Anda di halaman 1dari 7

ISBN: 978-602-18235-0-7 Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

PARADIGMA PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Wiwik Kusdaryani
IKIP Veteran Semarang

Abstrak

Dalam persaingan era globalisasi ini, kemenangan ditentukan oleh mutu SDM. Mutu SDM itu
sendiri ditentukan oleh pendidikan bermutu baik pada tingkat dasar, menengah maupun tinggi.
Pendidikan memegang peranan kunci dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini
sesuai dengan cita-cita dan sumpah dari founding fathers kita untuk membangun suatu
masyarakat Indonesia yang kuat, demokratis, mandiri, menghayati nilai-nilai untuk bersatu dalam
kebhinekaan, menguasai ilmu dan teknologi, dan mampu bersaing dalam era kehidupan domestik
dan global. Kenyataan menunjukan, meskipun kegiatan pendidikan telah berlangsung di
Indonesia selama 65 tahun sejak Indonesia, namun belum berhasil menyediakan SDM
berkualitas. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, sektor pembangunan pendidikan tidak
pernah ditempatkan menjadi prioritas pembangunan. Akibatnya mutu pendidikan Indonesia jauh
tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Pilipina, Singapura, Thailand.
Oleh karena itu, paradigma pendidikan Indonesia di masa datang harus memperhatikan tantangan
global dengan mewujudkan pendidikan untuk semua, mengembangkan kewirausahaan, dan
berpedoman pada karakter bangsa.

Kata Kunci: globalisasi, pendidikan untuk semua, karakter bangsa

Pendahuluan
Perubahan yang terlihat mencolok pada era globalisasi dan terlihat sangat tajam adalah
faktor percepatan. Ini disebabkan oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi
dan komunikasi, maupun kemajuan yan pesat dalam bidang transportasi khususnya penerbangan
antar benua. Integritas perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang semakin cepat
mengharuskan dunia pendidikan untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan perangkat keras,
perangkat lunak serta perangkat intelektual.
Globalisasi telah menciptakan dunia semakin terbuka dan saling ketergantungan antar
bangsa dan antarnegara. Bagi negara maju memang sangat menguntungkan karena mereka
bertindak sebagai subjek tetapi bagi negara berkembang akan memberikan dampak yang yang
merugikan sebab negara berkembang lebih cenderung sebagai sasaran atau objek globalisasi.
Melihat kondisi yang seperti ini maka diperlukan antisipasi yang tepat dari negara berkembang
khususnya negara Indonesia salah satunya melalui dunia pendidikan.
Tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia saat ini meliputi: heterogenitas
tingkat pendidikan masyarakat, keterpurukan perekonomian masyarakat, kekurangmerataan
tingkat pendidikan pendidikan, serta mulai lunturnya nilai-nilai moral.
Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pada masyarakat di
seluruh kepulauan Indonesia. Masih banyak penduduk yang buta aksara terutama di pedesaan, di
samping mayoritas sudah dapat membaca dan menulis bahkan banyak yang sarjana. Pada jenjang
sekolah dasar, terutama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah yang tidak pernah mengikuti
sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga

46 Univet Bantara
Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012 ISBN: 978-602-18235-0-7

terjadi pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah
kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk mengikuti
pendidikan formal dan berbagai pelatihan keterampilan teknis bagi anak-anak (pemuda) sangat
terbatas, jumlah pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah sekolah,
jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan mutu SDM generasi muda sangat
buruk.

Pendidikan untuk Semua


Krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter tahun 1997, memiliki pengaruh signifikan
terhadap dunia pendidikan Indonesia. Jumlah masyarakat miskin dan yang hidup dibawah garis
kemiskinan meningkat. Pengangguran terbuka sudah mencapai 40 juta orang. Ditambah lagi
pengangguran terselubung. Akibat langsung terhadap pendidikan adalah jumlah anak putus
sekolah pada semua jenjang pendidikan meningkat. Indikator sosialnya adalah meningkatnya
anak jalanan dan keluarga jalanan di kota-kota besar. Pada Pendidikan tinggi, banyak mahasiswa
yang diharapkan menjadi calon intelektual muda, terpaksa cuti kuliah karena keterbatasan
ekonomi keluarga. Bagi siswa SLTP dan SLTA yang putus sekolah, masalahnya akan lebih rumit.
Rumit karena pada usia ini, emosi mereka belum stabil, tidak toleran terhadap orang lain, agresif
secara fisik, rendah kesadaran akan kesalahan diri, dan menunjukkan perilaku yang egoistik
(Kartadinata dan Dantes, 1997: 65).
Apabila keluarga dan pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan ini, maka cepat atau
lambat pengaruh lingkungan yang tidak kondusif akan membuat mereka terlibat pada kenakalan
remaja, tawuran, penyalahgunaan narkoba, atau perilaku-perilaku kejahatan yang lebih ekstrim.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pendidikan berhubungan erat dengan
pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi yang berakar pada ekonomi rakyat dan
sumber daya domestik. Mengenai kesalahan pembangunan ekonomi dan pengaruh negatifnya
pada pendidikan, H.A.R Tilaar ( 2000: 4-5), menyatakan bahwa:
Pembangunan ekonomi yang dijadikan panglima dengan hanya memprioritaskan target
pertumbuhan telah melahirkan pembangunan ekonomi yang tanpa perasaan. Akibatnya terjadi
kesenjangan antardaerah, antarsektor, dan antarmasyarakat. Struktur ekonomi yang tidak berakar
pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik telah menyebabkan ekonomi yang rapuh dan
ketergantungan industri pada bahan baku impor. Selanjutnya, kehidupan ekonomi semakin lama
semakin tergantung pada utang luar negeri yang besar. Akibat kehidupan ekonomi yang demikian
ialah lahirnya sistem pendidikan yang tidak peka untuk meningkatkan daya saing, yang tidak
produktif karena tergantung pada bahan baku impor. Selanjutnya, pendidikan tidak mempunyai
akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Sejalan
dengan itu lahirlah ekonomi biaya tinggi karena korupsi yang melahirkan penanganan ekonomi
yang tidak profesional tetapi mengikuti jalan pintas. Dengan sendirinya output pendidikan tidak
mempunyai daya saing apalagi mempunyai daya saing global.
Konsep "pendidikan untuk semua" mempunyai makna bahwa semua warga negara
mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga mempunyai kewajiban untuk
membangun pendidikan nasional yang bermutu. Konsekwensinya diperlukan pemerataan
pendidikan. Apa saja kendala yang dapat kita pelajari dari pemerataan pendidikan ini? Paling
sedikit terdapat lima kendala internal yang menghambat pemerataan pendidikan yaitu : (1)
kendala geografis, artinya banyak pulau-pulau atau daerah-daerah yang sulit dijangkau
pendidikan karena faktor komunikasi; (2) sarana pendidikan yang terbatas akibat alokasi dana
yang sangat minim; (3) pemerintah masih mengutamakan pembangunan ekonomi sebagai

Univet Bantara 47
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


ISBN: 978-602-18235-0-7 Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

prioritas, sementara pendidikan belum memperoleh porsi yang wajar; (4) tidak ada penghargaan
yang wajar terhadap profesi guru, terutama yang menyangkut kesejahteraan, padahal kunci utama
pendidikan bermutu ialah mutu guru itu sendiri; dan (5) perencanaan pendidikan yang sentralistik
yang mengabaikan kemampuan dan karakteristik daerah.
Kadar ketahanan yang rendah dari suatu bangsa dalam menghadapi globalisasi akan
menyeret negara tersebut dalam lembah hitam. Apa yang dibawa oleh arus globalisasi tidak
semuanya berdampak positif. Namun sebagai negara berkembang yang memanfaatkan kemajuan
teknologi dan komunikasi hendaknya bersikap selektif terhadap masuknya segala pengaruh
globalisasi.
Dewasa ini memang sangat terasa akan dampak negatif yang diterima oleh para generasi
muda dalam menghadapi globalisasi maraknya kasus asusila, tindak anarki, dan lemahnya
pertahanan harga diri merupakan bukti nyata bahwa negara Indonesia mengalami dekadensi
moral. Untuk itu sikap selektif dan menyaring nilai-nilai serta sekaligus menanamkan nilai-nilai
moral pada generai muda untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan globalisasi,
yang sudah dihadapi dan dialami dan terus akan dialami. Tanpa usaha untuk mempersiapkan
generasi muda dalam menghadapi masa depan, negara Indonesia akan mengalami krisis nilai.
Djiwandono dalam makalahnya mengenai "Globalisasi dan Pendidikan Nilai" (dalam
Sindhunata, 2001:108) mengemukakan bahwa masuknya nilai-nilai baru akan mengacaukan
sistem nilai. Krisis nilai ini sebenarnya sudah lama kita rasakan. Tetapi, selalu lebih terlambat
daripada tidak mengusahakan sama sekali.

Paradigma Baru Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi


Abad ke-21 adalah era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan
ketergantungan antarnegara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus
informasi yang sangat cepat maka kompetisi antarnegara pun akan semakin ketat terutama pada
bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik akan
tetapi juga dimensi global. Dari segi dimensi domestik globalisasi ini memberi peluang positip
terutama untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar untuk meningkatkan
peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari segi keuntungan domestik,
pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki pola pikir kosmopolitan dan
pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk meningkatkan keterampilan dan
prestasi kerja. Dari segi global, kita hidup di dalam dunia yang terbuka, dunia yang tanpa batas.
Perdagangan bebas serta makin meningkatnya kerjasama regional memerlukan manusia-manusia
yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka peluang-
peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi SDM Indonesia yang berkualitas tinggi untuk
memperoleh kesempatan kerja di luar negeri. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi
peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi
kebutuhan domestik maupun global.
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan
paradigma baru pendidikan. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma
baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat
Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat
menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk
mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus
mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam
menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu
mengembangkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan harus
mampu mengembangkan kebhinnekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia

48 Univet Bantara
Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012 ISBN: 978-602-18235-0-7

yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan
harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa
bangga menjadi warga negara Indonesia.
Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak
lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam arti sekolah
dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru ini, masyarakat
yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab
pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekadar memberikan sumbangan untuk
pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi yang lebih penting
masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga
pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik.

Pendidikan Karakter Bangsa


Hiruk pikuk membumikan karakter merupakan refleksi dari Instruksi Presiden Nomor 1
tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Dalam
prioritas bidang pendidikan, pemerintah memprogramkan penguatan metodologi dan kurikulum
dengan tindakan penyempumaan kurikulum dan metode pembelajran aktif berdasarkan nilai- nilai
budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional
itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh
setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar
dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan
(belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Budaya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia perlu dihargai, diakui, dan dilestarikan keberadaannya. Selain itu budaya juga
menandakan tingkat peradapan manusia. Karakter sebagai suatu ’moral excellence’ atau akhlak
dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika
dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah
karakter yang dimiliki warga negara bangsa Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai
sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan
nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga negara
(Kemdiknas, 2011: 7).
Pendidikan karakter menurut Murphy dalam Albertus (2010: 192-193) adalah pemahaman,
perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice of virtue). Oleh karena itu pendidikan karakter
di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai-nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara
merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan
untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata.

Univet Bantara 49
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


ISBN: 978-602-18235-0-7 Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau
kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut
suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa
pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi
bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan
nasional (Depdiknas, 2010: 7).
Nilai-nilai yang diajarkan bersumber dari nilai-nilai agama, pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional. Dalam praktiknya pendidikan karakter bangsa ini terintegrasi dalam semua
kegiatan sekolah maupun pembelajaran semua mata pelajaran. Harapannya nilai-nilai ini tidak
hanya dikenalkan pada semua peserta didik tetapi diimplementasikan dalam semua kegiatan dan
perilaku peserta didik. Menurut Pedoman Sekolah tentang Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter bangsa (2010) delapan belas nilai karakter yang dikembangkan meliputi: (1) jujur,
(2) disiplin, (3) religius, (4) toleransi, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9)
rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (l2) menghargai prestasi, (13)
bersahabat/komuniktif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17)
peduli sosial, (18) tanggung jawab.
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan
dapat menentukan prioritas pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang
telah dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi satuan
pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga dalam
implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan
antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya. Implementasi nilai-nilai karakter
yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah
dilaksanakan, seperti: bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

Pendidikan Kewirausahaan
Untuk menghadapi tantangan globalisasi diperlukan sikap mental dan kompetensi yang
baik sehingga mampu meningkatkan mutu SDM. Untuk itu diperlukan pendidikan yang
berkualitas. Mutu penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator. Beberapa
indikator mutu hasil pendidikan yang selama ini digunakan diantaranya adalah nilai Ujian
Nasional (UN), persentase kelulusan, angka drop out (DO), angka mengulang kelas, persentase
lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan di atasnya. Indikator-indikator tersebut
cenderung bernuansa kuantitatif, mudah pengukurannya, dan bersifat universal. Di samping
indikator kuantitatif, indikator mutu hasil pendidikan lainnya yang sangat penting untuk dicapai
adalah indikator kualitatif yang meliputi: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Indikator kualitatif tersebut berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik dan berkaitan dengan pembentukan sikap serta perilaku wirausaha peserta
didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan perilaku
wirausaha.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat menurut Ali Ibrahim Akbar
(dalam Puskur, 2010:1-2) ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri
dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar
20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa
berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter termasuk karakter kewirausahaan peserta didik
sangat penting untuk segera ditingkatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, peningkatan mutu

50 Univet Bantara
Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012 ISBN: 978-602-18235-0-7

pembelajaran dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar perlu dilakukan secara
sistematis dan berkelanjutan. Hasil Studi Cepat tentang pendidikan kewirausahaan pada
pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi
Pendidikan (27 Mei 2010) diperoleh informasi bahwa pendidikan kewirausahaan mampu
menghasilkan persepsi positif akan profesi sebagai wirausaha. Bukti ini merata ditemukan baik di
tingkat sekolah dasar, menengah pertama, maupun menengah atas, bahwa peserta didik di sekolah
yang memberikan pendidikan kewirausahaan memberikan persepsi yang positif akan profesi
wirausaha. Persepsi positif tersebut akan memberi dampak yang sangat berarti bagi usaha
penciptaan dan pengembangan wirausaha maupun usaha-usaha baru yang sangat diperlukan bagi
kemajuan Indonesia.
Berkaitan dengan ketercapaian tujuan pendidikan nasional terutama yang mengarah pada
pembentukan karakter yang terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku wirausaha peserta
didik, selama ini belum dapat diketahui secara pasti. Hal ini mengingat pengukurannya cenderung
bersifat kualitatif, dan belum ada standar nasional untuk menilainya. Berdasarkan realita, menurut
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), proyeksi angka pengangguran pada 2009 ini naik
menjadi 9% dari angka pengangguran 2008 sebesar 8,5%. Berdasar data Badan Pusat Statistik
(BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang. Sementara
jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2008 mencapai 111,48 juta orang (Puskur,
2010: 2).
Untuk mengurangi angka pengangguran salah satu cara yang bisa dilakukan adalah perlu
dikembangkannya semangat entrepreneurship sedini mungkin, karena suatu bangsa akan maju
apabila jumlah entrepreneurnya paling sedikit 2% dari jumlah penduduk. Pada tahun 2007,
jumlah wirausaha di Singapura ada sebesar 7,2%, Amerika Serikat 2,14% , Indonesia yang
jumlah penduduk kurang lebih sebesar 220 juta, jumlah entrepreneurnya sebanyak 400.000
orang (0,18%), yang seharusnya sebesar 4.400.000 orang. Berarti jumlah entrepreneur di
Indonesia kekurangan sebesar 4 Juta orang (Puskur, 2010: 2).
Berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang
memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat.
Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan sikap, minat dan perilaku wirausaha
peserta didik, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional. Orientasi
mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu dicari
penyelesaiannya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah manusia menjadi
manusia wirausaha. Untuk mencapai hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta
didik agar mampu menjadi wirausaha yang tangguh dan siap bekerja di kantor sehingga mampu
menghidupi dirinya.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP),
pembinaan karakter wirausaha juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai
serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan
karakter wirusaha di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau
nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-
hari.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan adalah pengembangan
nilai-nilai dari ciri-ciri seorang wirausaha. Menurut para ahli kewirausahaan, ada banyak nilai-
nilai kewirausahaan yang mestinya dimiliki oleh peserta didik maupun warga sekolah yang lain.
Namun, di dalam pengembangan model naskah akademik ini dipilih beberapa nilai-nilai
kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta
didik.

Univet Bantara 51
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


ISBN: 978-602-18235-0-7 Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

Penutup
Mengubah paradigma pendidikan di Indonesia memerlukan proses yang panjang dan
melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem
(struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru di dunia pendidikan.
Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik
hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan pendidikan perlu didorong.

Daftar Pustaka

Albertus, DK. 2010. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Depdiknas 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta. Penerbit
Kementerian Departemen Pendidikan Balitbang Pusat Kurikulum.
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan
Nasional Tahun 2010.
Kemdiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Berdasarkan Pengalaman di
Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Badan Litbang Puskurbuk.
Sindhunata, (editor), 2001. Menggagas Pradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi,
Civil Society, Globalisasi. Jogjakarta. Penerbit Kanisius.
Slamet PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikann
dalam Seminar Regional dengan Tema "Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam
EBTAN
Sunaryo Kartasasmita dan Nyoman Dantes, 1997. Landasan-Landasan Pendidikan Sekolah
Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktirat Jenderal
Tilaar, H.A.R, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

52 Univet Bantara
Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Anda mungkin juga menyukai