1 Anatomi
dipisahkan menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh suatu septum nasi dibagian
tengahnya. Tiap kavum nasi memiliki empat dinding yaitu dinding lateral, medial,
anterior dan superior. Dinding medial adalah septum nasi itu sendiri yang terdiri
dari bagian tulang dan bagian tulang rawan, dilapisi oleh mukosa hidung pada
bagian luarnya2. Septum diperdarahi oleh gabungan dua arteri mayor yaitu arteri
a. Arteri fasialis
Arteri subseptal berasal dari anastomosis arteri labialis kiri dan kanan, mendarahi
b. Arteri maksilaris
16 cabang. Kelompok arteri keempat adalah yang terlibat dalam epistaksis, salah
satu cabangnya yaitu arteri palatina yang mendarahi palatum mole. Cabang
foramen sfenopalatina dan terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang akan
memberikan tiga cabang dan mendarahi konka serta meatus media dan inferior,
yang kedua yaitu arteri septal posterior memberikan cabang yang mendarahi
konka superior dan berjalan melalui septum nasi sampai beranastomosis dengan
a. Arteri etmoidalis
menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior. Arteri etmoidalis anterior bermula
dari foramen etmoidalis anterior mendarahi sinus etmoidalis anterior dan sinus
frontalis serta akan memberikan cabang yang akan mendarahi bagian superior
septum dan dinding lateral kavum nasi. Arteri etmoidalis posterior mendarahi
mengalami kekeringan serta trauma oleh jari. Pleksus ini terdiri dari arteri
penyakit, melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan
sehari-hari dan hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan
tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan
atau posterior2.
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri
sering pada epistaksis, terutama pada anak-anak, biasanya ringan dan dapat
2. Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
arteri sfenopalatina.
2.3 Epidemiologi
darurat sebanyak 1,7 per 100.000 populasi. Epistaksis memiliki distribusi usia
yang bersifat bimodal, dengan puncak pada usia kurang 10 tahun dan antara usia
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado mendapatkan jumlah kasus sebanyak 1048
kasus dari total kunjungan 12.981 (8,07%) dalam periode waktu dua tahun.
Dengan laki-laki lebih banyak dari perempuan dan usia puncak pada 25 – 44
tahun7.
2.4 Etiologi
faktor mayor yaitu faktor lokal dan sistemik, namun demikian faktor lingkungan
fisiologi dari mukosa dan pembuluh darah hidung. Trauma fasial termasuk
memencet hidung atau benda asing seperti insersi alat-alat medis dapat
menimbulkan epistaksis. Infeksi dan inflamasi seperti sinusitis, rinitis dan alergi
epistaksis3.
a. Hipertensi
tekanan darah sistolik ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang
mengalami epistaksis3.
b. Faktor kardiovaskular
c. Gangguan koagulasi
gangguan pada renal dan hepar juga berhubungan dengan disfungsi platelet atau
hemostatis yang mendasari seperti penyakit Von Willebrand atau defisiensi faktor
koagulasi lainnya 3.
yang canggih untuk pertukaran aliran udara laminar. Selama inspirasi udara
hidung, terutama di sepanjang konka inferior dan media kaya akan vaskularisasi.
Arteriol melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Kelenjar
turbinat. Lingkungan intranasal mudah diubah oleh sejumlah faktor intrinsik dan
melapisi bagian area Kiesselbach bersifat tipis dan rapuh dan pembuluh darah
penunjang. Kongesti pada pembuluh darah akibat berbagai hal misalnya karena
infeksi saluran napas atas atau keringnya mukosa akibat rendahnya kelembaban
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Patensi jalan napas pada pasien harus diawasi, tanda vital, nadi dan laju
napas pasien harus diperiksa secara berkala. Nilai berapa jumlah kehilangan darah
spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa11. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
b) Rinoskopi posterior
neoplasma.
Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidung pertama kali ataupun yang
dengan adanya riwayat trauma. Jika dicurigai kehilangan darah yang bermakna,
prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), dan waktu
adalah prosedur yang biasa dilakukan di bagian THT dan berfungsi sebagai alat
serat optik atau teleskop kaku. Nasoendoskopi memiliki peran yang jelas dalam
dapat menyebabkan epistaksis berulang, hal ini sering dijumpai pada remaja laki-
laki. Dalam hal ini pemeriksaan CT Scan kavum nasal merupakan sarana
2.7 Tatalaksana
untuk menilai berapa banyak kehilangan darah yang dialami pasien, secara
konstan tekanan darah dan nadi pasien harus dipantau. Pemberian cairan infus
bisa diberikan secepatnya. Cairan ringer laktat dapat diberikan sebagai pemberian
awal. Jika pasien mengalami kehilangan darah sekitar lebih dari 30% maka harus
hidung dengan cara menekan area septal dan menyumbat lubang hidung dengan
kassa atau kapas yang sudah diberikan dekongestan topikal. Penekanan pada
hidung bisa dilakukan selama 5 menit, kepala pasien harus ditinggikan kedepan
untuk mencegah pengumpulan darah di daerah posterior faring mencegah pasien
a. Kauterisasi
kauterisasi menggunakan perak nitrat. Agen lainnya yang dapat digunakan yaitu
asam kromat dan asam asetat. Perak nitrat lebih dipilih karena tidak ada bukti
b. Elektrokauterisasi
perdarahan yang lebih berat dan lokasi yang lebih posterior, tindakan ini
membutuhkan anestesi lokal. Selesai tindakan pasien dilakukan cuci hidung dan
diberikan salep antibiotik, menghindari aktivitas berat dan manipulasi jari pada
c. Tampon anterior
Hal ini dapat dilakukan apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis
(anterior nasal pack) dilakukan dengan pemasangan kassa atau kapas yang
diberikan vaselin atau salap antibiotik. Tampon dipertahankan selama 3-4 hari.
nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam mungkin pada kavum nasi.
Setiap lipatan harus ditekan sebelum lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah
cavum nasi tersisi dengan kasa, ujung kasa dapat ditempelkan diatas lubang
hidung dan di ganti berkala. Selain mengunakan kasa untuk anterior nasal
packing, dapat juga di gunakan spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon
dimasukan dengan hati-hati pada dasar kavum nasi karena akan mengembang
apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada ujung tampon
Tampon dapat dilepas setelah 3-5 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi
Prosedur ini menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band).
Masukkan kateter karet kecil melalui hidung ke dalam faring, kemudian ujungnya
dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua
ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung
sehingga tampon tertarik kedalam koana melalui nasofaring sehingga
Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari
nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang
hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang
terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2– 3 hari. Semua pasien dengan tampon
b. Tampon balon
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley
dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung
sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi
dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter folley ditarik kearah anterior sehingga
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal
sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
dibuka dan identifikasi pembuluh darah dan saraf. arteri karotis eksterna
Setelah arteri karotis eksterna berhasil diidentifikasi, dilakukan ligasi distal dari
arteri tiroidea superior. Suplai darah selanjutnya berasal dari anastomosis sistem
Ligasi arteri maksila interna memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi
daripada ligasi arteri karotis eksterna karena daerah intervensi yang lebih distal.
Sederhananya, arteri maksila interna diakses secara transantral melalui pendekatan
posterior sinus diangkat, dan periosteum posterior dibuka secara hati–hati. Arteri
faringeal) diangkat dan di klip. Dinding posterior sinus lalu disumbat dengan
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi
dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan
etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan
disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem
menghindari trauma14.
2.7.2.2 Angiografi dan Embolisasi
komplikasi yang dapat timbul adalah paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri
pada wajah dan trismus. Walau dalam kontroversi tetapi tindakan ini dapat
dilakukan bila terapi lainnya gagal dan ada kontraindikasi untuk operasi14.
2.8 Komplikasi
usaha penanggulangannya. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan
anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,
insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera
tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara
palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
posterior biasanya lebih berat, persisten dan dapat mengancam jiwa. Saat
1. Foshee J, lloreta AM, Nyquist GG, Rosen MR. Epistaxis. Dalam: Kacker A,
penyunting. Rhinology handbook. Philadelphia: Jaypee Brothers Med Pub;
2016.h.109 – 123
2. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2012.h.131 – 135
3. Solo-Galindo GA, González JLT. Epistaxis diagnosis and treatment update: a
review. Ann Otolaryngol Rhinol 2017;4:1176
4. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: diagnosis and treatment. J
Oral Maxillofac Surg 2006;64:511 – 518
5. Thiagarajan B. Epistaxis. India: Otolaryngology online; [diakses 29/04 2018];
Diunduh dari: http://www.otolaryngology.wdfiles.com/local--
files/rhinology/nasal_bleed.pdf
6. Kasperek ZA, Pollock GF. Epistaxis: an overview. Emerg Med Clin N Am
2013;31:443 – 454
7. Limen MP, Palandeng O, Tumbel R. Epistaksis di poliklinik THT-KL BLU
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2010-Desember 2012.
Jurnal e-Biomedik (eBM) 2013;1:478 – 483
8. Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Am Fam Physic 2005;71:305
– 308
9. Santos PM, Lapore ML. Epistaxis. Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head and
Neck Surgery Otolaringology. Vol 2. 3rd ed. Philadelphia: JB Lippincot;
2001.h.301 – 302
10. Bertrand B, Eloy P, Rombaux P, Lamarque C, Watelet JB, Coller S.
Guidlines to the management of epistaxis. B-ENT 2005;1:27 – 43
11. Linda D. Managing epistaxis. J of Am Academy Physic Assist 2014;27:35 –
39
12. Schlosser RJ. Epistaxis. New Eng J Med 2009;360:784 – 789
13. Lubis B, Saragih RA. Tatalaksana epistaksis berulang pada anak. Sari Pediatri
2007;9:75 – 79
14. Punagi AQ. Epistaksis: diagnosis dan penatalaksanaan terkini. Dalam: Zakiah
AM, Perkasa MF, penyunting. Makassar: Digi Pustaka; 2017.h.18 – 23
15. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktis Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2014.h.395 – 397