Nama Catatatan Makalah Lmu Fiqhliyah (Abdul M.SPD Ma)
Nama Catatatan Makalah Lmu Fiqhliyah (Abdul M.SPD Ma)
Semester : V (Enam)
A. PEMBAHASAN
A. SHOLAT QASHAR
Shalat yang diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar
dan Isya’) dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya.
Sebagaimana menjamak shalat, meng-qashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini merupakan
rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Syarat Meng-qashar :
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km
3. Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.
4. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).
1
Sedangkan Cara Melaksanakan Shalat Qashar :
1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian salam.
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir baik safar dekat atau safar jauh, karena tidak
ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh
melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya.
sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 km agar tidak terjadi
kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas.
(lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid
Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim
Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan
diperbolehkannya meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang
menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km, karena pendapat ini juga
merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak ber-ijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh
Utsaimin 15/265).
Berkata Ibnu Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu dalil-pun) bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam meng-qashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota
Madinah.”
2
Berkata Anas Radhiallahu ‘Anhu : “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam di kota Madinah 4 raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.”
(HR. Bukhari, Muslim dll).
B. SHOLAT JAMAK
Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam
satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu
Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.
Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain.
Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut ini :
1. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
2. Apabila turun hujan lebat
3. Karena sakit dan takut
4. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang disepakati
oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al
Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali).
Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-
kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama
dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau
bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan
saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh
safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat
disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya suatu
keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jarak jauh
maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi
seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua
adalah mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir
ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim),
turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam
2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
3
Berkata Imam Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa
seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan
sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah
wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah
tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal
itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab : ”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak
ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya
pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu
Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.
2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya
pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu
Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.
4
KESIMPULAN
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan
yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak
bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus
dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan
dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal
ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa membuat perkara baru dalam
urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah
kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing
kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain.(Lihat Majmu’
Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378).
5
HUKUM MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia meng-qashar
shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (4
raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu
makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim)
meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam
dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada
di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
berkata : “Sempurnakanlah shalatmu (4 raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah
musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar)
dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah
Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).