Anda di halaman 1dari 12

Transplantasi adalah proses pemindahan suatu organ atau jaringan tubuh (graft) dari jaringan atau organ

pendonor ke penerima. Proses pemindahan penggantian suatu jaringan atau organ yang rusak dengan organ
donor yang sehat mampu untuk meningkatkan kualitas hidup bagi banyak pasien. Transplantasi ginjal yang
sukses untuk pertama kali terjadi pada tahun 1954 (Suthanthiran, dkk 2001).

A. Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft)


Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas empat tipe yaitu:
1. Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang berasal dari
suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri.
2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ
antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies.
3. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ
antarindividu yang secara genetic kembar identik.
4. Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang
berbeda spesies (Shetty 2005).

Gambar 1. Tipe Transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003).

B. Mekanisme Penolakan Jaringan/Organ


Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk ditransplantasikan
dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur penyesuaian suatu pemindahan
jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak dalam daerah Major Histocompability
Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada lengan pendek kromosom enam, sementara pada tikus
terletak pada kromosom tujuh belas. Letak gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen
histocompatibility disebut histocompability locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA
(Human Leukocyte Antigen). MHC class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin
besar kecocokan antara donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan
ditubuh pendonor.
Gambar 2. Lokus Histokompabilitas Mayor pada Berbagai Spesies (Cruse, dkk 2004).

Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan
memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10--14 hari, maka allograft kedua
dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7
hari (Baratawidjaja, 1991)

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Target (Roitt & Delves 2001).


Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC alllogeneic. Sel
tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC allogeneic dan membunuh sel
sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat transplan atas perintah limfokin dari sel T
helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host
Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan tersebut antara lain:
1. Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit sampai
beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi karena perusakan oleh antibodi yang sudah
ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema
dan pendarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh
jaringan. Gejala umum yang terlihat pada penolakan hiperakut adalah trombosis dengan kerusakan
endotil dan nekrosis. Selain itu adalah badan mengalami panas, leukositosis dan produksi urin
sedikit. Urin mengandung elemen seluler seperti eritrosit.
2. Penolakan akut. Merupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya
tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada resipien yang
menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima allograft dan pengobatan
imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah penolakan. Penolakan dapat terjadi
beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya adalah fungsi ginjal yang tidak berfungsi,
perbesaran ginjal disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran darah, dan adanya se darah dan
protein dalam urin. Penolakan akut dapat dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum
antilimfosit, steroid, dan lainnya.
3. Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft beberapa
bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap
antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah timbulnya penolakan kronik.
Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna karena kerusakan sudah terjadi. Contoh
dari penolakan kronik adalah gagal ginjal yang terjadi perlahan-lahan dan progresif karena terjadi
prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal.
4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft)
dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor allogeneic akan
diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan tergantung pada derjat
inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi
adalah invasi transplan oleh limfosit dan monosit melalui pembuluh darah dan menimbulkan
kerusakan pembuluh darah dan nekrosis.
5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang
imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan resipien.
Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang allogeneic dan
tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan menimbulkan reaksi
CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH
adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat badan
menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC
kelas II) dan jaringan akibat respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat
transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi
darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi jika sebelum
transplantasi atau transfusi, usaha menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak
maksimal. Oleh karena itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan
tidak terjadi (Baratawidjaja 1991)

C. Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ


Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) adalah uji untuk menentukan dari tipe MHC class I dan
class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor maupun resipien. HLA tissue
typing adalah indentifikasi dari antigen Kompleks Histokompabilitas Mayor (MHC) kelas I dan II pada
limfosit dengan teknik serologis dan selular. Class-I typing melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin
diuji dengan antisera dari HLA yang telah diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II
typing mendeteksi antigen HLA-DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian
tersebut didasarkan pada disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan complement-dependent
(Cruse, dkk 2004). Prinsip dari pengujian secara serologis adalah microlymphocytotoxicity menggunakan
piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya terdapat predispensed antibody dengan spesifitas
terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji, dan ditambah dengan komplemen kelinci dan pewarna vital.
Metode ini digunakan untuk pengujian organ transplan seperti allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi
sumsum tulang (bone-marrow), prosedur yang digunakan disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur
ini digunakan untuk mengukur derajat relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien (Cruse &
Lewis 2003)

Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang digunakan untuk
mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA pendonor
menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match yang positif menjadi
kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena hasil dari tes cross-match dapat diasosiasikan dengan
episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible
graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001).

Selain melakukan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum (prior)
transplantasi, hal yang dapat dilakukan juga dengan pemberian obat imunosupresan. Imunosupresan dapat
digunakan untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-
obatan yang digunakan untuk menekan penolakan antara lain:

Adapun, mekanisme imunosupresan dalam mengontrol penolakan tandur dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 4. Agen Immunosuppressive digunakan untuk mengontrol penolakan jaringan (Roitt & Delves 2001)
Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt & Delves 2001)

Referensi:
 Bratawijaya, KG & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar.
 Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology.
 Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook.
 Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed.
 Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed.
 Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook.
 Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed.

 PENOLAKAN/ PENERIMAAAN TRANSPLANTASI



 A. Pengertian
 Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang
lain (Baratawidjaja, 2006).
 Pencangkokan (transplantation) adalah pemindahan organ tubuh manusia yang masih
memiliki daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan
tidak berfungsi dengan baik apabila diobati dengan teknik dan cara biasa, bahkan
harapan hidup penderitan hampir tidak ada lagi.
 Organ tubuh yang ditansplantasikan biasa adalah organ vital seperti ginjal, jantung,
dan mata. namun dalam perkembangannya organ-organ tubuh lainnya pun dapat
ditransplantasikan untuk membantu orang yang sangat memerlukannya.
 Transplantasi bisa memberikan keuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Transfusi darah merupakan jenis
transplantasi yang paling sering dilakukan.
 Transplantasi organ tubuh biasanya melibatkan:
 1. Pencarian donor yang sesuai
 2. Kemungkinan timbulnya resiko akibat pembedahan
 3. Pemakaian obat-obat immunosupresan yang poten
 4. Kemungkinan terjadinya penolakan oleh tubuh resipien
 5. Kemungkinan terjadinya komplikasi atau kematian.
Untuk orang-orang yang organ vitalnya (misalnya jantung, paru-paru, hati, ginjal atau
sumsum tulang) sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya dan fungsinya tidak dapat
kembali normal, maka transplantasi organ bisa merupakan satu-satunya peluang untuk
bertahan hidup.

B. Penolakan Transplantasi
Penolakan biasanya terjadi segera setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga
baru tampak beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian. Penolakan bisa
bersifat ringan dan mudah ditekan atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif
meskipun telah dilakukan pengobatan. Penolakan tidak hanya dapat merusak jaringan
maupun organ yang dicangkokkan tetapi juga bisa menyebabkan demam, menggigil,
mual, lelah dan perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba. Proses
penolakan, proses dimana tubuh menolak “benda asing” yg masuk kedalam tubuh.

Penolakan dibagi menjadi 2:


1. Penolakan pertama dan kedua
Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga memacu imunitas
humoral dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga dikerahkan ke tempat tandur atas
pengaruh limfokin yang dihasilkan oleh Th.
2. Penolakan hiperakut, akut, dan kronik
a. Penolakan hiperakut: tejadi dalam beberapa menit sampai jam setelah
transplantasi. Disebabkan oleh destruksi oleh antibodi yang sudah ada pada resipien
akibat transplantasi/transfusi darah atau kehamilan sebelumnya. Antibodi
mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edem dan perdarahan interstitial dalam
jaringan tandur sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan.
b. Penolakan akut: pada resipien yang sebelumnya tidak disensitasi terhadap tandur.
Terjadi sesudah beberapa minggu sampai bulan setelah tandur tidak berfungsi sama
sekali dalam waktu 5-21 hari. Umumnya terjadi 5-10 hari setelah pencangkokan, dan
dpt menghancurkan cangkokan tsb.apabila tidikenal dan dirawat. Obat penekan sistem
imun sangat efektif mencegah tipe penolakan ini. Hal ini berhasil 60-75%
pencangkokan ginjal pertama, 50-60% pada pencangkokan hati.
c. Penolakan kronik: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan
beberapa bulan setelah berfungsi normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul
terhadap antigen tandur karena timbulnya intoleransi terhadap sel T, terkadang juga
diakibatkan sesudah pemberian imunosupresan dihentikan. (Baratawidjaja, 2006). Hal
ini dapat terjadi pada semua tipe cangkokan. Seperti pencangkokan jantung, paru,
ginjal dll
Mekanisme Penolakan
Sel T berperan utama dalam proses penolakan. Setelah distimulasi, efektor CD4+sel
menghasilkan sitokin (antara lain inter-leukin -2 yang menyediakan signal untuk Sel
T sitotoksik dan sel T helper. IL-2 Juga meningkatkan ekspansi klonal sel T,yang
membantu dalam proses penolakan. Sitokin yang lain juga dihasilkan dalam
proses Respons untuk mendeteksi antigen asing. Pengenalan antigen transplantasi
oleh sel T Helper disebut “allorecognition”.
Golongan darah dan molekul MHC diantara berbagai individu berbeda. Reaksi
penolakan dapat dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai
donor,tissue typing, dan obat imunosupresi. Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th
resipien yang mengenal antigen MHC alogenik dan memicu imunitas humoral
(antibodi). Sel CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogenik dan membunuh sel
sasaran. Kemungkinan lain juga bahwa makrofag dikerahkan ke tempat tandur atas
pengaruh limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut
sesuai dengan reaksi tipe IV dari Gell dan Coombs/DTH.Urutan kejadian yang dapat
terjadi selama penolakan tandur adalah:
1. Dilakukan transplantasi
2. Sel dendritik atau makrofag yang ada di dalam tandur (passenger leucocytes)
meninggalkan tandur dan merangsang sel t resipien dengan segera
3. Sel t resipien diaktifkan dan membunuh sel donor dalam tandur; dan 4) sel donor
yang dibunuh melepas antigen donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang
kemudian mempresentasikannya ke sel t resipien melalui molekul mhc ii
(baratawidjaja, 2006).
Cara menanggulangi kegagalan transplantasi organ
Cara menanggulangi kegagalan transplantasi organ dapat dilakukan dengan beberapa
cara:
1. Mencari donor yang memiliki golongan darah yangg sesuai dengan resipien.
2. Setelah pembedahan, pasien perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau
imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi. Obat-obat imunosupresan
bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko
terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan.
Penolakan umumnya terjadi pada setiap proses transplantasi organ. Penolakan
biasanya bisa diatasi dengan menambah dosis atau jumlah obat immunosupresan. Jika
penolakan tidak dapat diatasi, berarti pencangkokkan telah gagal.
Jika pencangkokkan gagal, maka harus segera kembali dilakukan dialisa.
Upaya pencangkokkan berikutnya bisa dilakukan setelah penderita benar-benar pulih
dari pencangkokkan yang pertama.
C. Penerimaan Transplantasi
Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi , yaitu faktor yang berkaitan
dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif,
serta faktor pasca-operatif.
1. Faktor terkait donor. Transplantasi organ dapat memanfaatkan orgtan donor hidup
yang sehat atau organ donor jenazah. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup
dilakukan secara bertahap (tabel dilampirkan). Dengan prosedur penjaringan dan
evaluasi, dipastikan bahwa donor ikhlas, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani
operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan
donasi, dan donor tidak boleh mengidap penyakit ginjal.
2. Faktor terkait resipien. Harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang
sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir. Risiko dan tingkat keberhasilan
transplantasi juga dipengaruhi berbagai faktor tertentu, seperti usia dan kondisi umum
resipien.
3. Faktor imunologi. Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang
berperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte
antigen). Golongan darah ABO donor dan resipien harus sama agar tidak terjadi
rejeksi vaskuler. Sedangkan ginjal transplan direjeksi terutama karena adanya protein
pada membran sel yang dikode oleh MHC (Major Histocompatibility Complex).
MHC menempati lengan pendek kromosom 6. Dengan obat imunosupresan,
dilaporkan ketahanan hidup 1 tahun dari saudara dengan HLA identik 90-95%,
saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 60-70%
(Susalit, 2007).

BAB III
PENUTUP
 A. Kesimpulan
 Pencangkokan (transplantation) adalah pemindahan organ tubuh manusia yang masih
memiliki daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan
tidak berfungsi dengan baik apabila diobati dengan teknik dan cara biasa, bahkan
harapan hidup penderitan hampir tidak ada lagi. Penolakan biasanya terjadi segera
setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga baru tampak beberapa minggu
bahkan beberapa bulan kemudian. Penolakan bisa bersifat ringan dan mudah ditekan
atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif meskipun telah dilakukan
pengobatan.Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi , yaitu faktor yang
berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan
peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.


DAFTAR PUSTAKA
 http://id.shvoong.com/medicine-and-health/genetics/2071374-pengertian-
transplantasi/#ixzz1gRE3cXfH
 http://www.voanews.com/indonesian/news/Penelitian-Baru-di-Amerika-Penerima--
133964393.html
 http://blogdokter.blogdetik.com/2011/10/07/sekilas-mengenai-transplantasi-organ-
secara-
Toleransi Imunologi
Imunologi

Toleransi Imunologi (Immunological Tolerance) adalah ketidakmampuan dari sistem imunitas untuk
memberikan respons (unresponsiveness) terhadap suatu antigen dikarenakan induksi dari antigen yang
sama sebelumnya. Sel limfosit yang berhadapan dengan antigen dapat menjadi aktif dan menghasilkan
respons imun, ataupun dapat menjadi tidak aktif atau tereliminasi dan menghasilkan toleransi. Antigen
yang menyebabkan toleransi disebut tolerogen (tolerogenic antigens). Toleransi terhadap antigen yang
diproduksi tubuh (self-antigen) disebut sebagai self-tolerance (Abbas, dkk 2007).

Sistem imun pada dasarnya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan dalam respons
humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler). Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam
memberikan respons terhadap antigen spesifiknya dikenal dengan istilah anergy. Lymphocyte
anergy (disebut clonal anergy) adalah kegagalan dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap
antigen dan menjadi representasi terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi tubuh
sendiri (Cruse & Lewis, 2003).

Dasar dari mekanisme toleransi imunologi ditemukan sekitar tahun 1945 dimana, Owen melakukan
observasi terhadap kembar sapi non-identik (dizygotic) yang saling berbagi sirkulasi plasental yang sama
dan mengembangkan toleransi terhadap antigen dari sel darah satu sama lain. Fenomena ini kemudian
diteliti lebih lanjut oleh Burnet dan Fenner. Mereka menduga bahwa suatu antigen yang mencapai sel
limfoid, dimana perkembangan imunitasnya belum matang, akan menekan respons terhadap antigen yang
sama saat paparan berikutnya dan hewan tersebut secara imunologi telah matang. Percobaan lebih lanjut
dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham menggunakan transplantasi kulit pada tikus. Medawar dan
rekannya menemukan prinsip penting bahwa toleransi imunologi dapat terjadi karena adanya induksi dari
suatu antigen pada suatu masa perkembangan limfosit dan proses induksi tersebut dapat dilakukan secara
buatan (artificial) (Roitt & Delves, 2001).

Gambar 1. Percobaan yang dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham


menggunakan transplantasi kulit pada tikus.

Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni toleransi sentral
(central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi sentral dijelaskan sebagai
toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit, sementara toleransi peripheral dijelaskan
sebagai toleransi yang timbul setelah sel limfosit meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty,
2005). Toleransi sentral (central tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel
limfosit, yakni thymus pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di
sumsum tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya berupa
antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen asing dari lingkungan luar, tidak akan ditrasport
ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju organ limfoid perifer (Abbas, dkk
2007).

Paparan terhadap antigen sendiri dengan dosis tinggi akan memicu sel limfosit muda (immature)
mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut akan apoptosis (disebut
juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan mengalami perubahan pada reseptor
mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses ini disebut juga receptor editing), dan beberapa
CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian
bermigrasi ke organ perifer dan mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi
saat limfosit dewasa yang mampu mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam
memberikan respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas, dkk
2007).

Sel B dapat menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa, yaitu clonal
abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir adalah AFC blockade. Clonal
abortion adalah peristiwa ketika pertama kali sel B yang belum matang bertemu dengan suatu antigen
dalam jumlah yang kecil. Kondisi seperti ini diduga dapat memicu pembatalan pematangan sel B untuk
memicu respons imun, hal tersebut mengakibatkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen
tersebut. Peristiwa clonal exhaustion terjadi jika terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-
independent dapat menyebabkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut mengakibatkan AFC dari sel B
yang terbentuk berusia pendek dan akhirnya tidak lagi tersedia sel yang dapat merespons antigen. Peristiwa
delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent terhadap sel T maupun yang bersifat
independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan oleh tidak adanya bantuan dari sel T untuk melawan
antigen tersebut sehingga sel B tidak dapat merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar
dapat mengakibatkan terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.

Jalur toleransi pada sel T secara umum memiliki kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga tahapan
yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal abortion adalah tahapan dimana
sel T yang belum matang dapat dihambat proses pematangannya dengan cara yang mirip dengan sel B.
Functional deletion terjadi saat sel T yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel
T suppression bekerja dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga dapat menghambat fungsi sel T
yang telah matang untuk mengenali antigen.

Sel T dan sel B memiliki karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perbedaan-
perbedaan karakteristik tersebut meliputi waktu induksi, dosis antigen, keberadaan antigen, spesifisitas
antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T berbeda dengan sel B dan bergantung
pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T, sel T dapat terinduksi dengan cepat sedangkan sel B
terinduksi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang
independent terhadap sel T, antigen tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.
Dosis antigen yang diberikan juga akan berpengaruh pada induksi terhadap toleransi. Dosis antigen yang
diperlukan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan jumlah antigen yang
diperlukan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu antigen sejumlah 100-1000 kali lebih
banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi sel T.
Keberadaan suatu antigen juga dapat sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan
berpengaruh juga terhadap waktu lamanya paparan suatu antigen.

Spesifisitas suatu antigen juga berpengaruh terhadap respons toleransi yang terbentuk. Diketahui bahwa
suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan terhadap antigen tertentu. Hal
tersebut dapat mengakibatkan timbulnya toleransi terhadap berbagai jenis antigen yang memiliki kesamaan
determinan.

Obat imunosupresif tidak dapat memproduksi toleransi antigen-spesifik jika obat tersebut berfungsi secara
seimbang pada klona yang mudah dirangsang. Beberapa obat imunosupresif dapat berfungsi secara
spesifik terhadap derivat limfosit, contohnya cyclosporin A mempengaruhi hanya sel T. Obat
imunosupresif dapat membuat keadaan antigen-spesifik dengan melibatkan elemen antigen spesifik pada
tolerizing regimen, yaitu saat obat berfungsi sebagai kofaktor dalam tolerogenesis. Obat imunosupresif
dapat bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: Pertama, dengan merendahkan level dimulainya
induksi toleransi. Kedua, dengan memblok sekuen yang berdiferensiasi pada sel yang dipicu oleh antigen.

Obat imunosupresif seperti cyclophosphamide bekerja pada sel T dan B yaitu meningkatkan sensitivitas sel
B terhadap tolerogenesis terhadap mekanisme normal dan aktivitas tersebut berhubungan dengan
ketidakmampuan sel B diobati dengan cyclophosphamide untuk meregenerasi reseptor immunoglobulin
untuk antigen pada permukaan sel B. Sel B neonatal tidak dapat meregenerasi reseptor permukaan setelah
mengadakan kontak dengan antigen dan proses capping. Capping merupakan prosedur yang permukaan
dari immunoglobulin teragregasi saat dilapisi oleh anti-immunoglobulin sehingga membran bebas dari
reseptor immunoglobulin.

Anda mungkin juga menyukai