Anda di halaman 1dari 7

“Waktu dan Perasaan Itu Bergerak”

Ini merupakan kumpulan prosa-prosa tentang perjalanan seorang wanita yang mengagumi
seorang pria. Tak heran, rasa dan juga cerita di dalamnya bermacam-macam mulai dari beku dan
malunya sebuah pertemuan pertama, hingga akhirnya dia bertemu dengan sebuah keputusan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
#1 Dalam Senja Aku Bergurau
Termenung di suatu senja memang hal yang menarik dilakukan, menatap keindahannya
yang seakan tak habis dimakan sang malam. Menatap senja selalu menghadirkan hegemoni
perasaan yang beraneka ragam, tiba-tiba senang, sekaligus sedih kadang juga miris. Entah kenapa,
banyak sekali yang membuncah. Apalagi, seketika gambaran seseorang yang menggeliat muncul
di bayangan senja
Dan, aku senang. Seseorang yang memang kedatangannya telah terindukan. Sapaannya
selalu kuinginkan. Senyumnya selalu tersiratkan. Ada banyak hal yang selalu teridamkan dari
seseorang bayangan senja.
Dan, aku sedih. Ketika sang bayangan entah tahu apa tidak bahwa datangnya selalu
dirindukan. Sapanya diinginkan dan senyumnya menyiratkan degupan jantung yang tak biasa.
Memang semua hanya sebatas aku dan senja yang tahu.
Dan, aku miris. Saat aku tersadar bahwa senja telah pergi tergantikan malam. Air mata
selalu menetes. Harus rela meninggalkan bayangannya. Padahal senja tak selalu datang setiap sore,
kadang tergantikan oleh mendung yang menyesakkan. Lalu, kapan lagi aku akan menemukan
bayangnya? ketika aku tak tahu kapan lagi berjumpa dengan senja.
Semua tentang senja, bayangan, dan seseorang selalu menghadirkan memori yang epik.
Ketahuilah bayang senja, aku hanya sanggup menanti dirimu karena menatap puanmu saja aku tak
sanggup dan seperti ada yang ingin meletup ketika senyumnya tertatapkan.
Aku padamu senja, hanya hadirmu sebagai pelengkap bayangan yang terindukan itu.
Tanpamu, aku tak bisa lagi merasa sendu. Hanya denganmu, aku bisa bersenda gurau dengan
bayangan puan. Bisa menatap dan menggores harapan bersama. Senang bukan? Ya, itu karenamu.
Miris bukan? Tertawakan saja, aku tak apa. Memang semua hanya sebatas bayangan mu senja dan
intuisi semata.
Karena memang ini yang sanggup dan bias aku lakukan, sekarang.
#2 Untuk Seperlima Dasawarsa
“Lama tak berjumpa..” hanya itu saja. Sudah tak ada yang sanggup diucapkan ketika
sebuah pertemuan terhelatkan. Entah sedang beku karna rindu, atau tersipu pada tatapan yang
berbinar banyak yang sebenarnya ingin diutarakan, tapi serasa bibir ini kelu kaku dihadang oleh
perasaan yang tak mampu disampaikan.
Kata-kata yang semula dipersiapkan, hanya sekedar menguap menjadi angan dan kemudian kabur
tak bertuan tapi sulit dilupakan. Keinginan ini sebenarnya begitu dalam, sampai kadang rasanya
ingin meledak saja karna hanya bisa tertahan.
Seperti waktu telah menyeretku pada masa-masa dimana malam begitu asyik bagi kita.
Dimana kata-kata serasa ringan terucap tanpa ada rasa canggung dan takut sekalipun. Serasa tak
tau mana ujung pembicaraan, kita hanya mengalir pada perbincangan kosong tapi dibaliknya
terselip kerinduan, juga kelegaan. Sangat tajam ingatan, dimana tak tau apa yang cocok untuk
mengakhiri perbincangan saat itu, karna kau tahu kata-kata itu menandakan apakah akan berlanjut
atau hanya cukup sampai saat itu saja. Itu sangat susah, aku yang tak tau arah pembicaraan ini
hanya membiarkan sebuah akhir begitu saja sebelum akhirnya semua selesai dengan sendirinya.
Ya... tahulah, ada sedikit kekecewaan yang tertinggal.
Berharap waktu-waktu itu berulang kembali. Dengan kalimat yang tak sempat terucapkan,
dengan keberanian yang sempat menghilang, tapi tetap dengan rasa yang sama. Tanpa ada kata-
kata yang mengandung "dibaliknya" tapi dengan sejujur-jujurnya. Tanpa ada kekecewaan yang
tertinggal setelahnya. Tetapi tergantikan dengan kesyukuran bahwa aku bisa mengucapkan
semuanya. Setidaknya ada kesan cukup bagi kita, setidaknya pernah ada rasa bahagia, setidaknya
ada yang berbekas dan bisa disebut kenangan.
Tak bisakah setidaknya?
Sudahlah, aku juga yang memulainya sepertinya aku juga yang harus mengakhiri. Dan
akan seperti itu seterusnya. Memang aku sangat tegar merangkai kata-demi-kata untuk
menyambung perbincangan kita dan aku juga sangat pintar pula kan? Yah... aku memang seperti
itu, selalu bisa membuat suasana menjadi nyaman. Tapi hanya untuk beberapa saat, karna setelah
itu aku sadar. Hanya akulah yang selalu bertanya saat itu, hanya akulah orang yang selalu ingin
mengetahui lebih, hanya aku yang terlarut dengan suasana dan juga perasaan. Begitu menyedihkan
memang, aku sangat menyedihkan bukan?
Yang dikira perbincangan hangat, malah seperti sesuatu yang keterlaluan dan memuak kan. Dan
aku baru sadar, kamu terlebih perasaanmu sebenarnya tak ada dalam perbincangan tersebut. Yang
ada hanyalah jawaban-jawaban singkat dari pertanyaan bodoh begitu saja yang sudah bisa
membahagiakan ku ini. Sangat simple dan juga murahan bahagiaku ini. Tak usah kau tiru
Mungkin bagimu semua ini biasa, perbincangan saat itu biasa, Tapi, menurutku itu sangat
diluar ekspetasi dan biasa. Aku yang sebelumnya hanya bermimpi untuk bisa berbicara denganmu
tapi saat itu menjadi sebuah kenyataan yang menyenangkan dan menggugah.
Tahulah, yang paling sulit adalah mengucap kata "Hai" pada sebuah pembicaraan. Karena
didalamnya disertakan keberanian, keyakinan, dan juga harapan yang dalam.
Aku memang begini, ya.. aku adalah wanita yang memakai perasaan pada semua tindakan. Maki
saja, karena aku tak bisa menganggap semua terlebih dirimu juga yang kau lakukan biasa. Karena
aku wanita, kamu tahulah wanita seperti apa? mungkin ada pengecualian beberapa tapi bukan
untuk aku pengecualiaan itu. Maaf aku belum bisa
Akhirnya, jika aku rindu aku berdoa. Hanya bisa melambungkan dan meninggikan kata-
kata yang ingin kuucap untukmu ini setinggi-tingginya siapa tahu ada yang mendengar dan
menyampaikannya padamu. Tapi kalau tidak, semoga angin bisa menyampaikannya, kalaupun
tidak ada Yang Maha Besar senantiasa mendengarkan, maka dari itu selalu ku Aamiin kan pada
akhir bait perbincangan untuk akhirnya menjadi harapan yang mungkin nanti bisa di ijabah.
Itu hal yang bisa aku lakukan sekarang, pada sesuatu yang belum bisa ku lakukan lagi saat ini. Itu
yang baru bisa kuusahakan. Karena aku sadar, jika perbincangan itu ada lagi saat ini walaupun aku
selalu siap pun pasti akhirnya tetap meninggalkan perasaan yang kosong bagimu dan perasaan
kecewa bagiku.
Maafkan aku yang selalu berharap lebih padamu ini walaupun bukan saatnya, mafkan aku
yang berharap bahwa apa yang kulakukan padamu bisa berlaku sebaliknya padaku. Maafkan, jika
aku pernah menyita waktumu, walaupun sebenarnya pada saat menunggu jawabmu itu seperti
menunggu senja setelah malam, tapi tak apa karna aku senang jadi tak terasa dan mulai biasa.
Maafkan semuanya, terutama keberanianku untuk menautkan perasaan ini. Maaf jika itu mengusik
dan menggangu. Maafkan, jika kamu menjadi berpikir keras karna diriku mungkin.
Tapi, sebelum aku berkata maaf lagi. Bolehkah aku meminta sesuatu?
Ehm.... Masih bisakah kita mengulang masa itu? Saat dimana semua perbincangan menjadi
nyaman. Walaupun kosong tak apa, tapi aku ingin sebuah kelegaan. Aku tahu kamu bisa, karena
sebenarnya kamu telah melakukan hal tersebut pada orang tapi selain aku tentunya. Dan hal
tersebut yang membuat aku berpikir dua kali bahkan lebih. Kenapa tak begitu denganku? kenapa
tak bisa denganku? Aku seperti hilang arah dan terseok-seok ketika memikirkan jawabannya.
Sekarang, biarkan aku melambungkan kata-kata lagi sembari menunggu jawabanmu.
Sekarang, biarkan aku berharap lebih padamu.
Sekarang, biarkan aku memberanikan diri tak seperti biasanya aku.
Sebelum, semuanya tak bisa kulakukan lagi untukmu.
sebelum, aku sudah tak mampu melambungkan kata-kata harapan untukmu.
sebelum, yang sebenarnya terjadi ada di depan mata terjadi padaku darimu.
sebelum, aku sampai pada tujuan yang sebenarnya.
Ijinkan aku, mengharap kata-kata mu menghampiri sejenak tanpa aku harus mengundangnya.
Walaupun setiap saat dan waktu harapanku masih dan akan tetap sama, yaitu agar selamanya
ucapan "Hai" ku ini cukup untuk dirimu seorang saja.
Dari aku, yang tersungkur pada kata-kata dan masa yang pernah ada diantara kita, diriku
dan dirimu. Dalam seperlima dasawarsa kita bertemu dan mengenal. Menuju 365 hari berlalu
perbincangan nyaman pernah ada.

#3 Semua Hanya Sebatas…


Ini semua tentang mimpi tadi malam
tiba-tiba ada yang menyeruak, entahlah padahal tak diundang
aku terkesiap, apa yang memang aku pikirkan? sampai-sampai sosokmu hadir di mimpi
semalam
kau tanpa dosa, hadir saat diri ini sedang rindu-rindunya.
kau tak sopan, tanpa permisi masuk pada ruang damai tengah malam
tapi tak apa, aku suka. Setidaknya bisa menyapa pada sang rindu yang tertunda.
Ketahuilah, engkau hadir sangat fana, percakapan waktu itu masih sangat terngiang. Kita
terlihat sudah biasa, dengan kita yang sama-sama pendiam sudah tak lagi bersembunyi pada kata-
kata yang beku. Tahukah, waktu itu kau hadir dengan sebuah kepastian, ya... kita adalah tangan
yang akan saling meraih, tawa yang akan selalu terbagi, dan rindu yang akan selalu pulang yang
lebih membahagiakan, mata kita saling bertemu. Mengisyaratkan bahwa memang hanya kau
kepadaku, dan ku kepadamu. Tatap ini tak akan untuk yang lain, mata mu berbicara sangat dalam.
Apa yang kuinginkan, telah menjadi nyaris nyata. Kita duduk berdua, di bawah senja yang
memerah dengan hati yang saling bertaut hanya antara kita, dan Tuhan tentunya. Pembicaraan
singkat tapi penuh keyakinan, membuaikan jiwa yang terlalu perasa. Hingga tak ada pun secuil
keraguan di dalamnya. Kita seperti apa saat bersama? sudah begitu akrab, kita dengan presepsi
yang selalu benar, kita dengan kepercayaan yang sejalan, kita yang dengan berdampingan bisa
menciptakan langkah perubahan, kita senada yang penuh harmoni.
Kau di dekatku, ternyata hanya sebentar. Alarm itu tak bisa berdamai dengan keadaan. Aku
menyesal sekaligus bangga. Menyesal karena terlalu berharap pada ketidak pastian, hingga
membawamu pada sedekat itu tapi tidak sebenar-benarnya. Benar...hanya sebatas bunga tidur. Aku
bangga, karena rindu ku sekarang tak jadi berlebihan. Sudah ada yang sedikit terelakan dengan
adanya pertemuan singkat. Antara jiwa kita yang sedang melayang-layang. Sedih juga, menatap
mu dalam dan lekat hanya ada dalam mimpi. Menebar senyuman ini kepadamu hanya sebatas
mimpi. Pembicaraan itu hanya pada mimpi. Mimpi memang membuaikan, tak ada wujudnya tapi
bisa membuat kegirangan. Ah... aku benci ini. Saat setelah aku sampai pada dunia faktual, suara
meneduhkan mu masih terdengar, mengucap perpisahan untuk perjumpaan selanjutnya, tawa mu
masih terlihat, menandakan rasa yang ada membahagiakan, senja di atas kita masih bisa kurasakan,
artinya penantian sebenarnya masih terus berjalan.
Hadirlah dalam mimpi-mimpi selanjutnya... ada banyak yang ingin kubicarakan pada kata-
kata yang tak sempat terucap nyatanya. Ada banyak cemburu yang ingin kuperlihatkan, yang
sebelumnya cukup aku dan sujud yang tahu. Ada banyak rasa yang ingin kucurahkan, yang
sebetulnya masih tertahan dan tak tahu kapan akan membuncah. Seandainya mimpi, hadir untuk
kesekian kalinya. Sebanyak itu juga aku berdoa mengharap ketetapan-Nya untuk kita agar segera
dipertemukan di sebenar-benar pertemuan tak canggung. Mengharap kita bisa segera berdamai
dengan dimensi waktu berbeda. Ya... antara mimpi segera terdefinisikan di kenyataannya. Untuk
mimpi-mimpi yang pernah ada, terimakasih atas pengertiannya. Sudah selayaknya kau hadir saat
aku merindukannya. Dengan setia dan tetap bahagia, kutunggu kau di perjumpaan selanjutnya.
Di mimpi tentunya...
#4 Menjadi Yang Berjuang…
Sedetik
Dua detik
satu menit
delapan menit
satu jam
tiga hari
enam bulan
satu setengah tahun
dua setengah tahun..
Aku hanya bisa terus berhitung sembari bersabar. Bukannya lelah tapi telah terbiasa
menaklukkan indahnya rasa sakit, curiga, marah, dan tindakan wajar lainnya. Kadang seperti
bertarung dengan hati, mulut tak bisa pasrah dengan keadaan. Juga tangan yang tak bisa lagi sabar
dengan keadaan yang semakin membuncah. Lagi-lagi perasaan selalu menjadi pemenang, dia
taklukan semuanya. Segala rasa yang dianggap tak biasa.
Tak apa, hati tak apa. Dia terlatih dengan handal menepis lara dengan dengan lapang dada.
Daun yang gugur telah berkembang kembali, bersanding dengan bunga indah merekah
seperti itulah perasaan sekarang, ia layu, jatuh, tegar, dan muncul kembali. Mencoba untuk tidak
goyah itu sulit, dan sama saja seklai gugur dengan cepat ia merambat tumbuh kembali. Ia tak butuh
pupuk, tapi ia tumbuh bersama waktu yang terlanjur lama. Ini juga bukan masalah memulai, tapi
bagaimana ia ada di jalan yang telah benar. Bukan sekarang tapi entahlah. Jika dihitung mungkin
waktu yang ada bisa dikali beberapa bilangan tapi bisa saja terkali nol. Ya.. akhirnya tak menjadi
apa-apa. Yang telah lama, akhirnya hilang juga. Yang diupayakan, bukan dengan kita tertulisnya.
Maka biarlah misteri menjadi hal yang indah. Jatuh berkali-kali biarlah diri sendiri yang
mengetahuinya, Tapi memang sulit, bertudung kepalsuan, bersemayam di keramaian kalau
akhirnya kembali pada kesepian yang membuat menangis.
Ada yang bilang, kalau "Menjadi yang berjuang sendirian itu menyakitkan". Tapi jika
direnungkan kembali, hal itu justru salah, kenapa? karena, mungkin perjuangan mu itu tanpa
sepengetahuan. Ya.. yang diperjuangkan tak tahu kalau sedang dikejar. Yang dinanti tidak tahu
kalau sedang ditunggu. Yang dikirim pesan taktahu itu dari siapa. Begitulah, berjuang yang
kosong.
Baiklah jika kau berjuang dan bergelut dengan doa-doa mu itu lain lagi ceritanya. Jika kau
berjuang semata karena Tuhan mu maka, tak ada yang namanya rasa sakit, tak ada yang namanya
kecewa, tak ada lagi meneteskan air mata. Maka dengan indah kata itu berubah menjadi "Menjadi
yang berjuang karena Allah itu menyenangkan". Karena kau berjuang sudah tak sendirian, Allah
bantukan mengejarnya, Allah bantukan menyampaian rindunya. Allah bantukan sampaikan
kekecewannya.
Berjuang dengan Allah yang ada hanyalah kelegaan. Kau sudah tak lagi sendirian, kekasih
sejatimu membantu dalam kelelahan, kesedihan dan kapanpun juga selama apapun kamu bertahan
dengan apa yang sedang diupayakan.
Untuk sekarang, pahamilah bahwa kau bukan sedang berjuang sendirian. Diatas sana ada
yang membantu kau meraih langitmu. Tanpa kau sadari rasa itu perlahan tenang tersampaikan.
Baiklah jika memang rasa sakit satu, dua kali boleh hinggap. Tak apa, rasa sakit itu mungkin
jawaban dari doa-doa mu selama ini. Jika kau kukuh, lanjutkanlah, jika tidak maka saatnya kau
kerahkan semua yang ada kembalikan pada pemilik langit-Mu. Biar Dia yang mengurus semuanya,
rasa lelah, kecewa juga marah mu. Cukup tatap langitmu dengan senyuman, tanamkan
kepercayaan kepadanya jika memang suatu saat dia akan datang. Bukan dengan meruntuhkanmu
tapi untuk melindungimu melalui masa-masa sulitmu juga bersandar di bahumu saat bahagia-
bahagia mu. Jika sekarang memang belum saatnya kau meraihnya, biarkan dia beterbangan sesuka
hatinya. Bebaskan ia dalam kebaikan. Kekang dia dalam keburukan. Bersama Dia kau awasi dia,
langitmu. Dalam kesabaran dan senyuman indah penantian.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Waktu memang tak bisa menebak bagaimana nanti ending nya, juga seperti hati yang selalu
berbolak-balik tak menahu perihal rasa yang sebenarnya. Semakin perlahan dan kesini, mungkin
kita tersadar bahwa telah terjebak pada perasaan yang salah, perasaan yang tumbuh lebih cepat
dari masa ranum yang sebenarnya. Ya.. cinta tumbuh saat kita belum siap atas konsekuensinya.
Tapi, kita harus berterima kasih akan hal tersebut, berkat ia kita menjadi kita yang
sekarang. Kita yang sadar akan sakitnya bertepuk sebelah tangan ataupun surat tak berbalas. Dan
dengannya, kita ingin berubah menjadi lebih baik, menempatkan segala sesuatu diatas perintah-
Nya. Hijrah cinta.

Anda mungkin juga menyukai