RANULA
1. Definisi
Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor yang terdapat
pada dasar mulut. Dan akan berakibat pembengkakan di bawah lidah yang berwarna kebiru-
biruan.
Ranula merupakan fenomena retensi duktus pada glandula sublingualis (yang
kadang-kadang menunjukkan adanya lapisan epitel), dengan gambaran khas pada dasar
mulut. Mukosa di atasnya terlihat tipis, meregang dan hampir transparan. Pembesaran yang
disebabkan oleh cairan ini kadang menyebabkan terangkatnya lidah khususnya pada anak-
anak.
Ranula berasal dari kata latin : Rana, yang berarti katak. Dinamakan ranula, karena
ranula tersebut menonjol mirip perut katak. Bila kista tersebut menjadi sangat besar pada
dasar mulut, suara penderita dapat menjadi “croacking” seperti suara katak.
Istilah ranula digunakan untuk menggambarkan mucocele yang timbul pada dasar
mulut. Biasanya unilateral dan menyebabkan pembengkakan biru translusens yang mirip
dengan perut katak.
Ranula telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Banyak teori yang diajukan untuk
mengetahui asalnya. Hippocrates dan Celcius mengatakan bahwa kista berasal dari proses
inflamasi yang sederhana. Pare mensugestikan berasal dari glandula pituitary yang menurun
dari otak ke lidah. Ada juga yang mensugestikan bahwa kista tersebut berasal dari degenerasi
myxomatous glandula saliva. Teori yang terakhir mengatakan bahwa kista terjadi karena
Obstruksi ductus saliva dengan pembentukan kista atau ekstravasasi (kebocoran) saliva
pada jaringan yang disebabkan karena trauma. Obstruksi ductus tersebut dapat disebabkan
karena calculus atau infeksi.
Pada tahun 1973 Roediger dan rekannya dapat membuktikan bahwa terjadinya ranula
oleh adanya penyumbatan ductus glandula saliva sehingga terjadi penekanan sepanjang
dinding saluran. Bila ada daerah yang lemah akan pecah dan terjadi lagunar (bulatan-bulatan
kecil), yang merupakan retensi saliva yang lambat laun menjadi kista ekstravasasi
(kebocoran) pada ductus glandula sublingualis atau submandibularis, yang kadang-kadang
dapat ramifikasi (percabangan) secara difus ke leher.
Menurut Robert P. Langlais & Craig S. Miller, Ranula terbentuk sebagai akibat
terhalangnya ductus saliva yang normal melalui ductus ekskretorius mayor yang membesar
atau terputus dari glandula sublingualis (ductus Bartholin) atau glandula submandibularis
(ductus Wharton), sehingga melalui rupture ini saliva keluar menempati jarigan disekitar
ductus tersebut.
Walau terjadinya ranula yang ditulis dalam literature hingga saat ini masih simpang
siur, namun diperkirakan karena :
A. Adanya penyumbatan sebagian atau total sehingga terjadi retensi saliva sublingualis atau
submandibularis
B. Karena suatu trauma
C. Adanya peradangan atau myxomatous degenerasi ductus glandula sublingualis
(drg. Iskandar Atmadja).
3. Klasifikasi
4. Gambaran Klinis
5. Diagnosis
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ranula:
Gambaran histopatologis simple ranula yaitu dinding kista dilapisi epitel, sedangkan
plunging ranula dinding kista tanpa dilapisi epitel.
6. Diagnosis Banding
A. Differential Diagnosis Ranula superficial atau simple ranula
a. Batu kelenjar liur (Sialolith)
Pembentukan batu terjadi karena pengerasan kompleks kalsium di dalam
glandula saliva yang dapat menyumbat ductus saliva sehingga menyebabkan
pembengkakan di dasar mulut. Penyumbatan aliran saliva oleh batu akan
mengakibatkan pembengkakan dasar mulut yang keras, nyeri dan sakit (Robert P.
Langlais & Craig S. Miller).
Gejala klinis yang khas adalah rasa sakit yang hebat pada saat makan,
menelan dan disertai adanya pembengkakan glandula saliva dan sangat peka jika di
palpasi. (Dona Sari Nasution).
Gambar Sialolith
b. Kista Dermoid
Terjadi akibat pembengkakan jaringan lunak yang berasal dari degenerasi
kistik dari epitel yang terjebak selama perkembangan embrionik. Kista dermoid dapat
dijumpai di mana saja di kulit, tetapi mempuyai kecenderungan timbul di dasar mulut.
Secara klasik tampak seperti kubah, tidak sakit, muncul di dasar mulut. Mukosa di
atasnya merah muda, lidah sedikit terangkat dan palpasi memberi konsistensi seperti
adonan. Pasien mengeluh sukar makan dan bicara.
c. Hemangioma
Hemangioma adalah tumor jinak vaskuler yang sering terjadi pada rongga
mulut. Etiologinya diduga berhubungan dengan abnormalitas proliferasi dari sel-sel
endothelium.
Gambar Hemangioma
B. Differential Diagnosis Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula profunda
a. Laryngocele
Laryngocele adalah penonjolan selaput lendir laring (kotak suara). Terjadi
karena tekanan intralaringeal meningkat. Laryngocele yang menonjol ke arah luar
(Laryngocele eksterna) menyebabkan benjolan di leher. Penderita juga bisa
mengalami disfagia (gangguan menelan), batuk atau merasakan adanya sesuatu di
tenggorokannya. Pada CT scan, Laryngocele tampak licin dan berbentuk seperti telur.
Gambar Laryngocele
b. Sialadenitis
Terjadi karena peradangan dari glandula saliva dengan gambaran klinis :
Malnutrition
Mulut terasa kering
Rasa sakit pada mulut atau wajah, terutama ketika makan
Kulit kemerahan di samping wajah atau leher
Pembengkakan pada wajah terutama di depan telinga, di bawah
rahang, atau di bawah lidah.
Gambar Sialadenitis
c. Abses leher
Abses leher merupakan kumpulan nanah dari infeksi di ruang antara struktur
leher. Terjadi karena infeksi bakteri atau virus dikepala atau leher.
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
a. Demam
b. Merah, bengkak tenggorokan, sakit, kadang-kadang hanya satu
sisi.
c. Tonjolan di bagian belakang tenggorokan
d. Nyeri leher
e. Sakit telinga
f. Tubuh sakit
g. Panas dingin
h. Kesulitan menelan, berbicara atau bernapas
Sumber :
- Atmadja, Iskandar. Marsupialisasi Ranlula. Forum Ilmiah 1984 FKG Universitas Trisakti. Jakarta.
1984. h: 567-569.
- Damayanti; Husodo, Noto; Setijono. Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. Jakarta.
- Langlais, Robert P; Mille, Craig S. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut Yang Lazim.
Hipokrates. Jakarta. 1984. h: 40.
- Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. EGC. Jakarta. 1996. h: 279-280, 284-289.
- Sugito, MH. Kista. Dental Study Club. FKG. UGM. Jogjakarta. 1981. h: 6.
- Shear, Mervyn. Kista Rongga Mulut. Edisi ke-2. EGC. Jakarta. 1998. h: 196-197.