Anda di halaman 1dari 2

Derita Kala Merdeka

Teriknya sang surya di tanggal 17 Agustus kala itu, seolah ingin turut menyambut
kemerdekaan Indonesia. Begitu pula denganku dan seluruh siswa Sekolah Dasar Kristen
Bendungan yang tengah berbaris rapi di halaman sekolah. Masing-masing dari kami
menggenggam bendera dan mengacungkannya ke langit. Tak lama kemudian, terdengar aba-
aba “Prittttt” dan semua berbondong-bodong keluar dari sekolah menuju lapangan.
Setelah kira-kira 2 jam, pelaksanaan upacara kemerdekaan usai sudah. Satu persatu
siswa pergi meninggalkan sekolah. Aku yang saat itu tengah menunggu jemputan bapak, asyik
bercakap-cakap dengan Shilva dan Lia, temanku. Namun tak lama kemudian, ibu Shilva datang
menjemputnya. Lia juga berkata bahwa ayahnya sudah hampir sampai. Kemudian keluarlah
seseorang berkulit hitam dan berwajah manis, Prasetyo namanya. Ia satu kelas denganku, kami
memanggilnya Pras. Ia tersenyum, lalu berkata “Hoi Nike ! Kenapa kamu ngga menunggu di
tempat Christine seperti biasanya? Daripada nanti sendiri di sini”. “Ah benar juga ya” balasku
sambil menggaruk kulit kepala yang tak gatal. Akupun meminta persetujuan Lia dan dibalas
anggukan olehnya.
Karena rumah Pras searah dengan rumah Christine, aku berjalan membuntutinya dari
belakang. Ia asyik mengayun-ayunkan bendera miliknya sambil bernyanyi. Aku yang berada
di belakangnya hanya bisa tertawa geli. Namun baru berjalan beberapa langkah dari sekolah,
bendera itu terlepas dari genggaman tangan Pras dan terlempar ke jalan raya. Ketika ia hendak
mengambilnya, sebuah truk dengan kecepatan di atas rata-rata melaju ke arahnya. “Awass!!”
teriakku sambil menutup mata dengan kedua tangan. Selang beberapa detik, aku mendengar
suara rem dari truk tersebut.
Takut, aku masih ketakutan. Hanya itu yang kurasa. Aliran darah di tubuhku seolah
berhenti. Aku hanya diam membeku. Tak bisa berkata apa-apa. Namun rasa penasaran yang
berkecambuk di dadaku dapat mengalahkan rasa takut itu. Akhirnya kubuka mata sedikit demi
sedikit dan apa yang kulihat semakin membuatku ketakutan. Bagaimana tidak ? Kulihat Pras
tengah berguling di jalan raya seraya meraung kesakitan dengan luka yang amat parah di
kakinya. Banyak tetes darah berceceran di jalan raya.
Pintu truk itu terbuka dan menampakan seorang pria paruh baya dengan raut wajah
yang sangat cemas. Aku lantas berlari secepat kilat menuju kantor sekolah, namun rupanya Lia
lebih cepat memberitahu guru-guru. “Pak!! Bu!! Pras tertlindas truk!!” Teriaknya. Lia,Lia, ia
memberikan informasi yang salah. Kemudian gerombolan guruku berlari terbirit-birit hingga
tak memakai alas kaki. Sudah kuduga bakal seperti ini jadinya. Lantas para guru dengan sigap
menaikkan Pras ke truk dan truk tersebut melaju secepat kilat.
Beberapa hari kemudian, aku dan Christine selaku perwakilan kelas pergi ke rumah
sakit tempat Pras dirawat. Sesampainya di sana, aku melihat Pras terbaring lemah dengan
perban di sekujur tubuhnya. Mimik wajahnya pun terlihat sangat muram. Berbeda sekali
dengan Pras yang biasanya, Pras yang selalu tersenyum. Kami pun mendoakannya lalu kembali
ke sekolah.
Kejadian ini sangat membekas di ingatanku. Aku berharap tidak melihat kejadian
seperti itu untuk kedua kalinya. Setelah hari itu berlalu, aku berjanji untuk selalu berhati-hati
dan juga tidak ceroboh. Karena kecerobohan seseorang hanya akan merugikan diri sendiri
maupun orang lain.

Anda mungkin juga menyukai