Bab 1
Bab 1
BAB 1. PENDAHULUAN
pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama
dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. Kurikulum 2013 bertujuan
untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia. Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk
semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik (BSNP,
2014).
Pendekatan saintifik dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran yang
memandu siswa untuk memecahkan masalah melalui kegiatan perencanaan yang
matang, pengumpulan data yang cermat, dan analisis data yang teliti untuk
menghasilkan sebuah simpulan (Abidin, 2014). Pembelajaran dengan pendekatan
saintifik dapat mendorong siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran (Hosnan, 2014). Pendekatan saintifik meliputi lima pengalaman
belajar sebagaimana tercantum dalam Permendikbud No. 59/2014. Lima
pengalaman belajar tersebut meliputi, mengamati (observing), menanya
(questioning), mengumpulkan informasi (experimenting), menalar /mengasosiasi
(associating), dan mengomunikasikan (communication).
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah) diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, salah satunya
adalah keterampilan berpikir kritis (Tim Penyusun, 2014). Salah satu studi
internasional mengenai kemampuan kognitif siswa yaitu TIMSS (Trends in
Mathematics and Science Study) yang diadakan oleh IEA (International
Association for the Evaluation of Educational Achievement). Hasil TIMSS 2015
pada bidang Fisika menunjukkan Indonesia memperoleh nilai rata-rata 397
dimana nilai ini berada di bawah nilai rata-rata internasional yaitu 500. Data
prosentase rata-rata jawaban benar untuk konten sains dan domain kognitif
khususnya fisika, persentase jawaban benar pada soal pemahaman selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan prosentase jawaban benar pada soal penerapan dan
penalaran.
3
pengalaman. Siswa aktif dan dapat terus mengembangkan diri dalam kondisi
tertentu (Rustaman, 2005 :78). Teori belajar konstruktivisme menekankan
pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan
aktif dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran konstruktivisme adalah
membangun pemahaman sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan
awal dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstrusi bukan
menerima pengetahuan (Amri, 2010: 35).
Proses mengkonstruksi kemampuan berpikir kritis ini akan lebih mudah
dilakukan jika pembelajaran fisika yang dilakukan dikaitkan dengan
pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, bahwa pembelajaran fisika
harus kontekstual bagi siswa. Pembelajaran kontekstual adalah konsep
pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran
dengan kehidupan nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan
menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari (Mulyono,
2012:40). Pembelajaran kontekstual ini dapat ditunjang dengan berbagai konteks
yang disediakan guru, di antaranya melalui bahan ajar yang digunakan. Namun
sayangnya, ketersediaan bahan ajar fisika yang kontekstual ini menjadi kendala
bagi guru.
Hasil diskusi terbuka antara guru bidang studi fisika di SMK Negeri 3
Bondowoso, bahwa ada beberapa alasan mengapa banyak siswa yang tidak
memiliki kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah-masalah fisika
yang diberikan oleh guru yaitu: (1) kurang dilatihnya siswa untuk bisa berpikir
kritis dalam menyelesaikan masalah yang ada di dalam proses pembelajaran, (2)
guru-guru bidang studi fisika belum banyak mengetahui media pembelajaran
inovatif serta kesulitan mencari strategi yang tepat agar siswa dengan kemampuan
rendah dapat aktif belajar dengan fasilitas dan sumber belajar yang terbatas, (3).
tingkat kemampuan guru-guru mata pelajaran fisika belum banyak dalam
mengembangkan media pembelajaran yang mampu melatihkan keterampilan
berpikir kritis siswa dan (d) keterbatasan waktu guru-guru mata pelajaran fisika
untuk dapat menyediakan media pembelajaran dalam melatih keterampilan
5
berpikir kritis dalam penyelesaian masalah siswa. Oleh karena itu diperlukan
suatu media pembelajaran yang bisa melatih kemampuan berpikir kritis siswa.
Salah satu media pembelajaran yang dapat menunjang pembelajaran dan
dapat melatih kemampuan berpikir kritis adalah buku ajar. Buku ajar merupakan
buku yang digunakan sebagai buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang
merupakan buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya untuk
maksud-maksud dan tujuan instruksional, yang dilengkapi dengan sarana-sarana
pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-
sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu progam pengajaran
(Suharjono, 2008 : 83). Mahardika (2012: 23) menyebutkan bahwa buku sebagai
bahan ajar merupakan buku yang berisi suatu ilmu pengetahuan hasil analisis
terhadap kurikulum dalam bentuk tertulis. Materi dalam buku ajar merupakan
realisasi dari materi yang tercantum dalam kurikulum.
Buku ajar yang dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa seharusnya
menggunakan pendekatan yang tepat. Salah satu pendekatan yang dapat
digunakan adalah pendekatan multirepresentasi karena dalam pembelajaran fisika,
siswa dituntut untuk menguasai representasi-representasi berbeda (percobaan,
grafik, konseptual, rumus, gambar, diagram) (Mahardika, 2013). Menurut Nichols
(2016) pembelajaran dengan multi representasi memberikan kemudahan siswa
memahami konsep melalui berbagai cara. Tampilan buku ajar dengan berbagai
representasi dalam penanaman suatu konsep akan dapat lebih membantu siswa
memahami konsep yang dipelajari. Hal ini terkait dengan setiap siswa memiliki
kemampuan spesifik yang lebih menonjol dibanding kemampuan lainnya. Ada
siswa yang lebih menonjol kemampuan verbalnya dibanding kemampuan spasial
dan kuantitatifnya, tetapi ada juga yang sebaliknya. Jika sajian konsep dalam buku
ajar hanya ditekankan pada satu atau dua representasi saja, maka akan
menguntungkan sebagian siswa dan tidak menguntungkan bagi yang lainnya.
Misalnya sajian konsep hanya dinyatakan dalam representasi verbal, maka siswa
yang lebih menonjol kemampuan spasialnya akan sulit memahami konsep yang
disajikan (Suhandi, 2012).
6