Anda di halaman 1dari 2

SEPAK BOLA TANAH AIR

Sepak bola merupakan olahraga yang sangat digemari penduduk dunia, tak terkecuali Indonesia.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sepak bola telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Namun
apabila berbicara soal sepak bola Indonesia seperti tidak ada habisnya, bukan prestasi melainkan konflik
dan kekacauan yang terjadi. Mulai dari petinggi, klub peserta, bahkan suporter ikut andil dalam kekacauan
sepak bola Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya manusia terbanyak. Dengan
begitu pasti terdapat banyak bibit unggul sepak bola yang tersembunyi di negara yang kaya ini. Namun
bibit saja tidak cukup apabila kondisi sepak bola Indonesia tetap berisi tentang kekacauan. Ya, banyak
potensi muda yang terbuang sia-sia. Padahal jika saja sepak bola Indonesia “adem ayem”, bukan tidak
mungkin Indonesia akan menjadi kekuatan baru yang siap bersaing di kancah dunia. Namun hal itu belum
terjadi, atau bahkan tidak akan terjadi! Hanya waktu yang bisa menjawab.

Sepak bola Indonesia bak olahraga yang terdapat rasa politik di dalamnya. Bahkan bisa dibilang,
sepak bola Indonesia hanya sekedar persaingan para petinggi politik yang berujung pada nasib sepak bola
yang buruk. Dimulai dari adanya dualisme kompetisi pada tahun 2011, yaitu ISL (Indonesia Super League)
dibawah naungan Nurdin Halid, dan LPI (Liga Primer Indonesia) yang dikomandoi oleh pengusaha minyak
Arifin Panigoro. Tidak sampai disitu, masalah-masalah berikutnya muncul yang berujung pada pergantian
tahta ketua umum PSSI, dari Nurdin Halid kepada Djohar Arifin, seorang professor yang namanya tak
popular di kancah sepak bola. Djohar, yang digadang gadang akan mengobati luka para pecinta sepak bola
justru malah membuat luka itu semakin mendalam. Terdapat 3 keputusan blunder Djohar Arifin di awal
kepengurusannya, yaitu:
1. Pemecatan Alfred Riedl sebagai pelatih kepala Timnas secara sepihak;
2. Pencabutan Izin pengelola liga dari tangan Badan Liga Indonesia (BLI);
3. Penggelembungan tim peserta kompetisi kasta tertinggi PSSI dengan memasukkan
kembali 3 Tim yang mundur dari ISL sebelumnya serta memasukkan 3 Tim lainnya diluar
mekanisme promosi-degradasi ISL.

Buntut dari keputusan ini menimbulkan perlawanan dari peserta ISL musim sebelumnya dengan
membuat Liga tandingan, ISL. Krisis di tubuh PSSI semakin diperparah dengan dipecatnya 3 anggota Exco
hasil kongres. La Nyala Mattalitti yang merupakan salah seorang anggota Exco yang dipecat PSSI,
kemudian memimpin perlawanan terhadap PSSI. Kelompok perlawanan PSSI ini pada Maret 2012
mengadakan kongres sendiri dan mendirikan organisasi PSSI tandingan, yang mereka namakan Komite
Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Menjelang diselenggarakan Piala AFF 2012 di Malaysia dan
Thailand, KPSI La Nyala Mattalitti membentuk Timnas tandingan yang berisikan pemain-pemain dari ISL.
Lengkaplah sudah dualisme sepakbola nasional, punya 2 Liga, punya 2 organisasi, dan punya 2 Timnas.

Maju ke tahun 2015, dimana ada “cekcok” antara PSSI dengan Mentri Pemuda dan Olahraga
(Menpora) Imam Nahrowi. Imbas dari kisruh itu mengakibatkan berantakannya kompetisi tahta tertinggi
sepakbola Indonesia, yaitu Qatar Nastional Bank (QNB) Indonesia Super League (ISL), Divisi Utama, dan
divisi lainnya. Kompetisi musim 2015-2016 yang seharusnya sudah bergulir awal Februari 2015
dimundurkan menjadi akhir Februari. Masalah belum selesai, kompetisi dimundurkan kembali hingga
awal April, dan akhirnya sampai dengan akhir Mei kompetisi resmi ditiadakan. Permasalahan yang
memicu terjadinya perseteruan ini diawali dengan verifikasi peserta ISL oleh badan bentukan pemerintah,
yaitu Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Hal yang diverifikasi antara lain masalah kewajiban
klub terhadap penyelesaian tunggakan gaji pemain, penyelesaian kewajiban membayar pajak pendapatan
klub dan pemain, serta kelayakan status tim.

Lagi-lagi pemasalahan belum selesai, pecinta sepak bola kembali dibuat sakit hati dan bingung
karena penyelesaian masalah yang dilakukan oleh Menpora. Menpora tidak mengakui status pengurus
PSSI hasil KLB PSSI 18 April 2015 di Surabaya. Entah persoalan apa yang membuat Menpora bersikukuh
tidak mengakui pengurus PSSI hasil KLB itu. Mungkin saja Menpora mempermasalahkan kredibilitas
personal pengurus, isu mafia di tubuh PSSI, PSSI sudah penuh dengan berbagai kepentingan individu, atau
prestasi sepakbola Indonesia yang tidak beranjak. Jika memang isu itu benar, seharusnya menpora
melakukan tindakan yang strategis untuk menyelesaikan masalah ini, bukannya berseteru. Imbasnya PSSI
dibekukan oleh Menpora dan FIFA memberi sanksi kepada Indoenesia untuk tidak boleh aktif di kompetisi
internasional. Apapun alasannya, Menpora telah menyengsarakan banyak pihak.
Lain di kalangan petinggi lain pula di kalangan klub dan pemain. Permasalahan di klub kebanyakan
seputar “bos” atau pemilik klub yang “nakal”. Masalah apalagi kalu bukan soal gaji pemain. Di zaman ini
pemain bola bisa dikategorikan sebagai profesi, yang mana sumber penghasilan didapat dari bermain
sepak bola. Tapi mungkin itu iberlaku di Indonesia. Beda seperti Inggris yang bisa menggaji seorang
pemainnya mencapai 3 miliar per pekan! Di Tiongkok, Carlos Tevez digaji 10 miliar per pekan, hanya
seorang pemain. Di Indonesia? Hanya janji-janji palsu saja yang keluar dari mulut pemilik klub. Gaji pemain
ditunggak, bukan hanya sebulan dua bulan, melainkan enam bulan, setahun, itu pun tidak dijamin akan di
bayar. Lihat saja contoh kecilnya, Diego Mendita yang gajinya nunggak dan meninggal dunia yang
disebabkan sakit karena virus dan jamur yang menyerang tubuhnya. Akhirnya gaji Diego dilunasi juga oleh
pemilik klub, namun sudah terlambat, keringat Diego sudah kering. Diego adalah salah satu korban dari
pemilik klub yang nakal.

Sudah saatnya sepak bola Indonesia berubah ke arah yang lebih baik. Indonesia memiliki potensi
besar untuk menjadi kekuatan baru Asia. Jika sepak bola Indonesia berjalan damai, tenteram, dan bersih
dari permasalahan, bukan tidak mungkin sepak bola Indonesia akan berkembang pesat layaknya di
Tiongkok yang sekarang merupak tujuan dari para pemain bintang Eropa. Pecinta sepak bola selalu
mendukung kebijakan pemerintah apabila ditujukan untuk memajukan sepak bola Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai