Anda di halaman 1dari 11

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

Kata Pengantar

Pancasila sebagai dasar Negara bangsa Indonesia hingga sekarang telah mengalami
perjalanan waktu yang tidak sebentar, dalam rentang waktu tersebut banyak hal/peristiwa
yang terjadi menemani perjalanan Pancasila.

Mulai peristiwa pertama saat pancasila dicetuskan sudah menuai banyak konflik di
internal para pencetusnya, hingga sekarangpun di era reformasi dan globalisasi Pancasila
masih hangat diperbincangkan oleh banyak kalangan berpendidikan terutama kalangan
Politik dan mahasiswa.

Kebanyakan dari para pihak yang memperbincangkan masalah Pancasila adalah


mengenai awal dicetuskannya Pancasila tentang sila perta aterutama.

Memang dari sejarah awal perkembangan bangsa Indonesia dapat kita lihat bahwa
komponen masyarakatnya terbentuk dari dua kelompok besar yaitu kelompok agamis
dalam hal ini didominasi oleh kelompok agama Islam dan yang kedua adalah kelompok
Nasionalis.

Kedua kelompok tersebut berperan besar dalam pembuatan rancangan dasar Negara
kita tercinta ini.

Makalah ini dibuat sebagai catatan perjalanan Pancasila dari jaman ke jaman, agar kita
senantiasa tidak melupakan sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar Negara, dan
juga dapat digunakan untuk menjadi penengah bagi pihak yang sedang berbeda pendapat
tentang dasar Negara supaya kedepan kita tetap seperti semboyan kita yaitu “Bhineka
Tunggal Ika”.

Pancasila.

Istilah Pancasila selalu berkumandang pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan
HM Soeharto. Apa saja selalu dikaitkan dengan Pancasila. Begitu pula dengan Undang-
Undang Dasar 1945 selalu dibicarakan. Pancasila dan UUD 1945 menjadi dua istilah
sangat popular, bahkan selalu menjadi slogan Orde Baru.

Kita tentu masih ingat tentang P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila)
yang disosialisasikan dalam dunia pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal.
Istilah Penataran P-4 tidaklah asing bagi generasi muda kala itu. Selanjutnya buat mereka
yang aktif dalam organisasi social kemasyarakatan dan politik, istilah asas tunggal
Pancasila juga ramai dibincangkan.

Sama halnya dengan Pancasila, istilah UUD 1945 juga selalu ditekankan oleh para elit
Orde Baru. Mereka kala itu selalu menyebut-nyebut UUD 1945, terlebih ketika hendak
menyusun atau membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan. Pidato para
pejabat selalu mengaitkannya kepada konstitusi tersebut.

Tak pelak lagi, Pak Harto sebagai Presiden, mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) merupakan tokoh utama dalam mensosialisasikan Pancasila dan UUD 1945.
Boleh disebut, Pak Hartolah yang secara tegas menyatakan bahwa pedoman, pegangan,
landasan, acuan utama kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila dan UUD 1945. “Kita harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen,” ucap Pak Harto dalam tiap kesempatan.

Penekanan kata murni dan konsekuen dipahami sebagai tidak perlunya lagi kita
mengusik, mengotak-atik Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana apa adanya seperti yang
ditetapkan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan
oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Guna mengamankan konstitusi, perubahan UUD 1945
hanya dimungkinkan jika melalui persetujuan lewat referendum.

Dalam perjalanannya, mengingat begitu kuatnya penekanan tentang pentingnya Pancasila


dan UUD 1945 masa Orde Baru, banyak orang merasa bosan, jenuh atau bahkan menjadi
antipati. Terlebih lagi memang upaya mensosialisasikan dasar Negara dan konstitusi
tersebut oleh elit Orde Baru kala itu seolah tidak ada jemu-jemunya, bahkan cenderung
seolah seperti tidak ada kata henti. Kesan pemaksaan sering dijadikan alasan untuk
menolak Pancasila. Sementara, banyak pula yang melihat berbagai prilaku, tindakan atau
perbuatan, baik oleh pejabat maupun anggota masyarakat, dinilai menyimpang jauh dari
nilai-nilai Pancasila yang disosialisasikan dan dilestarikan itu.

Akhirnya ketika gerakan reformasi menerpa kita semua dan Pak Harto lengser pada 21
Mei 1998, Pancasila dan UUD 1945 ikut pula dilengserkan. Sosialisasi Pancasila lewat P-
4 dihentikan. BP-7 (Badan Pelaksanaan Pendidikan dan Pengkajian Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lembaga penyelenggara P-4 dibubarkan.
Sementara UUD 1945 diamandemen hingga 4 kali sehingga kini konstitusi kita dinilai
betul-betul sudah menjadi baru, tidak lagi sama dengan apa yang dirumuskan para
founding father.
Buruk Rupa Cermin Dibelah, Lantas apakah dengan kita melengserkan Pancasila dan
UUD 1945, kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kini menjadi jauh
lebih baik dibandingkan masa Orde Baru? Apakah berbagai krisis ekonomi, krisis multi
dimensi sebagaimana terjadi pada penghujung masa Orde Baru sudah
teratasi?

Sudah tentu jawabannya tidak dapat dinyatakan secara hitam putih. Hal yang pasti,
permasalahan yang dihadapi masa sekarang tampaknya tidak banyak beranjak jauh,
terutama yang dirasakan oleh rakyat kalangan menengah ke bawah. Sementara untuk di
kalangan sebagian elit secara pribadi-pribadi, kelompok atau golongan tentu saja menilai
banyak jauh meningkat pada kondisi saat ini. Terlebih bila kita memang total melupakan
Pancasila dan UUD 1945.

Nah, dari kondisi saat ini yang dinilai masih gonjang ganjing itulah, sementara pihak
melihat ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan kita. Mereka melihat kita selama ini
ternyata ibarat “buruk rupa cermin dibelah.” Maksudnya, wajah kita yang buruk tapi
malah yang kita rusak adalah cermin, alat bagi kita untuk dapat melihat siapa kita. Lebih
jauh, dapat pula bagaikan: “kita tak pandai menari, lantai yang dibilang goyah.” Selain itu
dapat pula ibarat: “pesawat yang gagal diterbangkan tapi landasan yang dipersalahkan.”

Kenyataan tersebut membuat ada penilaian yang menyebutkan kita kini dalam kondisi
memprihatinkan. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional bahkan juga
degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar Negara Pancasila, sebagai sistem ideology
nasional karenanya, elit reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya
kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia
mengalami erosi jati diri nasional!”

Kalau kita melihat masalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Ketiganya
terlihat sepakat bahwa saat ini kita sudah melenceng atua bahkan cenderung sudah
mengabaikan penerapan substansi dari konstitusi dan ideologi Negara sebagaimana yang
diamanatkan oleh para founding father, bapak bangsa. Penyelenggaraan kehidupan
bermasyarkaat, berbangsa dan bernegara saat ini tidak lagi memakai acuan UUD 1945
dan Pancasila.

Masa Orde Baru sudah memulai menanamkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pikiran
kita. Selanjutnya sudah pula terus diucap-ucapkan dan banyak pula dicoba diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dasar Negara dan konstitusi
warisan founding fathers itu tidak disosialisasikan dalam waktu singat tapi makan waktu
cukup lama, lewat proses dialog yang panjang. Lewat musyawarah mufakat yang tidak
langsung begitu saja disetujui.

Bayangkan, penerimaan Pancasila sebagia satu-satunya asas buat organisasi sosial politik
dan kemasyarakatan baru disepakati pada Sidang Umum MPR 1983, sekitar 15 tahun
setelah Orde Baru. Itu pun tidak langsung diterapkan karena dibuat dulu undang-
undangnya. Sementara sampai berakhirnya Orde Baru, sebenarnya upaya sosialisasi dan
pelestariannya masih terus dilakukan.

Sungguh saying, euphoria reformasi telah membuat kita lupa, mana yang harus tetap
dipertahankan dan mana yang harus dibuang. Kita terlalu emosional sehingga semua
produk Orde Baru dianggap keliru. Padahal yang keliru adalah dalam tararan operasional
yang memang dimungkinkan dapat saja belum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Hal paling menarik, kita melihat seolah Pancasila dan UUD 1945 adalah produk Orde

Baru. Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen hanyalah
rekayasa, sebuah kepentingan kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itulah agaknya kenapa
kita kini merasa tidak penting lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Bukankah hal ini sangat naïf jika kita seharusnya mau menjunjung tinggi
warisan para founding father?

Founding father ibarat orangtua dalam kehidupan keluarga. Dari kacamata agama, kita
sebagai anak harus berbakti kepada orangtua. Artinya, warisan dan nilai-nilai yang
ditinggalkan sebagai amanat orangtua harus kita junjung. Kalau tidak, kita dapat kualat,
menjadi anak durhaka. Berbagai bencana yang terus melanda, krisis dan masalah yang
terus menghinggapi rakyat kita, boleh jadi sebagai pertanda Tuhan menegur kita karena
kita kualat atau durhaka.

Tampaknya, memang mau tidak mau kita harus kembali memakai wacana “mari
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” Oke saja, titik
tolaknya tidak dengan melihat apa yang dilakukan pada masa Orde Baru dan juga Orde
Lama. Melainkan mari kital ebih jauh back to basic, melihat langsung sejarak produk
awal lahirnya dasar Negara dan konstitusi yang kemudian ditetapkan pada 18 Agustus
1945. mungkin dari sini kita akhirnya dapat kembali membangun semangat Kebangkitan
Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan akhirnya semangat Kemerdekaan 17 Agustus
1945.

Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa
Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa
Indonesia bersatu. Karena Pancasila merupakan ideology dari negeri kita. Dengan adanya
persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong usaha dalam menegakkan dan
memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan meyakinkan tentang Pancasila
sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi bangsa Indonesia.

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kita ideologi sendiri diciptakan oleh destutt
de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi
dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu,
sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide
yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominant kepada seluruh anggota
masyarakat (definisi ideology Marxisme).

Untuk bisa melihat Pancasila sebagai lebih jernih kita perlu melihat sejarah awalnya
Pancasila. Pancasila adalah sebuah istilah yang diciptakan Bung Karno dalam pidatonya
di siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, sehingga dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila.
Sedikit dari kita yang masih mengingat bahwa Pancasila versi Bung Karno di BPUPKI
berbeda dengan Pancasila yang kita kenal sekarang.

Secara histories, selama ini kita telah salah memahami Pancasila. Banyak orang mengira,
Pancasila itu adalah sesuatu yang murni diciptakan oleh Soekarno, dan merupakan
sebuah karya yang digali dari perut bumi Nusantara. Itu, jelas, tidak seluruhnya benar,
namun tidak juga semuanya salah.

Yang benar adalah, apa yang dirumuskan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 itu, merupakan
kristalisasi dari pemikirannya sejak 1926. Kita tahu, pada tahun itu, Soekarno menulis
sebuah buku yang dia beri judul Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nah, dari sinilah
kemudian Soekarno mulai mengembangkan pemikirannya hingga 1940-an. Kemudian,
ada orang bilang, Pancasila itu digali dari warisan asli Indonesia. Kata siapa? Kalau benar
itu warisan asli bumi Indonesia, mengapa Soekarno dalam Lahirnya Pancasila menyebut
pemikiran Lenin, Sun Yat Send an beberapa ahli lainnya?

Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta, dengan
revisi sila pertama. Pancisa versi Bung Karno adalah seperti ini :
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau kemanusiaan
3. Mufakat dan demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa

Bung Karno melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita
harus menjadi sebuah bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan,
kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat
mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir.
Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno melihat sila ke-
Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agama-
agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan. Sebagai
penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno berarti toleransi beragama, janganlah
keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama. Itulah versi Bung
Karno.

Lain lagi dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Keadilan Sosial

Kemudian Yamin merevisinya menjadi :


1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Rasa Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /


perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Mohammad Yamin menempatkan Tuhan di sila pertama. Yamin memaknai sila ke-
Tuhanan berbeda dengan Bung Karno. Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar Negara
melainkan pengakuan akan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila
ini sebagai pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang
berbeda-beda. Belum lagi yang animis, polities apalagi ateis. Oleh karena itu di dalam
pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya mengikat bagi bangsa Indonesia,
tidak mengikat bagi masing-masing pribadi. Namun tawaran ini juga memberikan
masalah baru, karena kalau sila pertama tidak mengikat, begitu pula sila berikutnya,
dengan demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu pula kebangsaan,
kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar.

Sementara itu golongan Islam umumnya mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat
diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa sila
pertama adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui Tuhan Yang
Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan, kebangsaan
kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila pertama adalah inti dari Pancasila.
Golongan agama, khususnya monoteis, setelah digantinya versi Piagam Jakarta yang
berbunyi ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi penganutnya, dapat
menerima versi ini.

Akhirnya adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini,
minus sila Pertama :

Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada :
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penyusunan Piagam Jakarta ini adalah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta,
Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo,
Wachid Hasjim dan Mohammad Yamin. Kelompok ini memang didominasi oleh
golongan Islam, sehingga tidak aneh hasilnya seperti demikian. Dan bisa dipahami bahwa
Ke-Tuhanan yang Maha Esa versi Piagam Jakarta mengacu pada ke- Tuhanan versi
Islam, atau paling tidak versi agama monoteis. Agama polities seperti Hindu dan agama
ateis seperti Buddha tidak mendapat tempat. Begitu pula penganut animisme, dinamisme,
dan banyak kepercayaan menurut adat lainnya. penganut paham materialis seperti
komunisme juga tidak mendapat tempat. Jumlah mereka yang diabaikan memang jauh
lebih kecil dibandingkan dengan penganut monoteisme tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa
mereka juga berdiam di tanah Indonesia.

Salah satu bukti cerdasnya Soekarno. Sepanjang proses pergerakan nasional dan pasca
kemerdekaan, ideologi yang selalu bersaing adalah kekuatan Islamisme dan kekuatan
nasionalisme. Karena itu, Soekarno memberikan sebuah rumusan yang bisa mengikat
kedua ideologi itu untuk kepentingan bangsa. Rumusan itu adalah Pancasila. Jadi, tujuan
Soekarno merumuskan Pancasila adalah untuk memberi kedua ideologi yang berbeda itu
suatu pegangan bersama.

Jadi, sangat tidak mungkin memisahkan Soekarno dengan Pancasila?

Tentu saja tidak mungkin. Dan ini yang penting, adalah sangat keliru kalau ada orang
yang mengidentikkan Soekarno hanya dengan Pancasila yang dirumuskan 1 Juni.
Pancasila yang dirumuskan 1 Juni itu adalah Pancasila yang kemudan berproses sampai
18 Agustus. Jadi, kalau ada orang yang menilai Pancasila 1 Juni, Pancasila 22 Juni, dan
Pancasila 18 Agustus, itu masing-masing berbeda, yakin saja, orang itu tidak paham
sejarah. Pancasila itu adalah dari 1 Juni, 22 Juni hingga 18 Agustus, itu tidak bisa
dipisahkan. Dan, di setiap momen itu, Soekarno selalu menjadi penentu. Jadi, kalau ada
orang yang mau memisahkan Pancasila dengan Soekarno, itu kecelakaan sejarah.

Di sinilah akar permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak
bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke
Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap,
mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS, UUD
Sementara) adalah bersifat sementara. Masalah perumusan dasar Negara adalah penting
sebelum penyusunan konstitusi karena diperlukan pijakan filosofis bagi konstitusi:
apakah ia berdasar agama, atua yang lain misalnya. Pancasila yang tercantum di UUD
1945 adalah sebuah kesepakatan sementara yang diterima dalam keadaan darurat, dimana
perbedaan-perbedaan diabaikan demi kepentingan situasi. Adalah tugas Konstituante
untuk menyelesaikan masalah ini, begitu besar masalah yang diemban oleh Konstituante.
Di lain pihak Konstituante adalah badan paling demokratis yang pernah ada di bumi
Indonesia. Ia dibentuk oleh pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia.
Semua orang menaruh harapan besar pada Konstituante.

Di dalam Konstituante terdapat pertentangan yang kuat tentang tafsir Pancasila ini.
Penafsiran kelima sila lima tersebut tidak mencapai kesepakatan mengenai sila apa yang
paling mendasar. Golongan agama melihat sila yang pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa sebagai yang paling utama dan mendasari sila yang lain. Golongan komunis, yang
cukup besar waktu itu sebagai pemenang ke-4 Pemilu tentu tidak bisa menerima ini.
Mereka mau mengubah sila pertama menjadi “Kebebasan Beragama”. Secara implicit
sebenarnya mereka mau memasukkan tafsir bahwa bebas beragama juga berarti bebas
tidak beragama, yang menjadi landasan berpikir bagi paham mereka. Ini tentu saja tidak
bisa diterima oleh golongan agama, karena melihat ini sebagai pintu masuk bagi komunis
untuk mengambil alih Negara ini.

Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran yang lain. Mereka
mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan sebagai sila yang
utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila menjadi satu sila, ia
menamakannya Ekasila, yaitu “Gotong Royong”. Golongan agama tentu tidak bisa
menerima ini juga, karena sila utamanya menjadi bukan sila ke-Tuhanan. Perdebatan tiga
golongan ini cukup untuk membuat siding Konstituante panas. Sayangnya masalah ini
tidak pernah selesai. Pada saat Konstituante sedang masa reses, mereka ditelikung dari
belakang lewat persekutuan di belakang antara Soekarno lewat PNI, tentara melalui IPKI
(Ikatan Partai Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan PKI memboikot Konstituante.
Akhir ceritanya sudah kita ketahui semua, Dekrit Presiden yang mengakhiri era paling
demokratis dalam sejarah Indonesia.

Sebuah kesempatan emas untuk menyelesaikan masalah bangsa yang paling besar,
masalah dasar Negara, seperti yang diamanatkan UUD 1945, telah lewat, digantikan
dengan masa dictatorial Soekarno. Sejak itu pintu perdebatan dasar negara ditutup,
digantikan oleh ideologi Nasakom yang diajukan Soekarno. Hal yang sama pun
dilakukan oleh Soeharto dengan ideologi Pancasila (versi Orde Baru) dengan P4 dan 36
butir pengamalan Pancasila. Pancasila yang belum selesai ini pun menjadi alat penguasa,
bukan lagi menjadi dasar negara.

Pancasila yang belum selesai ini menyimpan masalah yang sewaktu-waktu bisa terbuka
kembali. Seperti kata Sutan Takdir Alisyahbana dalam pertemuan Perhimpunan
Pendidikan Indonesia di Bandung tanggal 27 Desember 1950, Pancasila hanyalah
kumpulan faham-faham yang berbeda-beda untuk menenteramkan semua golongan pada
rapat. Dengan demikian golongan agama dalam ditenteramkan dengan sila pertama.
Mereka yang humanis dapat dipuaskan dengan sila kedua. Yang nasionalis dengan sila
ketiga, yang democrat dengan sila keempat dan sosialis dengan sila kelima. Mengenai
apakah semuanya bisa berkesinambungan menjadi satu ideologi negara adalah persoalan
lain, karena masing-masing golongan mempunyai tafsirnya masing-masing terhadap
Pancasila. Memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 1945, adalah memperbincangkan
ideologi nasional Bangsa Indonesai yang tentu saja akan dikaji berdasarkan konteks
waktu, generasi dan semangat jaman, maupun perspektif sudut pandangnya, dan
diharapkan dapat menjadi wacana yang lebih komprehensif serta bermuara pada kegiatan
dan tindakan yang nyata, sehingga tidak terjebak dalam romantisisme, abstraksi dan
angan-angan pemikiran belaka. Pancasila tidak bergerak pada proses konseptualisasi
yang semakin mantap, tetapi mempunyai peran dalam kegiatan empiric dsebagai visi,
orientasi dan perangkat kritik dalam kehidupan praktis berbangsa dan bernegara.
Pembudayaan Pancasila sebagai ideologi modern harus berjalan selaras dengan proses
pembangunan bangsa dalam berbagai aspeknya tanpa terjebak dalam praktik dogmatisme
dan determinisme, serta indoktrinasi. Indonesia dan Pancasila adalah realitas histories
dari hasil perjuangan rakyat yang melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk
hidup sebagai bangsa yang lebih bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai
ideologi bangsa mempunyai makna fungsional sebagai penopang solidaritas nasional dan
sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila oleh para founding fathers dimaksudkan sebagai staat fundamental norm
sekaligus philosophie grondslag. Makna dari hal ini adalah ditempatkannya Pancasila
sebagai sistem nilai yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara, serta filosofi hidup bagi setiap warga negara. Panasila dengan demikian
memiliki makna emansipatif karena ada orientasi berupa tindakan praktis dalam setiap
denyut kehidupan di Indonesia. Pancasila menjadi jiwa yang tertanam dalam setiap
sanubari seluruh elemen bangsa untuk menyusun Indonesia, kini dan esok.

Dalam pengalaman kehidupan kebangsaan kita, Pancasila yang telah berusia 64 tahun
lamanya, telah melampaui ruang dan waktu berdialektika dengan dinamika jaman.
Sepanjang waktu itu, Pancasila telah menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara
dengan berbagai dinamikanya. Sejarah lahirnya Pancasila memberikan pesan kepada kita
bahwa Pancasila merupakan manifestasi dari keluhuran budi dan semangat kolektifitas
dari bangsa Indonesia yang oleh para founding fathers dirumuskan menjadi suatu tata
nilai bagi kehidupan kebangsaan yang lebih untuk Indonesia yang merdeka. Pancasila
menjadi produk histories dari konsensus sosial segenap kekuatan sosial politik yang
membentuk Indonesia modern tersebut, sekaligus dijadikan pengalaman empiris dalam
menciptakan harmoni di antara perbedaan kepentingan dari keragaman orientasi.

Nilai-nilai Pancasila pada praktik pengejawantahannya kemudian sangatlah dipengaruhi


oleh struktur kepentingan kekuasaan politik yang tengah berlangsung. Pengalaman
sejarah politik bangsa kita memperlihatkan hal tersebut. Pancasila pernah berada pada
masa dijadikan suatu instrumen politik untuk mengakhiri fragmentasi dan kekacau
balauan politik eksperimen demokrasi liberal dalam sistem politik parlementer yang
bertentangan dengan Pancasila yang berlandaskan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Dengan
demikian, keluarnya dekrit Presiden 1 Juli 1959 dapat dimaknai sebagia suatu upaya
politik untuk mengembalikan prinsip permusywaratan yang merupakan nilai principal
dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Pancasila harus berdialektika dengan interpretasi


yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru. Komitmen untuk melaksanakan Panasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada realitasnya kemudian justru menjadi jargon
dan idiom politik belaka. Kita menyaksikan realitas adanya keretakan antara sistem nilai
ideal dengan pengalaman praktis. Pancasila bermetamorfosa sebagai ideologicalstate
apparatus dalam bentuk doktrin resmi berupa butir-butir P4 yang dioperasionalisasikan
oleh represif state apparatur dalam forum-forum resmi penataran, litsus negara dengan
berbagai aparatusnya. Tingkat pemahaman terhadap butir-butir P4 kemudian menjadi
ukuran bagi sesuatu yang oleh negara dianggap sebagai kadar komitmen terhadap
Pancasila. Persoalan muncul bukan pada nilai-nilai ideal yang terkandung dalam P4,
namun terletak pada kesenjangan antara nilai-nilai ideal dalam penjabaran Pancasila
dalam praktek kenegaraan.

Tak hanya itu, Pancasila pun digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penataan
politik yang muaranya adalah menjaga legitimasi dan stabilitas kekuasaan rezim yang
berlangsung. Atas nama Pancasila, penguasa secara sewenang-wenang melakukan
tindakan represi terhadap masyarakat yang kritis dan dianggap potensial menjadi
ancaman bagi kekuasaan.

Dua realitas penyelewenang terhadap nilai-nilai Pancasila :


Pertama : adalah bentuk dari praktik kemalasan bangsa untuk senantiasa

mengaktualisasi dan merevitalisasi nilai-nilai luhur jati diri bangsa, sebagai elaborasi
Pancasila terhadap konteks aspirasi jaman dan generasi. Sehingga menjadikan kita tidak
percaya diri dan gamang. Mengadopsi sebuah nilai dengan menirunya mentah- mentah.
Bila tanah (baca: ruang) yang mau dipijak saja tidak tahu, lagit (baca: jaman) mana yang
akan dijunjung.

Kedua : terutama pada praktik penyederhanaan, yang melahirkan penyeragaman dan

orientasi kepada materi yang bersifat fisik belaka. Proses sebagai nilai penentuan hasil
cenderung diabaikan, tak pelak lebih mudah menerima hal yang instant dan cepat saji.

Rakyat dan realitasnya diabaikan perannya sebagai unsur emansipatoris bersama


pemerintah dan negara, untuk menggunakan Pancasila dalam menilai pembangunan
bangsa dan Negara. Pada prinsipnya kedua praktik penyimpangan, adalah praktik
korupsi, terutama terhadap nilai, yang kini telah melahirkan ketidakadilan, diskriminasi,
dan cenderung menggunakan kekerasan daripada berdialog dan bertoleransi karena
pluralitas masyarakat dan budayanya.

Indonesia, kini memasuki babak lanjut dari perjalanan sejarahnya, masuk pada tata
masyarakat global yang makin integrative. Berjuta peluang dan tantangan ada didepan
kita. Perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan kita untuk mengembangkan
diri dan memajukan peradaban kita. Namun demikian, ketidak siapan kita dapat juga
menimbulkan permasalahan dalam pergaulan global. Dalam konteks ini kita merasakan
bahwa dampak globalisasi yakni liberalisasi ekonomi dengan praktik korporasi yang
tamak yang pernah dialami oleh bangsa kita hampir genap empat abad lamanya. Mulai
era imperialisme kolonial Belanda dengan Perseroan Terbatas yang bernama VOC
menancapkan kuku kekuasaannya dikerajaan- kerajaan Nusantara. Kemudian hingga
berlangsung pada derajat yang lebih intens ketika pada pemerintahan yang merilis
kebijakan politik dan ekonomi pintu terbuka terhadap kepentingan modal asing.

Dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, membawa Indonesia dalam


tata ekonomi yang dikonstruksi oleh paham kapitalisme-liberalisme secara lebih dalam.
Pancasila dilupakan sebagai dasar filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
dapat menjadi dasar penataan, politik, ekonomi dan Negara. Liberalisasi tahap lanjut saat
ini, berjalan parallel dengan arus gerakan demokratisasi

Anda mungkin juga menyukai

  • RJTP Dan Ritp
    RJTP Dan Ritp
    Dokumen2 halaman
    RJTP Dan Ritp
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Cherry Belle - Dilema
    Cherry Belle - Dilema
    Dokumen2 halaman
    Cherry Belle - Dilema
    Mauladah Uswatul Khasanah
    Belum ada peringkat
  • Lagu Cherry Belle
    Lagu Cherry Belle
    Dokumen1 halaman
    Lagu Cherry Belle
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • KESADARAN
    KESADARAN
    Dokumen1 halaman
    KESADARAN
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • RJP
    RJP
    Dokumen1 halaman
    RJP
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Korps Korpri
    Korps Korpri
    Dokumen4 halaman
    Korps Korpri
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Korps Korpri
    Korps Korpri
    Dokumen8 halaman
    Korps Korpri
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Askeb Inc Kompre
    Askeb Inc Kompre
    Dokumen21 halaman
    Askeb Inc Kompre
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Undangan Menikah Atul
    Undangan Menikah Atul
    Dokumen4 halaman
    Undangan Menikah Atul
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Zikir Kapanca
    Zikir Kapanca
    Dokumen2 halaman
    Zikir Kapanca
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • GBHN
    GBHN
    Dokumen209 halaman
    GBHN
    Randy Febrino
    Belum ada peringkat
  • Ustad Danu
    Ustad Danu
    Dokumen18 halaman
    Ustad Danu
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Penyebab Gang Jiwa
    Penyebab Gang Jiwa
    Dokumen26 halaman
    Penyebab Gang Jiwa
    mary_nurse351874
    Belum ada peringkat
  • Askeb Bayi Srye
    Askeb Bayi Srye
    Dokumen12 halaman
    Askeb Bayi Srye
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Askeb Anc Kompre
    Askeb Anc Kompre
    Dokumen19 halaman
    Askeb Anc Kompre
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Makalah Kanker Payudara
    Makalah Kanker Payudara
    Dokumen17 halaman
    Makalah Kanker Payudara
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Askeb Inc Srye
    Askeb Inc Srye
    Dokumen35 halaman
    Askeb Inc Srye
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Makalah Atresia Ani
    Makalah Atresia Ani
    Dokumen21 halaman
    Makalah Atresia Ani
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Asfiksia Berat
    Asfiksia Berat
    Dokumen19 halaman
    Asfiksia Berat
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Proses Nujuh Bulan (Sosbud)
    Proses Nujuh Bulan (Sosbud)
    Dokumen8 halaman
    Proses Nujuh Bulan (Sosbud)
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Pancasila Sebagai Ideologi
    Pancasila Sebagai Ideologi
    Dokumen11 halaman
    Pancasila Sebagai Ideologi
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Fobia Atau Takut
    Fobia Atau Takut
    Dokumen6 halaman
    Fobia Atau Takut
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Id, Ego
    Id, Ego
    Dokumen3 halaman
    Id, Ego
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Pengesahan
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Sampul 1bu Moa
    Sampul 1bu Moa
    Dokumen2 halaman
    Sampul 1bu Moa
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Ketakutan
    Ketakutan
    Dokumen4 halaman
    Ketakutan
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Hamil
    Hamil
    Dokumen2 halaman
    Hamil
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Kanker Payudara Dan Pengobatannya
    Kanker Payudara Dan Pengobatannya
    Dokumen9 halaman
    Kanker Payudara Dan Pengobatannya
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Poenya Ibu Moa
    Poenya Ibu Moa
    Dokumen10 halaman
    Poenya Ibu Moa
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat
  • Menjaga Penis
    Menjaga Penis
    Dokumen3 halaman
    Menjaga Penis
    agung nurcahyo
    Belum ada peringkat