Anda di halaman 1dari 18

GAMBARAN KADAR ASAM URAT PASA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2

DI PUSKESMAS PANDAK I BANTUL


YOGYAKARTA

USULAN PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan


Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

Disusun oleh:

CIKA MANNIMORA
NPM: 3210093

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2016
A.DEFINISI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
Takikardi supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150
kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada TSV mencakup komponen sistem
konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan TSV mempunyai
kompleks QRS normal. Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan
gagal jantung (Aslinar, 2010).

B.ELEKTROFISIOLOGI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan


pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan pembentukan serta
penghantaran rangsang.

1.Gangguan pembentukan rangsang

Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang terbentuk
secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali menimbulkan gangguan
irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm
(irama pengganti).

a.Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara aktif dan
fenomena reentry
b.Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau
belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga bagian jantung
yang belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara otomatis untuk
mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu jantung berkontraksi.
c.Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung yang
melebihi keadaan normal.
d.Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade unidirectional
(blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana rangsang dari arah
lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade
tadi setelah masa refrakternya dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang
baru secara ektopik. Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau
tidak teratur (pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan
takikardi ektopik atau fibrilasi.

2.Gangguan konduksi

Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran (konduksi)
aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan tidak adanya
aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya menerima rangsang
untuk dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem
hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-
cabang jaras kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.

3.Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan

Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembentukan


rangsang bersama gangguan hantaran rangsang.

C.KLASIFIKASI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

Terdapat 3 jenis TSV yang sering ditemukan pada pasien, yaitu:

1.Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)

Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Pada
takikardi atrium primer, tampak adanya gelombang “p” yang agak berbeda dengan
gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR. Pada
pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal (jaras
tambahan).

2.Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)

Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic,


konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction) sedangkan
konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan yang
tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan
gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis
yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras tambahan sedangkan konduksi
retrograd terjadi pada jaras his-purkinye. Kelainan pada EKG yang tampak adalah
takikardi dengan kompleks QRS yang lebar dengan gelombang p yang terbalik dan
timbul pada jarak yang jauh setelah kompleks QRS.

3.Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT)

Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini merupakan
mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan anak. Sirkuit
tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi antegrad terjadi
pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi pada sisi cepat (fast
limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan
pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan
gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau
kadang-kadang tidak tampak karena gelombang p tersebut terbenam di dalam
kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi
retrograd terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau
antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks
QRS sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh
setelah komplek QRS.
D.PENYEBAB TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

1.Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik ini
biasanya terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.

2.Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi
hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom
dengan interval PR yang pendek daninterval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh
hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.

3.Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-TGA)


F.TANDA DAN GEJALA TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

1. Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi;
bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis,
berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan
pupil.

2.Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina,
gelisah

3.Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas


tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan
seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik
pulmonal; hemoptisis.

4.Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis


siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

G.PATOFISIOLOGI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme


terjadinya takikardi supraventrikular yaitu Otomatisasi (automaticity) dan Reentry. Irama
ektopik yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya sel yang mengalami
percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V junction,
bundel HIS, dan ventrikel. Struktur lain yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi
adalah vena pulmonalis dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis adalah sinus
takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia
berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan gangguan metabolik
seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis. Ini adalah mekanisme yang
terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah Adanya dua jalur konduksi
yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal hingga membentuk
suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah.
Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak mengalami blok
memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang mengalami blok searah
untuk kemudian menimbulkan aliran listrik secara retrograd secara cepat pada jalur
konduksi tersebut.

H.PENATALAKSANAAN

1.Penatalaksanaan segera

a.Pemberian adenosin. Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat


kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung
sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan
cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel
endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga
akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang
minimal terhadap kontraktilitas jantung.

Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena
dapat menghilangkan hampir semua TSV. Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90%
kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai
dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250
µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien
diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.

Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan terjadinya
A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan
konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti
beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma.

b.Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja
memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat
pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading
dose diberikan.

c.Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan TSV pada anak.
Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera TSV dan sebaiknya dihindari
pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi
pada jaras tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif.
Penelitian oleh Wren dkk tahun 1990, pada 29 bayi dengan TSV, pengobatan efektif
dengan digoksin. Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh
inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus.

d.Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif atau
kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct
current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon
yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan
puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu
terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan
DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel.
Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak
sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan
invasif.

e.Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat digitalis secara
intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½ dari dosis
digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut
berselang 8 jam.

f.Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa digunakan,
dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat
ke irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan
mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-
synephrine) sama halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek
vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini
tidak direkomendasikan pada bayi dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload
sehingga merugikan pada bayi dengan gagal jantung. Dosis phenylephrin 10 mg
ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena diberikan secara drip dengan
pengawasan doketr terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-
170 mmHg.

g.Price dkk pada tahun 2002, menggunakan pengobatan dengan flecainide dan sotalol
untuk TSV yang refrakter pada anak yang berusia kurang dari 1 tahun. Flecainide dan
sotalol merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol TSV yang
refrakter.

h.Penelitian oleh Etheridge dkk tahun 1999, penggunaan beta bloker efektif pada 55%
pasien. Selain itu juga penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien
dimana di antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi
memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan terapi pada
beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua pasien yang diterapi dengan
amiodarone, harus diperiksa tes fungsi hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol
dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam memperlambat fokus atrium pada
takikardi atrial ektopik.

2.Penanganan Jangka Panjang


Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang TSV. Di
antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV, kurang lebih sepertiganya akan
membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial
automatic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan
kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.

Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda
yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang
jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan
simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron,
terutama untuk tahun pertama kehidupan.

Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka
panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid,
quinidin, flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone.

Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun, radiofrequency
ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang menunjukkan takikardi pada
kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan
umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi
ablasi dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV refrakter terhadap obat anti aritmia
atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun
sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam
kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.

I.PEMERIKSAAN PENUNJANG TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

1.EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan


tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
2.Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan
dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3.Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan dengan
disfungsi ventrikel atau katup.
4.Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang
dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan
pompa.
5.Tes stres latihan : dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan
disritmia.
6.Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
mnenyebabkan disritmia.
7.Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau
dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8.Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9.Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut contoh
endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10.GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia.

J.PENGKAJIAN

1.Pengkajian primer :

a.Airway
• Apakah ada peningkatan sekret ?
• Adakah suara nafas : krekels ?
b.Breathing
• Adakah distress pernafasan ?
• Adakah hipoksemia berat ?
• Adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak nafas ?
• Apakah ada bunyi whezing ?
c.Circulation
• Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
• Apakah ada takikardi ?
• Apakah ada takipnoe ?
• Apakah haluaran urin menurun ?
• Apakah terjadi penurunan TD ?
• Bagaimana kapilery refill ?
• Apakah ada sianosis ?

2.Pengkajian sekunder

a.Riwayat penyakit
1)Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
2)Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung,
hipertensi
3)Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya kemungkinan untuk
terjadinya intoksikasi
4)Kondisi psikososial
b.Pengkajian fisik
1)Aktivitas : kelelahan umum
2)Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur;
defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna
dan kelembaban berubah misal pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin
menruun bila curah jantung menurun berat.
3)Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,marah,
gelisah, menangis.
4)Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual
muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit
5)Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
6)Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak
dengan obat antiangina, gelisah
7)Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin
ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru)
atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
8)Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema
(trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

K.DIAGNOSA DAN INTERVENSI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

1.Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut/irama jantung,


perubahan sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan kontraktilitas miokard.
Tujuan: Penuruanan curah jantung teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:

 Pasien tidak mengeluh pusing


 Pasien tidak mengeluh sesak
 EKG normal
 Kulit elastis BB normal
 C/axilaSuhu: 36-37
 Pernapasan 12-21x/mnt
 Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
 Nadi 60-100x/mnt

Intervensi:

1)Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.


R/mengetahui keadaan pasien
2)Monitor bunyi napas, bunyi jantung
R/mengetahui perubaha napas /bunyi jantung
3)Monitor edema
R/mengetahui keadaan pasien
4)Batasi garam sesuai program
R/menghindari penimbunan cairan
5)Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
6)Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
7)Kolaborasi/lanjutkan program EKG
R/mengetahui kelainan jantung
8)Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
9)Kolaborasi/lanjutkan terapi obat
R/mempercepat proses penyembuhan

2.Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri terhambat.
Tujuan: Perpusi jaringan serebral teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:

 Pasien tidak mengeluh pusing


 Pasien tidak mengeluh sesak napas
 Pernapasan 12-21x/mnt
 Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
 Nadi 60-100x/mnt
 CRT: <Nadi 60-100x/mnt

Intervensi:

1)Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi R/mengetahui
kondisi pasien

2)Monitor derajat dan kualitas nyeri (PQRST)?

 R/mengetahui rasa
 Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
 Pernapasan 12-21x/mnt
 Pasien tidak mengeluh sesak
 Pasien tidak mengeluh nyeri
 Tidak ada buyi napas tambahan

Intervensi:

1)Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi


R/mengetahui keadaan pasien
2)Kaji fungsi pernapasan: frekuensi, bunyi, irama, jenis R/mengetahui pola napas
pasien

3)Beri posisi semi fowler R/memenuhi kebutuhan oksigen

4)Suction bila perlu R/membersihkan jalan napas

5)Ajarkan teknik batuk efektif R/mengeluarkan sekret yang tertahan

6)Anjurkan minum air hangat R/mengurangi sekret

7)Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen R/mencukupi kebutuhan oksigen

8)Kolaborasi/lanjutkan pemberian mukolitik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi


R/mengurangi sekret

3.Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik. Tujuan: Nyeri akut teratasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:

 Nadi 60-100x/mnt
 Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
 Pernapasan 12-21x/mnt
 Pasien tidak mengeluh sesak

Intervensi:

1)Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi


R/mengetahui kondisi pasien

2)Monitor capillary refill time R/mengetahui status keadaan pasien

3)Monitor kemampuan aktivitas pasien R/mengetahui kemampuan pasien

4)Anjurkan untuk cukup istirahat R/mempercepat pemulihan kondisi

5)Beri posisi semi fowler R/memenuhi kebutuhan oksigen

6)Bantu aktivitas pasien secara bertahap R/mengurangi beban kerja pasien

7)Cegah fleksi tungkai R/menghindari penurunan staus kesadaran pasien


8)Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien R/mencukupi kebutuhan
pasien

9)Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet R/mempercepat pemulihan kondisi

10)Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen R/mencukupi kebutuhan oksigen

11)Kolaborasi/lanjutkan terapi transfusi R/mempercepat pemulihan kondisi pasien

12)Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama, dosis, waktu, cara, indikasi


R/mempercepat proses penyembuhan

4.Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan napas, sekresi di
bronkus, eksudat di alveoli, sekresi yang tertahan, benda asing di jalan napas. Tujuan:
Bersihan jalan napas tidak efektif teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24 jam dengan kriteria hasil:

 Nadi 60-100x/mnt
 Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
 Pernapasan 12-21x/mnt
 Pasien tidak mengeluh sesak napas
 Pasien tidak mengeluh pusing
 Bisa menyebutkan pencegahan

Intervensi:

1)Kontrak waktu, tempat, dan topik dengan pasien R/menetapkan waktu, tempat, dan
topik untuk pendidikan kesehatan

2)Berikan pendidikan kesehatan R/meningkatkan pengetahuan pasien

3)Evaluasi pengetahuan pasien R/mengetahui keberhasilan pendidikan kesehatan

4)Anjurkan kepada klien untuk melakukan apa yang telah disampaikan dalam
pendidikan kesehatan R/mengingatkan kembali pada pasien

5.Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan otot
pernapasan, defornitas dinding dada. Tujuan: pola napas tidak efektif teratasi setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
 Bisa menyebutkan perawatan
 Bisa menyebutkan tanda dan gejala
 Bisa menyebutkan penyebab
 Pasien bisa menjelaskan pengertian nyeri yang dirasakan

1)Ajarkan teknik distraksi/relaksasi/napas dalam R/mengurangi rasa nyeri

2)Beri posisi nyaman R/untuk mengurangi rasa nyeri

3)Beri posisi semifowler R/memenuhi kebutuhan oksigen

4)Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien R/memenuhi kebutuhan


pasien

5)Anjurkan untuk cukup istirahat R/mempercepat proses penyembuhan

6)Kolaborasi/lanjutkan pemberian analgetik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi


R/mengurangi rasa nyeri

6.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakkeimbangan suplai dan kebutuhan


oksigen. Tujuan: Intoleransi aktivitas teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:

 Hasil laboratorium darah normal(Leukosit, Hb)

Intervensi:

1)Monitor tanda-tanda peradangan R/untuk melihat tanda-tanda peradangan

2)Monitor pemeriksaan Laboratorium darah R/untuk melihat kandungan darah

3)Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan R/untuk menghindari inos
4)Anjurkan untuk bed rest R/mempercepat pemulihan kondisi

5)Batasi pengunjung R/untuk mencegah inos

6)Rawat luka setiap hari dwengan teknik steril R/mencegah infeksi

7)Beri nutrisi tinggi zat besi, vitamin C R/untuk membantu proses penyembuhan luka

8)Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat antibiotik ; nama, dosis, waktu, cara


R/mempercepat penyembuhan
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner& Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2004.

Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan


pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta :
EGC;2005

Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI ; 2006

http://www.mantrinews.blogspot.com/2012/02/takikardi-supraventrikular.html

tanggal 13-12-2014 jam 20.20

Anda mungkin juga menyukai