medial,

anterior dan superior. Dinding medial adalah septum nasi itu sendiri yang terdiri

dari bagian tulang dan bagian tulang rawan, dilapisi oleh mukosa hidung pada

bagian luarnya2. Septum diperdarahi oleh gabungan dua arteri mayor yaitu arteri

karotis interna dan eksterna3.

2.1.1 Arteri Karotis Eksterna

a. Arteri fasialis

Berasal dari permukaan anterior dan akan memberikan delapan cabang.

Arteri subseptal berasal dari anastomosis arteri labialis kiri dan kanan, mendarahi

dinding septum bagian anteroinferior3.

b. Arteri maksilaris

Pembuluh darah ini berjalan dari regio intratemporal ke foramen

sfenopalatina memberikan cabang menjadi empat kelompokan arteri dengan total

16 cabang. Kelompok arteri keempat adalah yang terlibat dalam epistaksis, salah

satu cabangnya yaitu arteri palatina yang mendarahi palatum mole. Cabang

terminal arteri maksilaris adalah arteri sfenopalatina yang berjalan melalui

foramen sfenopalatina dan terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang akan

memberikan tiga cabang dan mendarahi konka serta meatus media dan inferior,

yang kedua yaitu arteri septal posterior memberikan cabang yang mendarahi

konka superior dan berjalan melalui septum nasi sampai beranastomosis dengan

cabang terminal dari arteri palatina mayor3.


2.1.2 Arteri Karotis Interna

a. Arteri etmoidalis

Arteri oftalmika, suatu cabang arteri karotis interna akan bercabang

menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior. Arteri etmoidalis anterior bermula

dari foramen etmoidalis anterior mendarahi sinus etmoidalis anterior dan sinus

frontalis serta akan memberikan cabang yang akan mendarahi bagian superior

septum dan dinding lateral kavum nasi. Arteri etmoidalis posterior mendarahi

bagian posterior lamina kribosa3.

2.1.3 Area Kiesselbach

Dikenal juga dengan sebutan Little’s area merupakan pleksus pembuluh

darah di bagian anteroinferior septum nasi merupakan area yang rentan

mengalami kekeringan serta trauma oleh jari. Pleksus ini terdiri dari arteri

sfenopalatina, arteri palatina mayor dan arteri fasialis4.

Gambar 1. Vaskularisasi hidung5

2.2 Definisi dan Klasifikasi Epistaksis

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu

penyakit, melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan
sehari-hari dan hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan

tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan

hidungnya1. Secara anatomi epistaksis biasanya dibagi atas pendarahan anterior

atau posterior2.

1. Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri

etmoid anterior. Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling

sering pada epistaksis, terutama pada anak-anak, biasanya ringan dan dapat

berhenti sendiri (secara spontan) dan mudah diatasi2.

2. Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid

posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.

Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien

dengan penyakit kardiovaskuler. Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya

arteri sfenopalatina.

Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga lebih

mudah diatasi dibandingkan epsitaksis posterior. Batas yang membagi epistaksis

posterior dan anterior adalah ostium sinus maksilaris1.

2.3 Epidemiologi

Epistaksis telah dilaporkan menjadi penyebab kunjungan ke unit gawat

darurat sebanyak 1,7 per 100.000 populasi. Epistaksis memiliki distribusi usia

yang bersifat bimodal, dengan puncak pada usia kurang 10 tahun dan antara usia

70 – 796. Di Indonesia sendiri belum didapatkan angka prevalensi yang jelas

mengenai epistaksis, namun penelitian yang dilakukan di poliklinik THT-KL

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado mendapatkan jumlah kasus sebanyak 1048
kasus dari total kunjungan 12.981 (8,07%) dalam periode waktu dua tahun.

Dengan laki-laki lebih banyak dari perempuan dan usia puncak pada 25 – 44

tahun7.

2.4 Etiologi

Diagnosis etiologi dari perdarahan hidung diklasifikasikan menjadi dua

faktor mayor yaitu faktor lokal dan sistemik, namun demikian faktor lingkungan

seperti kelembaban dan alergen harus dipertimbangkan. Kebanyakan penyebab

terjadinya epistaksis tidak dapat diidentifikasi3,8.

2.4.1 Faktor Lokal

Faktor-faktor ini menyebabkan epistaksis dengan cara memengaruhi

fisiologi dari mukosa dan pembuluh darah hidung. Trauma fasial termasuk

memencet hidung atau benda asing seperti insersi alat-alat medis dapat

menimbulkan epistaksis. Infeksi dan inflamasi seperti sinusitis, rinitis dan alergi

serta penggunaan dekongestan topikal juga merupakan faktor lokal pada

epistaksis3.

2.4.2 Faktor Sistemik

a. Hipertensi

Hipertensi sebagai salah satu penyebab dari epistaksis masih menjadi

perdebatan. Terdapat beberapa bukti yang mendukung hubungan antara tingginya

tekanan darah dengan epistaksis, penelitian oleh Moriyuki menemukan bahwa

tekanan darah sistolik ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang

mengalami epistaksis3.
b. Faktor kardiovaskular

Berkaitan dengan adanya overload volume dan peningkatan tekanan pada

pembuluh darah vena sehingga merangsang rupturnya arteri-arteri tipis di area

Kiesselbach. Faktor-faktor tersebut termasuk gagal jantung, stenosis mitral,

koartasio aorta atau obstruksi vena kava superior3.

c. Gangguan koagulasi

Biasanya terjadi akibat penggunaan obat-obatan seperti obat anti-inflamasi

non steroid, klopidogrel dan warfarin. Penyakit-penyakit limfoproliperatif,

gangguan pada renal dan hepar juga berhubungan dengan disfungsi platelet atau

koagulasi. Sepertiga pasien dengan epistaksis berulang memiliki gangguan

hemostatis yang mendasari seperti penyakit Von Willebrand atau defisiensi faktor

koagulasi lainnya 3.

Gambar 2. Penyebab epistaksis8


2.5 Patogenesis

Dalam keadaan ideal, desain hidung bagian dalam menyediakan saluran

yang canggih untuk pertukaran aliran udara laminar. Selama inspirasi udara

disaring dan dilembabkan oleh epitel pseudostratified kolumnar bersilia. Lapisan

hidung, terutama di sepanjang konka inferior dan media kaya akan vaskularisasi.

Arteriol melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Kelenjar

mukosa dan serosa melimpah di seluruh lapisan hidung, terutama di sepanjang

turbinat. Lingkungan intranasal mudah diubah oleh sejumlah faktor intrinsik dan

ekstrinsik. Sekresi memberikan pelindung untuk mukosa, melindungi dari

pengeringan dan hilangnya aktivitas siliaris9. Namun demikian, mukosa yang

melapisi bagian area Kiesselbach bersifat tipis dan rapuh dan pembuluh darah

yang mendarahi membran mukosa tersebut sangan sedikit memiliki jaringan

penunjang. Kongesti pada pembuluh darah akibat berbagai hal misalnya karena

infeksi saluran napas atas atau keringnya mukosa akibat rendahnya kelembaban

lingkungan akan membuat area tersebut mudah mengalami perdarahan10.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Dalam anamnesis, beberapa poin yang harus ditanyakan adalah5:

1. Riwayat perdarahan meliputi frekuensi, severitas dan lokasi perdarahan

2. Faktor-faktor yang memperberat atau meringankan

3. Riwayat obat-obat yang dikonsumsi

4. Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi atau diabetes mellitus


2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Patensi jalan napas pada pasien harus diawasi, tanda vital, nadi dan laju

napas pasien harus diperiksa secara berkala. Nilai berapa jumlah kehilangan darah

dan kemungkinan lokasi perdarahan10. Pemeriksaan lanjutan harus dimulai hanya

jika keadaan umum pasien stabil5.

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,

spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain

kassa11. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi

dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk

mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung

dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik

cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua

lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor

penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang

dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan

lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk

menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga

perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas

dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi12.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari

hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan

pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah

menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa12.


a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan

konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien

dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan

neoplasma.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidung pertama kali ataupun yang

tidak sering berulang, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium jika disertai

dengan adanya riwayat trauma. Jika dicurigai kehilangan darah yang bermakna,

leukemia ataupun keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap,

prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), dan waktu

perdarahan. Pemeriksaan radiografi dapat memperlihatkan sinusitis akut, fraktur,

atau keganasan pada sinus paranasal13.

Nasoendoskopi dilakukan untuk evaluasi bagian kavum nasi dan muara

sinus secara langsung menggunakan tampilan berkualitas tinggi. Ini

adalah prosedur yang biasa dilakukan di bagian THT dan berfungsi sebagai alat

diagnostik objektif dalam mengevaluasi mukosa hidung, anatomi sinonasal, dan

patologi hidung. Nasoendoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop

serat optik atau teleskop kaku. Nasoendoskopi memiliki peran yang jelas dalam

identifikasi penyakit sinonasal pada penderita ke poliklinik THT. Prosedur


pemeriksaan ini harus dilihat sebagai komponen penting dari pemeriksaan

lengkap dari hidung dan sinus14.

Gambar 3. Teleskop Serat Optik. Endoskopi fleksibel14

Pemeriksaan CT Scan dan biopsi diperlukan jika terdapat kecurigaan

tumor intranasal, misalnya nasopharingeal carcinoma. Angiofibroma masofaring

dapat menyebabkan epistaksis berulang, hal ini sering dijumpai pada remaja laki-

laki. Dalam hal ini pemeriksaan CT Scan kavum nasal merupakan sarana

diagnostik yang perlu dilakukan11.

2.7 Tatalaksana

Dalam melakukan evaluasi pasien dengan epistaksis sangat diperlukan

untuk menilai berapa banyak kehilangan darah yang dialami pasien, secara

konstan tekanan darah dan nadi pasien harus dipantau. Pemberian cairan infus

bisa diberikan secepatnya. Cairan ringer laktat dapat diberikan sebagai pemberian

awal. Jika pasien mengalami kehilangan darah sekitar lebih dari 30% maka harus

dilakukan transfusi darah5.

Penanganan pertama pada epistaksis bisa dilakukan penekanan pada

hidung dengan cara menekan area septal dan menyumbat lubang hidung dengan

kassa atau kapas yang sudah diberikan dekongestan topikal. Penekanan pada

hidung bisa dilakukan selama 5 menit, kepala pasien harus ditinggikan kedepan
untuk mencegah pengumpulan darah di daerah posterior faring mencegah pasien

mual dan lebih jauh mencegah terjadinya obstruksi jalan napas8.

2.7.1 Terapi Konservatif

2.7.1.1 Epsitaksis anterior

a. Kauterisasi

Perdarahan pada pleksus Kiesselbach dapat ditatalaksana secara

kauterisasi menggunakan perak nitrat. Agen lainnya yang dapat digunakan yaitu

asam kromat dan asam asetat. Perak nitrat lebih dipilih karena tidak ada bukti

terjadinya karsinogenesis. Kauterisasi dengan perak nitrat tidak terlalu efektif

pada perdarahan yang aktif. Pajanan selama 30 detik memberikan kesempatan

penetrasi sedalam 1 mm. Namun harus diperhatikan risiko terjadinya perforasi

septum pada pasien10.

b. Elektrokauterisasi

Tindakan ini menggunakan suction kauter biasanya dipilih pada

perdarahan yang lebih berat dan lokasi yang lebih posterior, tindakan ini

membutuhkan anestesi lokal. Selesai tindakan pasien dilakukan cuci hidung dan

diberikan salep antibiotik, menghindari aktivitas berat dan manipulasi jari pada

hidung dianjurkan pada pasien10.

c. Tampon anterior

Hal ini dapat dilakukan apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis

atau sumber pendarahan tidak dapat diidentifikasi. Tampon hidung anterior

(anterior nasal pack) dilakukan dengan pemasangan kassa atau kapas yang

diberikan vaselin atau salap antibiotik. Tampon dipertahankan selama 3-4 hari.

Pemasangan anterior nasal packing/tampon hidung anterior harus dilakukan


dengan hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan spekulum

nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam mungkin pada kavum nasi.

Setiap lipatan harus ditekan sebelum lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah

cavum nasi tersisi dengan kasa, ujung kasa dapat ditempelkan diatas lubang

hidung dan di ganti berkala. Selain mengunakan kasa untuk anterior nasal

packing, dapat juga di gunakan spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon

dimasukan dengan hati-hati pada dasar kavum nasi karena akan mengembang

apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada ujung tampon

mempermudah pemasangan. Setelah tampon terpasang, tetesi tampon dengan

sedikit cairan vasokonstriktor untuk mempercepat perhentian perdarahan. Tetesi

saline kedalamlubang hidung agar tampon dapat mengembang sempurna.

Tampon dapat dilepas setelah 3-5 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi

formasi pembekuan darah yang adekuat14.

Gambar 4. Tampon anterior14

2.7.1.2 Epistaksis posterior

a. Tampon posterior (tampon Bellocq)

Prosedur ini menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band).

Masukkan kateter karet kecil melalui hidung ke dalam faring, kemudian ujungnya

dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua

ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung
sehingga tampon tertarik kedalam koana melalui nasofaring sehingga

memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan. Bantuan jari untuk

memasukkan tampon ke dalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini.

Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula

dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari

nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang

hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang

terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik

tampon keluar melalui mulut setelah 2– 3 hari. Semua pasien dengan tampon

posterior ini harus dilakukan monitoring di rumah sakit15.

b. Tampon balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan

pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam

mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley

dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung

dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topical yang

ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley nomor 12-16 F diletakkan di

sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi

dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter folley ditarik kearah anterior sehingga

balon menutup rongga posterior14.


Gambar 5. Pemasangan Tampon Posterior (Bellocq) untuk hidung14

2.7.2 Penanganan Bedah

2.7.2.1 Ligasi arteri

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk

melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi a. karotis eksterna.

Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal

sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.

sternokleidomastoideus. Flap kulit subplatisma diangkat, dan m.

sternokleidomastoideus ditarik ke arah posterior. Kemudian, selubung karotis

dibuka dan identifikasi pembuluh darah dan saraf. arteri karotis eksterna

diidentifikasi dengan mengikuti arteri Karotis interna beberapa sentimeter dan

diseksi arteri karotis eksterna ke superior sampai beberapa cabang pertamanya.

Setelah arteri karotis eksterna berhasil diidentifikasi, dilakukan ligasi distal dari

arteri tiroidea superior. Suplai darah selanjutnya berasal dari anastomosis sistem

Karotis kontralateral atau dari arteri karotis interna ipsilateral14.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksila interna memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi

daripada ligasi arteri karotis eksterna karena daerah intervensi yang lebih distal.
Sederhananya, arteri maksila interna diakses secara transantral melalui pendekatan

sublabial misalnya Caldwell-Luc. Dengan bantuan mikroskop operasi, dinding

posterior sinus diangkat, dan periosteum posterior dibuka secara hati–hati. Arteri

maksila interna dan tiga cabangnya (sfenopalatina, palatina descendens, dan

faringeal) diangkat dan di klip. Dinding posterior sinus lalu disumbat dengan

gelfoam, dan luka gingivobukal di jahit14.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik

diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi

dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan

posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior

berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen

etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. Sebelah anterior n. optikus. Insisi

etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan

untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan

disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem

arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi

kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk

menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis

posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk

menghindari trauma14.
2.7.2.2 Angiografi dan Embolisasi

Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan Teknik embolisasi perkutan

pada a.maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk

epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan

angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Penggunaan embolisasi untuk

pengobatan telengangiektasis hemoragik herediter, epistaksis, angiofibroma

nasofaring, tumor ganas, dan penyakit perdarahan. Kesulitan dalam melakukan

tindakan embolisasi menjadi kekurangan tindakan ini, tetapi hal yang

menguntungkan adalah terjadinya obliterasi di bagian distal arteri, sedangkan

komplikasi yang dapat timbul adalah paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri

pada wajah dan trismus. Walau dalam kontroversi tetapi tindakan ini dapat

dilakukan bila terapi lainnya gagal dan ada kontraindikasi untuk operasi14.

2.8 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat

usaha penanggulangannya. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan

anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,

insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera

dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.2

Pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus

tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara

retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan

tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi

palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu

ketat dilekatkan di pipi.2


2.9 Prognosis

Epistaksis anterior sering rekuren dan sembuh dengan sendirinya. Epistaksis

posterior biasanya lebih berat, persisten dan dapat mengancam jiwa. Saat

perdarahan dapat terkontrol, prognosisnya baik. Perdarahan berhenti dalam waktu

3 -5 hari dan penting untuk di follow up.15


DAFTAR PUSTAKA

1. Foshee J, lloreta AM, Nyquist GG, Rosen MR. Epistaxis. Dalam: Kacker A,
penyunting. Rhinology handbook. Philadelphia: Jaypee Brothers Med Pub;
2016.h.109 – 123
2. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2012.h.131 – 135
3. Solo-Galindo GA, González JLT. Epistaxis diagnosis and treatment update: a
review. Ann Otolaryngol Rhinol 2017;4:1176
4. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: diagnosis and treatment. J
Oral Maxillofac Surg 2006;64:511 – 518
5. Thiagarajan B. Epistaxis. India: Otolaryngology online; [diakses 29/04 2018];
Diunduh dari: http://www.otolaryngology.wdfiles.com/local--
files/rhinology/nasal_bleed.pdf
6. Kasperek ZA, Pollock GF. Epistaxis: an overview. Emerg Med Clin N Am
2013;31:443 – 454
7. Limen MP, Palandeng O, Tumbel R. Epistaksis di poliklinik THT-KL BLU
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2010-Desember 2012.
Jurnal e-Biomedik (eBM) 2013;1:478 – 483
8. Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Am Fam Physic 2005;71:305
– 308
9. Santos PM, Lapore ML. Epistaxis. Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head and
Neck Surgery Otolaringology. Vol 2. 3rd ed. Philadelphia: JB Lippincot;
2001.h.301 – 302
10. Bertrand B, Eloy P, Rombaux P, Lamarque C, Watelet JB, Coller S.
Guidlines to the management of epistaxis. B-ENT 2005;1:27 – 43
11. Linda D. Managing epistaxis. J of Am Academy Physic Assist 2014;27:35 –
39
12. Schlosser RJ. Epistaxis. New Eng J Med 2009;360:784 – 789
13. Lubis B, Saragih RA. Tatalaksana epistaksis berulang pada anak. Sari Pediatri
2007;9:75 – 79
14. Punagi AQ. Epistaksis: diagnosis dan penatalaksanaan terkini. Dalam: Zakiah
AM, Perkasa MF, penyunting. Makassar: Digi Pustaka; 2017.h.18 – 23
15. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktis Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2014.h.395 – 397

Anda mungkin juga menyukai