Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor otak atau tumor intrakranial merupakan neoplasma atau proses

desak ruang (space occupying lession atau space taking lession) yang timbul di

dalam rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supratentorial maupun

infratentorial. 1,2

Di Amerika Serikat, berdasarkan data statistik dari Central Brain Tumor

Registry of United State angka kejadian tumor otak adalah 14,8 per 100.000

populasi per tahun, dimana wanita lebih banyak (15,1) dibandingkan dengan

pria (14,5). Sedangkan di negara-negara lainnya angka kejadian tumor otak

berkisar antara 7-13 per 100.000 populasi per tahun (Jepang 9 per 100.000

populasi per tahun, Swedia 4 per 100.000 per tahun). Di Indonesia dijumpai

frekuensi tumor otak sebanyak 200-220 kasus/tahun dimana 10% darinya adalah

lesi metastasis. Insidensi tumor otak primer bervariasi sehubungan dengan

kelompok umur penderita. Angka insidens ini mulai cenderung meningkat sejak

kelompok usia dekade pertama yaitu dari 2/100.000 populasi/tahun pada

kelompok umur 10 tahun menjadi 8/100.000 populasi/tahun pada kelompok usia

40 tahun; dan kemudian meningkat tajam menjadi 20/100.000 populasi/tahun

pada kelompok usia 70 tahun untuk selanjutnya menurun lagi. Insiden per tahun

tumor primer intra¬kranial adalah 7,8-12,5/100.000 penduduk, yakni dari

10.000 penduduk, setiap tahun terdapat kurang lehih satu penderita baru tumor

primer intrakranial. Tumor primer intrakranial terbanyak adalah glioma, yakni

sekitar 35-60%; meningioma sekitar 9-22%; hipofisoma 5-16%; neurilemoma 7-

1
9%. Data terdahulu dari bagian bedah saraf, tumor sekunder otak menempati 10-

15% dari pasien tumor otak, namun bagian terbesar pasien tumor metastatik

otak tidak ditangani bagian bedah saraf.1,3

Diagnosa tumor otak ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan

pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi.

Dengan pemeriksaan klinis kadang sulit menegakkan diagnosa tumor otak

apalagi membedakan yang benigna dan yang maligna, karena gejala klinis yang

ditemukan tergantung dari lokasi tumor, kecepatan pertumbuhan masa tumor

dan cepatnya timbul gejala tekanan tinggi intrakranial serta efek dari masa

tumor kejaringan otak yang dapat menyebabkan kompresi, infasi dan destruksi

dari jaringan otak. Walaupun demikian ada beberapa jenis tumor yang

mempunyai predileksi lokasi sehingga memberikan gejala yang spesifik dari

tumor otak. Dengan pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi hampir pasti

dapat dibedakan tumor benigna dan maligna.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Otak

Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar dan

terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang, yaitu cranium (tengkorak),

yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang

dewasa. Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih

100 triliun neuron atau dapat diibaratkan sejumlah bintang di langit. Masing-

masing neuron mempunyai 1000 sampai 10.000 korteks sinaps dengan sel saraf

lainnya, sehingga mungkin jumlah keseluruhan sinaps di dalam otak dapat

mencapai 100 triliun.1 Gambar penampang otak dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gambaran Penampang Otak1


Jaringan otak dillindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar

adalah kulit kepala, tulang tengkorak, meningens (selaput otak), dan likuor

serebrospinal. Meningens terdiri dari tiga lapisan, yaitu : Duramater (meningens

3
cranial terluar), arakhnoid (lapisan tengah antara duramater dan piamater), dan

piamater (lapisan selaput otak yang paling dalam). Di tempat-tempat tertentu

duramater membentuk sekat-sekat rongga cranium dan membaginya menjadi tiga

kompartemen. Tentorium merupakan sekat yang membagi rongga cranium menjadi

supratentorial dan infratentorial, memisahkan bagian posterior-inferior hemisfer

serebri dari serebelum.1

Korteks serebrum mempunyai pola individual (yang berbeda antara manusia

satu dan lainnya) yang ditandai dengan celah-celah yang disebut sulkus dan birai-

birai yang dikenal dengan nama girus. Dengan adanya sulkus di atas, serebrum dapat

dibagi menjadi beberapa lobus ; (1) Lobus frontalis di fosa anterior; pusat fungsi

perilaku, pengambilan keputusan, dan control emosi; (2) Lobus temporalis di fosa

media; pusat pendengaran, keseimbangan, dan emosi-memori; (3) Lobus oksipitalis

di belakang dan di atas tentorium; pusat penglihatan dan asosiasi; (4) Lobus

parietalis di antara ketiganya; pusat evaluasi sensorik umum dan rasa kecap.1

B. Definisi

Tumor otak atau tumor intrakranial merupakan neoplasma atau proses

desak ruang (space occupying lession atau space taking lession) yang timbul di

dalam rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supratentorial maupun

infratentorial. Di dalam hal ini mencakup tumor-tumor primer pada korteks,

meningens, vascular, kelenjar hipofise, epifisis, saraf otak, jaringan penyangga,

serta tumor metastasis dari bagian tubuh lainnya. Tumor otak dapat bersifat

maligna ataupun benigna. Tumor otak dapat menekan jaringan otak normal ke

daerah kranium: menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. Apabila sel-sel

4
tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri, disebut tumor otak primer dan bila

berasal dari organ –organ lain, disebut tumor otak metastase. 1,2

C. Etiologi dan Faktor Risiko Tumor Otak


Penyebab tumor otak hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,

walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang

perlu ditinjau sebagai penyebab tumor otak, sebagai berikut:4


1. Herediter

Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali

pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada

anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber

yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan

faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada

bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor herediter yang

kuat pada neoplasma.

2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)

Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan

yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi

ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh,

menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal

itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.

3. Radiasi

Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami

perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu

5
terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah

timbulnya suatu radiasi.

4. Virus

Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang

dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses

terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan

antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.

EBV, adenovirus tipe 12, papovavirus, dan retrovirus.

5. Substansi-substansi Karsinogenik

Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan.

Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti

methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang

dilakukan pada hewan.

D. Patogenesis Tumor Otak

Patogenesis tumor system saraf pusat, misalnya Glioma, pada dasarnya

melibatkan gen-gen yang menyebabkan inisiasi, diferensiasi, dan proliferasi sel-

sel tumor. Gen ini mengkode factor pertumbuhan dan reseptornya, protein

second messenger, yang mempengaruhi control siklus sel, apoptosis dan nekrosis,

factor transkripsi dan protein memediasi angiogenesis dan interaksi antara tumor

dan matriks ekstraseluler. Keterlibatan onkogen (overekspresi) dan inaktivasi

tumor suppressor genes berperan dalam pathogenesis pasien ini.5

6
Gambar 2.2 Deskripsi genetic molekuler pathogenesis kanker5

E. Klasifikasi Tumor Otak

Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan tampilan

sitologinya, dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakan berbagai variasi

modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi universal awal

dipelopori oleh Bailey dan Cushing berdasarkan histogenesis sel tumor dari sel

embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya pada berbagai tingkatan.

Korelasi klasifikasi ini dengan klinis penderita diperankan oleh faktor-faktor

seperti: lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang

dilakukan. Tumor-tumor yang diferensiasinya buruk dan struktur sel condong ke

tahap yang lebih primitif, tumbuh lebih cepat daripada tumor yang sel-selnya

lebih matang. 1

a. Glioma

Astrositoma

7
Astrositoma merupakan tumor susunan saraf pusat otak primer dengan

frekuensi kasus 17-30% dari semua glioma dan 11-13% dari seluruh tumor

otak.Tumor ini berasal dari sel astrosit yang merupakan bagian dari jaringan

penunjang otak.Sel ini dinamakan astrosit karena bentuknya yang menyerupai

bintang.

Elvidge dan kawan-kawan membagi astrositoma menjadi tipe-tipe:

piloid, gemistositik dan difusl; namun system gradai yang popular adalah

pembagian atas Grade I sampai IV (bukan berdasarkan tipe di atas). Kernohan

dan kawan-kawan menggabungkan Grade III dan IV dan menamakannya

menjadi astrositoma anaplastik atau glioblastoma (sesuai dengan derajat

anaplasianya). WHO membagi astrositoma atas subtype: fibriler, protoplasmic,

dan gemistositik, dan tipe-tipe pilositik, subependymal giant cell, astroblastoma,

anaplastik.

Astrositoma serebri dapat terjadi pada semua golongan umur dengan usia

kasus rata-rata berkisar antara 35-40 tahun. Astrositoma yang diferensiasinya

baik cenderung pada kelompok usia yang lebih muda; sedangkan yang

anaplastik lebih sering kelompok usia menengah. Predileksi jenis kelamin kasus

usia dewasa didominasi oleh laki-laki.


Durasi gejala astrositoma Grade I rata-rata: 21 bulan sedangkan Grade

II: 11 bulan. Walaupun sakit kepala dan muntah bukanlah merupakan keluhan

yang tersering, namun 72% astrositoma serebrum mempunyai keluhan ini,

dimana 11% diantaranya cenderung melibatkan nyeri sebelah saja (75% darinya

ipsilateral terhadap tumor). Muntah dijumpai pada kira-kira 31% kasus.Gejala

awal yang sering adalah kejang (40-75%), baik kejang umum maupun

fokal.Kejang ini merupakan akibat insufisiensi aliran darah yang sesaat

8
menimbulkan elektrik yang berlebihan.19% penderita menunjukkan gejala

paresis atau paralisa, 55% parese fasial dan 41% parese tungkai.
Gambaran histopatologi pada low grade astrocytoma adalah memiliki

gambaran sel multipolar dan multinuklear yang atipik.Sedangkan, gambaran CT-

Scan yang merupakan suatu revolusi dalam mendiagnosis astrositoma dengan

akurasi 100% pada low grade astrocytoma tergambar lesi yang hipodens dengan

sedikit atau bahkan tidak terdapat massa tumor.

Gambar 2.3 Gambaran Histopatologi Low Grade Astrocytoma

Gambar 2.4 Gambaran CT-Scan Low


Grade Astrocytoma

Gradasi Astrositoma :
a. Grade I (Astrositoma Pilositik)
Tumor ini tumbuh secara lambat dan sering berkista.Tumor ini sering

dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda.Tumor ini merupakan tumor glial

yang tersering pada anak, sekitar 10% melibatkan bagian serebral dan 85%

9
mengenai serebellum. Lokasi yang paling sering dijumpai, pada: nervus optikus,

kiasma optikum, hipotalamus, ganglia basalis, hemisfer serebri, serebellum, dan

batang otak. Gambaran histologinya: berupa sel-sel bipolar dengan serat

Rosenthal dan sel-sel multipolar yang tampak kehilangan teksturnya dengan

mikro kista dan granular bodies.


b. Grade II (Astrositoma Difus)
Karakteristik tumor ini adalah tumbuhnya lambat dan menginfiltrasi struktur

otak di dekatnya.Sekitar 35% tumor otak astrositik adalah jenis ini. Biasanya

mengenai orang-orang usia dewasa muda dan cenderung untuk menjadi ganas ke

arah astrositoma anaplastik da glioblastoma. Lokasi tumor ini bisa di mana saja,

namun paling sering di daerah serebelar.


Gambaran histopatologis tumor ini berupa fibrilasi yang berdiferensiasi baik

atau gemistositik neoplastik astrosit. Terdapat varian histologis: astrositoma

fibrilari, astrositoma gemistositik.


c. Grade III (Astrositoma Anaplastik) dan Grade IV (Glioblastoma

Multiforme)
Termasuk astrositoma maligna.Biasanya muncul secara sporadik tanpa

kecenderungan familial maupun keterlibatan faktor lingkungan.Akan tetapi,

keduanya dapat menjadi faktor penyulit pada beberapa kelainan genetic seperti

neurofibromatosis tipe 1 dan 2, syndrome Li-Fraumeni, dan syndrome

Turcot.Gambaran mikroskopis tumor ini; tampak adanya peningkatan selularitas,

nukleus atipik, dan aktifitas mitosis yang meningkat dibandingkan dengan

astrositoma difus (Grade II). Sedangkan pada glioblastoma multiforme, secara

mikroskopik akan tampak bersifat anaplastik, seluler glioma berdiferensiasi

buruk, dan juiga seringkali terlihat sel tumor astrosit pleomorfik dengan nukleus

atipik dan aktifitas mitosis yang tinggi.

10
Penanganan astrositoma ditujukan untuk menegakkan diagnose pasti dan

perbaikan prognosa, mengurangi-pemulihan gejala serta memperpanjang harapan

hidup. Radioterapi tampaknya cukup berperan bagi tumor-tumor ini, dimana

banyak peneliti yang mengemukakan adanya harapan hidup yang lebih panjang

pada penderita-penderita tumor yang pascabedahnya diberikan radiasi.


Tabel 2.1 “Five Year Survival” Astrositoma

Peneliti (+) Radioth/ (-) Radioth/

Bloom dkk 49% 36%

Leibel dkk 35% 23%

Levy & Elvige 36% 26%

Uihlein dkk 54% 65%

Gambar 2.5 Gambaran MRI T1 – Axial.Preoperatif dan postoperatif

b. Meningioma

11
Tumor jinak yang berasal dari selaput yang membungkus otak

(meningen), bisa menyebabkan berbagai gejala yang tergantung kepada lokasi

pertumbuhannya. Para ahli masih belum memastikan apa penyebab

meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui

bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma.Di antara

40% dan 80% dari meningioma berisi kromosom 22 yang abnormal pada lokus

gen neurofibromatosis 2 (NF2).


Tumor ini tumbuhnya lambat sehingga sering gejala klinisnya tidak

begitu menonjol.Bisa terjadi kelemahan atau mati rasa, kejang, gangguan

penciuman, penonjolan matadan gangguan penglihatan. Pada penderita lanjut

usia bisa menyebabkan hilang ingatan dan kesulitan dalam berfikir, mirip

dengan yang terjadi pada penyakit Alzheimer.

Gejala pada pasien meningioma dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor :

 Meningioma falx dan parasagittal : nyeri tungkai

 Meningioma Convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal,

perubahan status mental

 Meningioma Sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan

pandang, kebutaan, dan penglihatan ganda.

 Meningioma Olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.

 Meningioma fossa posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan

spasme otot-otot wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan menelan,

gangguan gaya berjalan,

 Meningioma suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah visus

 Spinal meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan

12
 Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata

 Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala, pusing

Terapi operatif radikal yang maksimal merupakan penanganan terpilih

untuk tumor ini, peranan radiasi untuk meningioma yang tidak berhasil diangkat

seluruhnya masih belum terlalu jelas, mengingat secara umum meningioma

merupakan tumor yang relatif radioresisten. Pada umumnya prognosa

meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang sempurna akan

memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa snrvivalnya

relatif lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima

tahun adalah 75%. Pada anak-anak lebih agresif, perubahan menjadi keganasan

lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar. Pada penyelidikan pengarang-

pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan mengalami keganasan dan

kekambuhannya tinggi.

Gambar 2.6 Gambaran CT-Scan


venogram – potongan koronal
Meningioma di Sinus Sagitalis
Superior

13
Skema penentuan derajat keganasan tumor yang umum digunakan adalah

menurut WHO yang membagi masing-masing tumor otak menjadi 4 derajat

berdasarkan data survival dan gambaran histopatologis. Sistem lain yang

digunakan untuk penentuan derajat adalah membagi tumor otak berdasarkan

tampakan morfologis: nuclear atipik, mitosis, proliferasi sel endotel, dan

nekrosis.

a. Derajat I tidak memiliki satupun tampakan morfologi

b. Derajat II mengandung nuclear atipik.

c. Derajat III mengandung nuclear atipik dan mitosis, dan

d. Derajat IV mengandung tiga atau empat tampakan morfologi.5

F. Keganasan Tumor Otak

Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosisnya

didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan

dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan otak secara klasik didasari

oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma,

dikelompokan atas kategori-kategori:1

1. Benigna (jinak) dimana morfologi tumor tersebut makroskopis

menunjukkan batas yang jelas, tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-

organ sekitarnya. Di samping itu, biasanya juga dijumpai adanya

pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi

setelah dilakukan pengangkatan total. Tampilan histologisnya menunjukkan

struktur sel yang regular, pertumbuhan lambat tanpa mitosis, densitas sel

yang rendah dengan diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang

tersusun teratur tanpa adanya formasi yang baru.

14
2. Maligna (ganas), ditandai oleh tampilan makroskopis yang infiltrative atau

ekspansi destruktif tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung

membentuk metastasis dan rekurensi pasca-pengangkatan total. Gambaran

histologis menunjukkan meningkatnya selularitas, pleomorfisme walaupun

susunan sel dan jaringannya masih baik, diferensiasi sel kurang begitu

jelas ,disporporsi rasio nukleus terhadap sitoplasma, multinukleus, formasi

sel-sel raksasa, tumbuh cepat dengan mitosis yang banyak, area nekrosis,

pertumbuhan patologis dan neoformasi terutama seperti bentuk-bentuk

fistula atau sinusoidal (pintas arteri-vena).


G. Manifestasi Klinis Tumor Otak

Perubahan pada parenkhim intrakranial baik difus maupun regional akan

menampilkan gejala dan tanda gangguan neurologis sehubungan dengan

gangguan pada nukleus spesifik tertentu atau serabut traktus pada tingkat

neurofisiologi dan neuroanatomi tertentu seperti gejala-gejala: kelumpuhan,

gangguan mental, gangguan endokrin, dan sebagainya. Persentasi klinis sering

kali dapat mengarahkan perkiraan kemungkinan lokasi tumor otak. Secara umum

persentasi klinis pada kebanyakan kasus tumor otak merupakan manifestasi dari

peninggian tekanan intrakranial; namun sebaliknya gejala neurologis yang

bersifat progresif, walaupun tidak jelas ada tanda-tanda peninggian tekanan

intrakranial, perlu dicurigai adanya tumor otak. 1,4,6,7

a. Tekanan Tinggi Intrakranial

Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intrakranial adalah: nyeri

kepala, muntah proyekil, dan papiledema. Keluhan nyeri kepala disini cenderung

bersifat intermittent, tumpul, berdenyut dan tidak begitu hebat terutama di pagi

hari karena selama tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga

15
mengakibatkan peningkatan CBF (Cerebral Blood Flow) dan dengan demikian

mempertinggi tekanan intrakranial. Juga lonjakan sejenak seperti karena batuk,

mengejan atau berbangkis memperberat nyeri kepala. Nyeri dirasa berlokasi di

sekitar daerah frontal atau oksipital. Penderita sering kali disertai muntah yang

“menyemprot” (proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh

karena tekanan Intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat

PCO2 serebral meningkat. Tumor otak pada bayi yang menyumbat aliran likuor

serebrospinal sering kali ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang

progresif dan ubun-ubun besar yang menonjol; sedangkan pada anak-anak yang

lebih besar di mana suturanya relative sudah merapat, biasanya gejala papiledema

terjadi lebih menonjol. Papiledema dapat timbul pada tekanan intrakranial yang

meninggi atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor secara langsung.

Papiledema memperlihatkan kongesti venosa yang jelas, dengan papil yang

berwarna merah tua dan perdarahan-perdarahan di sekitarnya. 1,4

Teori mekanisme peninggian tekanan intrakranial, pada tumor otak:

1. Karena adanya obstruksi pada system ventrikel sehingga menghalangi

liquor cerebrospinalis,
2. Adanya massa tumor yang membesar, padahal kapasitas tengkorak

terbatas untuk otak dan liquor saja,


3. Tenaga penyerapan terhadap liquor cerebrospinal terganggu,
4. Karena adanya obstruksi pada system vena, sehingga aliran darah yang

kembali ke vena terhalang,


5. Karena tumor sendiri merupakan stimulasi produksi liquor

cerebrospinalis, sehingga terjadi produksi yang berlebihan, seperti pada

“papiloma plexus”.

b. Kejang

16
Gejala kejang pada tumor otak khususnya di daerah supratentorial dapat

berupa kejang umum, psikomotor ataupun kejang fokal. Kejang dapat merupakan

gejala awal yang tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan menetap untuk

beberapa lama sampai gejala lainnya timbul. 1,4

Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak bila:

 Bagkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun

 Mengalami post iktal paralisis

 Mengalami status epilepsi

 Resisten terhadap obat-obat epilepsi

 Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lain

 Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien

dengan astrositoma, 40% pada pasen meningioma, dan 25% pada

glioblastoma.

c. Perdarahan Intrakranial

Bukanlah suatu hal yang jarang bahwa tumor otak diawali dengan

perdarahan intrakranial-subarakhnoid, intraventrikuler atau intraserebral. 1,4

d. Gejala Disfungsi Umum

Abnormalitas umum dari fungsi serebrum bervariasi mulai dari gangguan

fungsi intelektual yang tak begitu hebat sampai dengan koma. Penyebab umum

dari disfungsi serebral ini adalah tekanan intrakranial yang meninggi dan

pergeseran otak akibat gumpalan tumor dan edema perifokal di sekitarnya atau

hidrosefalus sekunder yang terjadi. 1,4

e. Gejala Neurologis Fokal

17
Perubahan personalitas atau gangguan mental biasanya menyertai tumor-

tumor yang terletak di daerah frontal, temporal, dan hipotalamus, sehingga sering

kali penderiita-penderita tersebut diduga sebagai penyakit nonorganik atau

fungsionil. Gejala afasia agak jarang dijumpai, terutama pada tumor yang berada

di hemisfer kiri (dominan). Tumor-tumor daerah supraselar, nervus optikus dan

hpotalamus dapat mengganggu akuitas visus. Kelumpuhan saraf okulomotorius

merupakan tampilan khas dari tumor-tumor paraselar, dan dengan adanya

tekanan intracranial yang meninggi kerap disertai dengan kelumpuhan saraf

abdusens. Nistagmus biasanya timbul pada tumor-tumor fosa posterior;

sedangkan tumor-tumor supraselar atau paraselar kadang (jarang sekali)

menyebabkan gejalapatognomonik berupa nistagmus ‘gergaji’ (seesaw

nystagmus); gerakan mata diskonjugat, ventrikal dan rotasional di mana masing-

masing mata geraknya saling berlawanan. Kelemahan wajah dan hemiparesis

yang berkaitan dengan gangguan sensorik serta kadang ada efek visual

merupakan refleksi kerusakan yang melibatkan kapsula interna atau korteks yang

terkait. Ataksia trukal adalah pertanda suatu tumor fosa posterior yang terletak di

garis tengah. Gangguan endokrin menunjukkan adanya kelainan pada

hipotalamus-hipofise. 1,4

H. Pemeriksaan Penunjang Tumor Otak

Pemeriksaan scan magnet (MRI) dan scan tomografi computer merupakan

pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi adanya tumor-tumor intrakranial. Teknik

pencitraan CT scan dan MRI konvensional memberikan informasi tentang lokasi

anatomis dan struktur tumor makroskopis. Dalam hal ini dapat diketahui secara

terperinci letak lokasi tumor dan pengaruhnya terhadap jaringan sekitarnya, bahkan

18
pada kasus-kasus tertentu dapat pula diduga jenisnya dengan akurasi yang hampir

tepat. Pemeriksaan konvensional seperti: foto polos kepala, EEG, ekhoensefalografi,

dan pemeriksaan penunjang diagnostik yang invasive seperti: angiografi serebral,

pneumoensefalografi sudah jarang diterapkan, kecuali pada keadaan-keadaan darurat

dengan kendala fasilitas pemeriksaan mutakhir di atas tidak ada atau sebagai

pembantu perencanaan teknik pembedahan otak. 1,4

I. Penatalaksanaan
Modalitas penanganan terhadap tumor otak mencakup tindakan-tindakan:1
a. Terapi operatif

Tindakan operasi pada tumor otak bertujuan untuk mendapatkan diagnosa

pasti dan dekompresi internal mengingat bahwa obat-obatan antiedema otak tidak

dapat diberikan secara terus-menerus. Prinsip penanganan tumor jinak adalah

pengambilan total sementara tumor ganas tujuannya selain dekompresi juga

memudahkan untuk pengobatan selanjutnya hingga mendapatkan outcome yang

lebih baik. Persiapan prabedah, penanganan pembiusan, teknik operasi dan

penanganan paska bedah sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan

penanganan operatif terhadap tumor otak. Khusus pada kasus-kasus dengan gejala

peninggian tekanan intracranial, ahli bedah harus waspada terhadap kemungkinan

terjadinya herniasi otak pada waktu mulai dilakukan induksi anestesi. Kadangkala

diperlukan pemberian steroid maupun mannitol 15-30 menit sebelum tindakan

operasi. Ada berbagai jenis insisi kulit yang dilakukan dimana hal ini disesuaikan

dengan lokasi tumornya dan perlu dipertimbangkan untuk memelihara salah satu

arteri tetap intak untuk pemilihan luka operasi pada kulit. Kranioplasti osteoplastic

tampaknya lebih terpilih disbanding free bone flap. Penggunaan kauuter bipolar

19
sangat bermanfaat untuk mengatasi perdarahan pada jaringan otak maupun

duramater.1

Keputusan untuk mengeluarkan tumor otak harus didasarkan pada evaluasi

riwayat klinis dan temuan pada pemeriksaan, radiografik, keuntungan dan risiko

opsi penanganan, dan diskusi mendetail dengan pasien. Pembedahan

direkomendasikan berdasarkan factor tumor dan pasien itu sendiri, termasuk

lokasi, ukuran, jumlah, vaskularitas, status neurologis dan performance state dan

penyakit komorbid lainnya. Ketika keputusan untuk melakukan pembedahan

sudah ditetapkan, perencanaan yang hati-hati harus dilakukan. Hal ini termasuk

evaluasi studi pencitraan dan penilaian status medis keseluruhan. Hidrosefalus

yang terkait dengan tumor perlu untuk ditangani.5

20
Gambar 2.7 Insisi pada operasi pasien dengan tumor otak

b. Terapi non operatif

- Radioterapi

Radioterapi untuk tumor-tumor susunan saraf pusat kebanyakan

menggunakan sinar X dan sinar gamma disamping juga radiasi lainnya seperti:

proton, partikel alfa, neutron, dan pimeson. Kedua sinar atas (sinar X dan

gamma) merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang mempunyai

sifat-sifat fisik yang sama dan dapat menimbulkan efek biologis yang

dihantarkan melalui produksi bangkitan ion dan radikal bebas pada target. Basis

21
biologis terapi radiasi merupakan hal yang cukup rumit. Tujuan dari terapi ini

adalah menghancurkan tumor dengan dosis yang masih dapat ditoleransi oleh

jaringan yang ditembusnya. Terapi radiasi modern terbatas pada radiasi

megavoltase yang mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan dengan

kilovoltase seperti penetrasi yang lebih dalam dan absorbs pada tulang, kulit, dan

jaringan subkutan yang lebih minimal. Keberhasilan terapi radiasi diperankan

oleh beberapa factor:1

a. Terapi yang baik dan tidak melalui struktur kritis lainnya.


b. Sensitivitas sel tumor dengan sel normal
c. Tipe sel yang disinar
d. Metastasis yang ada
e. Kemampuan sel normal untuk repopulasi
f. Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval antarfraksi radiasi

- Kemoterapi

Peranan kemoterapi tunggal untuk tumor ganas otak masih belum

mempunyai nilai keberhasilan yang bermakna sekali. Saat ini yang menjadi titik

pusat perhatian modalitas terapi ini adalah tumor-tumor otak jenis astrocytoma

(grade III dan IV) glioblastoma dan astrocytoma anaplastic beserta variannya.

Ada beberapa kemoterapi untuk tumor ganas otak yang saat ini beredar di

kalangan medis yaitu:HU (hidroksiurea), 5-FU (5-fluorourasil), PCV

(prokarbazin, CCNU, Vincristine), nitrous urea (PCNU, BCNU/karmustin,

CCNU/lomustin, MTX (metrotrexat), DAG (dianhidrogalaktitol) dan

sebagainya.1

- Immunoterapi

Yang mendasari modalitas terapi ini adalah anggapan bahwa tumbuhnya

suatu tumor disebabkan oleh adanya gangguan fungsi imunologi tubuh sehingga

diharapkan dengan melakukan restorasi system imun dapat menekan

22
pertumbuhan tumor. Walaupun peranannya secara bermakna masih belum

seluruhnya terbukti, pemberian imunoterapi secara terapi ajuvan/alternative

tambahan banyak diterapkan untuk kasus-kasus tumor jenis glioma (dimana

system imunnya menurun) yang mempunyai survival yang panjang atau tidak

menjalani tindakan terapi lainnya. Adapun jenis-jenis obat yang sering digunakan

sebagai immunomodulator antara lain adalah: BCG/Levamizole dan Visivanil.1

J. Prognosis
Prognosis tumor otak berkaitan erat dengan jenis patologiknya, tumor jinak

dioperasi umumnya dapat sembuh, tumor ganas melalui operasi dan terapi

gabungan dapat memperpanjang survival. Sebagian pasien bahkan dapat sembuh.

Diagnosis dini, terapi dini dan pemakaian metode terapi yang rasional merupakan

kunci meningkatkan angka kuratif. 3

BAB III

PENUTUP

Tumor otak atau tumor intrakranial merupakan neoplasma atau proses desak

ruang (space occupying lession atau space taking lession) mencakup tumor-tumor

primer pada korteks, meningens, vascular, kelenjar hipofise, epifisis, saraf otak,

jaringan penyangga, serta tumor metastasis dari bagian tubuh lainnya.

Etiologi pasti tumor otak terutama yang bersifat primer tidak diketahui

dengan pasti. Namun terdapat beberapa hal yang diduga berkaitan dengan terjadinya

tumor otak antara lain genetik/herediter, Sel-sel embrional asal, radiasi, infeksi virus

dan substansi-substansi karsinogenik.

23
Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis yang biasanya didapatkan

adanya sifat progresifitas pada keluhan-keluhan yang dirasakan, serta pemeriksaan

fisik dapat atau tidak ditemukan deficit neurologis. Pemeriksaan penunjang berupa

pencitraan konvensional seperti CT Scan dan MRI berperan penting dalam

penegakkan diagnosis tumor otak dan rencana penatalaksanaan lanjutan.

Penatalaksanaan tumor otak antara lain dengan pembedahan, kemoterapi,

radioterapi dan imunoterapi. Pembedahan merupakan hal yang sangat penting pada

penatalaksanaan tumor otak namun keputusan untuk memulai pembedahan haruslah

mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dijelaskan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Satyanegara. Tumor Otak. Dalam: Ilmu bedah saraf. Listiono, L.Djoko,

editor. Edisi ke-tiga. Jakarta: Gramedia pustaka utama; 1980. hal. 115; 126;

207 – 49.

2. Cook, LJ, Freedman, J. Brain tumor: Understanding Brain Disease and

Disorder. China: Rosen Publishing Group; 2012.

3. Desen, W. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2008.

4. Mardjono, Mahar. Proses neoplasmatik di susunan saraf. Dalam: neurologi

klinis dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat; 2008. hal. 390 – 402.

24
5. Kaye, AH, Laws, ER, Brain Tumor: An Encyclopedic Approach Third

Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier: 2012.

6. Osman, FA. Brain Tumors. USA: Humana Press; 2005.

7. Ginsberg, L. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga

Medical Series; 2005.

25

Anda mungkin juga menyukai