Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

LAMPUNG PADA MASA PURBA

NAMA KELOMPOK :

1. ALMIRA CAESARA HARDIYUMNA


2. HANIF SETIAWAN
3. DICKY ROBBY WIJAYA
4. SOFIANA KUMALA DEWI
5. MELIANA WINDI HASTUTI

KELAS : XI IPS 2

SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) NEGERI 1 AMBARAWA


KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN PRINGSEWU
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan
banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Lampung Pada Masa Purba” dengan baik.

Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat
maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku penyusun menerima
segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Kami berharap dapat bermanfaat bagi sesama. Demikian yang bisa kami sampaikan,
semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata
untuk masyarakat luas.
MENELUSURI KERAJAAN PURBA DI LAMPUNG
DALAM CATATAN KRONIK-KRONIK CINA

SUATU HAL yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Asia Tenggara
adalah kebiasaan para musafir Cina di masa lampau untuk menuliskan kisah perjalanan
mereka, serta kebiasaan istana Cina untuk mencatat berita kedatangan utusan-utusan dari
negeri lain. Hubungan negeri Cina dengan negeri-negeri di Asia Tenggara telah terjalin sejak
zaman purba. Para musafir Cina yang berziarah ke India dengan menggunakan jalan laut pasti
melewati satu atau beberapa negeri di Asia Tenggara. Di lain pihak, kerajaan-kerajaan di
Asia Tenggara sering mengirimkan utusan-utusan ke negeri Cina sebagai tanda persahabatan
atau meminta pengakuan dari kaisar Cina. Tidaklah aneh jika dalam kronik-kronik Cina
banyak tercantum nama-nama negeri di Asia Tenggara.

Nama-nama tempat (toponimi) yang disebutkan itu tertulis dalam bahasa Cina yang berbeda
dengan nama aslinya. Oleh karena itu nama-nama tersebut perlu diidentifikasi dengan cermat
lalu dilokasikan di mana letaknya. Sudah pasti usaha ini tidaklah mudah. Identifikasi yang
salah mengakibatkan penulisan sejarah yang keliru. Harus kita akui bahwa identifikasi yang
pernah dilakukan para ilmuwan (ahli sejarah dan arkeologi) merupakan sumbangan yang
sangat berharga bagi penelitian sejarah. Namun tidaklah berarti bahwa pendapat-pendapat
mereka mutlak dan final.

Di daerah Lampung dijumpai beberapa prasasti sebagai sumber-sumber sejarah yang sahih
secara ilmiah: prasasti Palas Pasemah, prasasti Hujung Langit (Harakuning), prasasti Ulu
Belu dan prasasti Batu Bedil. Sayangnya, prasasti-prasasti itu belum diteliti secara mendalam
oleh para ilmuwan. Tetapi tidak dapat dipungkiri prasasti-prasasti itu membuktikan bahwa
pada zaman purba pernah berdiri kerajaan di daerah Lampung, sebab dahulu hanya raja yang
berhak membuat prasasti. Siapa tahu, kerajaan yang pernah ada di Lampung sebenarnya
tercantum juga dalam kronik-kronik Cina.

KAN-TO-LI
Pada abad kelima dan keenam Masehi, di kawasan Asia Tenggara terdapat sebuah negeri atau
kerajaan yang disebut oleh kronik Cina dengan nama Kan-to-li. Uraian tentang negeri ini
terdapat dalam Sejarah Dinasti Liang (502-556), yang diterjemahkan Prof. W.P. Groeneveldt
dalam bukunya, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources,
Bhratara, Djakarta, cetak ulang 1960 (edisi pertama 1876), hal. 60, sebagai berikut: “The
country of Kan-to-li is situated on a great island in the southern sea. Its customs and
manners are about the same as those of Cambodia and Siam. It produces flowered cloth,
cotton and areca-nuts.” (Negeri Kan-to-li terletak di sebuah pulau besar di laut selatan. Adat-
istiadatnya kira-kira sama dengan Kamboja dan Siam. Negeri ini menghasilkan pakaian yang
berbunga, kapas dan pinang).
Dari kronik Cina yang lain diketahui bahwa negeri Kan-to-li mengirimkan utusan ke negeri
Cina pada tahun-tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563. Hal ini tercantum dalam tulisan
Prof. Wang Gungwu, “The Nanhai Trade: A study of the early history of Chinese trade in the
South China Sea”, dalam majalah ilmiah Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic
Society, Volume 31 No.2, Singapore, 1958, hal. 120-122.

Prof. Oliver W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian
Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa
ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada
abad kelima dan keenam, yaitu Kan-to-li di Sumatera dan Ho-lo-tan di Jawa.

Di manakah letak negeri Kan-to-li? Hampir semua ahli sejarah berpendapat bahwa Kan-to-li
terletak di Sumatera. Tetapi di mana? Oliver Wolters (op.cit. hal.162) mengikuti pendapat
Gabriel Ferrand bahwa Kan-to-li terletak di Singkil (Barus), pantai barat Aceh, berdasarkan
keterangan musafir Arab, Ibnu Majid, tahun 1462 bahwa pelabuhan Singkil dahulu disebut
“Kandari”. Prof. Slametmulyana dalam bukunya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi,
Idayu, Jakarta, 1981, hal. 18, berpendapat bahwa Kan-to-li transliterasi dari nama asli
“Kuntali” (Kuntala), kemudian nama Kuntal mengalami metatesis menjadi Tungkal, nama
daerah di Jambi.

Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa Kan-to-li mungkin transliterasi dari nama asli
“Kenali” di daerah Lampung Barat. Ada semacam legenda dalam masyarakat Lampung
bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kerajaan Sekalaberak, dan sampai kini banyak
pemuka adat Lampung yang bangga mengaku keturunan Sekalaberak. Meskipun informasi
tentang Sekalaberak kebanyakan berupa legenda, besar kemungkinan di daerah Lampung
Barat dahulu memang pernah ada Kerajaan Sekalaberak yang namanya tertinggal dalam
cerita turun-temurun.

Bahwa di Lampung Barat pernah berdiri sebuah kerajaan, hal ini terbukti dengan
ditemukannya prasasti Hujung Langit (Harakuning) bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12
November 997) di daerah Liwa dekat Gunung Pesagi, yang dibahas dalam buku Prof. Dr.
Louis-Charles Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, Jakarta, 1995, hal. 26-45. Nama raja yang mengeluarkan prasasti itu tercantum
pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya Sri Haridewa. Inilah nama raja
di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti! Melihat lokasinya, barangkali
prasasti tersebut ada hubungannya dengan Kerajaan Sekalaberak yang legendaris itu, dan
mungkin kerajaan itu sudah ada sejak abad kelima dengan beribukota di Kenali, yang disebut
Kan-to-li dalam kronik Cina.
TO-LANG-PO-HWANG
Dalam kronik Tai-ping-huan-yu-chi dari abad kelima Masehi, disebutkan nama-nama negeri
di kawasan Nan-hai (“Laut Selatan”), antara lain dua buah negeri yang disebutkan berurutan:
To-lang dan Po-hwang. Negeri To-lang hanya disebut satu kali, tetapi negeri Po-hwang
cukup banyak disebut, sebab negeri ini mengirimkan utusan ke negeri Cina tahun 442, 449,
451, 459, 464 dan 466. Prof. Gabriel Ferrand, pada tulisannya dalam majalah ilmiah Journal
Asiatique, Paris, 1918, hal. 477, berpendapat bahwa kedua nama itu mungkin hanya satu
nama: To-lang-po-hwang, lalu negeri itu dilokasikan Ferrand di daerah Tulangbawang,
Lampung.

Prof. Purbatjaraka, dalam bukunya Riwajat Indonesia I, Jajasan Pembangunan, Djakarta,


1952, hal. 25, menyetujui kemungkinan adanya kerajaan Tulangbawang, meskipun
diingatkannya bahwa anggapan itu semata-mata karena menyatukan dua toponimi dalam
kronik Cina, serta belum ditemukannya data arkeologis yang membuktikan bahwa di daerah
Tulangbawang pernah berdiri suatu kerajaan. Kita berharap semoga segera ditemukan data
arkeologis dari kawasan Tulangbawang.

YEH-PO-TI
Negeri Yeh-po-ti hanya tercatat dalam uraian perjalanan pendeta Fa-Hsien pada tahun 414
yang berjudul Fo-kuo-chi (Catatan Negeri-negeri Buddha). Prof. Paul Wheatley, dalam
bukunya The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1961, hal.37-
38, merangkum uraian tentang negeri Yeh-po-ti sebagai berikut: “Dalam perjalanan pulang
dari India ke Cina kapal yang ditumpangi Fa-Hsien terserang badai sehingga terpaksa
berlabuh di negeri Yeh-po-ti di kawasan laut selatan. Di Yeh-po-ti berkembang agama Hindu,
sedangkan agama Buddha dalam kondisi yang tidak memuaskan. Sesudah tinggal di Yeh-po-
ti selama lima bulan, Fa-Hsien berangkat ke Cina dengan menumpang kapal dagang yang
lain. Berlayar ke arah timur laut, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Identifikasi para ilmuwan tentang negeri Yeh-po-ti juga masih simpang siur. Pada tahun 1876
W.P. Groeneveldt (op.cit. hal 6-7) beranggapan nama Yeh-po-ti transliterasi dari nama
Yawadwipa (Pulau Jawa). Pendapat ini diikuti oleh banyak ahli sejarah. Tetapi Prof. Paul
Wheatley dan Prof. Oliver Wolters menyangsikan identifikasi ini, sebab nama “Jawa” biasa
ditransliterasikan She-po dalam kronik-kronik Cina. Seandainya nama Yeh-po-ti menyatakan
Jawa, tentu nama ini banyak dijumpai. Kenyataannya, nama Yeh-po-ti hanya ada dalam kisah
pelayaran Fa-Hsien dan tidak pernah disebutkan dalam kronik-kronik Cina yang lain. Hal ini
berarti bahwa negeri Yeh-po-ti jarang dikunjungi musafir atau kapal Cina.

Wheatley dan Wolters berpendapat bahwa Yeh-po-ti negeri kecil yang terletak di pantai timur
Sumatera bagian selatan, tetapi mereka tidak berusaha mencari di mana lokasinya. Tidaklah
tertutup kemungkinan, jangan-jangan nama Yeh-po-ti transliterasi dari nama “Seputih”,
daerah pantai timur Lampung.
Data-data arkeologi membuktikan bahwa daerah Seputih pernah berkembang pada zaman
purba. Di daerah Pugung Raharjo, daerah Seputih, telah ditemukan lingga dan arca Hindu
yang besar. Demikian pula di Gunung Sugih, di tepi Way Seputih, ditemukan patung seorang
dewi Hindu (Lihat: “Hasil Survey Kepurbakalaan di daerah Lampung”, Berita Penelitian
Arkeologi, No.2, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1976). Hal
ini membuktikan bahwa di daerah Seputih pernah berkembang agama Hindu. Lagi pula, arah
pelayaran dari pantai timur Lampung menuju Kanton memang ke arah timur laut dan
diperkirakan memakan waktu sebulan. Jadi, identifikasi Yeh-po-ti dengan Seputih, selain
berdasarkan kemiripan bunyi, juga cocok sekali dengan uraian-uraian Fa-Hsien.

Negeri Yeh-po-ti (Seputih) tidak pernah disebutkan oleh kronik-kronik Cina yang lain,
karena letaknya kurang strategis sehingga jarang dikunjungi musafir Cina. Fa-Hsien terpaksa
singgah di Yeh-po-ti akibat kapalnya terserang badai. Kiranya kapal-kapal Cina tidak setiap
saat berlabuh di Yeh-po-ti. Itulah sebabnya Fa-Hsien tertahan sampai lima bulan di sana
dalam menunggu kapal yang akan ditumpanginya pulang ke Cina.

Pada akhir abad ketujuh, negeri Seputih ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya yang berpusat
di Palembang sekarang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Sriwijaya di Palas
Pasemah yang terletak di sebelah selatan Way Seputih dekat Kalianda. Prasasti ini terdiri dari
13 baris, dan telah dibahas oleh Prof. Buchari dari Universitas Indonesia pada tulisannya,
“An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, dalam buku
kumpulan makalah Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hal. 19-40.

Prasasti Palas Pasemah merupakan salah satu “prasasti persumpahan”, yaitu prasasti yang
berisikan ancaman bagi mereka yang tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Sampai saat
ini prasasti-prasasti persumpahan telah ditemukan di Telaga Batu (Palembang), Kota Kapur
(Bangka), Karang Berahi (Jambi) dan Palas Pasemah (Lampung). Hanya satu yang bertarikh,
yaitu prasasti Kota Kapur: tanggal 1 Waisaka 608 Saka (28 Februari 686). Tetapi karena
isinya persis sama, para ahli sejarah sepakat bahwa prasasti-prasasti persumpahan itu dibuat
pada masa yang sama.

Sejarah Lampung

Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di
dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di
Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke
setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu Way Komring, Way
Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta
anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.
Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa Lampung. Ia
melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung itu sendiri. Bukti tentang
kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan,
warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung
seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau.

Kata LAMPUNG sendiri berawal dari kata Anjak Lambung yang berarti berasal dari
ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati
dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi.

Dilereng Gunung Pesagi didapati situs seperti batu batu bekas Negeri atau Pekon kuno, tapak
bekas kaki, pelataran peradilan dan tempat eksekusi, serta Prasasti yang terpahat pada batuan.
Dari sebuah batu yang bertarikh 966 Caka yang terdapat di Bunuk Tenuar Liwa, ternyata
telah ada suku bangsa yang beragama Hindu telah menjadi penghuni didataran Lampung.
Didalam rimba rimba ditemukan parit parit dan jalan jalan bekas Zaman Hindu bahkan pada
perkebunan tebu terdapat batu batu persegi dan diantaranya didapat batuan berukir yang
merupakan puing candi.

Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich didalam
menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat yang berbeda beda namun secara garis besar
didapat benang merah kesamaan dan acuan yang tidak diragukan didalam menganalisa bahwa
Sekala Brak merupakan cikal bakal bangsa Lampung.

Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris
bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang
terletak diantara pulau Jawa dan Kamboja. menurut catatan kitab, masyarakat Kendali ini
mempunyai adat istiadat yang sama dengan bangsa Siam dan Kamboja. Baginda dari
Kendali-Sapanalanlinda mengirimkan seorang utusan yang bernama Taruda ke negeri
Tiongkok dengan membawa hadiah emas dan perak, utusan yang demikian dikirim berturut
turut hingga abad ke enam.

Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali ibukota
kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli
sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata
Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.

Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun didalam Tambo, dataran Sekala Brak
tersebut pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi yang menganut faham animisme. Suku
bangsa ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka
bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya
lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah.
Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat
menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang
nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa
Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.

Diriwayatkan didalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung tiba di Sekala Brak untuk
menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat
Lampung. Keempat Putera Raja ini masing masing adalah:
1. Umpu Bejalan Di Way
2. Umpu Belunguh.
3. Umpu Nyerupa.
4. Umpu Pernong.

Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang
bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung
Minangkabau. Setibanya di Skala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang
ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut
mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau
Empat Sepakat.

Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu
berkembanglah agama Islam di Sekala Brak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk
agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan
sebagian lagi ke daerah Palembang.

Dataran Sekala Brak yang telah dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, maka
Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama PAKSI
PAK SEKALA BRAK.

Inilah cikal bakal Kerajaan Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kerajaan
Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuayan yaitu:
1. Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu
Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way.
2. Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini
disebut dengan Paksi Buay Belunguh.
3. Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini
disebut dengan Paksi Buay Nyerupa
4. Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini
disebut dengan Paksi Buay Pernong.
Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si Bulan berangkat
dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup. Dan daerah pembagiannya digabungkan ke
daerah Paksi Buay Pernong karena letaknya yang berdekatan.

Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima
yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian
dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan
bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa
inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup
menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.

Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu
akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang
hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN Raja Raja dari Paksi
Pak Sekala Brak serta keturunan keturunannya. Dengan ditebangnya pohon Belasa
Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus
hilangnya faham animisme di kerajaan Sekala Brak.

Sekitar awal abad ke 9 Masehi para Saibatin Raja Raja di Sekala Brak menciptakan aksara
dan angka tersendiri sebagai Aksara Lampung yang dikenal dengan Had Lampung.
Ada dua makna didalam mengartikan kata Pepadun, yaitu:
1. Dimaknakan sebagai PAPADUN yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau
pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk diatasnya adalah Raja.
2. Dimaknakan sebagai PAADUAN yang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal.
Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk diatasnya adalah tempat orang mengadukan
suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.

Ini jelas bahwa fungsi Pepadun hanya diperuntukkan bagi Raja Raja yang memerintah di
Sekala Brak. Atas mufakat dari keempat Paksi maka Pepadun tersebut dipercayakan kepada
seseorang yang bernama Benyata untuk menyimpan, serta ditunjuk sebagai bendahara Pekon
Luas, Paksi Buay Belunguh dan kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.

Manakala salah seorang dari keempat Umpu dan keturunannya memerlukan Pepadun tersebut
untuk menobatkan salah satu keturunannya maka Pepadun itu dapat diambil atau dipinjam
yang setelah digunakan harus dikembalikan. Adanya bendahara yang dipercayakan kepada
Benyata semata mata untuk menghindari perebutan atau perselisihan diantara keturunan
keturunan Paksi Pak Sekala Brak dikemudian hari. Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan
diantara keturunan Benyata memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak
menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat dengan persetujuan Paksi Pak
Sekala Brak dan Keresidenan, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus dari
Umpu Belunguh hingga sekarang.
Sejarah Lampung dimulai sejak zaman Hindu/Animis yang berlangsung s/d awal abad
ke XVI. Sistem kebudayaan yang berasal dari luar termasuk Hindu dan Budha, tetapi yang
dominan adalah tradisi asli dari zaman Malayu-Polynesia. Daerah Lampung telah lama
dikenal orang luar pada permulaan tahun masehi sebagai tempat orang-orang lautan mencari
hasil hutan, terbukti dengan diketemukannya berbagai bahan keramik dari zaman Han (206 -
220 SM) dan akhir zaman Han (abad ke II s/d VII) juga dari zaman Ming (1368 - 1643).

Menurut berita dari negeri Cina (China Chronicle) abad ke VII, dikatakan bahwa di daerah
selatan (Nam-phang) terdapat kerajaan yang disebut "To Lang P'owang" (To = orang, Lang
P'owang = Lampung). Telah dapat dipastikan bahwa Lampung telah didiami manusia sejak
zaman prasejarah berabad-abad yang lalu.Hal ini terbukti dari penemuan peninggalan-
peninggalan sejarah atau budaya dalam bentuk patung-patung, pahatan bercorak megalitik di
sekitar Putawiwitan, Sumberjaya, Kenali, Batubedil dan di kecamatan Sekampung Udik
(Pugung Raharjo).

Pada daerah-daerah tertentu terdapat peninggalan yang menunjukan bahwa Lampung berada
dibawah Kerajaan maritim terbesar kala itu, Kerajaan Sriwidjaya. Prasasti Palas Pasema dan
Prasasti Batubedil di daerah Tanggamus merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya pada
sekitar abad VII. Kerajaan-kerajaan Tulang Bawang dan Skalabrak diduga pernah berdiri
pada sekitar abad VII - VIII. Pusat Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan terletak di sekitar
Menggala/Sungai Tulang Bawang sampai Pagar Dewa.

Anda mungkin juga menyukai