Anda di halaman 1dari 11

PEPER TINGKAH LAKU HEWAN

“TINGKAH LAKU HARIAN

ORANG UTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus)”

OLEH

1. ADI PUTRA J. MANDALA (15060500)


2. HEPSIE O. S. NAUK (1506050090)

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2018
A. Pendahuluan

Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang sangat luas yang di dalamnya terdapat berbagai jenis
spesies flora dan fauna. Flora dan fauna tersebut terdapat jenis-jenis endemik yang merupakan
khas Indonesia. Berbagai jenis fauna endemik tersebut diantaranya adalah orangutan, yang
termasuk dalam ordo primata, dan merupakan hewan yang dilindungi. Kerusakan hutan akibat
perambahan hutan menjadi perkebunan dan pemukiman, kebakaran hutan, dan maraknya
perburuan liar menyebabkan populasi orangutan semakin menurun. Kondisi yang sangat
memprihatinkan tersebut sudah menempatkan orangutan ke dalam kategori kritis/sangat terancam
punah (MacKinnon, 1986).

Rijksen and Meijaard (1999), menambahkan bahwa kondisi kepunahan orangutan akan terus
bertambah parah selama terus terjadi pengrusakan habitat dalam skala luas dan perburuan liar
untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Di tingkat nasional, orangutan dilindungi oleh
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 53/ Menhut-IV/ 2007. Di tingkat internasional, IUCN
Red List Edisi tahun 2002 mengkategorikan orangutan sumatera dalam status Critically
Endangered, artinya sudah sangat terancam kepunahan sedangkan orangutan kalimantan
dikategorikan Endangered atau langka (Soehartono et al., 2007) dan kedua spesies ini tidak boleh
diperdagangkan secara komersial karena berada dalam daftar Appendix I CITES (CITIES, 2010).

Berbagai usaha penegakan hukum perlindungan Orangutan dilakukan pemerintah untuk


menyelamatkan keberadaan Orangutan, yaitu dengan keluarnya UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia (Anonim, 1999). Usaha lain yang dilakukan adalah
menangkap para pemburu, penyelundup dan pemelihara illegal Orangutan, serta menyita
Orangutan yang mereka miliki.

Usaha ini bermanfaat bagi pemutihan kondisi Orangutan, karena diharapkan mampu menciptakan
efek jera bagi pelanggar hukum tersebut, dan Orangutan sitaan tersebut memiliki potensi untuk
reintroduksi (dilepas liarkan) kembali (Meijaard dkk. 2001). Saat ini program rehabilitasi dan
reintroduksi Orangutan di Indonesia terdapat di beberapa tempat, yaitu: Program Rehabilitasi
Orangutan Sumatra di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, Program
Rehabilitasi Orangutan Kalimantan di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan
Wanariset Semboja di Kalimantan Timur yang melakukan program reintroduksinya di hutan
Lindung Sungai Wain dan Hutan Lindung Pegunungan Meratus (Russon, 2002).

Orangutan merupakan satwa soliter yang cenderung hidup sendiri dan memiliki pergerakan lambat
dalam rimbunan pohon-pohon di hutan (Kuncoro, 2004). Aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh
kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, sosial dan bergerak di antara pepohonan, sedangkan
aktivitas membuat sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentasi waktu yang relatif
kecil (Galdikas, 1986).

Orangutan dapat hidup di berbagai tipe dan kondisi habitat, mulai dari hutan hujan tropis dataran
rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supryatna dan Wahyono, 2000). Habitat mempunyai
fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Salah satu komponen habitat terpenting
bagi orangutan adalah pohon, sebab orangutan sebagai mamalia arboreal terbesar dengan berat
betina 40 kg dan jantan 80 kg.

Habitat optimal bagi orangutan adalah habitat yang mencakup paling sedikit dua tipe lahan utama
yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Kalimantan sendiri secara umum
memiliki lima tipe habitat yang ditempati oleh orangutan, yaitu dataran banjir dan rawa gambut,
hutan aluvial/ daerah sepanjang sungai, dataran tinggi di kaki bukit, hutan subpegunungan dan
pegunungan, serta hutan tebang pilih/ hutan sekunder (Meijaard et al., 2001). Distribusi orangutan
dipengaruhi oleh sebaran habitat yang memiliki ketersedian makanan yang tersedia sepanjang
tahun dan apabila lokasi tersebut sudah tidak produktif lagi, maka orangutan akan terus bermigrasi
ke daerah lain dimana habitat tersebut menyimpan ketersedian makanan yang lebih baik dari
habitat sebelumnya (Buij et al., 2002; Susanto, 2006).

Menurut Meijaard et al. (2001), hanya beberapa individu yang tetap tinggal di suatu daerah
meskipun ketersediaan makanan rendah, sedangkan individu lainnya segera berpindah untuk
mencari daerah lain. Menurut Galdikas (1986), buah merupakan jenis makanan yang lebih
dominan untuk dimakan oleh orangutan, kehidupan orangutan tergantung dari kondisi habitatnya
yang mendukung akan adanya ketersedian makanan yang cukup bagi kehidupannya. Agar dapat
bertahan hidup, maka suatu populasi orangutan menggantungkan hidupnya pada komposisi
pepohonan dan liana yang menyediakan makanan selama musim produktif secara terus-menerus
sepanjang tahun dan dalam jarak penjelajahan yang masih bisa dijangkau, habitat orangutan
yang berkualitas baik dipenuhi pepohonan (contoh: Alangium spp. dan Palaquium spp.) dan
(contoh: liana yang 30–50% menyediakan buah-buahan sebagai sumber pakan orangutan.

B. CIRI-CIRI DAN KLASIFIKASI

Orang utan merupakan anggota suku ponidae yang mencakup 3 kera besar lainnya, yakni: Banobo
(Pan paniscus), Simpanse (Pan troglodytes), dan Gorila (Gorilla gorila). Orang utan merupakan
mamalia besar yang hidup arboreal dan memiliki pola hidup soliter (Maple, 1980; van Schaik,
2006).

Orang utan mempunyai ciri morfologi tubuh yang gemuk, perut besar dengan lengan yang panjang
dan kaki pendek, serta tidak mempunyai ekor. Panjang lengannya bahkan dapat mencapai 2 m
(Tjiu, 2006). Kelebihan ini digunakan orangutan untuk bergerak atau berlokomosi dengan
brachiasi. Sedangkan, struktur kakinya juga dapat berfungsi sebagai tangan yang dapat memegang
dan membantunya ketika berlokomosi. Hal ini diakibatkan oleh struktur lengan dan kaki yang
memiliki jari dan ibu jari yang dapat bergerak seperti manusia (Napier, 1972). Berdasarkan
penelitian Galdikas (1986), orangutan mempunyai daya jelajah harian berkisar antara 850 m pada
individu jantan dan 710 m pada individu betina.

Orangutan Kalimantan dan Sumatera memiliki perbedaan morfologi dan tingkah laku (Janczewski
et al. 1990). Perbedaan morfologis dua spesies orangutan dapat dikenali dari perawakannya,
khususnya struktur rambut. Jika diamati dengan mikroskop maka jenis dari Kalimantan umumnya
memiliki rambut pipih dengan kolom pigmen hitam yang tebal di tengah. Sedangkan jenis
dari Sumatera berambut lebih tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan
sering patah di bagian tengahnya, biasanya di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian
luarnya. Selain itu orangutan jantan Kalimantan memiliki rambut yang pendek dan kurang padat,
orangutan Sumatera memiliki rambut panjang, lebih tebal dan lebih berbulu (wolly). Orangutan
Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit, wajah dan warna rambut lebih gelap dari pada
orangutan Sumatra. Orangutan jantan Kalimantan memiliki kantung tenggorokan yang besar dan
terjumbai, sedangkan orangutan jantan Sumatera memiliki kantung tenggorokan yang lebih kecil.
Orangutan Kalimantan jantan memiliki pinggiran muka yang cenderung melengkung ke depan
sebaliknya orangutan jantan Sumatera memiliki pinggiran muka yang mendatar, namun perlu
diperhatikan bahwa ciri-ciri umum yang membedakan kedua spesies ini tidak mudah dilihat di
lapangan, terkecuali individu yang berada di kebun binatang atau penangkaran yang memiliki
kedua jenis ini dan diamati secara bersamaan, sehingga dapat dilihat perbedaannya secara langsung
(Meijaard et al. 2001).

Jantan dewasa Kalimantan mempunyai cheek pad atau penebalan lemak dan otot dibagian pipi
yang lebar, berkantung suara besar, serta wajah yang berbentuk segi empat. Sedangkan, pada
orangutan Sumatera mempunyai cheek pad dan kantung suara yang lebih kecil, warna janggut agak
kekuningan, dan wajah berbentuk berlian (Maple, 1980). Kantong suara yang besar pada orangutan
digunakan untuk berkomunikasi (Eimerl dan DeVore, 1978). Hewan jantan mampu melakukan
suara panjang (long call) yang cukup nyaring dan dapat didengar sejauh 3 km. Perilaku ini
bertujuan untuk mengundang betina yang sedang dalam masa birahi atau menantang jantan lain
yang berada disekitarnya (Supriyatna dan Wahyono, 2000; Mitra Setia dan van Schaik, 2006).
Namun, long call dapat pula dilakukan karena suatu gangguan, seperti pohon tumbang (Rijksen,
1978). Orangutan jantan dewasa berpipi beratnya mencapai 50-130 kg dan berat betina dewasa
hanya sekitar 30-50 kg.

Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Sub Ordo : Anthropoidea
Famili : Pongidae
Genus : Pongo
Spesies : Pongo abelli (Lesson, 1827)
Pongo pygmaeus (Hoppius, 1786)

C. AKTIVITAS HARIAN
Perilaku harian adalah aktivitas yang terarah yang merupakan respons individu terhadap kondisi
dan sumber daya lingkungan.

a. Perilaku Bergerak Orang Utan

Pergerakan orangutan pada pepohonan, memanfaatkan dahan-dahan pohon untuk berpindah dari
satu pohon ke pohon lainnya. Dahan-dahan pohon dibengkokkan pada saat mereka berpindah, cara
bergeraknya hati-hati dan tidak pernah melompat, kadang-kadang mereka berjalan tegak diatas
cabang pohon, mencengkram dahan diatasnya, untuk menjangkau jarak yang cukup jauh, mereka
bergelayut pada dahan-dahan pohon sampai mereka dapat mencengkram cabang pohon lainnya
yang terdekat (MacKinnon, 1986).

Menurut Rijksen (1978) bahwa perilaku pergerakan pada Orangutan yang berhubungan dengan
perilaku makannya kemungkinan besar memang dipengaruhi jenis kelamin. Sedangkan Rodman
dan Mitani (1987) mengatakan bahwa ada hubungan antara ukuran tubuh.

Orangutan selalu bergerak bergerombolan dengan orangutan lainnya sehingga pada saat
melakukan pergerakan orangutan sering melakukan aksi social seperti bermain, bergulat bahkan
sampai terjadi perkelahian.

b. Peilaku sosial (Bermain) ditempat konservasi

Tingkah laku bermain merupakan tingkah laku yang sering dilakukan oleh kelompok orangutan
hampir semua individu melakukan aktivitas bermain, tingkah laku bermain merupakan salah satu
pembelajaran bagi orangutan di tempat konservasi agar dapat memiliki gerak yang cepat yang
sama halnya orangutan di alam. Aktivitas bermain semakin menigkat, terutama setelah pemberian
pakan. Dari hasil pengamatan kelompok ini biasanyapada saat makan juga sering melakukan
aktivitas bermain terkadang saling berebut makanan yang dipegang.
Orangutan yang anak-anak masih sering bermain saat induk atau individu lainnya sedang makan
dan istirahat. Aktivitas bermain mencapai puncaknya pada saat pada siang hari setelah makan pagi
selesai dan perut telah kenyang, begitu pula dengan individu lainnya setelah kenyang ikut bermain
dengan yang lainnya. Tingkah laku bermain secara umum selalu melibatkan orangutan yang masih
muda hanya lebih sedikit dilakukan orangutan dewasa, hal ini dikarenakan umur anak-anak lebih
muda bisa dikatakan menginjak remaja.

c. Tingkah laku makan

Pola makan sangat berpengaruh terhadap kondisi biologis dan aktivitas hidup hewan, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi organisasi sosialnya (Meijaard et al. 2001). Menurut Maple (1980),
orangutan yang hidup di penangkaran memiliki waktu aktif yang berkorelasi positif dengan waktu
pemberian pakan. Pada kondisi alami, orangutan lebih banyak mengonsumsi buah dibandingkan
jenis pakan lainnya. Saat ketersediaan buah menurun, orangutan juga mengonsumsi berbagai
pakan lain yang dapat ditemui. Pakan lain yang dikonsumsi orangutan adalah daun, pucuk, bunga,
epifit, liana, kulit kayu (Galdikas 1984; Sinaga 1992), dan tanah (Meijaard et al. 2001). Pada
beberapa kasus, orangutan juga mengonsumsi kukang (Nycticebus coucang) (Utami & van Hooff
1997).

Berdasarakan hasil penelitian (Heri Purnawan, 2016), waktu aktivitas makan pada setiap orangutan
dilakukan pagi, siang dan sore hari. Aktivitas makan berlangsung sepanjang hari dengan
mengkonsumsi berbagai jenis makanan, yang kemudian diselingi dengan aktivitas berpindah dan
istirahat. Orangutan merupakan satwa yang senang mengkonsumsi jenis daun-daunan dan buah-
buahan karena buah dan daun lebih mudah untuk di cerna dan banyak terdapat kandungan nutrisi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan makanan yang lainnya seperti rumput dan kulit kayu.
Lama waktu aktivitas makan dan persentase pada setiap individu orangutan tersebut sangat
berbeda.

d. Tingkah laku istirahat

Orangutan membutuhkan waktu beristirahat setelah melakukan berbagai aktivitas, diketahui


bahwa aktivitas istirahat meningkat pada saat siang dan sore hari, di waktu pagi hari orangutan
lebih banyak menghadiskan waktu untuk makan dan berpindah. Aktivitas istirahat lebih banyak di
gunakan untuk bermain bersama orangutan lainnya meskipun sesekali terlihat sambil makan.
Orangutan dewasa lebih banyak melakukan aktivitas istirahat yang tinggi di antara individu lainnya
hal ini dikarenakan orangutan dewasa lebih terkait akan kebutuhan pakan, faktor ukuran tubuh dan
daya dukung habitatnya. Satwa ini aktif pada pagi dan sore hari biasanya waktu siang hari
digunakan untuk beristirahat dengan cara duduk di percabangan pohon dengan bersandar dan
ada juga yang duduk seperti manusia dengan tangan berpegangan dan kaki dilipat.

e. Aksi sendiri

Merupakan aktivitas yang tidak dapat dikategorikan seperti aktivitas di atas yang dapat dilakukan
secara bersama, aktivitas ini dilakukan secara individual oleh orangutan. Aktivitas yang
dikategorikan dalam aktivitas ini adalah pembuatan sarang.

Merupakan aktivitas yang memilki presentasi paling kecil dilakukan, bersarang merupakan
aktivitas yang mempunyai peran penting bagi kehidupan orangutan karena sarang yang dibuat
mempunyai fungsi tertentu yang menunjang aktivitas harian orangutan. Menurut Dalimunthe
(2009), fungsi sarang adalah sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas
hariannya. Selain itu, sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang buruk
seperti panas dan hujan.

Orangutan memilih tempat yang menguntungkan dalam membangun sarangnya dengan


mempertimbangkan letak pohon berbuah terdekat dan topografi daerah sehingga tempat bersarang
terdistribusi secara acak. Umumnya orangutan membangun sarang pada tempat-tempat yang dapat
memberikan pandangan yang luas ke sebagian besar areal hutan (Rijsken, 1978). Pemilihan tempat
bersarang ini sangat dipengaruhi oleh keadaan habitat termasuk kondisi vegetasi di mana
orangutan tersebut tinggal. Orangutan membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya, sarang
tersebut terdiri dari susunan dahan yang dibuat dalam beberapa menit pada tempat yang cocok
misalnya di puncak pohon atau di cangak dahan.

f. Tingkah laku Grooming

Sebagai primata yang hidup dalam kelompok sosial, merawat diri atau grooming merupakan salah
satu aktivitas yang sering dilakukan tujuan membersihkan diri dari kotoran atau parasit yang
melekat pada tubuh primata. Aktivitas grooming sering dilakukan oleh kelompok dewasa
dikarenakan indivudu dewasa sudah mengerti dalam merawat diri berbeda dengan anak-anak yang
lebih banyak melakukan aktivitas bermain dibandingkan dengan aktivitas grooming, biasanya
aktivitas grooming dilakukan pada saat istirahat pada siang hari dan pada sore hari ketika mau
tidur.

g. Tingkah laku bersuara

Aktivitas bersuara pada orangutan sering terjadi pada pagi hari biasanya pada saat bangun tidur
dan aktivitas bersuara biasa terjadi lagi pada saat makan karena mereka saling berebut
makan dengan cara bergulat sehingga timbul suara.

h. Tingkah laku seksual

Aktivitas seksual pada orangutan merupakan aktivitas yang khas, dimana sebagian besar aktivitas
tersebut selalu melibatkan pemaksaan atau yang dikenal dengan perkosaan (Galdikas, 1978;
Rijksen, 1978).
DAFTAR PUSTAKA

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora.
2010. Appendices I, II and III valid from 14 October 2010. CITES Secretariat
International Environment House Chemin des Anémones CH-1219 Châtelaine, Geneva
Switzerland. http://www.cites.org/eng/app/appendices.shtml atau http://www.cites.org
[20 Mar 2018].
Anonim. 1999. PP No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan dan
Perkebunan.
Buij, R., DKK. 2002. Seasonal movements in the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii)
and consequences for conservation. Biological Conservation 107(83-87)
Dalimunthe, N.P. 2009. Estimasi kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan
jumlah sarang di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi Sarjana.
Departeman Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Medan: Universitas
Eimerl. S dan I. DeVore. 1978. Primata. Jakarta: Pustaka Time Life.
Galdikas, B.M.F. 1978. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah.
Penterjemah
C. Sugiarto. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Janczewski, D.N. Goldman, D. & O’brien, S.J. 1990. Molecular genetic Divergence of
Orangutan (Pongo pygmaeus) Anak jenis Based on Isozime and Two-Dimensional Gel
Electrophoresis. J. of Heredity, 81: 375 – 387.
Kuncoro. 2004. Aktivitas Harian Pongo pygmaeus rehabilitant di Hutan Lindung Pegunungan
Meratu Kaltim. Skripsi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Bali: Udayana Press.
MacKinnon, K. 1986. Alam Asli Indonesia, Flora, Fauna, Dan Kelestariaan Alam. Jakarta: PT
Gramedia.
Maple TL. 1980. Orangutan Behavior. New York: van Nostrand Reinhold Company.
Meijaard, E.DKK. 2001. Di Ambang Kepunahan Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21.
Penyunting S.N. Kartikasari. Jakarta: The Gibbon Foundation Indonesia.
Napier, P. 1972. A Crosset All-Color Guide Monkeys and Apes. New York: Grosset & Dunlap
Inc.
Purnawan, heri. 2016. Perilaku Harian Orangutan (Pongo pygmaeus) Di Yiari Ketapang,
Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: UTP Press
Rodman, P.S. and J.C. Mitani. 1987. Orangutan: Sexual Dimorphism in a Solitary
Species. In Primate Societies. Editor B.B. Smuts; D.L. Cheney ; R.M.
Russon, A. E. 2002. Return of the Native: Cognition and Site-Specific Expertise
in Orangutan Rehabilitation. International Journal of Primatology. vol 23,
no 3, June 2002.
Soehartono, T.DKK. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007
2017. Jakarta: DirJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Sumatera Utara.MacKinnon, K. 1986. Alam Asli Indonesia, Flora, Fauna, Dan Kelestariaan
Alam. Jakarta: PT Gramedia
Supriyatna, J dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor:
Jakarta.
Tjiu, A. 2006. Mencari Jejak “Sepupu” Di Jantung Borneo (Menghitung orangutan yang
tersisa). http://wwf.or.id. (akses 25 Januari 2008). Proyek Orangutan Tuanan dan Sungai
Lading. www.aim.uzh.ch/orangutan network/fieldguidelines/metodeobservasiou.
Utami-Atmoko, S.S. 2000. Bimaturism in Orang-Utan Males: Reproductive and Ecological
Strategies. Universiteit Utrecht. Utrecht. Thesis Ph.D

Anda mungkin juga menyukai