Transplantasi Imun
Transplantasi Imun
pendonor ke penerima. Proses pemindahan penggantian suatu jaringan atau organ yang rusak dengan organ
donor yang sehat mampu untuk meningkatkan kualitas hidup bagi banyak pasien. Transplantasi ginjal yang
sukses untuk pertama kali terjadi pada tahun 1954 (Suthanthiran, dkk 2001).
Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan
memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10--14 hari, maka allograft kedua
dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7
hari (Baratawidjaja, 1991)
Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang digunakan untuk
mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA pendonor
menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match yang positif menjadi
kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena hasil dari tes cross-match dapat diasosiasikan dengan
episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible
graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001).
Selain melakukan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum (prior)
transplantasi, hal yang dapat dilakukan juga dengan pemberian obat imunosupresan. Imunosupresan dapat
digunakan untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-
obatan yang digunakan untuk menekan penolakan antara lain:
Adapun, mekanisme imunosupresan dalam mengontrol penolakan tandur dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 4. Agen Immunosuppressive digunakan untuk mengontrol penolakan jaringan (Roitt & Delves 2001)
Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt & Delves 2001)
Referensi:
Bratawijaya, KG & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar.
Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology.
Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook.
Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed.
Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed.
Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook.
Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed.
B. Penolakan Transplantasi
Penolakan biasanya terjadi segera setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga
baru tampak beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian. Penolakan bisa
bersifat ringan dan mudah ditekan atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif
meskipun telah dilakukan pengobatan. Penolakan tidak hanya dapat merusak jaringan
maupun organ yang dicangkokkan tetapi juga bisa menyebabkan demam, menggigil,
mual, lelah dan perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba. Proses
penolakan, proses dimana tubuh menolak “benda asing” yg masuk kedalam tubuh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pencangkokan (transplantation) adalah pemindahan organ tubuh manusia yang masih
memiliki daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan
tidak berfungsi dengan baik apabila diobati dengan teknik dan cara biasa, bahkan
harapan hidup penderitan hampir tidak ada lagi. Penolakan biasanya terjadi segera
setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga baru tampak beberapa minggu
bahkan beberapa bulan kemudian. Penolakan bisa bersifat ringan dan mudah ditekan
atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif meskipun telah dilakukan
pengobatan.Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi , yaitu faktor yang
berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan
peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/genetics/2071374-pengertian-
transplantasi/#ixzz1gRE3cXfH
http://www.voanews.com/indonesian/news/Penelitian-Baru-di-Amerika-Penerima--
133964393.html
http://blogdokter.blogdetik.com/2011/10/07/sekilas-mengenai-transplantasi-organ-
secara-
Toleransi Imunologi
Imunologi
Toleransi Imunologi (Immunological Tolerance) adalah ketidakmampuan dari sistem imunitas untuk
memberikan respons (unresponsiveness) terhadap suatu antigen dikarenakan induksi dari antigen yang
sama sebelumnya. Sel limfosit yang berhadapan dengan antigen dapat menjadi aktif dan menghasilkan
respons imun, ataupun dapat menjadi tidak aktif atau tereliminasi dan menghasilkan toleransi. Antigen
yang menyebabkan toleransi disebut tolerogen (tolerogenic antigens). Toleransi terhadap antigen yang
diproduksi tubuh (self-antigen) disebut sebagai self-tolerance (Abbas, dkk 2007).
Sistem imun pada dasarnya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan dalam respons
humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler). Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam
memberikan respons terhadap antigen spesifiknya dikenal dengan istilah anergy. Lymphocyte
anergy (disebut clonal anergy) adalah kegagalan dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap
antigen dan menjadi representasi terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi tubuh
sendiri (Cruse & Lewis, 2003).
Dasar dari mekanisme toleransi imunologi ditemukan sekitar tahun 1945 dimana, Owen melakukan
observasi terhadap kembar sapi non-identik (dizygotic) yang saling berbagi sirkulasi plasental yang sama
dan mengembangkan toleransi terhadap antigen dari sel darah satu sama lain. Fenomena ini kemudian
diteliti lebih lanjut oleh Burnet dan Fenner. Mereka menduga bahwa suatu antigen yang mencapai sel
limfoid, dimana perkembangan imunitasnya belum matang, akan menekan respons terhadap antigen yang
sama saat paparan berikutnya dan hewan tersebut secara imunologi telah matang. Percobaan lebih lanjut
dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham menggunakan transplantasi kulit pada tikus. Medawar dan
rekannya menemukan prinsip penting bahwa toleransi imunologi dapat terjadi karena adanya induksi dari
suatu antigen pada suatu masa perkembangan limfosit dan proses induksi tersebut dapat dilakukan secara
buatan (artificial) (Roitt & Delves, 2001).
Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni toleransi sentral
(central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi sentral dijelaskan sebagai
toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit, sementara toleransi peripheral dijelaskan
sebagai toleransi yang timbul setelah sel limfosit meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty,
2005). Toleransi sentral (central tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel
limfosit, yakni thymus pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di
sumsum tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya berupa
antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen asing dari lingkungan luar, tidak akan ditrasport
ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju organ limfoid perifer (Abbas, dkk
2007).
Paparan terhadap antigen sendiri dengan dosis tinggi akan memicu sel limfosit muda (immature)
mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut akan apoptosis (disebut
juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan mengalami perubahan pada reseptor
mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses ini disebut juga receptor editing), dan beberapa
CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian
bermigrasi ke organ perifer dan mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi
saat limfosit dewasa yang mampu mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam
memberikan respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas, dkk
2007).
Sel B dapat menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa, yaitu clonal
abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir adalah AFC blockade. Clonal
abortion adalah peristiwa ketika pertama kali sel B yang belum matang bertemu dengan suatu antigen
dalam jumlah yang kecil. Kondisi seperti ini diduga dapat memicu pembatalan pematangan sel B untuk
memicu respons imun, hal tersebut mengakibatkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen
tersebut. Peristiwa clonal exhaustion terjadi jika terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-
independent dapat menyebabkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut mengakibatkan AFC dari sel B
yang terbentuk berusia pendek dan akhirnya tidak lagi tersedia sel yang dapat merespons antigen. Peristiwa
delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent terhadap sel T maupun yang bersifat
independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan oleh tidak adanya bantuan dari sel T untuk melawan
antigen tersebut sehingga sel B tidak dapat merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar
dapat mengakibatkan terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.
Jalur toleransi pada sel T secara umum memiliki kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga tahapan
yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal abortion adalah tahapan dimana
sel T yang belum matang dapat dihambat proses pematangannya dengan cara yang mirip dengan sel B.
Functional deletion terjadi saat sel T yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel
T suppression bekerja dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga dapat menghambat fungsi sel T
yang telah matang untuk mengenali antigen.
Sel T dan sel B memiliki karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perbedaan-
perbedaan karakteristik tersebut meliputi waktu induksi, dosis antigen, keberadaan antigen, spesifisitas
antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T berbeda dengan sel B dan bergantung
pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T, sel T dapat terinduksi dengan cepat sedangkan sel B
terinduksi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang
independent terhadap sel T, antigen tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.
Dosis antigen yang diberikan juga akan berpengaruh pada induksi terhadap toleransi. Dosis antigen yang
diperlukan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan jumlah antigen yang
diperlukan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu antigen sejumlah 100-1000 kali lebih
banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi sel T.
Keberadaan suatu antigen juga dapat sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan
berpengaruh juga terhadap waktu lamanya paparan suatu antigen.
Spesifisitas suatu antigen juga berpengaruh terhadap respons toleransi yang terbentuk. Diketahui bahwa
suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan terhadap antigen tertentu. Hal
tersebut dapat mengakibatkan timbulnya toleransi terhadap berbagai jenis antigen yang memiliki kesamaan
determinan.
Obat imunosupresif tidak dapat memproduksi toleransi antigen-spesifik jika obat tersebut berfungsi secara
seimbang pada klona yang mudah dirangsang. Beberapa obat imunosupresif dapat berfungsi secara
spesifik terhadap derivat limfosit, contohnya cyclosporin A mempengaruhi hanya sel T. Obat
imunosupresif dapat membuat keadaan antigen-spesifik dengan melibatkan elemen antigen spesifik pada
tolerizing regimen, yaitu saat obat berfungsi sebagai kofaktor dalam tolerogenesis. Obat imunosupresif
dapat bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: Pertama, dengan merendahkan level dimulainya
induksi toleransi. Kedua, dengan memblok sekuen yang berdiferensiasi pada sel yang dipicu oleh antigen.
Obat imunosupresif seperti cyclophosphamide bekerja pada sel T dan B yaitu meningkatkan sensitivitas sel
B terhadap tolerogenesis terhadap mekanisme normal dan aktivitas tersebut berhubungan dengan
ketidakmampuan sel B diobati dengan cyclophosphamide untuk meregenerasi reseptor immunoglobulin
untuk antigen pada permukaan sel B. Sel B neonatal tidak dapat meregenerasi reseptor permukaan setelah
mengadakan kontak dengan antigen dan proses capping. Capping merupakan prosedur yang permukaan
dari immunoglobulin teragregasi saat dilapisi oleh anti-immunoglobulin sehingga membran bebas dari
reseptor immunoglobulin.