Anda di halaman 1dari 50

BAB III

DASAR TEORI PENENTUAN PRODUKSI OPTIMUM SUMUR GAS

Dalam menentukan kemampuan reservoir untuk mengalirkan gas ke


permukaan melalui aliran media berpori ada beberapa hal yang harus diketahui
sebelumnya, antara lain komposisi fluida reservoir gas, sifat fisik gas, model test
sumur dan metode analisa yang digunakan.

3.1. Drill Stem Test (DST)


Drill Stem Test (DST) adalah suatu pengujian produktivitas formasi yang
dilakukan pada sumur eksplorasi sebelum lapisan diproduksi. DST dilakukan
setelah pemboran selesai, kemudian uji DST dilakukan dari lapisan prospek yang
paling bawah. DST ini berfungsi sebagai penentuan kandungan reservoir
hidrokarbon, serta karakteristik dari reservoir tersebut. Untuk melakukan
pengetesan zona tersebut, maka rangkaian peralatan DST disambungkan dengan
rangkaian drill string kemudian diturunkan sampai zona pengujian. Zona tes
diisolasi untuk menghilangkan pengaruh tekanan hidrostatik lumpur, sehingga
memungkinkan fluida formasi mengalir melalui drill pipe dan secara kontinyu
mencatat tekanan selama pengujian berlangsung.
Prinsip dasar drill stem test (DST) adalah memproduksikan sumur untuk
sementara waktu (temporary completion) dan ini dapat dilakukan pada sumur yang
telah dipasang casing maupun yang masih terbuka. Alat ini otomatis juga mencatat
ulah tekanan pada dasar sumur selama pengujian berlangsung. Peralatan DST dapat
dilihat pada Gambar 3.1.

15
16

Gambar 3.1.
Rangkaian Peralatan DST
(Gatlin, C., 1960)

Pada prinsipnya, cara kerja atau prosedur pelaksanaan tes dibagi menjadi
lima bagian, yaitu:
a. Going in Hole
Prosedur going in hole ini adalah mempersiapkan lubang bor untuk
dilakukan pengujian.
 Sebelum alat dimasukkan ke dalam lubang bor, diadakan sirkulasi lumpur
untuk membersihkan cutting dalam lubang bor.
 Catat data-data sumur meliputi:
17

a. Kedalaman sumur serta interval pengujian.


b. Tebal lapisan yang akan diuji.
c. Diameter sumur, baik sudah dipasang casing maupun belum.
d. Berat jenis lumpur pemboran yang digunakan.
e. Karakteristik umum lapisan yang akan diuji.
Pencatatan data ini dilakukan untuk menentukan jenis alat yang akan
dipergunakan, misalnya berapa panjang anchor, dimana packer diletakkan,
dan sebagainya.
1. Turunkan alat secara pelan-pelan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
break down formation.
2. Pasang flow line yang akan mengalir fluida hasil pengujian ke separator test.
b. Making Test
Prosedur making test adalah sebagai berikut:
1. Setelah mencapai lapisan yang akan diuji, kembangkan packer dan buka
tester valve.
2. Fluida yang masuk ke dalam lubang bor akan mendesak bantalan air (water
cushion) serta udara di atasnya. Bila aliran udara telah habis, maka kerangan
dibuka untuk mengalirkan fluida formasi menuju separator test. Laju aliran
diukur pada separator test. Bila tidak terjadi semburan udara, berarti terjadi
kelainan pada sistem kerja alat penguji. Bila aliran terhenti, berarti tekanan
reservoir tidak mampu mengangkat fluida reservoir ke permukaan.
c. Taking Closed in Pressure
Setelah tahapan making test selesai, maka langkah berikutnya adalah
mengoperasikan Closed in Valve bila laju aliran tidak stabil, untuk
mengakumulasikan tekanan reservoir. Pada saat ini terjadi suatu Pressure Build Up.
d. Equalizing
Tahapan ini terjadi setelah periode penutupan akhir selesai. Adapun
langkahnya adalah membuka Equalizer Valve untuk menyeimbangkan tekanan di
atas dan di bawah packer.
e. Reversing
18

Reversing merupakan tahapan terakhir dari test sebelum rangkaian dicabut.


Untuk menyamakan kondisi lubang bor sebelum dan sesudah pengujian, maka perlu
diadakan sirkulasi lumpur. Kemudian cabut alat pelan-pelan untuk menghindari
terjadinya swab effect. Pengujian lapisan telah selesai.

3.1.1. Grafik Pencatatan Drill Stem Test (DST)


Secara umum, hasil pencatatan tekanan alir dasar sumur terhadap waktu
selama DST berlangsung dapat ditunjukkan dalam bentuk grafik seperti pada
Gambar 3.2. Terdapat beberapa pencatatan tekanan yang sering dijumpai dimana
masing-masing bentuk tersebut dapat menunjukkan keadaan yang terjadi selama tes
berlangsung.

Gambar 3.2.
Hasil Pencatatan Tekanan terhadap Waktu DST
(Gatlin, C., 1960)

Keterangan:
1. Menunjukkan besarnya tekanan hidrostatik lumpur mula-mula sebelum tes
(initial hydrostatic pressure, IHP)
2. Menunjukkan besarnya tekanan penutupan mula-mula setelah packer
dipasang (initial closed in pressure, ICIP)
19

3. Menunjukkan besarnya tekanan alir paling rendah yang dapat direkam tepat
setelah valve dibuka (initial flowing pressure, IFP)
4. Menunjukkan besarnya tekanan aliran terakhir yang dapat direkam sebelum
valve ditutup (final closed in pressure, FCIP)
5. Menunjukkan besarnya tekanan saat akhir build-up
6. Menunjukkan besarnya tekanan hidrostatik lumpur setelah alat dibuka
kembali dan packer dilepas (final hydrostatic pressure, FHP)
Ada tiga kriteria tentang karakteristik hasil pencatatan tekanan yang baik
dari DST, yang dianjurkan oleh Murphy, Timmeran dan Van Poolen, yaitu sebagai
berikut:
1. Pressure base line adalah merupakan garis lurus dan jelas.
2. Tekanan hidrostatik mula-mula dan akhir yang dicatat sama dan tetap
terhadap kedalaman dan berat lumpur sama.
3. Tekanan aliran dan build up pressure yang dicatat merupakan kurva yang
halus.
Dengan mengetahui karakteristik-karakteristik tersebut di atas, maka
adanya kondisi lubang bor/sumur yang buruk, alat yang tidak bekerja/berfungsi
dengan baik dan kesukaran lainnya dapat diketahui dari grafik pencatatan tekanan
test DST. Perencanaan, pengoperasian dan analisa hasil tes sumur yang tepat akan
melengkapi data tentang permeabilitas, derajat kerusakan sumur (S), tekanan
reservoir, kemungkinan batas-batas reservoir dan heterogenitas formasi.

3.2. Komposisi Fluida Reservoir Gas


Komposisi gas alam yang tersusun dari ikatan-ikatan atom C, dapat ditinjau
dari jumlah serta kandungan senyawa-senyawa lain yang menyertainya. Maka
komposisi gas alam dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: ditinjau dari senyawa
molekul karbon, kandungan senyawa lain serta kondensat.
20

3.2.1. Komposisi Kimia Gas Hidrokarbon


Gas alam dapat terjadi dalam keadaan sendiri, atau terdapat bersama-sama
dengan minyak. Gas ini terutama terdiri dari anggota-anggota yang mudah
menguap dari golongan yang terdiri dari satu sampai empat atom karbon tiap
molekul, akan tetapi dapat dimengerti, bahwa sejumlah kecil dari hidrokarbon
dengan berat molekul yang lebih tinggi juga terdapat gas. Disamping gas
hidrokarbon, gas ini juga mengandung unsur-unsur lain dalam jumlah yang
berbeda, seperti CO2, N2, H2S, He, dan uap air. Kebanyakan gas terdiri atas metana
dan prosentasenya mencapai 98 % dari gas tersebut. Oleh karena itu gas dapat
digolongkan menjadi :

A. Sweet Gas
Sweet gas adalah gas alam yang tidak mengandung hidrogen sulfida (H2S),
tetapi dapat mengandung nitrogen (N2), karbondioksida (CO2) atau kedua-duanya.
Kandungan ini harus kita ketahui besarnya prosentasenya karena akan
mempengaruhi besarnya harga Z.

B. Sour Gas
Sour gas adalah gas alam yang mengandung hidrogen sulfida (H2S) dalam
jumlah yang besar dan karena adanya H2S ini maka sour gas tersebut bersifat
korosif. Selain itu H2S juga akan mempengaruhi besarnya harga Z.

C. Wet Gas
Wet gas adalah gas bumi yang mengandung hidrokarbon yang lebih berat
dalam jumlah yang cukup banyak dan mudah dipisahkan dalam bentuk cairan.
Cairan yang dihasilkan dari gas basah disebut kondensat, sedangkan gas yang
diperoleh disebut gas kondensat atau gas alam. Baik saat awal maupun akhir
produksi, biasanya di dalam reservoir fluida dalam keadaan fasa gas. Adapun ciri-
ciri gas basah antara lain:
1. Temperatur krikondenterm diagram fasanya lebih kecil dari temperatur
reservoir.
21

2. Fluida dari separator terdiri atas 10 % mol cairan, dan 90 % mol fasa gas.
0
3. Cairan dari separator mempunyai gravity > 50 API dan biasanya jernih
seperti air.
4. GOR produksi dapat mencapai 100 000 SCF/STB atau kurang.
Diagram fasa gas basah (wet gas) dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3.

Diagram Fasa Gas Basah


(Beggs, Dale. H., 1984)

D. Dry Gas
Gas kering terutama terdiri dari metana dan sedikit mengandung etana serta
kemungkinan propane. Adapun ciri-ciri dari dry gas antara lain:
1. Temperatur kritis dan temperatur krikondenterm fluida relatif sangat
rendah, sehingga biasanya berharga jauh di bawah temperatur reservoirnya.
2. Sedikit sekali atau hampir dapat dikatakan tidak ada cairan yang diperoleh
dari separator produksi permukaan.
3. GOR produksi biasanya lebih dari 100 000 SCF/STB.
Diagram fasa gas kering (dry gas) dapat dilihat pada Gambar 3.4.
22

Gambar 3.4.
Diagram Fasa Gas Kering
(Beggs, Dale. H., 1984)

3.2.2. Komposisi Kimia Gas Non Hidrokarbon


Zat hetero-atom adalah hidrokarbon yang juga mengandung berbagai
macam atom lainnya (non-hidrokarbon) seperti S, O, dan N.

A. Senyawa Belerang
Senyawa belerang sangat diperhatikan dalam dunia migas, biasanya
terdapat dalam jumlah lebih banyak di dalam fraksi molekuler yang lebih tinggi.
Kadarnya dapat mencapai 5 sampai 40 % senyawa belerang, disamping yang
terdapat dalam resin dan aspalten.
Senyawa seperti H2S, Mercaptans, Alkyl Sulfide, Tiofen, Sulfon, Asam
Sulfonat, Sulfoksil, dan lain sebagainya banyak juga dijumpai di dalam minyak dan
gas bumi. H2S merupakan gas gas tak berwarna yang mempunyai titik didih -59.6
0
C dan berbau tidak enak. H2S merupakan gas beracun dan keberadaannya cukup
merugikan dalam industri perminyakan karena dapat menimbulkan kerusakan pada
peralatan refinery, seperti karat misalnya. H2S dipisahkan dari gas alam dengan
menggunakan ethanolamines. Gas alam yang mengandung konsentrasi belerang
biasa disebut Sour Gas dan yang tidak ada kandungan belerangnya biasa disebut
dengan Sweet Gas.
23

B. Senyawa Oksigen
Migas juga dapat memiliki senyawa oksida sampai 2% dalam bentuk asam
fenol. Biasanya terdapat dalam residu atau derivate tinggi. Beberapa jumlah kecil
fenol didapatkan dalam kerosin dan minyak solar. Migas dari formasi paling muda
biasanya mengandung asam yang paling tinggi. Asal asam ini tidak begitu banyak
diketahui, ada yang menyatakan bahwa zat tersebut merupakan sebagian dari
gugusan asam yang ada sebelumnya, sebelum berdegenerasi menjadi minyak.

C. Senyawa Nitrogen
Banyak terdapat dalam residu atau molekul berat dan sebagian terdapat
dalam benzene dan asphaltene. Kadar nitrogen bervariasi antara 0.01 sampai 0.02
% dan kadang-kadang dapat mencapai 0.65 %, misalnya dari lapangan minyak
Willmington, California, yang senyawa nitrogennya bisa melebihi 10 %. Senyawa
nitrogen yang terdapat dalam proses destilasi terutama adalah homolog piridin
dalam jangkauan C6–C10, quinolin dalam jangkauan C10–C17, dan turunan yang
berhidrogen dan juga senyawa carbozol, indol, dan pyrol. Asal nitrogen ini adalah
biogenic, misalnya dari protein dan pigmen.

3.3. Analisa Tekanan Pada Zona Gas


Menentukan sifat fisik gas terlebih dahulu dalam melakukan analisa PBU
pada zona gas seperti factor deviasi gas (Z), densitas gas (ρ), dan viskositas gas (μ).

3.3.1 Hubungan P, V dan T


Penyelesaian masalah aliran gas, baik di reservoir, tubing dan pipa produksi
membutuhkan hubungan yang menerangkan tekanan, volume, dan temperatur.
Untuk gas ideal hubungan tersebut dinyatakan dengan persamaan:
pV  nRT . ………………………………………………………….(3-1)
Dimana:
p = tekanan, psia
V = volume, ft
n = jumlah mol, lb-mole
24

T = temperatur, °R
R = konstanta, yang tergantung pada sistem yang digunakan 10,73 psia
ft3/lb-mole °R
Untuk gas bersifat sebagai gas nyata (real gas) tidak akan memenuhi
persamaan (3-1) diatas, tetapi memberi penyimpangan sebesar Z (Deviation
Factor), sehingga persamaannya menjadi:
pV  ZnRT ………………………………………………………….(3-2)
Penentuan harga Z (Deviation Factor) suatu gas alam dapat dilakukan
dengan:
 Pengukuran langsung
 Penggunaan korelasi Standing dan Katz.
 Penggunaan Equation of State.
Untuk penentuan dengan korelasi Standing dan Katz dan Equation of State
ini membutuhkan harga tekanan dan temperatur yang dinyatakan dalam harga Ppc
(pseudo-critical pressure) dan Tpc (pseudo-critical temperature) dari gas, yang
dapat diselesaikan dengan dua cara:
1. Bila diketahui fraksi mole masing-masing komponen, maka Ppc dan Tpc
dapat ditentukan dengan persamaan:
Ppc  Yi Ppci ..................................................................................... (3-3)

Tpc   YiTpci ..................................................................................... (3-4)

Dimana :
Yi = fraksi mole dari komponen ke-i.
Ppci = tekanan kritis dari komponen ke-i.
Tpci = temperatur kritis dari komponen ke-i.
2. Bila data produksi gas hanya diketahui spesific gravity dari gas (Sg), maka
harga Ppc dan Tpc dapat diketahui dengan menggunakan bantuan Gambar
3.5. Grafik korelasi Ppc dan Tpc tersebut juga memenuhi persamaan
Standing, yaitu:
T pc  170.5  307.3 g ......................................................................... (3-5)

Ppc  709.6  58.7 g ........................................................................... (3-6)


25

Dengan diperolehnya harga Ppc dan Tpc, maka harga Ppr dan Tpr dapat
dihitung. Katz dan Standing telah memberikan grafik korelasi: Z = f (Pr,
Tr), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.6.
Apabila dalam campuran gas terdapat gas CO2, H2S, dan N2, maka grafik
tersebut tidak memberikan akurasi yang baik, sehingga perlu dikoreksi
dahulu terhadap harga Ppc dan Tpc sebelum menghitung Ppr dan Tpr.

Gambar 3.5.
Grafik Korelasi Pseudocritical dari Campuran Gas Alam
(Beggs, Dale. H., 1990)
26

Gambar 3.6.
Kompresibilitas Gas Alam Sebagai Fungsi Dari Pr dan Tr
(Beggs, Dale. H., 1990)
27

3.3.2. Viskositas dan Densitas Gas


Viskositas dari suatu fluida (HD Beggs,1995,34) didefinisikan sebagai
perbandingan gaya geser per satuan luas terhadap gradien kecepatan aliran. Dengan
demikian viskositas merupakan tahanan terhadap aliran yang ditimbulkannya.
Viscositas gas murni (satu komponen) tergantung pada tekanan dan temperatur,
tetapi untuk gas campuran (gas alam) viscositas akan tergantung pula pada
komposisi. Selain itu viskositas berbanding lurus dengan temperatur dan
berbanding terbalik dengan berat molekulnya.
 ga  f ( M , T ) .................................................................................... (3-7)

g
 f ( pr , Tr ) .................................................................................. (3-8)
 ga
Dimana:
 ga = viscositas pada tekanan 1 atm.

 g = viscositas pada tekanan tinggi.

Menentukan densitas dan viskositas berdasarkan persamaan Lee (1966) :


520 P 1gr / cm 3
ρg =  g (0.0764) …………………...………….(3-9)
14.7 ZT 62.4lbm / ft 3

 g  K .10 4 exp( X y ) .......................................................................(3-10)


Dimana :
Dengan mengetahui Specific Gravity gas (γg), maka harga berat molekul
(M) dari gas dapat dihitung dengan persamaan:
M  M udara g

M  28.964 g ............................................................................ ...... (3-11)

9.4  0.02M T 1.5


K= ……………………………………………….(3-12)
209  19M  T
986
X = 3.5   0.01M ………………………………………...…….(3-13)
T
y = 2.4-0.2X………………………………………………………….(3-14)
28

3.4. Persamaan Transien Tekanan untuk Gas Nyata


Mekanisme aliran fluida gas pada media berpori sangat dipengaruhi oleh
sifat fisik fluida, geometri alirannya, sifat-sifat PVT dan distribusi tekanan sistim.
Didalam menurunkan persamaan aliran dan memecahkan solusinya, beberapa
anggapan telah digunakan yaitu : media yang homogen, gas mengalir dengan
komposisi tetap, aliran laminar dan isothermal.
Persamaan kontinuitas melukiskan prinsip konsevasi masa untuk aliran
fluida pada media berpori :
  .U   .U P
   …………………................................. (3-15)
r r t
Kecepatan aliran diberikan oleh persamaan Darcy untuk aliran laminar :
k P  P
U  ………………………………………................. (3-16)
 P  r
Dengan mensubstitusikan persamaan (3-15) ke persamaan (3-16),
didapatkan :
1    .k P  P  P
r r

  P  r r    t ………………………… (3-17)
 
Kemudian untuk gas nyata berlaku hubungan :

M  P 
   ………………………………………........... (3-18)
RT  Z  P  
Jadi, densitas dapat dieliminasi dari persamaan (3-17) menjadi :
1   k P  P    P 
r r
    t
  P Z P  rP r  
 Z P  
 ………. (3-19)
   
Persamaan (3-17) adalah salah satu bentuk dasar dari persamaan
diferensial parsial non linier yang menerangkan aliran gas dengan kondisi
isothermal pada media berpori.
Klinkenberg memberikan persamaan permeabilitas gas sebagai fungsi
tekanan yaitu :

 b
k P   k1 1   …………………………………................... (3-20)
 P
29

dimana :
k1 = permeabilitas efektif dari cairan
b = kemiringan plot antara k(p) versus 1/P
akan tetapi, ketergantungan permeabilitas terhadap tekanan dapat diabaikan untuk
tekanan-tekanan reservoir yang diketemukan, karena efek Klinkenberg ini hanya
berpengaruh pada tekanan yang sangat rendah. Jadi untuk tujuan-tujuan praktis,
permeabilitas gas dapat dianggap tetap. Jadi persamaan (3-19) menjadi :
1   k P  P     P 
 rP      …………... (3-21)
r r   P Z P  r  k t  Z P  

3.4.1. Pendekatan P Kuadrat ( P2 )


Persamaan ini digunakan apabila viskositas dan gas deviation factor (Z)
tidak banyak berubah. Persamaan yang diturunkan oleh Aronofsky dan Jenkins
untuk aliran gas ideal :

 2 p 2 1 p 2 C P   2 p 2
  ……………………………… (3-22)
r 2 r r k t
Solusi untuk persamaan diatas pada kondisi semi mantap adalah :

1422QZT  re 3 
Pr  P 2 wf 
2
 ln   S '  ………………… (3-23)
kh  rw 4 
Sedangkan solusi Transient adalah sebagai berikut :

711QZT  4  0.000263kt  
 ………
Pi  P 2 wf  
2
ln  2 
2 S '
    C t rw 
  (3-24)
kh 

3.4.2. Pendekatan Pseudo Pressure Function (AlHussainy-Ramey-Crowford)


Al Hussainy et al. menggunakan “real gas pseudo pressure” atau “real gas
potential”, yaitu :
p

mP     2 
P
dP ……………………………..
 P Z P 
(3-25)
po

Sehingga persamaan dalam pseudo pressure menjadi :


30

1     Ct 
r  ………………………..………… (3-26)
r r  r  k t
Term صCt didalam persamaan (3-26) ini bukan merupakan tetapan
disebabkan oleh µCt adalah fungsi dari tekanan. Jadi persamaan (3-26) ini
merupakan persamaan yang tidak linier. Tetapi analogi persamaan (3-22) dan (3-
26) mengisyaratkan bahwa solusi untuk aliran gas nyata akan korespondensi
dengan harga-harga µ dan Ct pada saat awal. Untuk mencari solusi ini didefinisikan
beberapa parameter yang tidak berdimensi antara lain seperti di bawah ini.
2.64 x10 4 kt
tD  …………………………………………… (3-27)
  Cr 2
1.987 x10 5 khTb
 wD   i  wf  ………………………….. (3-28)
QPbT
Penurunan persamaannya tidak akan dituliskan disini, tetapi setelah
transformasi Boltzman, solusi persamaan (3-24) untuk kondisi infinite acting
adalah :
1 4t
 wD t D   ln D ………………………………….……… (3-29)
2 
Apabila persamaan (3-29) ini disusun atas parameter yang bersangkutan
dan dituliskan pada kondisi standar (14.7 psia, 60°F), maka didapat :

QT  k 
 wf   i  1637  log t  log  3.23  0. 87 S '  … (3-30)
kh     2 
 C r
t w 
Dimana :
S’ = S + Dq
Dq ini adalah representasi dari efek turbulensi yang terjadi. Solusi untuk
kondisi semi mantap adalah sebagai berikut :
1.987 x10 5 khTb  i   wf 
Q …………………………………… (3-31)
 0.472re 
PbT  ln  S ' 
 rw 

3.5. Pressure Build-up pada Sumur Gas


31

Pressure Build-up Test adalah suatu teknik pengujian tekanan transien


dengan cara memproduksikan sumur dengan laju produksi konstan, qsc selama
waktu tertentu, kemudian sumur ditutup (biasanya dengan menutup kepala sumur
di permukaan) pada Δt = 0. Penutupan sumur ini menyebabkan naiknya tekanan alir
dasar sumur (Pwf) yang dicatat sebagai fungsi waktu. Tetapi dalam kenyataannya,
laju produksi tersebut dapat berubah-ubah. Menggunakan prinsip superposisi
terhadap persamaan (3-30) seperti yang pernah dibahas sebelumnya, maka
persamaan pressure buildup test untuk gas adalah :

QT  t p  t 
 ws   i  1637 log   ……………………………... (3-32)
kh  t 

Gambar 3.7.
Pressure Build-up Dalam Rate History
(Earlougher, Robert.C., 1977)

Horner menyatakan bahwa hasil plot antara Tekanan shut-in (Pws) dan
horner time, (tp + Δt)/Δt harus menghasilkan persamaan garis lurus pada reservoir
tak terbatas. Pada uji build-up, t mengacu pada waktu drawdown sebelum
mengalami build-up dan Δt mengacu pada waktu penutupan atau saat build-up.
32

Kemudian Mathews, Brons dan Hazerbroek (MBH) memodifikasi aplikasi dari


horner plot tersebut ke reservoir terbatas.
Uji build-up akan selalu didahului oleh drawdown dan secara langsung data
build-up akan dipengaruhi oleh drawdown yang terjadi di awal. Drawdown dimulai
dari kondisi reservoir stabil yang ditunjukan oleh tekanan reservoir yang stabil (Pi).
Kemudian pada saat waktu, t, sumur ditutup dan build-up dilanjutkan saat waktu
Δt. Pada kondisi-kondisi ini, perilaku tekanan di dasar lubang sumur yang statis,
pws, digambarkan dalam Gambar 3.8.

Gambar 3.8.
Perilaku Tekanan Static Dasar Sumur Akibat Penutupan Sumur Gas
(Chaudri, Amanat. U., 2003)
33

Gambar 3.9.
Plot Uji PBU Pws vs Horner Time
(Chaudri, Amanat. U., 2003)

Gambar 3.9. menunjukkan bentuk kurva pressures build up. Seperti juga
yang ditunjukkan dalam gambar tersebut, kasus-kasus rekahan dan kasus besarnya
harga skin negatif mendekati garis lurus semilog dari atas ketika wellbore storage
kecil. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa perilaku ini dapat disembunyikan
dengan harga wellbore storage yang besar, sehingga kurva pressure build up
kemungkinan memiliki bentuk karakteristik yang berhubung dengan wellbore
storage atau dengan harga skin yang positif.
Program testing dibuat sebagai petunjuk mengenai urut-urutan kegiatan
yang harus dilakukan dalam suatu tes Pressure Build up (PBU). Salah satu alat yang
digunakan untuk tes pressure build up yang dikemukakan adalah pressure bomb,
karena tes PBU dengan menggunakan surface record out lebih sederhana.
34

Langkah-langkah tersebut adalah :


1. Setelah peralatan tes sumur lengkap dipasang, tes semua pipa-pipa dan
kepala sumur dengan tekanan sekitar 5000 psi serta lubricator dengan
tekanan sekitar 3000 psi.
2. Buka sumur dan catat setiap data di wellhead, data di separator, water
salinity, gravity minyak dan titik tuang minyak setiap 15 menit.
3. Setelah sumur clean up, siapkan pressure bomb ganda dan gunakan juga
pressure element dengan kapasitas kira-kira 25% lebih besar dari tekanan
maksimum reservoir yang diperkirakan dari clock dengan waktu 72 jam.
4. Hidupkan clock, turunkan pressure bomb sampai di depan lubang perforasi.
Jika membahayakan maka naikkan pressure bomb sekitar 100 ft diatas
lubang perforasi.
5. Tetapkan aliran produksi dengan kapasitas konstan selama 6 – 8 jam dengan
mengatur choke di wellhead.
6. Tutup sumur untuk tes PBU selama 6 jam atau kira-kira 60 % dari waktu
pengaliran produksi konstan.
7. Cabut pressure bomb, dan hentikan pada kedalaman tertentu selama 15
menit untuk menentukan gradient tekanan fluida.
8. Keluarkan pressure bomb, turunkan lubricator, tes PBU telah selesai.

3.5.1. Analisa Pressure build up dengan Horner Plot


Analisa PBU ini menggunakan analisa horner dengan memplot tekanan
statik sumur terhadap suatu fungsi waktu Horner (Horner time). Pada analisa PBU
persamaan Hornernya sebagai berikut:
Persamaan dasar PBU untuk aliran transien adalah:
1
∆𝑃𝐷 = (ln 𝑡𝐷 − 0.809) ...........................................................................(3-33)
2

Dasar teori dari tes build-up didapatkan dari prinsip superposisi terhadap
waktu, dengan tujuan untuk merepresentasikan kondisi penutupan laju injeksi (qsc)
yang dimulai pada Δt = 0. Kemudian disuperposisikan dengan laju alir qsc pada
saat t = 0.
35

Pada umumnya analisis terhadap data PBU tes yang diperoleh dengan cara
𝑡+∆𝑡
Horner plot data Pws vs log akan menghasilkan slope (m) berupa garis lurus
∆𝑡

dengan persamaan sebagai berikut:


1,623× 106 𝜇
̅ 𝑞𝑠𝑐 𝑇 𝑍
𝑚= ..........................................................................(3-34)
𝑘ℎ

Dari perolehan hasil slope m ini dapat diketahui besarnya kapasitas aliran
(k.h) yang dapat diperoleh menggunakan persamaan berikut.

1637 𝑞𝑠𝑐 𝑇
𝑘ℎ = ................................................................................(3-35)
𝑚
Michael Economides (2002) memberikan klasifikasi harga permeabilitas
untuk reservoir gas.
Permeabilitas kecil, jika k < 0.5 mD
Permeabilitas sedang, jika 0.5 < k < 5 mD
Permeabilitas besar, jika k > 0.5 mD
Pada sesaat sumur ditutup sampai pada waktu tak terhingga maka transient
tekanan pada saat berada di lubang sumur akan mengalami hambatan karena adanya
faktor skin yang dapat dihitung dari kombinasi persamaan P ws dan Pwfo yang
memiliki tekanan awal reservoir yang sama (Pi) yang dinyatakan dengan
Persamaan (3-36).
2 −𝑃 2
𝑃𝑤𝑠 𝑤𝑓𝑜 𝑘 𝑡𝑝 (∆t)
𝑆 = 1.151 [ − log ∅ 𝜇̅𝑐 𝑟 2 + 3.23 − log (𝑡 ]..................................(3-36)
𝑚 𝑤 𝑝 +∆t)

Pada saat sumur ditutup sampai pada tak terhingga biasanya dianggap ∆t =
(𝑡𝑝 +∆t)
1 dan di asumsikan = 1 sehingga harga Pws menjadi P1jam yang harus
(∆t)

diambil dari garis lurus atau hasil ekstrapolasi dari Horner plot. Sehingga
persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi:
Asumsi:
Pws = P1jam
(𝑡𝑝 +∆t)
= 1 , Log 1 = 0
(∆t)

𝑃12 𝑗𝑎𝑚 −𝑃𝑤𝑓𝑜


2
𝑘
𝑆 = 1.151 [ − log ∅ 𝜇̅𝑐 𝑟 2 + 3.23]...................................................(3-37)
𝑚 𝑤
36

Adanya Kerusakan formasi atau skin akan mengakibatkkan pressure drop


pada daerah di sekitar lubang bor. Besarnya pressure drop dapat ditentukan
menggunakan persamaan berikut.
∆𝑃𝑠𝑘𝑖𝑛 = 0.87𝑚𝑆 .................................................................................(3.38)

Productivity Index (PI) dapat diperoleh menggunakan Persamaan 3-39


berikut.
𝑄𝑔𝑎𝑠
𝑃𝐼 = .....................................................................................(3-39)
(𝑃𝑅2 −𝑃𝑤𝑓
2 )

Kermit E Brown (1967) telah mencoba memberikan batasan terhadap


tingkat produktivitas sumur sebagai berikut :
PI rendah jika, PI < 0.5
PI sedang jika, 0.5< PI < 1.5
PI tinggi jika, PI> 1.5

3.5.1.1.Penentuan Tekanan Rata-Rata Reservoir


Tekanan rata-rata reservoir, P , sangat berguna untuk karakterisasi suatu
reservoir, penentuan cadangan dan peramalan kelakuan reservoir tersebut. P
merupakan suatu besaran fisik yang mendasar untuk diketahui pada proses primary
recovery dan enhanced recovery.
Untuk reservoir yang bersifat infinite-acting, tekanan rata-rata ini adalah P*

= Pi = P yang dapat diperkirakan dengan mengekstrapolasikan segmen garis lurus


pada Horner plot ke harga (tp +  t) /  t = 1. Tetapi pada reservoir yang terbatas,
hal di atas tidak dapat dilakukan mengingat bahwa dengan adanya efek dari batas
reservoir, tekanan pada umumnya jatuh di bawah garis lurus Horner.

3.5.1.2.Penentuan Radius Investigasi


Radius investigasi merupakan jari-jari pengamatan menggambarkan sejauh
mana (jarak dari lubang bor yang diuji) pencapaian transien tekanan ke dalam
formasi apabila diadakan gangguan keseimbangan tekanan akibat suatu produksi
atau penutupan sumur. Dapat disimpulkan bahwa jarak yang ditempuh oleh transien
tekanan tadi berhubungan dengan sifat-sifat fisik batuan, fluida formasi dan waktu
37

pengujian. Gambaran perjalanan impuls tekanan untuk menggambarkan radius


investigasi dapat dilihat pada Gambar 3.10.

Gambar 3.10.
Perjalanan Impuls Tekanan secara Ideal untuk Menggambarkan Radius
Investigasi
(ERCB. 1975)

Dalam satuan lapangan, radius investigasi dapat diuraikan sebagai berikut:


1
 kt  2
ri    ................................................................................(3-40)
 948Ct 
t merupakan lamanya waktu build-up, jam.

3.5.1.3.Pressure Derivative
Metoda pressure derivative ini muncul oleh karena pada penentuan akhir
dari efek wellbore storage dengan menggunakan metoda analisa Horner tidak dapat
memberikan harga yang tepat dan juga metoda analisa Horner tidak bisa
memberikan hasil yang akurat apabila digunakan untuk menganalisa reservoir yang
begitu kompleks. Oleh sebab itu, digunakan analisa tekanan menggunakan plot
kurva pressure derivative yang diperkenalkan oleh Jones (1957) untuk memperoleh
model dan batas reservoir. Contoh grafik pressure derivative dapat dilihat pada
Gambar 3.11.
38

Gambar 3.11
Log log plot Pressure Derivative
(Bourdet, Dominique., 2002)

Umumnya plot kurva pressure derivative terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama merupakan plot antara beda tekanan penutupan (Pws) dengan tekanan aliran
dasar sumur (Pwf) yang dinyatakan sebagai ΔP terhadap waktu penutupan (Δt) pada
kertas grafik log-log, plot kurva pertama ini berfungsi untuk mengetahui flat curve,
disamping mengetahui berakhirnya wellbore storage. Bagian kedua merupakan
plot antara slope (m) terhadap waktu penutupan (Δt) juga pada kertas grafik log-
log.
Untuk kurva ke-dua secara praktis derivative dari perubahan tekanan
berdasarkan fungsi superposisi waktu. Dari persamaan PBU, dapat dinyatakan :
P  f (ln H ) ..........................................................................................(3-41)
Jika Pws dinyatakan seperti dalam Persamaan (3.34), maka persamaan tersebut
identik dengan persamaan garis lurus :
y  a  mx ......................................................................................... ..(3-42)
Perolehan slope dari kurva kedua ini berdasarkan cara statistik cara least
square, yang merupakan garis minimum jumlah pangkat dua penyimpangan,
dengan syarat : untuk meminimalkan fungsi, turunan pertamanya haruslah nol, ini
menghendaki turunan pertama terhadap a (Pi) sama dengan nol dan turunan pertama
39

pertama terhadap slope (a) juga sama dengan nol. Slope suatu garis berdasarkan
superposisi titik sebelumnya dinyatakan :

 n (ln H i Pi )  ( Pi ) (ln H i )
m ................................................ ..(3-43)
( ln H i ) 2  n (ln H i ) 2
Keterangan :

Pi : tekanan penutupan dari data ke i, psi.


 t  t p 
Hi :   waktu horner untuk data ke i.
 t 
m : slope kurva.
a : tekanan initial, psi.
n : jumlah data.

3.6. Gas Deliverability


Pada pertama kalinya pengujian untuk menentukan kemampuan sumur gas
untuk berproduksi dilakukan dengan cara membuka sumur dan menghubungkan
sumur dengan tekanan atmosphere, dan harga AOF diukur langsung dengan
menggunakan impact pressure gauge yang dipasang dipermukaan. Penyajian
dengan cara ini hanya efektif untuk digunakan pada sumur yang dangkal,
sedangkan sumur gas yang dalam dengan ukuran tubing yang kecil akan
memberikan hasil yang tidak akurat. Pembukaan sumur yang relatif lama akan
menyebabkan pemborosan gas secara sia-sia, selain dapat menimbulkan kerusakan
pada formasi serta dapat menimbulkan bahaya lain yang tidak diinginkan.
Berdasarkan alasan diatas, maka mulai dikembangkan metoda uji deliverability
yang lebih modern dengan menggunakan laju aliran yang sesuai dan dapat
dikontrol, diantaranya yakni Back Pressure, Isochronal dan Modified Isochronal.
Uji deliverability adalah merupakan suatu uji sumur yang umum digunakan untuk
menentukan produktivitas sumur gas. Uji ini terdiri dari tiga atau lebih aliran
dengan laju alir, tekanan dan data lain yang dicatat sebagai fungsi dari waktu.
Indikator produktivitas yang diperoleh dari uji ini adalah absolute open flow
potential (AOFP), yang didefinisikan sebagai kemempuan suatu sumur gas untuk
40

memperoduksi gas ke permukaan dengan laju alir maksimum pada tekanan alir
dasar sumur (sandface) sebesar tekanan atmosphere (± 14,7 psia). Pada masa awal
dari tes penentuan dari deliverability ini sudah dikenal persamaan empiris yang
selaras dengan hasil pengamatan. Persamaan ini menyatakan hubungan antara qsc
terhadap P2 pada kondisi aliran yang stabil (ERCB, 1979b).
qsc = C(PR2 - Pwf2)................................................................................(3-44)
Keterangan :
qsc = Laju aliran gas, Mscf/d.
C = Koefisien performa yang menggambarkan posisi kurva
deliverability yang stabil
n = Bilangan eksponen, merupakan inverse slope dari garis kurva
deliverability yang stabil dan mencerminkan derajat pengaruh faktor
inersia-turbulensi terhadap aliran, umumnya berharga antara 0.5 – 1.
PR = Tekanan rata-rata reservoir, psia
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psia
Harga n ini mencerminkan derajat pengaruh faktor inersia turbulensi atas
aliran. Untuk aliran yang laminer akan memberikan harga n sama dengan 1, dan
bila faktor inersia- turbulensi berperan dalam aliran maka n < 1 (dibatasi sampai
harga paling kecil sama dengan 0,5).
log qsc = log C + n log P2.................................................................(3-45)
p2 = (PR2 - Pwf2) ...............................................................................(3-46)
Harga C dapat dilihat/dicari yaitu berdasarkan titik perpotongan grafik dan
satuannya dapat dinyatakan dalam :
q sc  setabil MM SCF / hari
C
P 
=
R
2
P 2
wf
n
 psia 
2 n

Harga n diperoleh dari sudut kemiringan grafik dengan sumbu tegak (p2).
Satuan ukuran lainnya digunakan dalam analisa “deliverability” adalah “absolut
open flow potensial” (AOF). Besar potensial ini diperoleh, bila kedalam
Persamaan (3-46) dimasukkan harga pwf sama dengan nol.
AOF = C (PR2)n .................................................................................(3-47)
41

3.6.1. Back Pressure Test


Back pressure adalah suatu metode pengujian sumur gas dengan
memberikan tekanan balik (back pressure) yang berbeda-beda dan digunakan untuk
mengetahui kemampuan sumur tersebut berproduksi. Pelaksanaan tes ini dimulai
dengan jalan menutup sumur supaya tekanan reservoir stabil, untuk menentukan PR.
Selanjutnya sumur diproduksi dengan laju sebesar qsc sehingga aliran mencapai
stabil, sebelum diganti dengan laju produksi lainnya. Setiap perubahan laju
produksi tidak didahului dengan penutupan sumur. Gambar skematis dari proses
“back pressure test” diperlihatkan pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12.
Grafik Deliverability
(Beggs, Dale. H., 1990)
42

Gambar 3.13.
Diagram Laju Produksi dan Tekanan Dari Back Pressure Test
(Beggs, Dale. H., 1990)

Lama waktu pencapaian kondisi stabil dipengaruhi oleh permeabilitas


batuan. Makin lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi stabil ini.
Waktu untuk mencapai kestabilan ini dapat diperkirakan berdasarkan waktu mulai
berlakunya aliran semi mantap.
tD = 0.25reD .......................................................................................(3-48)
Berdasarkan definisi tD, yaitu :
kt
tD = 2,637 x 10-4
 C rw
2

maka harga waktu mencapai kondisi stabil, ts adalah


2
C re
2
C re
t s  948  1000 .........................................................(3-49)
k k PR

Keterangan :
1
C
PR

 = viscositas pada P R
43

3.6.2. Isochronal Test


Back Pressure test hanya dapat memberikan hasil yang baik bila
dilangsungkan pada reservoir dengan permeabilitas tinggi. Sedangkan untuk
reservoir dengan permeabilitas rendah, akan diperlukan waktu yang cukup lama
untuk mencapai kondisi yang stabil, sehingga apabila uji dilakukan pada sumur
yang belum mempunyai fasilitas produksi, jumlah gas yang dibakar cukup besar.
Bertolak dari kelemahan Back Pressure Test, maka Cullender mengembangkan
isochronal test guna memperoleh harga deliverability pada sumur dengan
permeabilitas rendah yang memerlukan waktu yang lama untuk mencapai kondisi
setabil. Cullender juga mengusulkan suatu cara tes berdasarkan anggapan, bahwa
jari-jari daerah penyerapan yang efektif (efektive drainage radius), rd adalah fungsi
dari tD dan tidak dipengaruhi oleh laju produksi. Ia mengusulkan laju yang berbeda
tetapi dengan selang waktu yang sama, akan memberikan grafik log P2 vs log qsc
yang linier dengan harga eksponen n yang sama, seperti pada kondisi aliran yang
stabil.
Tes ini terdiri dari serangkaian proses penutupan sumur sampai mencapai
stabil, PR, yang diusulkan dengan pembukaan sumur, sehingga menghasilkan laju
produksi tertentu selama jangka waktu t, tanpa menanti kondisi stabil. Diagram laju
produksi dan tekanan di dasar sumur dapat dilihat pada Gambar 3.14. Setiap
perubahan laju produksi didahului oleh penutupan sumur sampai tekanan mencapai
stabil, PR. Pada Gambar 3.14. ditunjukkan beberapa hal penting yang berkaitan
dengan urutan uji isochronal, yaitu :
1. Waktu alir, kecuali pengaliran yang terakhir, berlangsung dalam selang
waktu yang sama.

2. Periode penutupan berlangsung sampai P = P R , bukanya selang waktu


yang sama panjang.
3. Pada periode pengaliran terakhir, sumur dialirkan sampai mencapai
keadaan stabil, tetapi hal ini tidak mutlak.
44

Gambar 3.14.
Diagram Laju Produksi dan Tekanan Dari Isochronal Test
(Beggs, Dale. H., 1990)

3.6.3. Modified Isochronal


Tes ini dikembangkan oleh Katz tahun (1959), yang menyatakan bahwa
penutupan tidak perlu mencapai tekanan stabil (PR), serta selang waktu penutupan
dan selang waktu aliran sumur dibuat sama sama besar, hal ini sesuai untuk
reservoir yang mempunyai permeabilitas kecil karena tekanan rata-ratanya PR lama
dicapai. Sesuai dengan prinsip dasar diatas, tes ini terdiri dari beberapa laju aliran
yang berbeda, setiap laju aliran dalam waktu tertentu disertai dengan penutupan
sumur dalam waktu tertentu pula, waktu aliran dan waktu penutupan sumur dibuat
sama besar, biasanya terdapat empat laju aliran yang berbeda, keadaan ini terjadi
pada aliran transient, kemudian sebelum tes ini berakhir terdapat periode
perpanjangan aliran, yang diharapkan mencapai stabilnya aliran, demikian pula
tekanan yang dicapai pada saat penutupan Pws digunakan sebagai pengganti tekanan
rata-rata pada isochronal test.
45

Gambar 3.15.
Diagram Tekanan Dan Laju Produksi Selama Tes Modified Isochronal
(Beggs, Dale. H., 1990)

3.7. Analisa Uji Deliverability


Analisa data hasil uji deliverability gas digunakan untuk menentukan
indikator produktivitas sumur gas, yaitu Absolute Open Flow Potential (AOFP).
Terdapat beberapa cara untuk menentukan harga Absolute Open Flow Potential
(AOFP). Dalam penulisan ini akan dibahas bebrapa metode, yaitu :
1. Metode Konvensional (Rawlins-Schellhardt)
2. Metode Laminer-Inertia Turbulence-Pseudo Pressure atau LIT ψ .

3.7.1. Metode Konvensional (Rawlins-Schellhardt)


Pierce dan Rawlins (1929) merupakan orang pertama yang mengemukakan
suatu metode uji sumur untuk mengetahui kemampuan sumur gas berproduksi
dengan memberikan tekanan balik (back pressure), sehingga dikenal dengan back
pressure test.
46

Pada tahun 1935, Rawlins-Schellhardt mengembangkan persamaan untuk


back pressure test yang dikenal dengan persamaan konvensional. Pada analisa
konvensional ini, analisanya dilakukan dengan membuat plot antara qsc terhadap
∆P2 pada kertas log-log. Penentuan deliverabilitas digunakan persamaan empiris
yang selaras dengan hasil pengamatan, menyatakan hubungan laju aliran qsc
terhadap ∆P2 pada laju aliran yang stabil yang telah diperlihatkan pada Persamaan
(3-51).

Garis lurus yang didapat dari plot antara R  wf  2 2


 vs qsc pada kertas log-

log merupakan kinerja sumur yang sebenarnya. Secara ideal garis lurus tersebut
mempunyai slope 450 pada laju produksi yang rendah dan akan memberikan slope
yang lebih besar pada laju produksi tinggi. Hal ini terjadi akibat naiknya turbulensi
disekitar lubang bor dan berubahnya faktor skin akibat peningkatan laju produksi.
Harga eksponen di tunjukkan oleh persamaan :
log q sc2  log sc1
n
   
..............................................(3-50)
log R  wf  log R  wf
2 2 2 2
2 1

Harga koefisien kinerja C dapat ditentukan dengan persamaan :


q sc
C ................................................................................(3-51)
 R
2
 wf 
2 n

Harga koefisien kinerja C juga dapat ditentukan dengan melakukan ekstrapolasi


garis lurus terhadap (Pr2 –Pwf2) = 1 dan dibaca pada harga qsc. Sedangkan besarnya
harga AOFP adalah sama dengan harga qsc pada harga Pwf sebesar tekanan
atsmospher (14.7).
n
 2 
AOFP  C  P R  14,7 2  ..................................................................(3-51)
 
Metode Analisis Rawlins-Schellhardt kurang baik karena tidak memperhatikan
faktor deviasi gas, sehingga tidak cocok dengan real gas.
47

Gambar 3.16.
Plot Test Konvensional Untuk  2 vs qsc
(Beggs, Dale. H., 1990)

3.7.2. Metode Analisis LIT


Metode LIT atau metode Eropa merupakan uji deliverability gas yang
menggunakan persamaan aliran laminar-inertial-turbulent (LIT) dalam bentuk
pendekatan pseudo-pressure dengan asumsi besarnya harga μz akan tergantung
pada tekanan. Metode analisa tersebut untuk kisaran harga 2000<P<4000 psia,
namun demikian penggunaan metode ψ berlaku untuk semua harga tekanan.
Bentuk kuadrat dari persamaan aliran LIT adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan Tekanan (P)

ΔP  PR  Pwf  A1q sc  B1q sc ...........................................................(3-52)


2

2. Pendekatan Tekanan Kuadrat (P2) (ERCB, 1979b)

ΔP  PR  Pwf  A 2 q sc  B 2 q sc .......................................................(3-53)
2 2 2

3. Pendekatan Pseudo-Pressure ψ

Δψ  ψ r  ψ wf  A 3q sc  B3q sc ........................................................(3-54)


2
48

Bagian pertama ruas kanan (A.qsc) dari Persamaan (3-52), (3-53), dan (3-
54) menunjukkan hubungan penurunan tekanan dalam bentuk tekanan, tekanan
kuadrat, atau pseudo-pressure yang disebabkan oleh pengaruh aliran laminar dan
kondisi lubang sumur. Sedangkan bagian keduanya (B.qsc2) merupakan hubungan
penurunan tekanan yang disebabkan oleh aliran inertial-turbulence.
Karena analisa pseudo-pressure dianggap lebih teliti dan dapat digunakan
pada semua kisaran tekanan reservoar, bila dibandingkan dengan analisa
pendekatan tekanan (P) atau analisa pendekatan tekanan kuadrat (P2), maka
pendekatan LIT menggunakan pseudo-pressure dan untuk selanjutnya disebut

sebagai pendekatan LIT ψ . Dari Persamaan (3-54), plot antara Δψ Bq sc  2
 vs
qsc pada kertas grafik log-log akan memberikan garis lurus. Kurva ini merupakan
garis deliverability yang stabil, dimana harga A3 dan B3 dapat dicari dari persamaan
berikut ini :

 Δψ q  q   q  Δψ
2


sc sc sc
A3 ..............................................(3-55)
Nq  q q
2
sc sc sc

N  Δψ   qsc  Δψ qsc 


B3  ......................................................(3-56)
N  qsc   qsc  qsc
2

Harga laju produksi gas (qsc) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

q sc 

 A 3  A 3  4 B 3 ψ r  ψ wf
2
  0.5

.................................................(3-57)
2 B3
Sedangkan besarnya AOFP sama dengan qsc pada harga Ψ sebesar 0 psi.
Metode Analisis LIT analisa dianggap lebih teliti karena menggunakan
pseudo-pressure dan dapat digunakan pada semua kisaran tekanan reservoir, bila
dibandingkan dengan analisa pendekatan tekanan (P) atau analisa pendekatan
tekanan kuadrat (P2). Metode ini dapat digunakan pada kondisi real gas dan hanya
membutuhkan satu data uji aliran stabil.

3.7.3. Metode Analisis LIT Menggunakan Metode Brar and Aziz


Multipoint Test Tanpa Aliran yang Stabil dilakukan dalam beberapa
kondisi, lingkungan atau kekhawatiran ekonomi melarang pembakaran gas yang
49

dihasilkan ke atmosfer dalam waktu lama periode produksi, sehingga mencegah


pengukuran titik aliran stabil dalam modifikasi uji isochronal, Kondisi ini sering
terjadi saat sumur baru diuji sebelum digunakan ke pipa. Untuk kasus seperti itu,
Brar dan Aziz (1978) mengembangkan sebuah metode untuk dianalisis uji
isochronal dimodifikasi tanpa titik aliran yang stabil. Metode mereka didasarkan
pada persamaan deliverability Houpeurt,
∆𝑚(𝑝) = 𝑚(𝑝𝑟 ) − 𝑚(𝑝𝑤𝑓 ) = 𝑎𝑡 𝑞 + 𝑏𝑞 2 ....................................................(3-58)
Single Test Point adalah upaya untuk mengatasi keterbatasan waktu uji
yang panjang seperti pada kasus reservoir gas permeabilitas rendah. Hal ini
dilakukan dengan mengalirkan sumur dengan laju satu sampai tekanan sandface
stabil. Kita juga harus memastikan bahwa sumur telah mengalir cukup lama untuk
keluar dari penyimpanan sumur bor dan dalam rezim alir pseudosteady. Untuk
sumur retak hidraulik, kita harus memastikan bahwa sumur telah mengalir cukup
lama untuk berada dalam rezim aliran pseudoradial. Prosedur penggunaan analisis
Metode Brar and Aziz dijelaskan melalui langkah-langkah sebagai berikut;
1. Mencari Harga At dan B dari beberapa transient test yang sudah dilakukan
menggunakan plot dari Persamaan (3.58)
𝑘𝑡
∆(𝑝2 ) = 𝑚 ⌈𝑙𝑜𝑔 (∅𝜇𝐶𝑟 2 ) − 3.23 + 0.869𝑆⌉ 𝑞𝑠𝑐 + 0.869𝑚𝐷𝑞𝑠𝑐 2 .........(3-59)
𝑤

A3 
 Δ p2 q  q   q  Δ p2
sc sc
2
sc

N q  q q
2
sc sc sc
................................................(3-60)
N  Δ p 2   qsc  Δ p 2 qsc 
B3 
N  qsc   qsc  qsc
2
.....................................................(3-61)
2. Plot At versus t pada skala semilog untuk mencari harga slope(m) da At1 seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.17.
50

Gambar 3.17.
Plot At versus Log t
(Beggs, Dale. H., 1990)

3. Setelah didapat harga m, kemudian hitung harga k dari Persamaan (3-62)


1637𝑇𝜇𝑍
𝑘= ...............................................................................(3-62)
𝑚ℎ
4. Harga faktor skin dapat diketahui menggunakan Persamaan (3-63) setelah
mendapatkan harga m, k dan At1
𝐴 𝑘(1) 1
𝑆 = ⌊ 𝑚1 − 𝑙𝑜𝑔 ∅𝜇𝐶𝑟 2 + 3.23⌋ 0.869 ....................................................(3-63)
𝑤

5. Hitung harga aliran stabil menggunakan Persamaan (3-64)


0.472𝑟𝑒 𝑆
𝐴 = 2𝑚 ⌊𝑙𝑜𝑔 ( ) + 2.303⌋ .................................................................(3-64)
𝑟𝑤

6. Hitung harga performa stabil pada sumur menggunakan Persamaan (3-65)


menggunakan harga stabil dari A dan B.
51

−𝐴+√(𝐴2 +4𝐵(𝑃𝑅2 −𝑃𝑤𝑓


2 ))

𝑞𝑠𝑐 = ............................................................................(3-65)
2𝐵

3.8. Kurva IPR


Inflow Performance Relationship (IPR) adalah kinerja aliran fluida reservoir
dari formasi produktif menuju lubang sumur, dan untuk menganalisa dan
mengevaluasi kinerja tersebut dilakukan dengan mengembangkan kurva IPR
(Ahmed, T 2005 ; Guo, B 2007). Kurva Inflow Performance Relationship (IPR)
menggambarkan laju alir dengan tekanan alir dasar sumur (Pwf) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.18.

Pi

AOF

Gambar 3.18.
Plot Kurva IPR Gas
(Abdassah, D., 1990)
52

3.8.1 Analisa Nodal dengan Titik Nodal di Dasar Sumur Menggunakan Kurva
Pressure Traverse
Analisa nodal adalah merupakan suatu sistem pendekatan untuk
mengevaluasi dan mengoptimisasikan sistim produksi minyak dan gas secara
keseluruhan. Sistem sumur produksi yang menghubungkan antara formasi
produktif dengan separator dapat dibagi menjadi enam komponen, dimana
kemungkinan kehilangan tekanan pada sistem produksi dapat dilihat pada Gambar
3.19.

Gambar 3.19
Kemungkinan Kehilangan Tekanan Pada Sistim Produksi
(Abdassah, D., 1998)
53

Dan enam komponennya yaitu:


1. Komponen formasi produktif / reservoir
Dalam komponen ini fluida mengalir dari batas reservoir menuju ke lubang
sumur melalui media berpori. Kelakuan media berpori ini dinyatakan dalam
bentuk hubungan antara tekanan alir di dasar sumur dengan laju produksi.
2. Komponen komplesi
Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack di dasar lubang sumur akan
mempengaruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang sumur. Berdasarkan
analisa di komponen ini, dapat diketahui pengaruh jumlah lubang perforasi
ataupun adanya gravel pack terhadap laju produksi sumur.
3. Komponen tubing
Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak ataupun miring, akan
mengalami kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung dari
ukuran tubing. Dengan demikian analisa tentang pengaruh ukuran tubing
terhadap laju produksi dapat dilakukan dalam komponen ini.
4. Komponen pipa salur
Pengaruh ukuran pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan suatu sumur
dapat dianalisa dalam komponen ini, seperti halnya pengaruh ukuran tubing
dalam komponen tubing.
5. Komponen restriksi / jepitan
Jepitan yang dipasang di kepala sumur atau di pasang di dalam tubing sebagai
safety valve akan mempengaruhi besarnya laju produksi yang dihasilkan dari
suatu sumur. Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh ukuran jepitan
terhadap laju produksi dapat dianalisa di komponen ini.
6. Komponen separator
Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya tekanan kerja
separator. Pengaruh perubahan tekanan kerja separator terhadap laju produksi
untuk sistem sumur dapat dilakukan di komponen ini.
Keenam komponen tersebut berpengaruh terhadap laju produksi sumur yang
akan dihasilkan. Laju produksi yang optimum dapat diperoleh dengan cara
memvariasikan ukuran tubing, pipa salur, jepitan, dan tekanan kerja separator.
54

Pengaruh kelakuan aliran fluida di masing-masing komponen terhadap sistim


sumur secara keseluruhan akan dianalisa dengan menggunakan Analisa Sistim
Nodal.
Dalam memperkirakan kehilangan tekanan alir dalam pipa menggunakan
Kurva Pressure Traverse. Kurva pressure traverse yang telah dibuat khusus untuk
suatu lapangan dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tekanan aliran
dalam pipa dengan hasil yang baik. Dengan menggunakan pressure traverse untuk
ukuran tubing / pipa salur, kedalaman sumur atau panjang pipa salur, laju produksi
cairan, tempat jepitan dipasang dan perbandingan gas cairan yang tertentu, maka
dapat diperkirakan :
1. Tekanan kepala sumur apabila tekanan alir dasar sumur diketahui dan
sebaiknya dapat ditentukan tekanan dasar sumur apabila tekanan kepala
sumur diketahui.
2. Tekanan kepala sumur apabila tekanan separator diketahui atau sebaliknya
tekanan di separator apabila tekanan kepala sumur diketahui.
3. Tekanan downstream jepitan dipermukaan apabila tekanan separator
diketahui.
4. Tekanan downstream jepitan di tubing (safety valve) apabila tekanan kepala
sumur diketahui.
5. Tekanan upstream jepitan di tubing (safety valve) apabila tekanan dasar
sumur diketahui.
Prosedur penggunaan kurva pressure traverse untuk menentukan tekanan-
tekanan yang disebutkan di atas adalah sama, maka secara umum akan digunakan
istilah tekanan upstream dan downstream. Yang termasuk tekanan upstream adalah
:
1. Tekanan kepala sumur apabila diperkirakan dari tekanan separator.
2. Tekanan dasar sumur apabila diperkirakan berdasarkan tekanan kepala
sumur.
3. tekanan setelah jepitan (dari arah aliran) apabila diperkirakan dari tekanan
separator, untuk jepitan di kepala sumur.
4. Tekanan setelah jepitan apabila diperkirakan dari tekanan kepala sumur.
55

Sedangkan yang termasuk tekanan downstream adalah :


1. Tekanan kepala sumur apabila diperkirakan dari tekanan dasar sumur.
2. Tekanan kepala sumur apabila diperkirakan berdasarkan tekanan
downstream jepitan di tubing (safety valve).
3. Tekanan di separator apabila diperkirakan dari kepala sumur atau dari
downstream jepitan di permukaan.
4. Tekanan sebelum jepitan apabila diperkirakan berdasarkan tekanan alir
dasar sumur (untuk jepitan di dalam tubing).
Sebelum membahas tentang prosedur perhitungan tekanan upstream
ataupun downstream, akan diuraikan lebih dahulu tentang kurva pressure traverse.
Gambar 3.20 dan Gambar 3.21 adalah contoh kurva pressure traverse masing-
masing untuk aliran tegak dan aliran mendatar. Gambar-gambar tersebut
menunjukkan hubungan antara tekanan (di sumbu datar) dan kedalaman (di sumbu
tegak). Pada sumbu kedalaman, harga kedalaman makin meningkat ke arah bawah.
Di sudut kanan atas, dicantumkan data laju produksi ukuran tubing atau pipa salur,
API gravity minyak, dan lapangan dimana kurva pressure traverse tersebut
dikembangkan. Garis-garis lengkung dalam gambar tersebut adalah kurva-kurva
gradien tekanan aliran, untuk berbagai harga perbandingan gas-cairan. Dengan
demikian satu kurva gradien tekanan aliran berlaku untuk ukuran tubing atau pipa
salur, laju produksi cairan dan perbandingan gas-cairan tertentu.
56

Gambar 3.20.
Kurva Pressure traverse untuk Aliran Tegak
(Kermit, Brown. E., 1984)
57

Gambar 3.21.
Kurva Pressure traverse untuk Aliran Mendatar
(Kermit, Brown. E., 1984)
58

Prosedur perhitungan tekanan upstream atau downstream untuk sistim aliran


fluida dalam pipa, dengan menggunakan kurva pressure traverse adalah sebagai
berikut :

Langkah 1. Siapkan data penunjang


 Panjang pipa (D)
 Diameter pipa (d1)
 Laju produksi (qL)
 Kadar air (KA)
 Perbandingan gas cairan (GLR)
 Tekanan “Upstream” atau “downstream” (P)
Langkah 2. Berdasarkan qL, KA, dan diameter pipa, pilih kurva pressure traverse
yang sesuai.
Langkah 3. Pilih garis gradien tekanan aliran yang sesuai dengan GLR. Seringkali
garis tekanan alir pada harga GLR tersebut tidak tersedia sehingga
perlu interpolasi.
Langkah 4. Tekanan downstream ditentukan sebagai berikut :

a. Plot tekanan upstream di sumbu tekanan pada grafik pressure


traverse.
b. Dari titik tekanan upstream tarik garis tegak ke bawah sampai
memotong garis gradien aliran di langkah 3.
c. Dari perpotongan tersebut buat garis mendatar ke kiri sampai
memotong sumbu panjang (untuk pipa datar) atau kedalaman (untuk
pipa tegak). Baca harga panjang atau kedalaman tersebut dan harga
ini disebut panjang atau kedalaman ekivalen tekanan upstream.
d. Hitung panjang atau kedalaman ekivalen tekanan downstream, yaitu
:
 panjang / kedalaman   panjang pipa atau
ekivalen tekanan upstream  kedalaman sumur 
   
e. Plot panjang/kedalaman ekivalen tekanan downstream pada sumbu
panjang/ kedalaman.
59

f. Mulai dari titik langkah e, buatu garis datar ke kanan sampai


memotong garis gradien aliran di langkah 3.
g. Dari titik potong tersebut buat garis tegak ke atas, sampai memotong
sumbu tekanan. Titik potong ini adalah tekanan down stream.
Langkah 5. Tekanan upstream ditentukan sebagai berikut :

a. Plot tekanan downstream di sumbu tekanan pada grafik pressure


traverse.
b. Dari titik tekanan downstream tarik garis tegak ke bawah sampai
memotong garis gradien aliran di langkah 3.
c. Dari perpotongan tersebut buat garis mendatar ke kiri sampai
memotong sumbu panjang (untuk pipa datar) atau kedalaman(untuk
pipa tegak). Baca panjang/kedalaman tersebut dan harga ini disebut
panjang/kedalaman ekivalen tekanan downstream.
d. Hitung panjang atau kedalaman ekivalen tekanan upstream, yaitu:
 panjang / kedalaman   panjang pipa atau
ekivalen tekanan downstream  kedalaman sumur 
   
e. Plot panjang/kedalaman ekivalen tekanan upstream pada sumbu
panjang/kedalaman.
f. Mulai dari titik langkah e, buat garis datar ke kanan sampai
memotong garis gradien aliran di langkah 3.
g. Dari titik potong tersebut buat garis tegak ke atas sampai memotong
sumbu tekanan. Titik potong ini adalah tekanan upstream.

Prosedur perhitungan kurva tubing intake untuk titik nodal di dasar sumur dan
kondisi open hole :
1. Siapkan data penunjang yaitu:
• Kedalaman sumur (D)
• Panjang pipa salur (L)
• Diameter tubing (dt)
60

• Diameter pipa salur (dp)


• Kadar air (KA)
• Perbandingan gas-cairan (GLR)
• Tekanan Separator (Psep)
2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi pada sumbu datar.
3. Ambil laju produksi tertentu (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse baik untuk aliran horizontal maupun
untuk aliran vertikal.
4. Berdasarkan pada q, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
5. Pilih garis gradien aliran berdasarkan perbandingan gas-cairan (GLR). Seringkali
perlu dilakukan interpolasi apabila garis-garis aliran untuk GLR yang diketahui
tidak tercantum.
6. Berdasarkan garis gradien aliran pada pressure traverse tersebut, tentukan
Tekanan kepala sumur, Pwh (Tekanan upstream) dari Psep (Tekanan
downstream).
7. Dari harga q, dt, dan KA pilih grafik pressure traverse untuk aliran vertikal.
8. Pilih garis gradien aliran untuk GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk harga GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
9. Gunakan harga Pwh di langkah 6.(Pwh = Tekanan downstream) untuk
menentukan Tekanan alir dasar sumur (Pwf = Tekanan upstream).
10. Ulangi langkah 3 sampai dengan 9 untuk harga laju produksi yang lain. Dengan
demikian akan diperoleh variasi harga q terhadap Pwf.
11. Plot q terhadap Pwf pada kertas grafik kartesian. Kurva yang terbentuk disebut
kurva tubing intake. Kurva tubing intake ditunjukkan pada Gambar 3.22
61

Gambar 3.22.
Kurva Tubing Intake
(Beggs, Dale. H., 1990)

3.9. Pengenalan Software Pipesim Untuk Analisa Produksi


Analisa sensitivitas merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mencari beberapa parameter yang tidak diketahui karena tidak dilakukannya
metode yang biasa digunakan untuk mencari nilai beberapa parameter tersebut.
Dalam hal ini, analisa sensitivitas digunakan untuk mencari nilai skin sebelum dan
setelah dilakukannya perekahan hidraulik karena tidak dilakukan uji sumur (well
test) baik sebelum perekahan hidraulik dilakukan dan setelah perekahan hidraulik
dilakukan. Selain untuk mengetahui nilai skin sebelum dan setelah perekahan
hidraulik dilakukan, analisa sensitivitas juga dilakukan untuk menjustifikasi apakah
perekahan hidraulik merupakan pilihan yang tepat untuk meningkatkan laju
produksi fluida hidrokarbon. Analisa sensitivitas menggunakan software Pipesim
juga dilakukan untuk melihat pengaruh panjang rekahan terhadap kenaikan laju
produksi yang bisa dicapai.
Software Pipesim merupakan simulator produksi yang digunakan untuk
mempermudah proses analisa produksi dari dalam reservoir sampai ke permukaan,
62

baik dalam mendesain maupun optimasi dari sumur Natural Flowing atau Artificial
Lift (Gas Lift, ESP,dan Rod Pump).
Perintah-perintah pada Pipesim terbagi menjadi beberapa macam
tergantung kegunaannya, berikut pembagian perintah-perintah pada Pipesim:
a) Well Performance
1. Tubing, digunakan untuk:
 Konfigurasi tubing
 Peralatan bawah permukaan
 Pemasangan artificial lift (Gas Lift & ESP)
 Detail tubing, MD/TVD dari tubing
2. Vertical Completion, memodelkan aliran fluida dari reservoir ke dasar
sumur menggunakan IPR pada sumur vertical.
Data yang dimasukkan:
 Temperatur reservoir
 Tekanan reservoir
 Asumsi yang digunakan dalam IPR
 Sifat-sifat fluida
3. Horizontal Completion, memodelkan aliran fluida dari reservoir ke dasar
sumur menggunakan IPR pada sumur horisontal.
4. Nodal Analysis Point, membagi sistem menjadi dua untuk dilakukan
analisa nodal. NA point diletakkan di antara dua obyek.

b) Pipeline and Facilities


5. Select Arrow, untuk memilih dan meletakkan obyek pada area kerja.
6. Text, memberi keterangan pada model.
7. Junction, tempat dimana dua atau lebih cabang bertemu. Fluida yang
berasal dari cabang-cabang yang ada akan bercampur di junction. Di
junction tidak terjadi penurunan tekanan atau perubahan temperatur.
8. Branch, menghubungkan antara junction dengan junction atau source/sink
denga junction.
9. Source, titik dimana fluida mulai memasuki jaringan (network).
63

10. Stream re-injection, satu titik di dalam jaringan dimana aliran fluida
dialihkan dari separator dan dapat dinjeksikan ke cabang yang lain.
11. Sink, satu titik dimana fluida keluar dari sistem jaringan.
12. Production Well, titik dimana fluida mulai memasuki jaringan (network).
Hampir sama dengan Source.
13. Injection Well, sumur injeksi.
14. Fold, membagi jaringan menjadi sub-model jaringan dari model jaringan
utama. Digunakan untuk membagi model jaringan yang besar menjadi sub-
sub model.
c) Network Analysis
15. Select Arrow, untuk memilih dan meletakkan obyek pada area kerja.
16. Text, memberi keterangan pada model.
17. Connector, digunakan untuk menghubungkan dua objek dimana tidak
terjadi perubahan tekanan atau temperatur yang signifikan.
18. Node, digunakan untuk menghubungkan obyek dimana tidak ada peralatan
(equipment) diantara obyek tersebut.
19. Flowline , untuk memodelkan pipa yang akan digunakan.
20. Riser , digunakan untuk memodelkan Riser yang digunakan.
21. Boundary Node, hampir sama dengan Node tapi hanya satu obyek saja
yang bisa dihubungkan.
22. Source, titik dimana fluida mulai memasuki jaringan (network).
23. Separator, memodelkan separator yang digunakan.
24. Compressor, memodelkan compressor yang digunakan.
25. Expander, memodelkan expander yang digunakan dalam model.
26. Heat Exchanger, memodelkan Heat Exchanger yang digunakan. Data
yang dimasukkan yaitu perubahan tekanan atau temperatur.
27. Choke, memodelkan Choke yang digunakan. Data yang dimasukkan
diameter choke, critical pressure ratio, batas toleransi laju alir kritis
28. Multiplier/Adder, untuk memvariasikan laju alir fluida.
29. Report, untuk menampilkan hasil perhitungan di titik yang telah ditentukan.
64

30. Engine keyword tool, digunakan untuk memasukkan dan menyimpan


dalam “expert mode”.
31. Injection point, digunakan untuk menambahkan komposisi pada sistem
utama.
32. Multiphase Booster, untuk memodelkan booster yang digunakan.
33. Pump, untuk memodelkan pipa yang digunakan. Data yang dimasukkan,
perbedaan source tekanan, tenaga yang diperlukan, dll.

5,15
2 3 33 4 19 20
6, 16
7 17 1
8 18 21 22 23 24 25 26 27 28
7 9
10 31 29 30
11
12
13
14

Gambar 3.28
Fitur – Fitur Pada Pipesim
(https://www.software.slb.com/products/pipesim/pipesim-flowmodeling)

Anda mungkin juga menyukai