Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN
Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan
nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan
dengan hal tersebut pentingnya pengelolaan pajak tersebut menjadi prioritas
bagi pemerintah. Ada berbagai jenis pajak yang dikenakan kepada masyarakat,
namun dari beberapa diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan merupakan jenis-
jenis pajak sangat potensil dan strategis sebagai sumber penghasilan Negara
dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan
merupakan salah satu faktor pemasukan bagi Negara yang cukup potensil dan
kontribusi terhadap pendapatan negara jika dibandingkan dengan sektor pajak
lainnya sangat besar. Strategisnya Pajak Bumi dan Bangunan tersebut tidak
lain karena objeknya meliputi seluruh bumi dan bangunan yang berada dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Penyediaan kebutuhan
seperti jalan, taman, sarana pelayanan umum lainnya memerlukan biaya yang
dipungut dari warga negara/ masyarakat yang memanfaatkan dalam bentuk
pajak. Pajak mempunyai fungsi antara lain untuk:1. Penerimaan negara dalam
rangka membiayai pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah2. Pemerataan
pendapatan masyarakat;3. Stabilitas ekonomi (misalnya pengendalian inflasi)
dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalah bumi
dan/atau bangunan, sehingga hal ini tidak jauh berbeda dengan Ipeda. Yang
dimaksud dengan bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah, perairan, pendalaman serta laut
wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan-perairan.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Pengertian dan Dasar Hukum dari Pajak Bumi dan Bangunan
2. Apakah Istilah-Istilah Penting yang ada dalam Undang-Undang PBB?
3. Apa sajakah Objek Pajak Bumi dan Bangunan?
4. Apakah Subjek Pajak Bumi dan Bangunan?
5. Berapakah Tarif Dasar Pajak Bumi dan Bangunan?
6. Bagaimanakah Cara Menghitung Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan?
7. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
8. Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan
9. Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
10. Sengketa Pajak Bumi dan Bangunan
11. Apa saja sanksi PBB?

1.3 TUJUAN
Untuk mencapai rumusan masalah yang ada di atas

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Dasar Hukum PBB

Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada pemerintah yang diatur sesuai
UUD 45 tanpa mendapatkan kontribusi langsung atau imbalan dan digunakan
untuk membayar keperluan umum.

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman ( termasuk rawa – rawa,
tambak, perairan ) serta laut wilayah Republik Indonesia.

Bangunan adalah kontruksi tehnik yang ditanam atau dilekatkan secara


tetap pada tanah atau perairan.

Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa yang


Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan.

a) Jalan tol.
b) Kolam renang.
c) Pagar mewah.
d) Tempat olahraga.
e) Galangan kapal, dermaga.
f) Taman mewah.
g) Tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
Jadi , Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas
tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak
atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak
dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan
berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri
keuangan.

3
Dasar Hukum PBB

a. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU


No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
b. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak
Bumi dan Bangunan.
c. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan.
d. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau
Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak
Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan.
e. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara
Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai
Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
f. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-
43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
TidakKena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun
Pajak 2004.
g. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang
Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan
Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.
2.2 Istilah Penting dalam Undang – Undang PBB
a. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
b. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan.
c. Nilai Jual Obyek Pajak ( NJOP ) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui

4
perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti.
d. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ( SPOP ) adalah surat yang digunakan
oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan
undang-undang pajak bumi dan bangunan.
e. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang
kepada wajib pajak.
2.3 Objek Pajak Bumi Dan Bangunan
a. Yang menjadi Objek Pajak adalah Bumi dan Bangunan.
b. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan
digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan
pajak yang terutang.
c. Pengecualian Objek Pajak. Objek pajak yang dikecualikan adalah :
1. Digunakan semata – mata untuk melayani kepentingan umum
dan tidak untuk mencari keuntungan, misalnya : membangun
masjid, rumah sakit, pesantren, penti asuhan,museum,dll.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau
sejenisnya.
3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa, dan
tanah Negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik.
5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menteri keuangan.
d. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya di atur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
e. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ( NJOPTKP )
ditetapkan untuk masing – masing kabupaten / kota dengan besar
setinggi – tingginya Rp 12.000.000,00 ( dua belas juta rupiah ) untuk

5
setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa
objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak
yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan
secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.

CONTOH ;
a. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai
Rp 4000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah
tersebut adalah Rp 6.000.000,00, karena NJOP berada dibawah batas
NJOPTKP ( RP 6.000.000,00 ), maka objek pajak tersebut tidak
dikenakan pajak bumi dan bangunan.
b. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dan
bangunan di desa A dan B dengan nilai sebagai berikut :
Desa A :
NJOP Bumi = Rp 13.000.000,00
NJOP Bangunan = Rp 9.000.000,00
Desa B :
NJOP Bumi = Rp 8.000.000,00
NJOP Bangunan = Rp 10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk daerah tersebut adalah Rp 10.000.000,00
PENYELESAIAN :
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua tersebut yang
mempunyai nilai paling besar, yaitu : desa A. Maka, NJOP untuk
perhitungan PBB adalah :
NJOP Bumi = Rp 13.000.000,00
NJOP Bangunan = Rp 9.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp 22.000.000,00
NJOPTKP = Rp 10.000.000,00
NJOP untuk penghitungan PBB = Rp 12.000.000,00

Kemudian untuk desa B


NJOP untuk penghitungan PBB
NJOP Bumi = Rp 8.000.000,00
NJOP Bangunan = Rp10.000.000,00

6
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp 18.000.00,00
NJOPTK = 0,00
NJOP untuk penghitungan PBB = Rp 18.000.000,00

2.4 Subjek Pajak PBB


Subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan
atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Sementara wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas
bangunan
2.5 Tarif Dasar Pengenaan PBB
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 ) Tarif
pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh
persen). Adapun dasar pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak ( NJOP ).
2. Besarnya nilai jual objek pajak ( NJOP) ditetapkan setiap 3 tahun oleh
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri
Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat gubernur/bupati/walikota
( pemerintah daerah ) setempat.
3. Dasar penghitungan Pajak yang ditetapkan serendah – rendahnya 20%
dan setinggi – tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak ( NJOP ).
4. Besarnya presentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi social.

Besarnya presentase NJKP adalah sebagai berikut :

a. Sebesar 40% dari NJOP untuk ; objek pajak perkebunan, objek pajak
kehutanan dan objek pajak lainnya( yang wajib pajaknya perorangan
dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari 1 milyar
rupiah ).
b. Sebesar 20% dari NJOP untuk : objek pajak pertambangan, dan objek
pajak lainnya yang NJOp nya < 1 milyar .

7
Misalnya :
 Nilai jual suatu Objek pajak sebesar Rp 2.000.000,00.
Presentase misalnya 20%, maka besarnya = 20% x Rp
2000.000,00 = Rp 400.000,00
 Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 2.000.000,00.
Presentase misalnya 40%, maka besarnya = 40% x Rp
2.000.000,00 = Rp 800.000,00
2.6 Cara Menghitung Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan

PBB = Tarif Pajak x NJKP ( NJOP – NJOPTKP


)

Contoh:
1. Wajib pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP –
nya Rp 20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp
12.000.000,00, maka besarnya pajak yang terutang….?
Jawab : 0.5% x 20% x ( NJOP – NJOPTKP )
: 0,5% x 0,2% ( 20.000.000,00 – 12.000.000,00 )
: Rp 8000,00
2. Tuan Ponco seorang dosen perpajakan Unibraw pada tahun 2010 hanya
memilikisebuah objek pajak dikawasan soekarno – Hatta , malang dan
diketahu NJOP bumi tersebut sebesar Rp 10.000.000,00. Berapakah besar
PBB terhutang pada tahun 2010 milik Tuan Ponco ?
Jawab : karena besarnya NJOP kurang dari Rp 12.000.000,00, maka objek
pajak tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan.

2.7 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak


Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)

1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya


dengan mengisi SPOP.
2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta
ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 hari setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

8
3. Dirjen Pajak akan memberikan SPPT berdasarkan SPOP yang
diterimanya.
4. Dirjen Pajak akan mengeluarkan SKP dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertuis
tidak disampaikan ditentukan dalam surat teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak
yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
5. Jumah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud no.4 huruf
a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25%
dihitung dari pokok pajak.
6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam
no.4 huruf b adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang
dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25%
dari selisih pajak yang terutang.
SPOP hanya diberikan dalam hal :
a. Objek pajak belum terdaftar / belum lengkap.
b. Objek pajak telah terdaftar tetapi data belum lengkap.
c. NJOP berubah.
d. Objek pajak dimutasikan / laporan dari instansi yang berkaitan
langsung dengan objek pajak

2.8 Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan


A. Cara Pemungutan Pajak
Pemungutan PBB tidak dapat diborongkan. Yang dimaksud tidak
dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan
pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun dimungkinkan
adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak,
antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat – surat
kepada wajib pajak, atau penghimpunan data objek dan subjek pajak.
Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah

9
kegiatan penghitungan besarnya pajakyang terutang, pengawasan
penyetoran pajak, dan penagihan pajak.
B. Penetapan Pajak
Pada dasarnya sistem pemungutan pajak yang diterapkan dalam
PBB adalah penetapan oleh kepala daerah (official assessment). Hal ini
dapat dipahami karena tentunya akan sangat sulit apabila menerapkan
sistem self assessment, dimana wajib pajak diminta untuk menghtung
sendiri bearnya pajak terutang, mengingat tidak mudah untuk menetukan
NJOP bumi dan bangunanyang menjadi dasar pengenaan pajak. Penetapan
pajak oleh kepala daerah diwujudkan dalam bentuk penerbitan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Daerah debagai
sarana untuk menagih besarnya pajak terutang. Berdasarkan data objek
dan subjek pajak yang terutang dalam SPOP yang disampaikan oleh
subjek pajak, kepala daerah menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT). SPPT adalah surat yang digunakan untuk
memberitahukan besarnya PBB Pedesaan dan Perkotaan yang terutang
kepada wajib pajak.
Selain menerbitkan SPPT, dalam keadaan tertentu bupati atau walikota
dapat mengeluarkan SKPD dalam hal – hal sebagai berikut :
a. SPOP tidak disampaikan dan setelah wajib pajak ditegur secara
tertulis oelh kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat
Teguran atau.
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang
dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Bentuk, isi, tata cara penerbitan dan penyampaian SPPT dan SKPD
ditetapkan oleh bupati atau walikota.
3.Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)
Bupati atau walikota dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak
Daerah apabila PBB dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar oleh
wajib pajak dan dikenakan sanksi administratif berupa bunga dikenakan
kepada wajib pajak yang tidak atau kurang bayar pajak yang terutang.
Dengan demikian, pajak terutang dalam SPPT atau SKPD yang tidak atau

10
kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga dua persen sebulan dan ditagih melalui STPD.
STPD harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanngal
diterbitkan. Bentuk, isi, tata cara penerbitan dan penyampaian STPD
ditetapkan oleh bupati/ walikota.
2.9 Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
1. Pembayaran Pajak
PBB Perdesaan dan Perkotaan dilunasi dalam jangka waktu yang telah
ditentukan dalam peraturan daerah, misalnya paling lama enam bulan sejak
tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Apabila kepada wajib pajak
diterbitkan STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, pajak dimaksut harus dilunasi paling lama satu
bulan sejak tanggal diterbitkan.
Pembayaran PBB Pedesaan dan Perkotaan yang terutang dilakukan ke
kas daerah , bank, atau tempat lain yang ditunjuk maka hasil penerimaan
pajak harus disetor ke kasdaerah paling lambat 1 x 24 jam atau dalam
waktu yang ditentukan oleh bupati atau walikota. Apabila tanggal jatuh
tempo pembayaran pada hari libur maka pembayaran dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
Pembayaan pajak dilakukan daengan menggunakan Surat Setoran
pajak Daerah (SSPD). Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau
lunas. Kepada wajib pajak yang melakukan pwmbayaran pajak diberikan
tanda bukti pembayaran pajak dan dicatat dalam buku penerimaan. Hal ini
harus dilakukan oleh petugas tempat pembayaran pajak untuk tertib
administrasi dan pengawasan penerimaan pajak. Dengan demikian,
pembayaran pajak akan mudah terpantau oelh petugas Dinas Pendapatan
Daerah atau petugas lain yang ditunjuk. Bentuk, isi, ukuran buu
penerimaaan, dan tanda bukti pembayaran pajak ditetapkan dengan
keputusan bupati/ walikota.
Dalam keadaan tertentu bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk
dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk mengangsur
pembayaran PBB Perdesaan atau Perkotaan dalam kurun waktu tertentu

11
setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Pemberian persetujuan
untuk mengangsur pembayaran pajak diberikan atas persetujuan wajib
paja. Angsuran pembayaran pajak yang terutang harus harus dilakukan
secara teratur dan berturut – turut dengan dikenakan bunga sebesar dua
persen sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar. Selain
memberikan persetujuan mengangsur pembayaran pajak, bupati/walikota
atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan persetujuan kepada wajib
pajak untuk menunda pembayaran pajak terutang dalam kurun waktu
tartentu setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Pemberian
persetujuan untuk menunda pembayaran pajak diberikan atas permohonan
wajib pajak, dengan dikenakan bunga sebesar dua persen sebulan dari
jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar.
Persyaratan untuk dapat mengangsur atau menunda pembayaran pajak
serta tata cara pembayaran angsuran ditetapkan dengan keputusan
bupati/walikota.
2. Penagihan Pajak
Apabila pajak terutang tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran
maka bupati / walikota atau pejabat yang ditunjuk melakukan tindakan
penagihan pajak. Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak terutang SPPT
atau SkPD, Surat keputusan Pembetulan, surat ke[utusan keberatan, dan
putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah. Penagihan pajak dilakukan dengan terlebih dahulu
memberikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis
sebagai awal tindakan penagihan pajak. Surat teguran atau surat peringatan
dikeluarkan tujuh hari sejak surat teguran atau surat peringatan atau surat
lain yang sejenis diterimanya, wajib pajak harus melunasi pajak terutang.
Apabila jumlah pajak terutang yang masih harus dibayar tidak dilunasi
dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran atau surat lain
yang sejenis akan ditagih dengan Surat Paksa. Tindakan penagihan pajak
dengan Surat Paksa dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan,
pelelangan, pencegahan, dan penyanderaan apabila wajib pajak tetap tidak
mau melunasi utang pajaknya sebagaimana mestinya. Apabila terhadap
wajib pajak dilakukan penyitaan, dan pelelangan berang milik wajib pajak

12
yang disita maka kepada pemerintah kabupaten/ kota diberi hak
mendahulu untuk tagohan pajak atau barang – barang milik wajib pajak
atau penanggung pajak. Adanya ketentuan tentang hak mendahulu ini
untuk memberikan jaminan kepada daerah pelunasan utang pajak daerah
apabila pada saat bersamaan wajib pajak memiliki utang pajak dan juga
utang/kesajiban perdata kepada kreditur lainnya, sementara wajib pajak
tidak mampu melunasi semua utangnya sehingga dinyatakan pailit.
Selainitu dalam kondisi tertentu, bupati/walikota dapat melakukan
penaghan pajak tanpa menunggu batas waktu pembayaran PBB
Pedesaandan Perkotaan yang ditetapkan oelh bupati/walikota berakhir. Hal
ini dikenal sebagai penagihan pajak seketika dan sekaligus. Tindakan
penagihan pajak dengan surat paksa dan penagihan pajak seketika dan
sekaligus dalam pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaaan dilakukan
sesuai dengan pembahasan pada Bab 2 ketentuan umum pajak daerah.
2.10 Sengketa Pajak Bumi dan Bangunan
Keberatan dan Banding
 Keberatan
Apabila wajib pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat
ketetapan pajak (SPPT atau SKPD) tidak sebagaimana mestinya, wajib
pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada bupati/walikota yang
menerbitkan surat ketetapan pajak tersebut. Keberatan yang diajukan
adalah terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak dengan
membuat perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut
perhitungan wajib pajak.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam
jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal SPPT atau SKPD.
Keberatan dapat diajukan apabila wajib pajak telah membaar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak.
Bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk harus memberikan
keputusan atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak dalam jangka
waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan tersebut
diterima. Keputusan bupati/walikota atas keberatan tersebut dapat

13
berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah
besarnya pajak terutang. Apabila dalam jangka waktu lebih dari 12
bulan tersebut telah lewat dan belum ada surat keputusan dari
bupati/walikota terkait, maka dapat disimpulkan bahwa keberatan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Apabila pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak (bila ada) akan dikembalikan kepada
wajib pajak disertai dengan imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk
jangka waktu paling lama 24 bulan.
Lain halnya jika keberatan yang diajukan ditolak atau dikabulkan
sebagian, wajib pajak akan dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan
dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan. Namun jika wajib pajak tersebut mengajukan banding maka
denda administratif berupa denda sebesar 50% tidak dikenakan.
 Banding
Jika wajib pajak masih tidak puas dengan hasil dari keberatan yang
telah diajukan dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu tiga bulan sejak
keputusan diterima , dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan
tersebut.
Putusan banding dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau menambah besarnya pajak terutang. Jika permohonan
banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
sebulan untuk paling lama 24 bulan. Namun jika permohonan banding
ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

14
2.11 Sanksi
Sanksi Administrasi
1. Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada
waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang
2. Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata
tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan
sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih
besarnya PBB yang terutang.

Sanksi Pidana

1. Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP


atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2. Barang siapa karena dengan sengaja:
o tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
o menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/ atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
o memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
o tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau
dokumen lainnya;
o tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan
yang diperlukan;

sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan


pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-
tingginya sebesar 5 (lima) kali

15
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak Negara yang dikenakan


terhadap bumi atau bangunan berdasarkan Undang – Undang nomor 12 tahun
1985 tentang pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang – Undang nomor 12 tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/ tanah atau bangunan.
Keadaan subjek ( siapa yang membayar ) tidak ikut menentukan besarnya
pajak.
Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai ha
katas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, menguasai, atau memiliki
dan memperoleh atas bangunan.
Objek pajak bumi daan bangunan adalah : tanah atau bangunan.
 Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
 Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan
Kewajiban objek pajak yaitu mendaftarkan objek pajak, mengisi SPOP
dengan jelas, benar dan lengkap, menyampaikan kembali SPOP yang telah
diisi ke kantor pelayanan PBB, melaporkan perubahan data objek pajak atau
wajib pajak ke Kantor Pelayanan PBB setempat apabila ada perubahan
dengan cara mengisi SPOP baru sebagai perbaikan.

3.2 SARAN

Penulis mengingatkan bahwa sebagai warga Negara Indonesia wajib


membayar pajak karena itu suatu kewajiban sebagai warga Negara yang cinta
dengan Negaranya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2016 ( edisi revisi ). Perpajakan. Yogyakarta : ANDI

17

Anda mungkin juga menyukai