Anda di halaman 1dari 13

Transmisi Pengetahuan dan Nilai Budaya

Masyarakat Indonesia Ditinjau dari Ajaran


Kanuragan Jawa 1
Jean-Marc de Grave
(Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales de Paris)

Abstract

This article deals with systems of transmission of knowledge. The author looks into the
kanuragan of the Javanese and its transformation into a modern form, along with the conse-
quences of this transformation. Traditional kanuragan instruction is primarily oral and cen-
ters on intermediary roles and social intercourse, and it is conducted in space that is cosmo-
graphically meaningful. In contrast, modern individualistic instruction—rooted in early Greek
philosophy and events in the European Middle Age—is highly formalized and linked to eco-
nomic concerns, leading to an individualism with little regard for one’s surroundings. The
author suggests that the Javanese kanuragan has been partially transformed by this modern
system. Thus, the transmission of knowledge is increasingly divorced from the transmission of
morals and affect that form the basis of one’s actions and social relationships. The author also
notes that scholars would gain much from understanding the kanuragan in their efforts to
understand current Indonesian Society.
Dalam disertasi doktoral saya yang akan penganutnya. Karena tingkah laku itu
segera diterbitkan (de Grave 2000), telah berhubungan langsung dengan kewibawaan,
diuraikan bahwa sistem transmisi ajaran kita dapat belajar banyak dari ajaran kanuragan
kanuragan dalam konteks tradisional itu dalam upaya memahami masyarakat Indo-
merupakan suatu sistem acuan pada nesia dewasa ini. Kedua, sistem tersebut kurang
masyarakat Jawa. Ada berbagai alasan memperoleh perhatian, karena ajaran itu tidak
mengapa kanuragan tidak menonjol dan tidak cocok dengan ideologi sistem pendidikan dan
menarik perhatian para peneliti. Pertama, keilmuan Barat modern.
transmisi ajaran tersebut pada jaman dulu Keempat sub-bab dalam tulisan ini akan
bersifat sangat rahasia. Walau pada masa kini menyajikan ulasan mengenai kedua alasan
ajarannya jauh lebih terbuka, sifat rahasia tersebut. Pertama, akan saya deskripsikan
tersebut masih mempengaruhi tingkah laku perihal ajaran k a n u r a g a n , dan apakah
perbedaan sifat-sifat pokok kanuragan
1
Tulisan ini merupakan hasil revisi dari makalah yang tradisional dari kanuragan modern.2 Kedua,
disajikan dalam Sesi ‘Pariwisata dan Pengembangan
2
Budaya’ dalam Seminar ‘Memasuki Abad ke-21: Dari sudut pandang orang Jawa, k a n u r a g a n
Antropologi Indonesia Menghadapi Krisis Budaya menyangkut pula kegiatan pencak silat dan tenaga
Bangsa’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus dalam. Untuk lebih jelasnya, saya akan menggunakan
Universitas Indonesia, Depok. istilah itu dalam arti yang sama.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 71


akan saya jelaskan secara diakronis sistem kanuragan, yakni: pertama, penyatuan tekad
transmisi pengetahuan di Barat, dan bagaimana dan gerak; kedua, penempatan dan pengarahan
pengetahuan itu menjadi terpisah dari sistem diri dalam ruangan bebas terbuka. Dalam hal
pergaulan setempat. Acuan itu dilakukan untuk pertama, jangan sampai pikiran lebih menonjol
memahami unsur-unsur yang mempengaruhi dari gerakan. Gerakan harus disertai oleh suatu
sifat transmisi kanuragan modern, karena niat yang bersifat tidak rasional, tetapi lebih
sistem pendidikan dipengaruhi oleh nilai-nilai bersifat naluriah dengan catatan bahwa naluri
pokok masyarakat setempat. itu bisa, dan harus diarahkan untuk
Hal terakhir inilah yang merupakan tema memperoleh suatu kemurnian. Kedua, kita harus
dari sub-bab ketiga dan keempat. Dalam kedua memahami diri kita sendiri dalam hubungan
sub-bab itu akan saya uraikan keterbatasan dari dengan bumi, langit, ruang dan waktu; dan
pengaruh ideologi-ideologi universal dalam jangan sampai keterikatan tersebut putus.
suatu masyarakat. Ideologi di sini berarti ‘sistem Keterputusan itu menandakan pula
nilai suatu masyarakat’ seperti yang keterputusan dengan jagad gedhé, d a n
dikemukakan Louis Dumont (1966, 1991), dan mengakibatkan kelesuan atau kesengsaraan
bukan ideologi politik. kita di tengah alam semesta.
Sistem pendidikan Barat merupakan hasil Dengan demikian, dalam kanuragan
dari suatu proses yang memang khusus. Hasil Kejawèn, kita sering menghormati keempat
dari proses itu perlu dibandingkan dengan yang saudara halus kita, atau sadulur papat kita.5
lain untuk dapat dipahami. Hasil perbandingan Merekalah yang menjaga keseimbangan kita
dengan nilai-nilai pokok ajaran kanuragan dengan bumi dan alam semesta. Karena itu,
menunjukkan bahwa bilamana orang mau saudara halus yang paling dekat yang disebut
menegaskan keuniversalan sistemnya, dia juga ari-ari, harus ditanam dalam tanah.
harus mengemukakan syarat-syarat dari Dalam pencak silat atau tenaga dalam, kita
universalitas tersebut, yaitu keterbatasannya.3 juga belajar untuk dapat menghadapi keempat
mata angin guna menyerap kekuatan bumi dan
Ajaran kanuragan tradisional dan kosmos melalui gerak dan pernafasan yang
kanuragan baru4 diajarkan. Keseimbangan yang diperoleh
Dalam mempelajari kanuragan, dua hal dengan cara demikian harus dipertahankan dan
pokok harus dihayati sebagai dasar dari praktek disalurkan dalam masyarakat dengan beberapa
cara yang berbeda-beda, tetapi yang saling
3
terkait. Misalnya, dengan cara menjaga mutu
Untuk memahami sudut perbandingan antarsistem-
sistem nilai masyarakat, agar dapat lebih memahami hubungan antarindividu atau antargolongan;
relativitas dari pendekatan universal, lihat de Coppet menjaga keamanan dengan sebisa mungkin
(1991, 1992). tanpa menggunakan kekerasan; dan menjaga
4
Perbandingan ini merupakan hasil penelitian selama kesehatan dengan menggunakan kekuatan
beberapa tahun dengan sumber pokok yang diperoleh alam yang diperoleh dalam praktek.
dari perguruan-perguruan pencak silat Tunggal Hati
Seminari, Merpati Putih, perguruan tenaga dalam Marga
Luyu, perguruan kanuragan Trah Tedjokusuman, dan
beberapa perguruan, guru dan sesepuh lain (lihat de
Grave 1993, 1994, 1996a, 1996b, 1996c, 2000). Saya Djien (1935), Lombard (1973, 1977, 1990), Maryono
juga menggunakan beberapa bahan pustaka seperti: (1998), Onghokham (1984), dan Yoe Kiong (1960).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978), 5
Yang disebut sadulur papat adalah ari-ari, kawah,
Djadjadiningrat (1936), Djoemali (1959), Liok An pusar dan darah yang ada pada saat seseorang lahir.

72 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


Dalam mewujudkan tingkah laku ini, kita Dalam proses pengalihan ajaran yang
pun dapat menemukan rasa ‘kasih sayang’ mengutamakan pada perantaraan dan
(welas asih) yang diimbangi dengan keempat pergaulan (asisten, sub-asisten, dll., serta
jenis perasaan pokok yang lain, yaitu: gotong royong antartingkat dan antarmurid),
‘kesucian’ (mutmainah), ‘kemarahan’ sifat paling pokok adalah keterikatan dengan
(a m a r a h ) , ‘ k e s e r a k a h a n ’ ( s u f i a h ) , lingkungan setempat. Tempat ajarannya—
dan ‘keborosan’ (lauamah). Keseimbangan padepokan atau tempat tinggal gurunya—
semacam ini menjadi tujuan dari ajaran tidak bersifat netral. Tempat-tempat lain yang
kanuragan yang asli. Jika tujuan itu tercapai, dikunjungi dalam proses belajar—seperti
ia mampu mengubah kekuatan-kekuatan dasar tempat-tempat laku, bertapa yang khusus, atau
manusia itu menjadi kekuatan masing-masing, tempat peziarahan—juga sangat bernilai dilihat
berturut-turut sesuai dengan urutannya: rasa dari segi kosmografis. Di samping itu, tempat-
kasihan, semangat, ingin belajar/ingin mengerti, tempat sakral jaman dahulu, seperti Borobudur,
dan ingin mempertahankan kehidupan. Lagi- mejadi tidak berarti lagi dari segi sosio-ritual
lagi, keseimbangan lima unsur itu tidak terlepas dan sosio-agama.
dari keseimbangan antara jagad gedhé: tempat Dalam ajaran bela diri modern, ada beberapa
(kelima penjuru wètan, kidul, kulon, lor, tengah unsur ajaran tradisional yang dipertahankan,
dengan lima warnanya6 ) dan waktu (kelima tetapi adaptasinya dalam suatu konteks baru
pasaran legi, paing, pon, wagé, kliwon), telah banyak mengubah unsur-unsur tersebut.
dengan jagad alit (panca indera, kelima unsur Banyak perguruan yang berkembang dalam
anasir, kelima saudara halus manusia dengan bentuk asosiasi atau organisasi yang kemudian
lima warna yang juga sama, kelima saudara berskala besar. Sifat asosiasi yang dianjurkan
Pandawa dalam wayang). oleh pemerintah sangat terikat dengan fakta
Di sini terlihat bahwa ajaran itu ternyata bahwa ajaran pokok yang disampaikan mulai
tidak terlepas dari suatu laku (suatu kawruh menjadi sulit untuk dipertahankan sebagai
laku yang dihubungkan dengan istilah lakon suatu ajaran yang bertujuan mengungkapkan
dalam pewayangan), yang berpusat pada rasa- sangkan paraning dumadi, asal-usul dan
pangrasa sebagai unsur pertengahan antara tujuan dari kehidupan. Pola kedudukan asosiatif
tingkatan-tingkatan yang disusun secara formal atau resmi terjadi, karena kewajiban-
hirarkis: dari mikrokosmos ke makrokosmos. kewajiban tertentu muncul menggantikan sifat
Keterikatan antara puasa, tapabrata, semedi, saling melengkapi dari kegiatan-kegiatan
latihan gerak, dst., dengan rasa pangrasa dan tradisional. Kegiatan-kegiatan tradisional itu
penguasaan tingkah laku, dapat ditujukan untuk digantikan oleh kegiatan-kegiatan yang menjadi
menjamin kualitas sistem interaksi di dalam khusus dan saling terpisah (proses
masyarakat, dalam keterikatannya dengan spesialisasi). Tentu saja, dalam proses ini,
jagad gedhé. kemampuan dasar manusia yang digunakan
Sifat pokok dari ajaran tersebut adalah juga mengalami perubahan. Secara singkat,
transmisi, yang sebagian besar bersifat lisan. daripada seorang guru harus mengajarkan
kepada muridnya agar rasa-pangrasa nya
6
menjadi matang, seorang pelatih kini harus
Warna masing-masing pada kelompok Trah
Tedjokusuman yang saya teliti di Yogyakarta adalah:
putih, merah, kuning, hitam dan yang kelima 7
Mengenai tinjauan paralel yang menyangkut hal
merupakan campuran dari empat warna tersebut. bahasa, lihat Bonneff (1997).

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 73


mengingatkan kepada muridnya bagaimana Dengan kata lain, dari sudut hukum
agar daya pikirnya tidak melebihi rasa nalurinya. modern yang berlaku, lokalitasnya sudah
Dari pembinaan dasar ini akan berkembang bersifat netral dan dapat diperjualbelikan.
suatu usaha ‘retradisionalisasi’ dari kegiatan- Sebaliknya, adat setempat yang masih hidup–
kegiatan yang ada.7 secara sadar atau tidak sadar–mengandung
Konteks ajaran kanuragan tersebut anggapan adanya suatu pandangan holistik
berlangsung sebagai berikut. Sesepuh atau yang berhubungan dengan sifat hirarkis dari
guru senior harus diwakili oleh pelatih-pelatih nilai-nilai yang tersusun antara jagad alit dan
yang ada di tingkat lokal. Pelatih-pelatih jagad gedhé. Dalam anggapan ini, yang juga
tersebut tidak atau kurang berpengalaman terikat dengan unsur rasa sebagai dasar dari
dalam hal pergaulan seperti guru-guru masa lalu ajaran dan penilaian, suatu tempat (suatu
yang berkelana pada masa mudanya untuk tempat latihan, misalnya) atau seseorang
menuntut ilmu. Karena itu, sering terjadi (seorang pelatih, misalnya), tidak bisa dianggap
bahwasanya seorang pelatih menjadi kurang netral. Dia pasti mempunyai suatu tempat atau
matang dalam hal menurunkan ilmu. Hal itu kedudukan tertentu dalam susunan aneka
memang bukan karena kesalahannya sendiri, variasi dari alam semesta.
melainkan karena kelemahan sistem baru
tersebut. Ajaran modern individualistis:
Sifat pokok dari sistem baru tersebut pembentukan dan sifat pokoknya
adalah rasionalisasi dan formalisasi dari bentuk Apa yang dianggap sebagai filsafat oleh
ajaran. Dalam ajaran itu, adat lisannya, filosof-filosof Yunani kuno seperti Pythagores,
walaupun masih menonjol, menjadi terancam. Socrates atau Plato—menurut ahli sejarah
‘Rasa’ sebagai unsur penting dari ajaran filsafat Yunani Pierre Hadot (1995)—tidaklah
semakin tidak nampak. Unsur rasa ini sudah pernah terlepas dari suatu perilaku tapa brata
dianggap lain, karena praktek-praktek yang (ascetism). Di kemudian hari, pada zaman im-
diajarkan telah diarahkan ke kesejahteraan perial Yunani, dan melalui pengaruh
tubuh, yaitu pengertian modern seperti ‘olah kristianisasi pada zaman pertengahan di Eropa,
raga’ dan ‘kesehatan’; atau pengertian perilaku ascetismnya semakin tidak berarti lagi.
modern dari kompetisi. Pengertian ini timbul Ajarannya menjadi semakin formal dan semakin
karena adanya pemisahan antara nilai dan aksi berbentuk tulisan daripada lisan, hingga
yang mengandung nilai tersebut. mencapai puncak formalnya pada zaman
Di samping itu, tempat latihannya bersifat modern. Louis Dumont mencatat bahwa mulai
netral: ruangan apa pun boleh digunakan, pada masa Santo Agustinus (jaman
sehingga beberapa perguruan dapat pertengahan), rasa iman pada diri sendiri harus
mengadakan latihan di tempat yang sama (pada melalui rasionalitas, tidak bertumpu pada
jam yang berbeda). Ini merupakan fenomena perasaan.8
yang penting, karena membuktikan bahwa di
8
samping sifat khusus dari perguruan-perguruan Bagi Dumont (1991), hal ini merupakan suatu langkah
besar dari beralihnya agama sebagai bidang kegiatan ke
yang ada (yaitu tidak boleh ikut latihan pada bidang politik. Bidang politik ini kemudian mengambil
perguruan-perguruan lain), ada pengertian baru alih sifat-sifat pokok dari bidang agama. Setelah
mengenai tempat. Tempat yang netral tersebut Revolusi Perancis, proses ini dilanjutkan oleh peralihan
bidang politik ke bidang ekonomi dengan cara yang
akan merendahkan nilai perguruan, karena sama, yaitu pengambilan unsur-unsur transenden untuk
kehilangan sifat lokalitasnya. membenarkan pengutamaan dari bidang baru tersebut.

74 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


Di satu pihak kita menemukan bahwa sesuatu yang murni, terlepas dari pengaruh-
seorang penganut agama formal: agama pengaruh lain, dan menghasilkan suatu
Kristen, semakin bisa berhubungan secara pengetahuan yang dianggap ‘suci’ oleh
langsung dengan Tuhannya tanpa melewati penganutnya. Pengetahuan itulah yang
suatu sistem ritus masyarakat. Di pihak lain— kemudian dinamakan pengetahuan ilmiah.9
melalui rasionalisasi dari ajaran dan implikasi Pelajaran yang diperoleh melalui akal
yang semakin erat antara Gereja dan kekuasaan sangat terikat dengan formalisasi dari suatu
duniawi—hubungan tersebut semakin bersifat ajaran normatif yang bertujuan menghasilkan
moral, yaitu semakin terarah ke suatu pengertian sesuatu yang egaliter: sama untuk semuanya.
normatif (yang belum tentu rasional dalam arti Tetapi, dalam kenyataan jelaslah bahwa yang
sebenarnya) daripada suatu pengertian menurunkan ilmu (seorang guru sekolah,
perasaan. Secara singkat, menjauhnya ajaran misalnya) kurang memberikan kemudahan bagi
agama dari pengertian rasa tersebut menjadi tercapainya kemajuan, baik bagi seorang mu-
semakin dalam melalui proses revolusi anti ‘orde rid yang pandai maupun bagi seorang murid
lama’ (monarki/kerajaan), dan melalui yang kurang pandai. Keterlibatan seorang
pengutamaan pada ilmu-ilmu modern. pelatih pencak silat dalam usaha ini menjadi
Kita harus menyadari bahwa proses ini terbatas, karena kewajibannya untuk menaati
berakar juga pada zaman Romawi di Eropa (yaitu sifat normatif yang dianjurkan oleh mereka yang
sebelum Masehi), dan berlangsung selama berkedudukan di pusat. Bila dalam bela diri
delapan belas abad lebih sampai revolusi selalu ada seorang asisten atau lebih (walaupun
Perancis (1789). Selama periode itu, jatuh menurut penelitian saya kegunaan dari asisten
korban tidak terhitung jumlahnya sampai ajaran tersebut semakin kurang dimanfaatkan), dalam
agama terpisah secara resmi dari ajaran sekuler ajaran modern normatif, seorang guru harus
pada awal abad kedua puluh ini. menangani suatu kelas seorang diri. Walau
Dalam konteks sekuler ini, terjadi demikian, terdapat perbedaan antara Barat—
pemisahan yang radikal antara kelakuan dan terutama Perancis—dengan Indonesia. Di In-
pikiran. Dalam pemisahan itu, orang donesia, masih ditemukan kehadiran seorang
menemukan kesulitan yang semakin rumit dalam asisten. Di Perancis, tidak ada asisten di
mewujudkan tingkah laku yang sesuai dengan sekolah-sekolah formal.
buah pikirannya. Kesulitan ini disebabkan oleh Timbullah pertanyaan dalam diri saya:
tertutupnya kesadaran mengenai unsur rasa, mengapa murid-murid yang pandai tidak
karena rasa tidak diungkapkan lagi. Keterlibatan langsung dimanfaatkan untuk membantu
rasa dalam aksi tidak pula dipentingkan. Akibat proses pengajaran seperti yang terjadi dalam
langsung dari hal ini adalah tidak jelasnya ajaran tradisional? Pertama, teman-temannya
kedudukan dari pikiran sebagai suatu yang kurang pandai akan sangat terbantu.
kemampuan, karena pikiran terpisah dari aksi/ Mereka pasti akan lebih mudah memahami
tingkah laku. Pikiran tidak dianggap lagi penjelasan dari seseorang yang bentuk rasanya
sebagai suatu kelakuan. Orang pun mulai
percaya bahwa mereka bisa mendapatkan saja, baik dalam konteks modern maupun konteks
holistik. Bedanya adalah bahwa penonjolan norma
9
Perlu dicatat di sini bahwa penemuan-penemuan baru linguistik menyembunyikan tahap-tahap dari proses
dalam ilmu pengetahuan membantah asumsi tentang transmisi yang berlangsung dalam ajaran modern (cf.
adanya pengetahuan yang murni. Mulai dibuktikan Bloch 1998). Penyembunyian itulah yang menghasil-
bahwa dasar proses transmisi pengetahuan itu sama kan kepercayaan tidak ilmiah tersebut.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 75


mirip miliknya sendiri. Kedua, murid yang yang utuh karena belum produktif dalam sistem
pandai itu juga akan belajar dan meningkatkan produksi. Karena mereka tidak dianggap
pengalaman dari perannya sebagai perantara bernilai, kematangan mereka—kalau ditinjau
dalam proses transmisi ilmu. Kematangannya dari segi kriteria-kriteria tidak individualis—
akan terbentuk secara lebih cepat dan dapat pasti akan terhambat bahkan bisa menjadi rusak.
lebih berguna bagi masyarakatnya. Bila tingkah laku/aksi kita menjadi terbatas
Dari jenis ajaran modern seperti dipaparkan (yaitu kalau nilai tertinggi terletak pada
di atas (walaupun terdapat beberapa anggapan moral dan bukan pada anggapan rasa
perkecualian seperti metode Piaget misalnya), dalam tingkah laku), akan ditemukan banyak
saya menyimpulkan bahwa sistem ini tidak kesulitan dalam hal kemampuan untuk
cocok untuk anak-anak muda yang mengukur atau menilai keterbatasan kita sendiri
mengekspresikan diri melalui rasa. Mereka sulit dalam tujuan memperbaiki diri.
untuk berkembang menjadi matang. Sifat Kesimpulan lain ialah adanya keterikatan
egaliter yang diinginkan tidak bisa tercapai. erat antara norma-norma pendidikan (rasional
Yang justru tercapai adalah uniformisasi atau dan normatif), sifat hubungan masyarakat, dan
penyeragaman para murid. Suatu sistem yang penonjolan pada kegiatan ekonomi. Kesimpulan
sifat hirarkisnya alamiah dan tidak ini dapat menimbulkan implikasi yang
terformalisasikan secara kaku—seperti mendalam, sehingga perlu diperhatikan secara
gambaran di atas—lebih mendekati tujuan serius.
egaliter yang diharapkan.
Sistem yang kaku itulah yang menghalangi Nilai-nilai pokok masyarakat dan
tercapainya kualitas yang baik dalam hubungan pengarahan perilaku
antara guru dan murid, dan hubungan Suatu sistem pendidikan yang menutupi
antarmurid. Hal itu membuat orang menjadi unsur rasa dalam ajarannya, tidak akan terarah
terbiasa untuk bertingkah laku secara lagi dalam dimensi yang nyata. Sifat dari
individualis, untuk tidak peduli dengan lokalitas keempat penjuru dan pusatnya menjadi abstrak,
dan lingkungan hidupnya. Dia menolak karena orang tidak terikat lagi dengan
kejadian-kejadian yang dianggap berada di luar lokalitasnya, dan dengan sistem pergaulan
tinjauan khusus/spesialisasinya, atau yang masyarakat melalui perasaan.11 Sistem
berada di luar ideologi masyarakat modern 10 . pendidikan tidak pula terfokus pada masalah
Dalam hal inilah, terlihat adanya pengaruh pengarahan kehidupan. Apa yang paling
pengutamaan kegiatan ekonomi. Seseorang bernilai dalam perjalanan duniawi, hanyalah
yang tidak dibayar, tidak atau kurang berhak unsur produktif dari sistem ekonomi. Berbagai
untuk berpartisipasi dalam aksi (aksi mengajar bentuk hubungan dengan nenek moyang,
atau aksi apapun juga). Dengan demikian, dapat keturunan, siklus-siklus kosmos, dimensi
dicermati bahwa anak-anak muda tidak kedewaan dan dimensi ketuhanan pun menjadi
dianggap bernilai sebagai warga masyarakat terputus. Pengabdian terhadap negara tidak
lagi melalui kualitas dari hubungan-hubungan
10
Walau tinjauan filsafat modern dapat menguraikan dalam masyarakat. Kualitas ini harus
segala sesuatu, ia sangat dibatasi oleh kekhususan dari
kemampuan-kemampuan yang dianggapnya sah
(melalui keterpisahan antara nilai dan tingkah laku), 11
dan oleh pengutamaan pada rasio sebagai alat Dalam hal ini, lokalitas telah direlativisir oleh
investigasi. pengaruh negara/kekuasaan.

76 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


dikorbankan. secara eksplisit. Contohnya ada tabu mengenai
Tingkah laku seorang individu modern hierarki di balik ‘individu modern’ egalitaris.
tidak lagi terarah melalui suatu sistem Untuk mempertahankan kepentingan dari sifat
hubungan yang menguraikan secara jelas nilai- individualistis dengan nilai egalitarisnya,
nilai pokok dan organisasinya dalam semua hubungan hierarkis harus disembunyi-
masyarakat. Misalnya, dalam sistem kan dengan memakai istilah-istilah seperti
representasi nilai Jawa, kita temukan dua nilai ‘stratifikasi sosial’ atau ‘saling membantu demi
pokok dharma ksatria atau manunggaling kesejahteraan umum’ (walaupun dalam
kawula Gusti.12 Kedua nilai tersebut berletak kenyataan sering berubah menjadi perbudakan
pada cara berhubungan antar sesama. Nilai yang nyata, secara paksa ataupun paksa,1 3
tersebut mengungkapkan suatu cara menjalin dan kesejahteraan di luar batas dari golongan-
hubungan yang luhur dan menerangi sistem golongan atas tertentu, seperti yang terjadi di
hubungan antarorang dan antartingkatan. Barat).
Sistem tersebut merupakan suatu keseluruhan Dalam anggapan modern, hierarki itu sama
yang tidak lepas dari jagad gedhé. Hal tersebut dengan ketidakadilan, paksaan, bahkan
berbeda dengan nilai-nilai Pancasila kekerasan. Melalui hukum modern yang
(Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, berlaku, sifat-sifat tabu tersebut dapat dikurangi
Kerakyatan, Keadilan sosial) yang menekankan pada tingkat raga, kecuali dalam kegiatan
pada suatu tujuan yang luas sekali. Ia tidak ekonomi. Namun, secara simetris hirarki itu
memberi pengarahan—selain pengarahan berkembang pada tingkat moral, tempat orang
moral yang terpisah dari aksi—mengenai menjadi lebih bebas untuk melakukan
‘bagaimana bentuk hubungan antarsesama itu ketidakadilan dan paksaan (secara moral).
dapat dihayati dan dirasakan secara homogen Akibatnya, dalam masyarakat tersebut,
oleh semua warga negara?’ hubungan sehari-hari menjadi kompetitif dan
Sistem nilai tersebut terakhir mirip dengan keras.
sistem ideologi Barat yang telah Dalam kenyataan, aplikasi dari nilai egaliter
menyengsarakan warganya sendiri. Dengan yang begitu dibanggakan oleh negara-negara
kata lain, sistem nilai masyarakat modern ‘liberal’ sebenarnya tidak mungkin bertahan
memang seimbang dengan sistem pendidikan secara utuh. Bila menginginkan kejelasan,
yang berfokus pada tujuan. Sifat tujuan ini tidak ketepatan dan kejujuran, seharusnya mereka
holistis tetapi formal dan pragmatis. Dengan mengatakan: ‘egaliterisme itu ada pada tingkat-
demikian, sistem nilai serupa itu merugikan tingkat tertentu dan pada jenis-jenis hubungan
mutu pelaksanaan dan pembinaan hubungan
13
antar warga masyarakatnya. Selain kondisi pekerjaan para buruh di pabrik besar-
besaran (yang merupakan sejenis perbudakan kalau
Akibat dari kekurangjelasan dalam sistem dilihat dari kondisi pekerjaan, walaupun mereka
modern mengenai bagaimana kondisi sebelum dibayar), kita menemukan pula perbudakan yang
kehidupan duniawi dan sesudahnya, kita sungguh dari anak-anak kecil sampai remaja di beberapa
negara seperti Maroco, India atau di Amerika selatan
temukan tabu-tabu yang tidak diungkapkan untuk memproduksikan barang atau produk ekspor
bahkan bisa terjadi di negara-negara ‘berkembang’
12
Kita menemukan nilai-nilai tersebut pada isi ajaran dalam keadaan gelap; sudah diperkirakan bahwa sekitar
perguruan-perguruan bela diri, kanuragan, kebatinan seratus juta anak sedang diperbudakan di seluruh dunia.
dan pada sistem representasi kejawen. Lihat de Grave Lagi-lagi terdapat prostitusi anak-anak yang
(1997, 2000; lihat juga Kuntara 1990 dan Zoetmulder dipermudahkan oleh perbedaan gaya dan tingkat hidup
1990). antara Barat dan Timur.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 77


tertentu’ saja. Dalam model masyarakat mereka, masyarakat sebagai suatu keseluruhan terlibat
egaliterisme sebenarnya tidak ada, misalnya dalam hubungannya dengan jagad gedhé.
pada kegiatan ekonomi. Di samping itu, Sistem dalam masyarakat tradisional
seseorang yang tidak produktif dalam bidang berbeda dari sistem masyarakat moderen. Pada
ekonomi (karena bidang ini menjadi menonjol), jaman pertengahan di Eropa—seperti yang
dianggap kurang bernilai secara keseluruhan. telah digarisbawahi oleh Max Weber (1967)—
Dengan demikian, anak muda dan orang tua dalam negara-negara yang didominasi oleh
yang rata-rata justru kurang produktif dari agama kristen (yang sudah dapat menaklukkan
sudut ekonomi, tidak dihargai bila kepercayaan setempat), mulai muncul
dibandingkan dengan mereka yang berada golongan-golongan korporasi. Golongan-
dalam lingkup masyarakat tradisional. golongan korporasi itu berdiri sendiri di tengah
Kegiatan-kegiatan dan kegotongroyongan masyarakat atas dasar kegiatan ekonomis
pada tingkat lokal dalam sistem tradisional, tertentu dan atas dasar keterikatannya dengan
mengandung pula unsur perlombaan. Tetapi, ajaran moral normatif kristen. Di situ, kita dapat
perlombaan itu terwujud dalam kaitan dengan melihat awal mula tumbuhnya spesialisasi
akibat yang terjadi dalam melaksanakan suatu beragam kegiatan, yang sekaligus disertai
aksi. Bila timbul suatu pertentangan yang dengan berkembangnya ajaran moral dan sektor
menonjol, pertentangan tersebut dapat meledak ekonomi.
menjadi perkelahian atau perang. Namun, dalam Hingga kini, spesialisasi dari kegiatan-
kasus ini, kegiatan yang memiliki nuansa kegiatan yang ada berkembang terus, dan
perlombaan sangat jelas kedudukannya. Rata- keterpisahannya dengan ajaran moral semakin
rata kegiatan tersebut tidak terletak pada mendalam. Kegiatan baru yang dapat
kegiatan lain selain ‘perang’. Unsur tegang menggantikan ajaran moral dari agama normatif
dalam pergaulan sehari-hari tidak menonjol adalah hukum. Namun, kelemahannya adalah
seperti yang terdapat dalam sistem hubungan bahwa hukum tidak ikut serta dalam aksi. Hukum
masyarakat individualis. Apalagi, akibat dari lebih bersifat ancaman bagi mereka yang
perang dalam suatu sistem tradisional, tidaklah melanggar aturan. Golongan-golongan tersebut
mengancam lingkungan hidup, atau nyawa- semakin tidak peduli dengan moralitas dan
nyawa makhluk hidup dalam skala besar- dalam konteks sekuler, referensinya menjadi
besaran. hukum konvensional. Jika suatu penemuan baru
Suatu sistem yang berlangsung demikian belum diuraikan penggunaannya dalam hukum,
dalam caranya menghormati siklus-siklus orang tidak mau berusaha melakukan suatu
ksmos, berjalan secara otokritis. Bila sistem itu introspeksi moral. Hal itu sering terlihat dalam
mengancam keseimbangan alam semesta hal jual beli/sesuatu yang bersifat komersial—
secara berlebihan, dia menciptakan suatu pengusaha-pengusaha sering berusaha untuk
mekanisme yang mengurangi atau menghindari larangan-larangan yang berlaku
menghapuskan ancaman tersebut. Bentuk dengan melakukan tipu muslihat—yang
mekanismenya biasanya dalam wujud perang : sebenarnyanya membuktikan bahwa sistem
perang antarsuku atau antarkerajaan. Karena hukum moral tidak berharga bagi mereka.
keterikatannya yang bersifat hierarkis dan Persaingan dalam bidang ekonomi politis
mementingkan keseimbangan antara terletak pada kemampuan untuk menghindari
mikrokosmos dan makrokosmos, sistem aturan-aturan yang ada. Tujuan persaingan
semacam itu berjalan sebagai suatu totalitas : tersebut adalah memastikan kepentingan
78 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sendiri atas kelompok-kelompok saingannya. dalam, tidak menonjol lagi sekalipun masih ada.
Di balik itu semua, pola tingkah laku yang
Peralihan nilai-nilai masyarakat di bersangkutan masih sangat tertanam dalam
Indonesia kehidupan dan pergaulan umum.
Kalau kita amati kejadian di Indonesia, kita Untuk mereka yang masih berada pada
melihat bahwa nilai individualis modern tingkat kanoman suatu ajaran kanuragan,
memasuki wilayah Indonesia melalui pengaruh biasanya akan tertarik oleh kekuasaan tanpa
Islam dan Eropa, terutama Belanda. Kedua- mementingkan nilai luhur yang harus
duanya—dengan cara yang berbeda—sangat disertakan. Di samping nilai luhur dharma
mempengaruhi sistem-sistem holistis ksatria, nafsu akan kekuasaan tersebut sering
(tradisional) setempat dan mengembangkan berubah dan menjadi menonjol, sehingga or-
perdagangan di wilayah-wilayah yang agak ang bisa menganggap dirinya ksatria, sesepuh,
luas. Dalam bidang pendidikan, pengaruhnya ataupun pandhita jika ia merupakan orang yang
sangat kuat. Pertama, atas tradisi lisan setempat sombong. Padahal, dalam kenyataannya, orang
yang mengalami suatu kemunduran. Sistem tersebut tidak lebih dari seorang jago-jagoan
pendidikan yang satu mewajibkan penduduk yang tujuannya hanya ingin berkuasa.
mengenali bacaan dan tulisan arab. Sementara Keinginan akan kekuasaan ini sebetulnya
sistem yang lainnya, mewajibkan latinisasi dan merupakan suatu sifat individualistis dan bukan
memperkenalkan sistem ajaran modern di merupakan sikap modern. Orang mementing-
kalangan-kalangan tertentu, seperti di kalangan kan diri sendiri lebih daripada kepentingan
para priyayi modern. masyarakatnya. Tetapi, jika sikap ini hendak
Para priyayi ini merupakan satu contoh dipertahankan dalam konteks modern sebagai
yang baik dari permulaan penyilangan dua tingkah laku biasa, pada suatu konteks holistis,
sistem pendidikan. Mereka masih ada syaratnya. Sifat individualistis itu tidak bisa
mempertahankan adat leluhurnya dalam dipertahankan sendiri. Sifat tersebut harus
batasan tertentu, dan sekaligus menyerap gaya dipertahankan dalam suatu kelompok yang
pendidikan Belanda. Tetapi, seperti yang terjadi mirip dengan korporasi-korporasi pada jaman
di kalangan keraton Jawa Tengah, suatu unsur pertengahan di Eropa (dan yang masih bertahan
pokok sudah berkurang dalam ajaran sampai sekarang dalam suatu bentuk yang
tradisionalnya, yaitu pembentukan watak berubah). Sifat kelompok ini akan menjadi lebih
melalui ajaran kanuragan asli. Berkurangnya tertutup, dan dia akan menganggap dirinya
ajatan tersebut tidak terlepas dari tujuan utama otonom daripada kelompok-kelompok lain.
yang ingin dicapai, yakni perebutan pimpinan Tetapi, kelompok tersebut sering lupa bahwa
keraton. otonomi hanya berada pada tingkat moral saja.
Apakah sifat dan nilai dari ajaran tersebut Mereka mungkin lupa pula kalau tidak bisa
sudah hilang? Tentu saja tidak. Tetapi, berdiri sendiri tanpa kerjasama dengan
penyilangan dari sistem pendidikan itu kelompok-kelompok lain.14
menunjukkan bahwa bentuk ajaran tersebut Bagaimana kelompok seperti itu bisa
menjadi lain. Pengaruh rasionalisasi sudah muncul dalam masyarakat? Bertolak dari
masuk dalam praktek berperang. Orang tidak perbedaan konsepsi dan sistem transmisi ilmu
mencari dukungan dari para dewa atau dari
14
kekuatan-kekuatan alam secara terbuka seperti Inspirasi dari analisa ini bersumber pada karya Louis
masa lalu. Penyerapan ilmu, aji dan tenaga Dumont (1966).

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 79


yang sudah diuraikan, terlihat cukup jelas jelaslah bahwa motivasi pertama dari orang-
bahwa tantangan yang luar biasa dihadapi orang Belanda menetralisir pengaruh dari
seseoran—yang hidup dalam suatu konteks kraton, adalah agar VOC dapat melakukan
holistis tempat keterikatan secara keseluruhan perdagangan dengan tenang. Peristiwa-
merupakan hal yang dominan— mengadaptasi- peristiwa sejarah pada zaman itu—yaitu antara
kan diri dengan nilai-nilai individualistis yang zaman Sultan Agung dan jaman penjajahan
dianjurkan dalam Pancasila. Orang ini akan Jepang—menunjukkan terjadinya perpaduan
mencari perlindungan dalam satu kelompok antara kewibawaan sebagai pemimpin perang
yang bisa mengungkapkan aspirasinya sebagai dan kewibawaan karena kekayaan duniawi.17
individu, entah kelompok yang paling dekat Satu contoh jelas dari terjadinya hubungan
karena tidak ada yang lain, atau kelompok yang antara kegiatan ekonomi dan kanuragan
ideologinya tidak terlalu jauh dari perasaannya adalah sumbangan pendirian padepokan
sendiri. Namun, kenyataanya terletak di sini: pencak silat Taman Mini oleh konglomerat-
pemimpin-pemimpin negara mengira bahwa konglomerat ekonom besar Indonesia yang
penduduk-penduduk yang sudah terbiasa didominasi oleh Soeharto dan para
dengan suatu pola tingkah laku yang berakar pengikutnya. Selain mantan presiden RI sendiri
jauh sebelum Masehi, akan mampu dan anaknya Bambang Trihatmojo yang
meninggalkan pola kebiasaan tersebut, hanya mengaku sebagai pengurus-pengurus besar
karena diperintah untuk melaksanakannya urusan pencak silat, terdapat juga almarhumah
dalam waktu yang singkat.15 Ibu Tien Soeharto, yang menghibahkan
Dalam hal ini pun, Indonesia tidak terhindar tanahnya sebagai lokasi berdirinya bangunan
dari kesulitan umum untuk mendirikan suatu itu. Menantunya, Prabowo Soebianto,
sistem demokrasi. Akibatnya, tumbuhlah mengetuai pembangunan padepokan tersebut.
kelompok-kelompok yang mencari keuntungan Lambang pokok dari padepokannya adalah
untuk kepentingan diri sendiri melalui lobi-lobi setangkai padi besar yang terbuat dari logam.
ekonomi, politis, agama, atau campuran dari tiga Lambang itu ditempatkan di tengah ruangan
unsur ini. Yang bertanggung jawab adalah museum padepokan dengan motto terkenal
mereka yang hendak mencari keuntungan dari ‘Padi semakin matang semakin menunduk.’
pengalihan dan penerapan suatu sistem Melalui kasus ini, terlihat adanya
ekonomi moderen di Indonesia, dengan penyalahgunaan kekuasaan pusat atas inti
menumbuhkan nilai-nilai individualis, tanpa masalah berlandaskan filsafat.
mengetahui ataupun peduli pada akibatnya.16
Perlu pula ditambahkan satu catatan lagi 17
Di luar negeri observasi-observasi mengenai hubungan
berkenaan dengan peralihan bidang pokok, antara filsafat bela diri atau strategi militer dengan
strategi perdagangan sudah diuraikan. Di Cina atau di
sebagai ungkapan dari kekuasaan di Indone- Rusia, sudah tercatat pengaruh dari SunTzu ahli strategi
sia. Dalam keruntuhan kewibawaan Mataram, perang yang hidup pada jaman Cina klasik dua puluh
lima abad yang lalu. Di Jepang terdapat karya seorang
15 samurai, Miyamoto Musashi (abad XVI), yang sangat
Untuk mengukur sifat rumit dan akar-akar dari
mempengaruhi strategi komersial jepang dan beberapa
kepaksaan ini, lihat Ricklefs (1981) dan Soekirno
pengusaha-pengusaha barat juga. Di Jepang, ada juga
(1998).
pusat-pusat latihan khusus untuk kader-kader yang
16
Perlu dicatat di sini bahwa kemampuan para ilmuwan tidak mampu mengeluarkan prestasi bagus; di situ
sosial kurang dimanfaatkan, baik di negara Barat mereka dilatih bela diri. Di Indonesia pun kader-kader
maupun di Timur dalam kasus-kasus seperti krisis sosio- negara sering menjadi kader-kader dari perguruan
ekonomi yang parah. Titik berat ini perlu dirumuskan. beladiri pencak silat atau tenaga dalam.

80 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


Penutup mempertahankan struktur masyarakatnya tanpa
Ajaran bela diri di Barat sudah lama tidak harus merasa cemas dari tekanan luar. Mereka
dianggap penting lagi, sehingga tidak ada yang ingin tetap di wilayah masyarakatnya,
usaha untuk mengerti bentuk masyarakat Barat dapat merasa aman dengan pola kehidupan
dari sudut unsur kewibawaan dan perang. budayanya Sementara yang ingin ke luar,
Unsur ini tidak diakui lagi, bahkan menjadi tabu. diperbolehkan juga.
Walaupun demikian, unsur tersebut masih Saya ambil contoh suku Baduy, di mana
hidup dalam sistem kompetisi yang berlaku di dapat ditemukan ‘Baduy dalam’ yang
sana secara umum. Sistem kompetisi yang terlindung dari pengaruh luar dan ‘Baduy luar’
demikian menonjol dalam kegiatan ekonomi dan yang bebas menerima pengaruh luar. Saya yakin
mempengaruhi hampir seluruh bidang kegiatan bahwa penerapan hak-hak semacam itu, dapat
yang ada, terutama sistem pendidikan. menetralisir dampak ketegangan baik di dalam
Terhadap sifat tertutup dan khusus dari sistem negeri maupun pada tingkat dunia. Apalagi jika
tersebut, kita harus berlaku waspada. Oleh hal itu dapat melindungi kemusnahan bermacam
karena itu, kita wajib menelaah kembali sistem- budaya manusia dan lingkungan hidupnya.
sistem pendidikan tradisionil yang ada dan Indonesia merupakan satu negara yang cocok
belajar sesuatu dari mereka. sekali untuk dijadikan contoh dari gagasan ini.
Dalam sistem pergaulan masyarakat Negara-negara yang dianggap ber-
tradisional, kita selalu menemukan suatu usaha kembang (dari sudut ekonomis), tetapi dari
untuk hidup seimbang dalam dimensi ruang dan aspek lainnya ternyata jauh lebih berkembang
waktu lokal, sebagai ungkapan dari ruang dan daripada negara-negara industri, mempunyai
waktu kosmik yang bersifat universal. tanggung jawab yang sangat penting dalam
Sedangkan dalam sistem pergaulan hal globalisasi. Mereka mempunyai hak untuk
individualistik modern, sifat universalnya telah menolak kesombongan dari negara-negara
dianggap sebagai dasar dari semua kegiatan. yang memaksakan globalisasi melalui
Sifat tersebut mengancam semua aktivitas yang penanaman ideologinya. Negara-negara
bersifat lokal tanpa mengakui sifat perusaknya. tersebut memiliki ideologi yang memisahkan
Sistem individualistik modern mementingkan semua yang ada atas alasan kesejahteraan,
keterpisahan nilai dari aksi bersifat khusus dan tetapi dalam kenyataannya mereka tidak peduli
elitis. Sistem semacam itu memaksa orang untuk terhadap ancaman-ancaman ekologis besar
mengikuti jalurnya atau dia menyingkirkan seperti polusi, radiasi, kenaikan tingkat laut
mereka. karena pencairan gunung-gunung es, dan lain-
Dengan demikian, saya mengusulkan agar lain. Menciptakan Hak Asasi Masyarakat jauh
Hak Asasi Manusia yang merupakan hasil dari bersifat lebih demokratis daripada HAM dan
ideologi individualis dapat didampingi oleh Hak dapat mengurangi akibat buruk dari globalisasi
Asasi Masyarakat yang tujuannya adalah tersebut.
membela hak masyarakat tradisional untuk

Kepustakaan
Bloch, M.
1998 How We Think They Think - Anthropological Approaches to Cognition, Memory, and
Literacy. Oxford: Westview Press.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 81


Bonneff, M.
1997 ‘La Langue et la Culture Javanaises: Entre Modernisation et Retraditionalisation’, Archipel
53:29-60.
de Coppet, D.
1991 ‘The Society as an Ultimate Value and the Socio-cosmic Configuration’, Ethnos (3-4):140-
150.
1992 ‘Comparison, a Universal for Anthropology. From “Re-presentation” to the Comparison of
Hierarchies of Values’, dalam A. Kuper (peny.) Conceptualizing Societies . E.A.S.A., London:
Routledge. Hal. 59-74.
de Grave, Jean-Marc
1993 Le Pencak Silat en Indonésie - Une expérience à Célèbes - Sud. Mémoire de DREA, Inst. Nat.
des Langues et Civilisations Orientales.
1994 ‘Les Arts Martiaux Indonésiens à Java - Pencak Silat et Tenaga Dalam. Mémoire de DEA en
Anthropologie Sociale. Paris: EHESS.
1996a ‘Pengamatan Mengenai Unsur Seni dalam Bela Diri Khas Indonesia Dibandingkan dengan
Unsur-unsur Lainnya’, Bulletin Antropologi 20:1-10.
1996b ‘Une Ècole Catholique de Pencak Silat - Tunggal Hati Seminari’, Archipel 52: 65-75.
1996c ‘Une Ècole de Pencak Silat Prise sur le Vif’, Images d’Archipel 52:77-93.
1997 Comparaison des Activités et des Valeurs Ultimes de Trois Ècoles Javanaises de Pratiques
Martiales (Yogyakarta-Java Centre). Tesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Paris: EHESS.
2000 (akan diterbitkan) ‘Pratique et Système de Valeurs du Kanuragan Yogyakartanais - Java
Centre’, Archipel/l’Harmattan (Praktek dan Sistem Nilai Kanuragan Yogyakarta - Jawa
Tengah).
Dumont L.
1977 Homo Aequalis - Genèse et Èpanouissement de l’idéologie Èconomique. Paris: Gallimard.
1979 (1966) Homo Hierarchicus - Le système des Castes et ses Implications. Paris: Gallimard.
1991 Essais sur l’individualisme - Une Perspective Anthropologique sur l’idéologie Moderne.
Points Seuil.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1977-78 Aliran-aliran Pokok Pencak Silat Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.
Djadjadiningrat, A.A.
1936 Kenang-kenangan Pangeran Aris Achmad Djadjadiningrat. Jakarta: Balai Poestaka.
Djoemali, M.
1959 Pentjak Silat Diteropong dari Sudut Kebangsaan Indonesia. Yogyakarta: PP dan K.
Hadot, P.
1995 Qu’est-ce que la Philosophie Antique. Paris : Gallimard.
Kuntara, W.
1990 Arjunawiwaha - Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di
Lingkungan Sastra Jawa . Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Liok An Djien
1935 Doea Djago Silat di Java . Semarang: Ho Kim Yoe.

82 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


Lombard, D.
1973 ‘De la Signification du Film Silat’, Archipel 5:213-230.
1977b ‘Les Maîtres de Silat d’origine Chinoise’, Archipel 14:33-41.
1990 ‘Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire Globale’, Editions de l’EHESS (trois vol.).
Maryono, O’ong
1998 Pencak Silat - Merentang Waktu . Yogyakarta: Pustaka Palajar.
Onghokham
1984 ‘The Jago in Colonial Java’, dalam Turton dan Tanabe (peny.) Seri Ethnological Studies
Osaka; History and Peasant Consciousness in South-East Asia. Osaka: National Museum of
Ethnology. Hal. 327-343.
Ricklefs, M. C.
1981 A History of Modern Indonesia c. 1300 to the Present . London: Mac Millan.
Soekirno, I.
1998 Sciences Fondamentales, Enseignement des Mathématiques et Pays en Développement:
Retrospective et Perspective – Le Cas de l’Indonésie de l’époque Coloniale aux Premiers
Temps de l’indépendance: 1818-1965. Tesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Nantes: Université
de Nantes.
Weber, M.
1967 L’éthique Protestante et l’esprit du Capitalisme.Plon.
Yoe Kiong, Liem
1960 Ilmu Silat, Sedjarah, Teori dan Praktek. Malang: Penyebar.
Zoetmulder, P.
1990 Manunggaling Kawula Gusti . Jakarta: PT Gramedia.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 83

Anda mungkin juga menyukai