Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Disusun Oleh :
Arsinta Aulia
M. Milatur Rahman
Nova Rahmadani
Yunika Sari
PENDIDIKAN BIOLOGI
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita semua, dan tak lupa pula sholawat berangkaikan salam marilah
kita hadiahkan kepada nabi akhir zaman Muhammad SAW berkat rahmat dan
petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Dan kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Afrahul Fadhila Daulai,
MA yang telah mengarahkan kami sehingga tersusunlah makalah ini. Adapun
dalam penulisan makalah ini, materi yang akan dibahas adalah “Peserta Didik
dalam Perspektif Pendidikan Islam.”
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari “Ilmu Pendidikan Islam” serta
dapat digunakan sebagaimana semestinya.
Pemakalah,
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Back Ground
Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem
pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses
pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi
pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan
bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong
yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus
aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam
upaya pengembangan keilmuannya.
Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang
diberikan oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan
jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan. Peserta didik di dalam mencari nilai-
nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut
ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan
alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan
agama peserta didik.1
Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT:
ِ الدينُ ْالقَيِ ُم َولَ ِك هن أ َ ْكث َ َر النه
اس ِ ََّللاِ ذَلِك
ق ه ِ اس َعلَ ْي َها َل تَ ْب ِدي َل ِلخ َْل َ ََّللا الهتِي ف
َ ط َر النه ْ ِِين َحنِيفًا ف
ِ ط َرت ه ِ فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِللد
ََل َي ْعلَ ُمون
1
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 170.
1
ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.2 Dengan demikian, maka agar
pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan
pendidikan yang sesuai dengan perkembangan fitrah anak didik.
Berkaitan dengan hal di atas, maka peseta didik dalam pendidikan Islam
memiliki aspek-aspek penting yang perlu kita kaji dan kembangkan dalam kajian
pendidikan. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan
tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam, kebutuhan-kebutuhan
peserta didik, karakteristik peserta didik, dan sifat-sifat serta kode etik peserta
didik dalam pendidikan Islam.
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional
pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhalk mulia, serta keterampilanyang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat
berlangsung jika memenuhi unsur-unsur yang ada di dalamnya, salah satunya
pendidik dan peserta didik.
2
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 144.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan historis teoritis dan praktis, (Jakarta:
Ciputat Pres, 2002), hal. 47.
4
yasin. Fatah, Diemensi-dimensi pendidikan islam , (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 102-
103.
3
(ada sebuah percakapan) yakni: Sebagaimana halnya binatang yang dilahirkan
dengan sempurna, apakah kamu lihat binatang itu tiada berhidung dan bertelinga?
Kemudian Abi Hurairah berkata, apabila kau mau bacalah, alazimilah fitrah Allah
yang telah Allah menciptakan manusia di atas fitrah-Nya. Tiada penggantian
terhadap ciptaan Allah, itulah agama yang lurus.” (H.R Muslim). Disadamping itu
dalam Al-Qur’an Surat an-Nahl ayat 78 juga dijelaskan:
Dari hadis dan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui proses pendidikan. Agar
pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkannya,
maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tuFahmias dan
kewajibannya.
Dalam perspektif Islam, anak didik sejak lahir sudah dianjurkan untuk
dirangsang dengan suara-suara seperti suara adzan, iqamah, pepujian, suara
bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lagu-lagu Islami dan lain sebagainya. Hal ini
disebabkan karena manusia pada masa masih berada diperut ibunya telah
mengadakan perjanjian dengan Tuhan-nya (Al-A’raf: 172), dan untuk
mengeluarkan nilai-nilai keTuhan-an tersebut perlu dirangsang atau dipancing
dengan suara-suara spiritual.
Disamping itu juga orang tua perlu memberikan nama dan sebutan yang
baik kepada anak tersebut, memberi makanan dan minuman yang baik dan halal
(QS. Al-Baqarah: 168), terutama dengan air susu murni dari ibunya sampai umur
dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 233.
Kemudian pada masa anak mulai kelihatan tumbuh potensi biologis,
psikologis, paedagogis-nya, kira-kira umur 2-12 tahun peran pendidikan sudah
mulai diperlukan melalui kegiatan bimbingan, pelatihan, pembinaan, pengajaran
dari orang lain yang lebih dewasa (orang tua atau pendidik). Pendidikan
4
disesuaikan dengan kemampuan, bakat, dan minat anak (QS. Al-Kahfi: 29, QS. al-
Rum: 30, QS. Hud: 39). Pada masa ini anak sudah mulai memasuki wilayah
pendidikan di luar institusi keluarga, seperti masuk pendidikan di tingkat usia dini
2-4 tahun (play group) dan pada 4-6 tahun (taman kanak-kanak), pendidikan
sekolah dasar (SD) umur 6-12 tahun. Pada masa ini kegiatan pendidikan
diarahkan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan melalui pemberian contoh
berprilaku positif kepada anak.
Pada masa ini anak sudah mulai menfungsikan daya intelektualitas dan
tumbuh kesadarannya sehingga mampu membedakan antara yang baik dan buruk,
yang salah dan benar. Dalm perspektif pendidikan Islam anak pada usia ini sudah
dianjurkan oleh Nabi. Ia diperintah melaksanakan shalat dan dipukul apabila tidak
mau melaksanakannya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadis yang artinya,
“perintahlah anak-anak kalian melaksanakan shalat ketika ia berusia tujuh tahun,
dan pukullah ia ketika tidak mau melaksanakannya” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Hakim).
Oleh karena itu model pendidikan yang perlu diberikan adalah diarakan
kepada tiga rana pendidikan, yakni pela tihan intelektual (aspek kognitif)
pembinaan moral atau akhlak atau pembiasaan dan ketaatan untuk menjalankan
nilai-nilai ajaran agama Islam (aspek afektif) dan semangat bekerja atau amal
shaleh (aspek psikomotorik).
5
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 103.
5
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan
menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan
arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa
berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah penempuh
jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat
sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah
tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut
dengan mahasiswa.6
Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan untuk
melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik, selanjutnya
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap
mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan pengajarannya. Sebaliknya,
jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan ditelantarkan tanpa
pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang dilepaskan beitu saja dengan
bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang yang celaka dan binasa.7
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah
individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan
religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut
memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang
karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung
adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, dan umat
beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi
peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.8
Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar, mendidik,
dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga.
Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke
dalam neraka.
6
Ibid., h. 104.
7
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi,
(Bandung : Irsyad Baitus Salam, 2008), h. 16.
8
Abdul Mujib, loc. cit.
6
Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi bersabda:9
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan
sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan
dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi
corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.10
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
َ َص َرانِ ِه ا َ ْويُ َم ِج
)سا ِن ِه (رواه مسلم ِ ان ا َ ْويُن ْ ى ْال ِف
ِ َط َرةِ فَاَبَ َواهُ يُ َه ِود َ َام ْن َم ْولُ ْو ٍد ا هِلي ُْولَد ُعل
ِ َم
Artinya: “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah
(kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim)
Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan;
kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis
itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini
adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana
yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini,
yang menentukan perkembangan seseorang.11
9
Jamal Abdul Rahman, op.cit., h. 17.
10
Zuhairini, loc. cit.
11
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 2008), h. 35.
7
Manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak
potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi
dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi
orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan
menjadi baik.12
Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah
membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya
dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam
pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak
peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan
mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang
diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam
dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang
sesuai dengan perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
12
Ibid., h. 35.
8
C. Karakteristik Peserta Didik
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah: 13
1. Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri,
sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa.
Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi
segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.
2. Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu
semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima
hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-
kebutuhan tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan
terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-
metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi
diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain
sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau
kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan.
Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima
hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan
ridha dari Allah SWT.
3. Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain,
baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen
(lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan
lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem
manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai
makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak
segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
4. Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang
dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki
aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam
pendidikan tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya
menerima, mendengarkan saja.
5. Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam
13
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 103.
9
pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola
dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik
sangat ditentukan oleh usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa
menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik
dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis.
10
rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya
diarahkan untuk mengasah daya intelektualnya melalui ilmu-ilmu rasional.
Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan
akhlak dan ibadah.
f. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat
dikembangkan secara dinamis.
14
Abuddin, Nata, Filsafat pendidikan islam , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), h. 82-83.
11