Anda di halaman 1dari 58

KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI

RUMAH SAKIT KHUSUS MATA PROVINSI SUMATERA SELATAN

1. PASIEN RISIKO TINGGI

Yang termasuk pasien risiko tinggi adalah:


a. Pasien kasus emergensi / kegawat daruratan pada pasien
b. Pasien dengan resusitasi jantung paru.
c. Pasien yang menggunakan alat bantu hidup dasar
d. Pasien penyakit menular
e. Pasien imunosupresif / daya tahan tubuh menurun
f. Pasien dengan penggunaan alat penghalang/restraint
g. Pasien usia lanjut, cacat, anak-anakdanpopulasi yang beresiko di
siksa.
h. Pasien dengan terapi yang berisiko .

2. PELAYANAN RISIKO TINGGI

Yang termasuk dalam Layanan Risiko tinggi :


1. Layanan transfusi darah dan produk darah
2. Layanan penyakit menular
3. Layanan hemodialisis
4. Layanan terapi yang berisiko tinggi lainnya.

Untuk kelompok pasien risiko tinggi dan pelayanan yang berisiko tinggi,
agar tepat dan efektif dalam mengurangi risiko terkait maka diatur:
a. Pembuatan perencanaan pelayanan termasuk identifikasi
perbedaanpasien dewasa dan anak-anak atau keadaan khusus
lain.
b. Dokumentasi yang diperlukan oleh pelayanan secara tim untuk
bekerja dan berkomunikasi secara efektif
c. Pertimbangkan persetujuan khusus bila diperlukan

1
d. Persyaratan pemantauan pasien.
e. Kompetensi atau keterampilan khusus untuk staf yang terlibat
dalam proses asuhan.
f. Ketersedian dan penggunaan peralatan khusus.

3. PASIEN DENGAN KASUS RISIKO TINGGI :


a. PASIEN DENGAN KASUS EMERGENSI / KEGAWAT DARURATAN
PADA PASIEN
- Kasus emergensi adalah pasien individu, keluarga,atau masyarakat
yang yang tidak dapat dikendalikan dan membutuhkan
penanganan segera.
- Kasus kedaruratan dapat terjadi secara internal rumah sakit seperti
kasus henti jantung / henti nafas dan syok apapun penyebabnya ,
maupun eksternal luar rumah sakit , baik kecelakaan massal ,
bencana alam dan wabah.
- Sebagai identifikasi kasus kedaruratan digunakan symbol kode
warna yang terdiri dari:
1. KodeBiru (Blue Code) sebagai kode kedaruratan medis (henti
nafas dan henti jantung)
2. Kode Merah (Red Code) sebagai kode terjadinya kebakaran

3. Kode Pink (Pink Code) sebagaikodeterjadinyapenculikanbayi

4. KodeHitam (Black Code) sebagai kode terjadinya ancaman bom.

5. KodeHijau (Green Code) sebagai kode terjadinya gempa bumi.

6. KodeKuning (Yellow Code) sebagai kode terjadinya kedaruratan


internal sepertike bocoran gas medis, tumpahan B3 dll.

- RSKM dalam menghadapi musibah massal / bencana menyusun


disaster plan yang diberlakukan di seluruh unit pelayanan di rumah
sakit.

2
- Disaster plan disosialisasikan kepada seluruh pekerja sehingga
masing-masing pekerja memahami tugas dan tanggung jawabnya.
- Dalam hal terjadinya kedaruratan massal eksternal, maka Instalasi
Gawat Darurat melakukan pemilahan katagori kegawatan
berdasarkan sistem TRIASE.
- Dalam penanggulangan kedaruratan mengacu kepada standar
prosedur operasional yang berlaku

Penanganan Kegawat daruratan Medis (Kode Biru / Blue Code)

1. Semua pekerja di rumah sakit wajib mengikuti pelatihan dan mampu


melakukan Bantuan Hidup Dasar.
2. Dalam penanganan kegawat daruratan medis rumah sakit menetapkan
call centre di pesawat 7444 sebagai pusat informasi.
3. Rumah sakit membentuk Tim Blue Code yang terdiri dari dokter umum
dan perawat terlatih (telah bersertifikat ACLS atau Instalasi Perawatan
Intensif ).
4. Tim Blue Code terdiri dari 3 tim yaitu :
1. Tim Instalasi Perawatan Intensif,
2. Tim IGD
3. Tim Ruang Rawat.
4. Tanggung jawab Tim Blue Code adalah penanganan kedaruratan
medis berupa henti nafas dan henti jantung baik terjadi pada pasien
maupun pengunjung di semua area rumah sakit.
5. Apabila terjadi kedaruratan medis maka petugas rumah sakit yang
menemukan wajib melakukan Bantuan Hidup Dasar sampai bantuan
dari Tim Blue Code datang.
6. Pemanggilan dan alur kerja Tim Blue Code sesuai dengan SPO Tim
Kode Biru.
7. Semua Tim Blue Code harus segera ke lokasi kejadian kegawat
daruratan medis apabila ada permintaan bantuan Blue Code yang
disampaikan oleh petugas call centre.
3
8. Penanganan kegawatdaruratan medis sesuai dengan SPO yang
mengatur sesuai kondisi pasien misalnya:
a. SPO Bantuan Hidup Dasar
b. SPO Penanganan Henti Jantung dan Henti Nafas
c. SPO Penanganan Bradikardia
d. SPO Penanganan Takhikardia
e. SPO Persiapan Perlengkapan Resusitasi Bayi Baru Lahir
f. SPO Tindakan Defibrilasi dan Kardioversi
g. SPO Resusitasi Bayi Baru Lahir
h. SPO Intubasi Endo Tracheal
9. Apabila kegawat daruratan medis telah selesai ditangani, maka petugas
call centre harus menginformasikan bahwa blue code telah selesai dan
timblue code kembali ke ruangan masing-masing.
10. Petugas Blue Code harus mendokumentasikan kejadian kegawat
daruratan medis dalam berkas rekam medis pasien.

4
DOKUMENTASI

Dokumentasi yang dilakukan dalam penanganan kegawat daruratan adalah;

1. Pelaksanaan penanganan Blue Code di dokumentasikan pada Formulir


Blue Code dan disimpan dalam berkas rekam medis pasien.

2. Pelaksanaan red code, yellow code, pink code, black code dan green code
didokumentasikan pada formulir laporan kejadian.

5
b. PASIEN RESUSITASI JANTUNG PARU
- Pasien Kritis / Gawat adalah pasien yang mengalami proses penyakit
yang bersifat mendadak/akut yang apabila tidak dilakukan pengobatan
yang cepat dan tepat akan mengakibatkan kematian, kecacatan, dan
ketidakmampuan.
- Resusitasi adalah segala usaha untuk mengembalikan fungsi system
pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu
sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu,
agar kembali menjadi normal seperti semula.
- Setiap pasien yang mengalami henti jantung dan atau henti nafas harus
mendapatkan pertolongan segera baik resusitasi dasar ataupun
resusitasi lanjutan.
- Setiap pekerja RSKM ( PWT, PWTT, Outsourching ) dan Tenant harus
dapat memberikan pelayanan resusitasi dasar ( Bantuan Hidup Dasar )
- Sedangkan untuk pelayanan resusitasi lanjutan dilakukan oleh tenaga
terlatih yang bersertifikat ICU / ACLS.
- Dalam memberikan pelayanan bantuan hidup lanjutan baik di Rawat
Jalan maupun Rawat Inap maka dibentuk team blue code dibawah
tanggung jawab dokter jaga ruangan / dokter jaga IGD
- RSKM mempunyai team blue code yang terdiri dari team IGD , Anastesi
, ICU dan Ruang Rawat .
- Bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjutan yang diberikan
mengacu kepada standar yang dikeluarkan oleh American Heart
Ascociation 2015.
- Pelaksanaan resusitasi dasar dan resusitasi lanjutan sesuai dengan
standar prosedur operasional yang berlaku.

6
TATA LAKSANA PASIEN RESUSITASI JANTUNG PARU

A. Bantuan Hidup Dasar

1. RSKM harus memastikan semua petugas yang ada di rumah sakit

mampu melakukan bantuan hidup dasar kepada pasien yang

mengalami henti jantung dan henti nafas.

2. Setiap petugas diRSKM sebelum melakukan bantuan hidup dasar


diharuskan :
a. Memahami tanda tanda henti jantung dan henti nafas
b. Tehnik penilaian pernafasan dan pemberian ventilasi buatan
yang baik dan benar
c. Tehnik kompressi yang baik serta frekuensi kompressi yang
adekuat
d. Tehnik mengeluarkan benda asing pada obstuksi jalan nafas

3. Bantuan hidup dasar yang dilakukan mengacu kepada rekomendasi


yang dikeluarkan oleh Amerika Heart Association tahun 2015 yang
dikenal dengan mengambil 3 rantai pertama dari 5 rantai
kelangsungan hidup , yaitu :
a. Pengendalian kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat
darurat segera ( Early Acces )
b. Resusitasi jantung paru segera ( Early CPR )
c. Defibrilasi segera ( Early Defibrilation )
d. Perawatan kardiovascular lanjutan yang efektif ( Efektif ACLS )
e. Penanganan terintegrasi pasca henti jantung ( Integrated Post
Cardiac Arrest Care )

7
4. Rantai kelangsungan hidup adalah :
a. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat
darurat segera.
Apabila ditemukan kejadian henti jantung maka petugas harus
melakukan hal hal sebagai berikut :
- Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem
gawat darurat
- Informasikan segera kondisi penderita sebelum melakukan
RJP pada orang dewasa .
- Penilaian cepat tanda tanda potensial henti jantung
- Identifikasi henti jantung dan henti nafas.

b. Resusitasi jantung paru segera


Kompressi dada segera dilakukan jika penderita mengalami henti
jantung .
Kompressi dada dilakukan dengan melakukan tekanan dengan
kekuatan penuh serta berirama di tengah tulang dada.Tekanan
ini dilakukan untuk mengalirkan darah serta mengantarkan
oksigen ke otak dan otot jantung.
Pernafasan bantuan dilakukan setelah melakukan kompressi
dada dalam waktu satu detik sesuai volume tidal dan diberikan
setelah dilakukan 30 kompressi dada.

c. Defibrilasi segera
Defibrilasi sangat penting dalam memperbaiki rantai
kelangsungan hidup penderita .Waktu antara penderita kolaps
dan dilaksanakan defibrilasi merupakan saat kritis. Angka
keberhasilan menurun 7 – 10 % setiap menit keterlambatan
penggunaan defibrilator .

8
d. Perawatan cardiovascular lanjutan yang efektif
Pertolongan lebih lanjut oleh Tim Resusitasi merupakan rantai
keberhasilan manajemen henti jantung dengan bantuan alat alat
ventilasi , obat untuk mengontrol aritmia dan stabilisasi penderita
Bantuan Hidup Lanjutan memiliki 3 tujuan dalam penyelamatan
henti jantung , yaitu :
- Mencegah terjadinya henti jantung dengan memaksimalkan
manajemen jalan nafas , pemberian bantuan nafas dan
pemberian obat obatan .
- Terapi pada penderita yang tidak berhasil dengan defibrilasi
- Memberikan defibrilasi jika terjadi Fibrilasi Ventrikel,
mencegah fibrilasi berulang dan menstabilkan penderita
setelah resusitasi.

e. Penangan terintegrasi pasca henti jantung


Dalam pedoman RJP yang dikeluarkan American Heart
Association tahun 2015 mulai diperkenalkan kepentingan
pelayan sistematis dan penatalaksanaan multi spesialistik bagi
penderita setelah mengalami kembalinya sirkulasi spontan (
Return of Spontaneous Circulation ).

5. Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar


Tujuan utama pelaksanaan RJP adalah untuk mempertahankan
kehidupan, memperbaiki kehidupan, memperbaiki kesehatan,
mengurangi penderitaan dan membatasi disability tanpa melupakan
hak dan keputusan pribadi.
Dalam pelaksanaannya keputusan untuk melakukan tindakan RJP
sering kali hanya diambil dalam hitungan detik oleh penolong yang
mungkin tidak mengenal penderita yang mengalami henti jantung.
Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui

9
dan memahami hak penderita serta beberapa keadaan yang
mengakibatkan RJP tidak perlu dilakukan yaitu :
a. Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak
secara sah dan ditandatangani oleh penderita atau keluarga
penderita.
b. Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang
telah mendapat pengobatan secara optimal.
c. Pada Neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka
mortalitas tinggi, misalnya bayi sangat prematur, anensefali atau
kelainan kromosom.

6. Penghentian RJP
Bantuan RJP dapat dihentikan bila :
a. Penolong sudah melakukan BHD dan Bantuan Hidup Lanjut
secara optimal
b. Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar
bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang
menghambat susunan sistem saraf pusat .
c. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang
menetap selama 10 menit atau lebih.

7. Tehnik pelaksanaan BHD :


a. Kompressi dada dilakukan dengan pemberian tekanan secara
kuat dan berirama pada tulang dada, dengan frekwensi minimal
100-120 kali / menit, kedalaman 5 – 6 cm. Berikan kesempatan
dada mengembang sempurna setelah kompresi.
b. Seminimal mungkin interupsi
c. Pembukaan jalan nafas
Pembukaan jalan nafas dilakukan dengan tehnik angkat kepala
angkat dagu pada penderita yang diketahui tidak mengalami
cedera leher , sedangkan untuk yang mengalami cedera leher

10
dilakukan dengan menarik rahang tanpa ekstensi kepala .
Membersihkan mulut bila terdapat sisa makanan / kotoran yang
menyumbat .
d. Pemberian nafas bantuan / ventilasi
Pemberian nafas bantuan dilakukan setelah jalan nafas aman
dengan memperhatikan pemberian nafas bantuan dalam waktu 1
detik dengan volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding
dada.Diberikan 2 kali nafas setelah 30 kali kompresi.
e. Kompresi 30 kali dan pemberian nafas 2 kali. Dilanjutkan dengan
cek nadi, bila hasil yang didapat :
1. Nadi belum teraba, lanjutkan kompressi 30 kali dan
pemberian nafas 2 kali, sebanyak 2 menit dan cek nadi
kembali.
2. Nadi teraba , tetapi nafas belum ada, berikan nafas 10–12
kali per menit selama 2 menit , yaitu pemberian nafas setiap
detik ke 6 sebanyak 20 - 24 kali. Lanjutkan dengan cek nadi
kembali.
3. Nadi teraba dan nafas ada, berikan posisi miring dengan
memiringkan pasien atau telenta
f. Defibrilasi
Defibrilasi hanya dilakukan bila pasien dengan fibrilasi ventrikel
dengan kemungkinan keberhasilan semakin berkurang seiring
bertambahnya waktu .

B. Bantuan Hidup Lanjutan


1. Untuk membantu pertolongan pada kondisi kegawatan setelah
bantuan hidup dasar makaRSKM membentuk Tim bantuan hidup
lanjutan yang disebut Tim Blue Code.
2. Tim Blue Code terdiri dari dokter dan perawat terlatih yang
berserifikat perawatan intensif dan atau ACLS
3. Penanggung jawab Tim Blue Code adalah KSM Jantung

11
4. Leader / Penanggung jawab resusitasi dalam Tim Blue Code adalah
dokter umum yang jaga saat kejadian yang bersertifikat ACLS
5. Untuk kelancaran operasional maka RSKM melengkapi
pelaksanaan Tim Blue Code dengan uraian tugas Tim, SPO Blue
Code, SPO Henti Jantung Henti Nafas dan SPO Intubasi
6. Bantuan Hidup Lanjutan mengacu pada algoritme yang dikeluarkan
oleh American Heart Association tahun 2015.

12
DOKUMENTASI

Dokumentasi yang dilakukan dalam tindakan resusitasi adalah :


1. Tim Blue Code mencatat segala kejadian, tindakan dan obat-obatan
yang diberikan dalam Form Blue Code.
2. Perawat dan profesional pemberi asuhan lain yang memberikan
layanan asuhan mencatat di dalam catatan perkembangan pasien
terintegrasi .
3. Bila pasien tertolong dan memerlukan tindakan perawatan intensif ,
maka dokter dan perawat mencatat rencana selanjutnya dalam form
catatan perkembangan pasien terintegrasi dan selanjutnya pasien
dikirim ke ruang perawatan intensif setelah mendapat persetujuan dari
keluarga pasien .
4. Bila pasien tidak tertolong dan dinyatakan meninggal harus dicatat
kapan pasien tersebut dinyatakan meninggal serat penyebab pasien
meninggal dalam form catatan perkembangan pasien terintegrasi .

13
c. PASIEN KOMA DAN PENGGUNAAN ALAT BANTU HIDUP DASAR

- Pasien koma adalah suatu keadaan dimana pasien tidak dapat


dibangunkan dan tidak memberi respon terhadap semua
rangsangan baik dari dalam maupun dari luar.
- Dalam menentukan pasien koma digunakan standar GCS (Glasgow
Coma Scale) yang diberlakukan di seluruh ruang rawat.
- Penentuan GCS dilakukan oleh dokter atau perawat.
- Pasien dengan GCS 3 / koma yang masih memerlukan pemantauan
intensif dapat dirawat di ruang intensif dengan persetujuan keluarga.
- Pasien koma yang tidak memerlukan pemantauan intensif atau
kondisi minimal dapat dirawat di ruang biasa dengan persetujuan
keluarga dan dokter yang merawat.
- Perawatan pasien koma mengacu pada standar prosedur
operasional yang berlaku.
- Penggunaan alat penunjang hidup (ventilator) harus mendapat
persetujuan dari pasien / keluarga berupa informedconsent.
- Pasien yang terpasang endotracheal tube dan bantuan hidup dasar
(ventilator) harus dirawat di ruang intensif.
- Perawatan pasien dengan ventilator mengacu pada standar
prosedur operasional yang berlaku.

A. Asuhan Pelayanan Pasien Koma

1. Dalam menentukan pasien koma digunakan standar GCS (Glasgow


Coma Scale) yang diberlakukan di seluruh ruang rawat.

2. Penentuan GCS dilakukan oleh dokter atau perawat.

3. Pasien dengan GCS 3 / koma yang masih memerlukan pemantauan


intensif dapat dirawat di ruang intensif dengan persetujuan keluarga,
dimana keluarga harus menandatangani Surat Persetujuan Dirawat di
Ruang Intensif.

14
4. Pasien koma yang tidak memerlukan pemantauan intensif atau kondisi
minimal dapat dirawat di ruang biasa dengan persetujuan keluarga dan
dokter yang merawat.

5. Penentuan apakah pasien perlu pemantauan intensif atau tidak


ditetapkan oleh DPJP setelah melakukan penilaian kondisi pasien
sesuai dengan disiplin ilmu kedokteran, atau bila perlu melakukan
konsultasi dengan bidang medis lain.

6. Jika pasien koma sesuai dengan rekomendasi DPJP dirawat di ruang


intensif namun keluarga menolak dan DPJP telah mendiskusikan
dengan keluarga tentang kebaikan dan keburukan serta risiko yang
mungkin timbul bila tidak dirawat di ruang intensif, maka keluarga harus
mengisi formulir penolakan perawatan di ruang intensif.

7. Selama perawatan pasien koma baik di ruang rawat intensif maupun


ruang rawat biasa, petugas harus memperhatikan harkat, martabat dan
privasi pasien.

8. Perawatan pasien koma mengacu pada standar prosedur operasional


yang berlaku.

B. Asuhan Pelayanan Pasien Terpasang Alat Bantu Kehidupan.

1. Penggunaan alat penunjang hidup (ventilator) harus mendapat


persetujuan dari pasien/keluarga berupa informed consent.

2. Pasien yang terpasang endo tracheal tube dan bantuan hidup dasar
(ventilator) harus dirawat di ruang intensif.

3. Selama perawatan pasien dengan alat bantu hidup di ruang rawat


intensif maupun instalasi gawat darurat, petugas harus memperhatikan
harkat, martabat dan privasi pasien.

4. Perawatan pasien dengan ventilator mengacu pada standar prosedur


operasional yang berlaku.
15
5. Pencabutan alat bantu hidup ditetapkan sesuai standar prosedur yang
berlaku.
6. Selama perawatan dokter harus menjelaskan kondisi pasien dan
perkembangannya kepada keluarganya.
7. Apabila keluarga menginginkan penghentian penggunaan alat bantu
hidup atas alasan apapun dan secara penilaian medis hal tersebut
belum memungkinkan untuk dilakukan penghentian alat bantu hidup,
maka dokter harus melakukan edukasi kepada keluarga untuk tidak
melakukan hal itu.
8. Namun apabila keluarga tetap memaksa untuk melakukan penghentian
alat bantu hidup, maka keluarga harus menandatangani formulir
penolakan tindakan medis (pemasangan alat bantu hidup) setelah
mengerti risiko yang mungkin timbul.
C. Tugas dan Tanggung Jawab

1. DPJP

a. Melakukan penilaian medis baik kemajuan atau kemunduran kondisi


medis.
b. Melakukan perujukan kepada disiplin ilmu yang lain sesuai
kebutuhan
c. Mengupayakan pencegahan komplikasi yang mungkin timbul.
d. Memberikan informasi perkembangan kesehatan pasien dan
rencana asuhan yang diberikan.
2. Case Manager

a. Menjadi penghubung antara pemberi layanan.

b. Mengkoordinasikan terapi dan asuhan yang diberikan oleh masing-


masing pemberi layanan kepada DPJP.

c. Mengkordinasikan perkembangan pasien kepada DPJP.

16
3. Perawat

a. Melakukan perawatan sehari-hari sesuai kebutuhan pasien terutama


pemenuhan kebutuhan dasar.

b. Melakukan monitoring perubahan atau trend tanda-tanda vital


beserta parameter seting alat bantu hidup.

c. Melaporkan perubahan yang terjadi baik ke arah perbaikan maupun


perburukan kepada case manager atau DPJP.

d. Memberikan informasi kepada keluarga terkait asuhan keperawatan


yang telah diberikan maupun yang akan diberikan.

17
DOKUMENTASI

Dokumentasi yang dilakukan dalam pelayanan pasien koma dan terpasang


alat bantu hidup adalah;

1. Semua petugas kesehatan yang melakukan asuhan pasien koma dan


terpasang alat bantu hidup termasuk asesmen, hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik dan tindakan yang dilakukan serta outcome harus
dicatat dalam berkas rekam medis pasien

2. Semua petugas kesehatan yang memberikan layanan asuhan mencatat


layanan yang telah diberikan secara terintegrasi secara kronologis
berdasarkan urutan waktu.

3. Semua informasi dan edukasi kepada keluarga yang diberikan oleh


petugas didokumentasikan pada formulir pemberian informasi dan
edukasi.

18
d. PASIEN PENYAKIT MENULAR DAN PENURUNAN DAYA TAHAN TUBUH

- Penyakit menular adalah sebuahpenyakit yang dapatditularkan


(berpindahdari orang satuke orang yang lain,
baiksecaralangsungmaupun dengan perantara).
- Penyakitmenulariniditandaidenganadanya agent ataupenyebabpeny
akit yang hidupdandapatberpindahsertamenyerang host atauinang
(penderita).
- Penurunan daya tahan tubuh adalah penurunan kemampuan tubuh
untuk membentengi diri dari masuknya kuman penyebab penyakit.
- Setiap pasien masuk rawat dilakukan identifikasi apakah berpotensi
menular atau tidak, bila dicurigai mengidap penyakit menular maka
harus dilakukan isolasi.
- Kamar isolasi digunakan baik untuk penderita penyakit menular .
- Kamar isolasi dengan udara dan ventilasi tekanan negatif diperlukan
untuk mengurangi risiko mikro-organisme yang menyebar melalui
transmisi udara
- Kamar isolasi dengan udara dan ventilasi tekanan positif diperlukan
untuk merawat pasien dengan penurunan daya tahan tubuh.
- Ketika kamar isolasi tidak tersedia, maka pasien ditempatkan
dengan cara pengelompokan penyakit yang diderita pasien /system
cluster atau disendirikan / kohorting.
- Perawatan pasien penderita penyakit menular dan penurunan daya
tahan tubuh mengacu pada standar prosedur operasional yang
berlaku.

19
TATA LAKSANA
PASIEN PENYAKIT MENULAR DAN PENURUNAN DAYA TAHAN TUBUH

I. Perawatan pada pasien dengan penyakit menular:


a. Petugas kesehatan sebelum dan sesudah melakukan tindakan harus
cuci tangan sesuai dengan prosedur cuci tangan
b. Petugasmenggunakan apron gaun untuk melindungi petugas dan
pasien dari infeksi nosokomial terutama pada saat melakukan tindakan
invasif yang memungkinkan adanya darah/ cairan tubuh yang terpercik
mengenai kulit.
c. Petugas memakai sarung tangan terutama bila kontak dengan darah ,
cairan tubuh pasien atau bila ada luka pada tangan petugas, pada
waktu pengambilan spesimen, membersihkan alat/ instrumen,
menyuntik, memasang infus, atau melakukan tindakan invasif lainnya.
d. Petugas memakai masker/ pelindung mata unutk melindungi diri dari
infeksi HIV dan CMV atau dari kuman lainnya. Digunakan bila ada
kemungkinan penularan mikro organisme melalui kontaminasi aerosol,
pasien batuk yang memungkinkan adanya percikan mengenai muka
atau mata.
e. Jerigen palstik untuk tempat benda tajam, jarum bekas dan instrument.
f. Kantong plastik dan pengikat untuk tempat linen dengan tulisan
“infeksius”, peralatan non kritikal dipakai untuk 1 pasien atau pasien
dengan infeksi mikroba yang sama, bersihkan dan desinfeksi sebelum
dipakai untuk pasien lain.

Penanganan pasien menular melalui kontak langsung maupun tidak


langsung
a. Cara penularan media langsung dari Orang ke Orang (Permukaan
Kulit). Jenis Penyakit yang ditularkan antara lain: 1.Penyakit kelamin
2.Rabies 3. Trakoma 4. Skabies 5. Erisipelas 6. Antraks 7. Gas-
gangren 8. Infeksi luka aerobik 9. Penyakit pada kaki dan mulut Pada
20
penyakit kelamin seperti GO, sifiis, dan HIV, agen penyakit ditularkan
langsung dan seorang yang infeksius ke orang lain melalui hubungan
intim.
b. Cara memutuskan rantai penularan adalah dengan mengobati
penderita dan tidak melakukan hubungan intim dengan pasangan
bukan suami atau istri.Khusus untuk HIV, jangan mempergunakan alat
suntik bekas dan menggunakan darah donor penderita HIV.
Penanganan pada pasien menular melalui kontak di RS

 petugas kesehatan tetap harus melakukan cuci tangan sebelum dan


sesudah tindakan.
 Petugas kesehatan menggunakan sarung tangan bersih non steril,
lateksaat masuk ke ruang pasien, ganti sarung tangan setelah
kontak dengan bahan infeksius ( feses, cairan drain, darah dan
cairan tubuh lainnya) kemudian lepas sarung tangan sebelum keluar
dari kamar pasien dan cuci tangan dengan antiseptic sesuai dengan
prosedur cuci tangan.
 Petugas menggunakan apron bersih,tidak steril saat masuk ruang
pasien untuk melindungi baju dari kontak dengan pasien,
permukaan lingkungan, barang di ruang pasien, cairan tubuh
pasien, luka terbuka.
 Petugas melepaskan apron sebelum keluar dari ruang pasien.
 Petugas menggunakan apron untuk mengurangi penetrasi cairan
 Bila memungkinkan peralatan nonkritikal dipakai 1 pasien atau
dengan infeksi mikroba yang sama.
 Bersihkan dan deinfeksi sebelum dipakai untuk pasien lain.

II. Pada pasien menular melalui udara/air borne disease


Jenis penyakit yang ditularkan antara lain: a. TBC Paru b. Varicella c.
Difteri d. Influenza e. Variola f. Morbili g. Meningitis h. Demam skarlet i.
Mumps j. Rubella k. Pertussis. Cara penularan melalui media udara,
Penyakit yang dapat ditularkan dan menyebar secara langsung maupun
21
tidak langsung melalui udara pernapasan disebut sebagai air borne
disease.

Cara pencegahan penularan penyakit antara lain memakai masker,


menjauhi kontak serta mengobati penderita TBC yang sputum BTA-nya
positif3.

Penanganan pasien menular melalui udara/air borne:

a. petugas kesehatan tetap harus melakukan mencuci tangan sebelum


tindakan
b. petugas kesehatan menggunakan APD yang sesuai dengan kebutuhan
seperti masker bedah, kalau perlu N95, sarung tangan, apron, kaca
mata bila melakukan tindakan dengan kemungkinan timbul aerosol.
c. Setelah tindakan lepaskan sarung tangan, masker apron, kaca mata
kemudian buang ke dalam kantung plastik kuning (infeksius)
d. Petugas mencuci tangan setelah tindakan

Cara pencegahan penularan penyakit melalui media air atau makanan

Penyakit dapat menular dan menyebar secara langsung maupun tidak


langsung melalui air.Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air disebut
sebagai water borne disease atau water related disease.

Agen Penyakit:

1. Virus : hepatitis virus, poliomielitis

2. Bakteri : kolera, disentri, tifoid, diare

3. Protozoa : amubiasis, giardiasis

4. Helmintik : askariasis, penyakit cacing cambuk, penyakit hidatid

5. Leptospira : penyakit Weil

22
Pejamu akuatik:

1. Bermultiplikasi di air :skistosomiasis (vektor keong)

2. Tidak bermultiplikasi :Guinea’s worm dan fish tape worm (vektor cyclop)

Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air, dapat dibagi dalam


empat kelompok menurut cara penularannya:

a) Water borne mechanisme Kuman patogen yang berada dalam air dapat
menyebabkan penyakit pada manusia, ditularkan melalui mulut atau
sistem pencernaan. Contoh: kolera, tifoid, hepatitis virus, disentri basiler
dan poliomielitis.

b) Water washed mechanisme jenis penyakit water washed mechanism yang


berkaitan dengan kebersihan individu dan umum dapat berupa:

a. Infeksi melalui alat pencernaan, seperti diare pada anak-anak.

b. Infeksi melalui kulit dan mata, seperti skabies dan trakoma.

c. Penyakit melalui gigitan binatang pengerat, seperti Ieptospirosis.

c) Water based mechanisme jenis penyakit dengan agen penyakit yang


menjalani sebagian siklus hidupnya di dalam tubuh vektor atau sebagai
pejamu intermediate yang hidup di dalam air. Contoh: skistosomiasis,
Dracunculus medinensis.

d) Water related insect vector mechanisme Jenis penyakit yang ditularkan


melalui gigitan serangga yang berkembang biak di dalam air. Contoh:
filariasis, dengue, malaria, demam kuning (yellow fever).

23
Cara pencegahan penularan penyakit dapat dilakukan antara lain dengan
cara:

a. Penyakit infeksi melalui saluran pencernaan, dapat dilakukan dengan


cara Sanitation Barrier yaitu memutus rantai penularan, seperti
menyediakan air bersih, menutup makanan agar tidak terkontaminasi
oleh debu dan lalat, buang air besar dan membuang sampah tidak di
sembarang tempat.
b. Penyakit infeksi yang ditularkan melalui kulit dan mata, dapat dicegah
dengan higiene personal yang baik dan tidak memakai peralatan orang
lain seperti sapu tangan, handuk dan lainnya, secara sembarangan.
c. Penyakit infeksi lain yang berhubungan dengan air melalui vektor
seperti malaria dan demam berdarah dengue (DBD) dapat dicegah
dengan

pengendalian vektor. 4. Melalui Media Vektor Penyakit Artbropod-borne


diseases atau sering juga disebut sebagai vector-borne diseases
merupakan penyakit penting yang seringkali bersifat endemis maupun
epidemis dan sering menimbulkan bahaya kematian.

III. Pada pasien dengan imunosupresif


a. Pasien dengan imunosupresif ditempatkan diruangan isolasi steril atau
ruangan tersendiri dengan perlakuan khusus.
b. Setiap pasien dengan imunosupresif seperti pada pasien keganasan
dengan rencana mendapat kemoterapi dimana kemoterapi tersebut
dilakukan dirujuk ke RS lain dengan persiapan informed concentpasien.

24
DOKUMENTASI

Seluruh kegiatan pelayanan pasien dengan penyakit menular dan


imunosupresif di RSKM baik pada pasien anak dan dewasa di
dokumentasikan di rekam medis pasien.

25
e. PASIEN HEMODIALISIS ( CUCI DARAH )

- Tindakan hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti fungsi


ginjal sementara yang menggunakan alat khusus dengan tujuan
mengeluarkan toksin uremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh.
- Instalasi Hemodialisis melaksanakan hemodialisis pada pasien
rawat jalan dan rawat inap.
- Persyaratan SDM, sarana dan prasarana di Instalasi Hemodialisis
mengacu pada Permenkes No.812/MENKES/PER/VII/2010 Tentang
Penyelenggaraan Dialisis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
- Dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan standar profesi,
standar prosedur operasional yang ditetapkan dan tetap
memperhatikan mutu layanan dan keselamatan pasien
- Setiap pelaksanaan hemodialisis harus mendapat persetujuan
pasien / informed consent.
- Semua tindakan pelayanan hemodialisis harus dicatat dalam rekam
medis pasien.
- Pelaksanaan hemodialisis mengacu pada standar prosedur
operasional yang berlaku.

I. KEBIJAKAN UMUM INSTALASI HEMODIALISIS

Kebijakan umum Instalasi Hemodialisis mengikuti kebijakan umum


Rumah Sakit Khusus Mata Provinsi Sumatera Selatan

II. KEBIJAKAN KHUSUS HEMODIALISIS

1. Program Pelayanan Hemodialisis

Rumah Sakit Khusus Matamelayani :

Pelayanan Hemodialisis rawat jalan


- Pelayanan Hemodialisis rawat inap
26
2. Program fokus
Pelayanan dilakukan dari Senin sampai Sabtu , melayani pasien rawat
jalan dan rawat inap. Jam pelaksanaan kegiatan pelayanan 2 shift :
- Shift I pukul 07.00 – 15.30
- Shift II pukul 13.00 – 21.00

Instalasi Hemodialisis juga melayani tindakan Hemodialisis emergensi


di luar jam kerja shift. Setiap pasien yang memerlukan pelayanan
tindakan

Hemodialisis di luar jadwal shift berkoordinasi dengan Supervisor untuk


menghubungi Perawat jaga / On call Instalasi Hemodialisis untuk
pelaksanaan tindakan Hemodialisis.

Pelaksanaan tindakan Hemodialisis dilakukan 2 – 3 x dalam 1 minggu


selama 4 - 5 jam sesuai dengan resep hemodialisis dari DPJP .

Setiap pasien yang baru pertama kali akan dilakukan tindakan


Hemodialisis maka pasien dan atau keluarga harus mendapatkan
penjelasan secara lengkap tentang dasar pertimbangan mengapa
pasien harus dilakukan tindakan Hemodialisis serta berbagai risiko
tindakan tersebut.

Penjelasan tersebut diberikan DPJP atau dokter yang bertugas sebelum


pasien dilakukan tindakan . Setelah mendapatkan penjelasan , pasien
dan atau keluarga bisa menerima atau tidak harus dinyatakan dengan
menandatangani informed consent.

Bagi pasien yang dilakukan Hemodialisis regular memerlukan


informed consent ulang untuk Hemodialisis berikutnya dengan
menandatangani informed consent Hemodialisis lanjutan setiap
dilakukan tindakan Hemodialisis.

27
3. Pelayanan Instalasi Hemodialisis RSKM terintegrasi dalam proram
mutu, program alat/mesin, program safety dan kompetensi sehingga
dapat dilaksanakan pelayanan Hemodialisis sesuai prosedur .
a. Alat / mesin Hemodialisis bekerjasama dengan pihak mesin sesuai
KSO / Kerja Sama Operasional .
b. Air Reverse Osmosis / Air RO dipemeriksaan terhadap Kimia air dan
Mikrobiologi setiap 3 bulan .
c. Dialyzer Hemodialisis diberlakukan single use / tidak diberlakukan
pemakaian ulang .
d. Pemeriksaan laboratorium berkala dilakukan pada pasien regular
terdiri dari :
- Darah Lengkap setiap 1 bulan sekali atau sesuai kebutuhan .
- Fungsi Ginjal 1 dan SI / TIBC dan Saturasi Transferrin setiap 3
bulan sekali
- HBs Ag , Anti HCV setiap 6 bulan sekali
- Anti HIV bila ada kecurigaan .
e. Pasien baru sebelum dilakukan tindakan Hemodialisis wajib
dilakukan pemeriksaan Hepatitis marker ( HBs Ag , Anti HCV ) dan
Anti HIV.
4. Pelayanan Hemodialisis yang tidak dilakukan di Rumah Sakit Khsus
Mata :
1. Pasien dengan HBs Ag positif dirujuk ke RSMH / rumah sakit lain
karena tidak ada ruang isolasi di Instalasi Hemodialisis.
2. Pasien dengan HIV positif dirujuk ke RSMH sesuai dengan
Kebijakan MDGS.
5. Rumah Sakit harus menyediakan alat pelindung diri / alat sarana
keamanan kerja yang sesuai persyaratan untuk memberikan rasa aman
bagi pekerja dan meminimalisasikan kecelakaan untuk mencapai
produktivitas yang optimal.
Alat pelindung diri yang diperlukan sarung tangan , masker , apron dan
tutup kepala .

28
Petugas Instalasi Hemodialisis diberikan orientasi tentang prosedur dan
praktek keamanan kerja tentang B3 dan infeksius dengan
mempergunakan Spill Kit B3 dan Spill Kit Infeksius dan orientasi
tentang MSDS.
6. Program kesehatan dan keselamatan Instalasi Hemodialisis terintegrasi
ke dalam program manajemen K3 rumah sakit .
Memantau kesehatan pekerja dan pemeriksaan HBs Ag dan Anti HCV
bagi semua staff yang aktif melayani pasien Hemodialisis secara
berkala dan Immunisasi dengan Vaksin Hepatitis B dilakukan pada staff
di Instalasi Hemodialisis .
7. Penanganan semua limbah Instalasi yang berupa limbah umum ( non
medis ) ditempatkan di plastik hitam dan limbah infeksi ( medis )
ditempatkan di plastik kuning .
8. Surat keputusan ini berlaku mulai tanggal 10 April 2017, apabila ada
kesalahan akan diperbaiki dan direview secara berkala.

f. PASIEN DENGAN ALAT PENGHALANG ( PENGIKATAN / RESTRAINT )

- Restraint adalah pembatasan yang dilakukan kepada pasien baik


dengan cara mengikat, memasang penghalang/handrail,
pembatasan gerak (kursi roda dan brankar) dan pembatasan
perilaku pasien melalui kata-kata atau nasehat dengan tujuan
mencegah terjadinya cedera/komplikasi yang lebih buruk.
- Sebelum dilakukan restraint harus dilakukan pengkajian bahwa
benar pasien tersebut harus dilakukan restraint.
- Restraint dengan cara mengikat hanya dilakukan pada pasien dalam
kondisi gaduh, gelisah dan kecenderungan bunuh diri yang
membahayakan keselamatan dirinya dan lingkungannya
- Pasien atau keluarga pasien diberikan penjelasan oleh DPJP
mengenai tujuan restraint, berapa lama akan dilakukan restraint dan
dibuktikan dengan informed consent.
- Pelaksanaan tindakan restraint mengacu pada standar prosedur
operasional yang berlaku.
29
TATA LAKSANA
PASIEN DENGAN ALAT PENGHALANG ( PENGIKAT / RESTRAINT )

Teknik pengendalian fisik (restraint )merupakan teknik menahan gerakan


pasien dengan cara mengunci gerakan tangan, kepala ataupun kaki
pasien,sehingga memudahkan perawatan.Teknik ini biasanya digunakan pada
pasien yang mengalami kondisi tertentu,seperti ganguan kepribadian,ataupun
pasien 2 yang tidak kooperatif.Penggunaan teknik ini adalah untuk mencegah
terjadinya luka ataupun hal2 yang tidak di inginkan pada pasiennya ataupun
pada orang lain yang terlibat dalam perawatan pasien tersebut.

Manfaat penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah supaya


pasien yang mengalami gangguan kepribadian ataupun pasien yang tidak
kooperatif mendapat pelayanan yang baik.

Joint Commision on the Accredition of Health Care Organization (JCAHO)


menekankan pembatasan penggunaan pengekangan pada fasilitas
kesehatan. Secara umum, aturan tersebut menyebutkan bahwa pengekangan
yang dilakukan harus:

- Dimintakan secara tertulis oleh dokter


- Dilakukan hanya untuk sementara waktu
- Dilakukan oleh dokter atau perawat yang kompeten atau petugas di
bawah supervisi dokter.

A. Indikasi Penggunaan Restraint

Restraint digunakan pada kondisi dibawah ini :

1. Pasien menunjukan prilaku dan resiko yang membahayakan dirinya


sendiri dan atau orang lain ( pasien dengan penyalahgunaan obat,
injury kepala, atau gangguan mental)

30
2. Pasien yang membutuhkan tatalaksana segera (emergensi) yang
berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien.

3. Bila intervensi lain dalam melakukan pembatasan tidak berhasil atau


efektif untuk melindungi pasien, staf atau orang lain dari bahaya.

Apabila perilaku tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain untuk
membantu pemberi asuhan memberikan terapi medik ( contohnya
restraint guna mencegah pasien agar terhindar dari kecelakaan ).

B. Tindakan yang dilakukan sebelum penerapan restraint.

1. Pengisian persetujuan tindakan Medis

2. Violent atau self-destructive behavior management : Managemen


perilaku kecenderungan mencederai diri sendiri

Dilakukan pada pasien yang ada kecendrungan untuk melukai diri atau
tingkah laku yang membahayakan.De – eskalasi dilakukan pada saat
pemberi asuhan pasien menggunakan metode untuk menegakkan
pasien dan membantu pasien mengontrol tingkah lakunya dengan cara:

a. Berbicara pada pasien dengan lembut dan penuh rasa hormat.


b. Berusaha untuk mendengar dan memahami pasien serta
menanyakan pada pasien hal-hal yang mengganggu atau membuat
pasien cemas maupun marah.
c. Menjelaskan pada pasien apa yang akan terjadi jika pasien tidak
mampu menenangkan diri serta menyampaikan cara untuk
menghindari restraint
d. Beri kesempatan pada pasien / time-out artinya pasien dibiarkan
dalam ruangan sendiri selama 30 menit.
e. Tanyakan pada pasien demensia apa yang menjadi kebutuhan
pasien

31
f. Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang restraint
yang akan dilakukan pada pasien

3. Non-violent or non-self-destructive behavior management :


managemen perilaku kekerasan yang tidak mencelakai diri sendiri

a. Dalam kondisi ini Perawat tidak perlumelakukan penggunaan


restraint (pengekangan )
b. Perawat perlu menjelaskan kepadapasien agar tindakan
pengekangan (restraint) tidak perlu dilakukan,dijelaskan juga apa
akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan.

4. Penatalaksanaanya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Penjelasan kepada pasien/keluarga pasien mengapa pengendalian


fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan, dengan harapan
memberikan kesempatan kepada pasien/keluarga pasien
untuk memahami bahwa perawatan yang akan diberikan sesuai
prosedur dan aman bagi pasien maupun keluarga yang
bersangkutan.

b. Memiliki izin verbal maupun izin tertulis dari dokter yang


menjelaskan jenis teknik pengendalian fisik yang boleh digunakan
kepada pasien dan pentingnya teknik pengendalian fisik yang
dapat digunakan terhadap pasien berdasarkan indikasi-indikasi
yang muncul.

c. Adanya dokumen yang menjelaskan kepada pasien maupun


pihak keluarga pasien yang bersangkutan mengapa pengendalian
fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan.

d. Adanya penilaian berdasarkan pedoman rumah sakit dari pasien


yang menjalankan pengendalian fisik (restraint) untuk memastikan
bahwa pengendalian fisik tersebut telah diaplikasikan secara benar,

32
serta memastikan integritas kulit dan status neurovaskular pasien
tetap dalam keadaan baik.

C. Cara Penggunaan Restraint :

1. Physical restraint

1.1. Jenis-jenis physical restraint (RestrainPengendalian fisik ) dan


cara penggunaannya

a. Sheet and ties

Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya


tidak bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh
tubuh pasien dan menahan selimutnya dengan perekat atau
mengikatnya dengan tali.

b. Restraint jaket digunakan pada pasien dengan tali diikat


dibelakang tempat tidur sehingga pasien tidak dapat
membukanya. Pita panjang diikatkan ke bagian bawah tempat
tidur, menjaga pasien tetap di dalam tempat tidur. Restrain jaket
berguna sebagai alat mempertahankan pasien pada posisi
horizontal yang diinginkan.

c. Purpoose board digunakan dengan Cara pasien ditidurkan


dalam posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas
tubuh, tengah tubuh dan kaki pasien diikat dengan
menggunakan tali kain yang besar. Pengendalian dengan
menggunakan papoose board dapat diaplikasikan dengan cepat
untuk mencegah anak berontak dan menolak perawatan.

d. Restraint Mumi atau Bedong

Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan


salah satu ujungnya dilipat ke tengah.Bayi diletakkan di atas
33
selimut tersebut dengan bahu berada di lipatan dan kaki ke
arah sudut yang berlawanan. Lengan kanan bayi lurus kebawah
rapat dengan tubuh, sisi kanan selimut ditarik ke tengah
melintasi bahu kanan anak dan dada diselipkan dibawah sisi
tubuh bagian kiri.Lengan kiri anak diletakkan lurus rapat dengan
tubuh anak, dan sisi kiri selimut dikencangkan melintang bahu
dan dada dikunci dibawah tubuh anak bagian kanan. Sudut
bagian bawah dilipat dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan
atau dikencangkan dengan pinpengaman.

e. Restraint extremitas (Lengan dan Kaki )

Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan


untuk mengimobilisasi satu atau lebih ekstremitas guna
pengobatan atau prosedur, atau untuk memfasilitasi
penyembuhan.Beberapa alat restraint yang ada di pasaran atau
yang tersedia, termasuk restraint pergelangan tangan atau kaki
sekali pakai, atau dapat dibuat dari pita kasa, kain muslin, atau
tali stockinette tipis.Jika restraint jenis ini di gunakan, ukurannya
harus sesuai dengan tubuh pasien.Harus dilapisi bantalan untuk
mencegah tekanan yang tidak semestinya, konstriksi, atau
cidera jaringan.Pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan
untuk memeriksa adanya tanda-tanda iritasi dan atau gangguan
sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat ke penghalang
tempat tidur, karena jika penghalang tersebut diturunkan akan
mengganggu ekstrimitas yang sering disertai sentakan tiba tiba
yang dapat menciderai pasien .

f. Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting
dalam melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan
dalam anestesi umum untuk mencegah supaya mulut tidak
tertutup saat perawatan dilakukan. Alat ini juga sangat cocok

34
dalam penanganan pasien yang tidak bisa membuka mulut
dalam jangka waktu lama karena suatu keterbatasan.

Penggunaan molt mouth prop harus memperhatikan posisi


rahang pasien saat pasien membuka mulutnya, supaya tidak
terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai tambahan, dokter
gigi harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien
setiap sepuluh hingga lima belas menit agar rahang dan mulut
pasien dapat beristirahat

g. Molt Mouth Gags


Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang
dapat digunakan untuk menahan mulut pasien.

1.2. Physical restraint/ pengendalian fisik tanpa bantuan alat


(dengan bantuan orang lain)

1. Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk


pengendalian fisik tanpa menggunakan bantuan alat,
pengendalian bentuk ini merupakan bentuk pengendalian yang
menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua
atau pihak keluarga pasien.

2. Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga kesehatan


merupakan bentuk pengendalian fisik dimana diperlukan
tenaga kesehatan, misalnya perawat untuk menahan gerakan
pasien anak dengan cara memegang kepala, lengan, tangan
ataupun kaki pasien anak

3. Pengendalian fisik dengan bantuan orang tua sebenarnya sama


dengan pengendalian fisik dengan bantuan tim medis (tenaga
kesehatan). Hanya saja peran perawat digantikan oleh orang
tua pasien anak. Cara pengendalian dengan menggunakan
35
bantuan orang tua lebih disukai anak apabila dibandingkan
dengan menggunakan bantuan tim medis, sebab anak lebih
merasa aman apabila dekat dengan orang tuanya.

2. Chemical restraint

Adalah pembatasan gerak dan kebebasan pasien atau mengontrol


perilaku pasien dengan penggunaan obat-obatan yang bukan
merupakan standar terapi pasien.

Pemberian Obat-obatan yang tidak tergolong restraint adalah apabila :

1. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dengan


indikasinya

2. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu, pasien


didasarkan pada tanda dan gejala keadaan umum dan
pengetahuan klinisi/dokter yang merawat pasien.

3. Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien


mencapai kondisi fungsionalnya secara efektif dan efisien

4. Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan


kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya secara efektif, maka obat tersebut tidak digunakan
sebagai terapi standar untuk pasien.

5. Tidak diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat


sebagai restraint) untuk tujuan kenyamanan staf, untuk
mendisiplinkan pasien, atau sebagai metode untuk pembalasan
dendam.

36
Berikut adalah beberapa contoh perbandingan antara restraint dan bukan
restraint:

No Kasus Restraint / bukan restraint

1 Saat dirawat di rumah sakit karena Bukan restraintkarena sedasi


penyakit jantungnya, pasien tersebut tersebut diberikan untuk
mengalami hipertensi emergensi. Sebagai mengobati penyakitnya, bukan
bagian dari terapinya, pasien disedasi untuk mengontrol / membatasi
berat dan dirawat di ICU. perilakunya

2 Pasien dirawat di RS karena penyakit Dapat dianggap sebagai


jantung, pasien juga diketahui mengidap restraint karena sedasi
demensia dan sering berkeliaran di RS. diberikan untuk mengontrol
Setelah 2 malam kurang tidur, kaki pasien perilaku pasien.
mengalami edema yang cukup luas dan
terdapat kekhawatiran bahwa pergerakan
konstan tersebut dapat mengeksaserbasi
penyakit jantungnya sehingga pasien diberi
sedasi.

3 Pasien geriatri dirawat di panti jompo dan Sedasi dapat didefinisikan


mengalami susah tidur. Pasien sering sebagai restraint karena
berkeliaran di rumah untuk mencari ditujukan untuk mengontrol
istrinya. Staf meminta dokter untuk perilaku pasien
memberikan sedasi.

4 Pasien geriatri dengan riwayat stroke Bukanlah restraint karena


berulang butuh bantuan untuk turun dari bedrails tidak mengontrol
tempat tidur dan melakukan aktivitas perilaku pasien atau mencegah
sehari - hari. Pasien juga tidak mampu pasien untuk melakukan

37
untuk mengkomunikasikan kebutuhannya. sesuatu yang diingin
Pasien gelisah saat malam, mengalami
spasme otot, dan berisiko jatuh dari tempat
tidur. Perawat memutuskan untuk
mengunakan bedrails untuk mengurangi
risiko jatuh.

5 Pasien geriatri dirawat di panti jompo Dapat dianggap restraint


setelah mengalami fraktur panggul. Pasien karena mencegah keinginan
tidak stabil saat bergerak dan sering lupa pasien untuk turun dari tempat
menggunakan alat bantu jalannya. tidur.
Keluarga sangat khawatir terjadi fraktur
panggul berulang dan meminta perawat
untuk menggunakan bedrails untuk
mencegah pasien turun sendirian dari
tempat tidur di malam hari.

D. Observasi / Monitoring Selama Dilakukan Restraint.

Selama restraintpasiendi observasi tiap 10-15 menit setelah pemasangan


dalam 1kali 12jam pertama, selanjutnya maksimal 2jam satu kali, dengan
fokus observasi:

a. Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain

b. Nutrisi dan hidrasi

c. Sirkulasi dan Range of Motion eksstremitas

d. Vital Sign

e. Hygiene dan eliminasi

38
f. Status fisik dan psikologis

g. Kesiapan pasien untuk dibebaskan dari restrain

Perawat akan memastikan :

1. Minuman ditawarkan minimal setiap 2 jam saat pasien terbangun.


2. Observasi tanda gangguan fungsi sirkulasi, respirasi atau lainnya,
abrasi, iritasi atau jejas, rentang emosi saat pasien dikekang.
3. Pengawasan warna, suhu dan denyut ekstremitas
4. Makanan yang sesuai, misalnya makanan kecil seukuran jari (finger-
food). Kepala pasien dielevasi dan berpaling ke lateral saat memberi
makan atau minum untuk mencegah aspirasi.
5. Dengan bantuan perawat pasien mengakses kamar mandi untuk BAB
dan BAK

E. Metode Fiksasi Dan Monitoring

Lepaskan dan pasang kembali restrain secara periodik 4 jam untuk pasien
berusia>18 tahun, 2 jam untuk usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur < 9
tahun.

a. Evaluasi pasiensegera mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain,


perawat melaporkan pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan
baik secara verbal maupun tertulis.

b. Lakukan tindakan untuk memberi rasa nyaman, gunakan pelukan


terapeutik bukan restraint mekanik

c. Lakukan latihan rentan gerak jika diperlukan

d. Tawarkan makanan, minuman dan bantuan untuk eliminas.

e. Diskusikan kriteria pelepasan restrain

f. Berikan analgesik dan sedatif jika diinstruksikan atau di minta


39
g. Hindari kemarahan psikologik kepada pasien lain

h. Berikan distraksi (membaca buku) dan sentuhan

i. Pertahankan harga diri pasien Lakukan pengkajian keperawatan yang


kontinu

DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN RESTRAINT

1. Dampak fisik
a. Atrofi otot
b. Hilangnya / berkurangnya densitas tulang
c. Ulkus decubitus
d. Infeksi nosocomial
e. Strangulasi
f. Penurunan fungsional tubuh
g. Stress kardiak
h. inkontinensia
2. Dampak psikologis
a. Depresi
b. Penurunan fungsi kognitif
c. Isolasi emosional
d. Kebingungan (confusion) dan agitasi

ASPEK ETIS

Setiap pasien berhak menerima pelayanan dalam kondisi lingkungan yang


aman. Keselamatan pasien, staf, atau orang lain merupakan dasar dalam
menginisiasi dan menghentikan penggunaan restraint atau isolasi. Semua
pasien mempunyai hak kebebasan bergerak dan terbebas dari kekerasan fisik
/ emosional.Semua pasien berhak untuk bebas dari pengekangan (restraint)
yang dipaksakan dalam bentuk apapun, seperti pemaksaan, disiplin, atau
sebagai wujud pembalasan dendam oleh staf. Pembatasan (restraint) hanya

40
boleh diterapkan untuk menjamin keamanan fisik pasien, anggota staf, atau
orang lain dan harus diberhentikan sesegera mungkin jika kondisi telah
memadai yang didasarkan pada asesmen per-individu dan re-evaluasi.

Dalam memenuhi kebutuhan setiap staf akan pentingnya minimalisasi


penggunaan restraint, saat ini telah dikembangkan suatu strategi etika
komprehensif. Strategi ini mengharuskan tenaga kesehatan untuk memikirkan
juga aspek etika dalam pengambilan keputusan penggunaan restraint, dan
bahwa aspek etika ini

diaplikasikan dalam semua aspek asuhan keperawatan di setiap fasilitas


kesehatan. Konsep etika dasar yang mendasari praktik keperawatan meliputi:

1. Kewajiban dan tugas: identifikasi kewajiban moral tenaga kesehatan


terhadap orang lain dapat membantu dalam menentukan tindakan terbaik
apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi tersebut
2. Hindari bahaya: merupakan salah satu konsep etika yang paling penting
dan menjadi dasar dalam mencapai praktik yang baik (ideal)
3. Asesmen terhadap konsekuensi tindakan: suatu tindakan yang diterima
secara etis dapat ditentukan dengan melakukan kalkulasi terhadap
keuntungan dan kerugiannya.
4. Otonomi dan hak pasien: menghargai hak pasien untuk membuat
keputusan sendiri dan menghargai hak orang lain
5. Kepentingan yang terbaik: identifikasi dan bertindak yang terbaik sesuai
dengan kepentingan orang lain merupakan suatu tindakan atau keputusan
yang etis
6. Nilai moral dan kepercayaan: dari kedua hal ini dapat diformulasikan /
disusun suatu prinsip etik

Penyelesaian masalah etika dapat merupakan suatu hal yang sulit dan
menantang.Dalam pembuatan keputusan untuk melakukan ‘pembatasan fisik’
(physical restraint), seringkali sulit untuk mengindari ‘bahaya’ (harm) karena
baik dilakukan restraint atau tidak, hal ini dapat membahayakan
41
pasien.Perawat memiliki tanggungjawab terhadap seluruh pasien yang berada
dalam asuhan keperawatan mereka, dan jika ternyata pemberian izin
kebebasan bertindak kepada satu pasien dapat menyebabkan kerugian/
membahayakan orang lain, maka pengambil keputusan harus
mempertimbangkan konsekuensi terhadap pengaplikasian restraint atau tidak
mengaplikasikan restraint.

Penggunaan restraint sebagai respons lini pertama tidaklah kondusif untuk


lingkungan sosial yang positif. Jika seseorang merasa mampu untuk
melakukan sesuatu dan mereka tidak dibatasi / dicegah untuk melakukan hal-
hal yang mereka

inginkan, maka mereka akan berada dalam kondisi emosional yang lebih baik
dalam jangka waktu yang cukup lama. Pembuatan keputusan mengenai
pilihan tindakan terbaik kepada pasien dapat menyulitkan tenaga
kesehatan.Sebagai bagian dari pelatihan dan pengembangan profesionalitas
berkesinambungan, perawat perlu mendiskusikan mengenai dilema yang
terjadi antara teoritis dan praktiknya. Kecuali dalam situasi emergensi,
keputusan pengaplikasian restraint dan kebijakan/ panduannya harus
didiskusikan dengan tim multidisiplin dan melibatkan pasen serta keluarganya,
jika memungkinkan.

ASPEK HUKUM

Situasi dimana restraint diperbolehkan adalah jika pasien telah diberikan


informasi yang cukup mengenai kondisinya dan perlunya penggunaan restraint
serta telah menyetujui dilakukannya tindakan tersebut sebagai bagian dari
program rencana asuhan keperawatan pasien. Pada kasus lainnya, perawat
mempunyai kewajiban profesi keperawatan untuk membatasi pasien dengan
tujuan melindungi pasien dari terjadinya risiko yang lebih membahayakan atau
untuk menghindari potensi risiko bahaya terhadap orang lain. Dalam situasi
dimana perawat atau orang lain diserang/ berisiko mengalami bahaya fisik,
diperbolehkan menggunakan restraint sebagai suatu wujud pertahanan diri

42
Undang-undang mengenai HAM (1998) menetapkan panduan mengenai hak/
kebebasan individu. Penggunaan restraint harus dijustifikasi dengan
menggunakan alasan yang rasional dan jelas.Alasan ini harus menjelaskan
mengapa pertimbangan ini diyakini dapat/ boleh membatasi hak/ kebebasan
individu.

Hukum perdata menyatakan bahwa jika perawat membatasi pasien tanpa


adanya dasar/ alasan yang profesional dan sah secara hukum, maka individu
dapat membuat klaim/ gugatan kepada pengadilan dan menyatakan
permohonan kompensasi terhadap kerugian yang dialami oleh individu
tersebut akibat adanya pembatasan.Kerugian ini dapat berbentuk fisik atau
psikologis yang secara langsung disebabkan oleh tindakan pembatasan
(restraint). Pengadilan akan menilai

standar profesional saat itu untuk melihat apakah pembatasan ini beralasan.
Jika tindakan perawat berada di bawah standar, terdapat kemungkinan bahwa
klaim/ gugatan individu akan menang. Fakta-fakta dari setiap kasus akan
menjadi penting dan suatu peninjauan ulang akan diselenggarakan dalam
kurun waktu tertentu dimana restraint tersebut digunakan. Kedua faktor ini
akan dijustifikasi untuk melihat apakah faktor ini dapat diterima secara
profesional dan mengandung alasan yang kuat. Penting diingat bahwa
penggunaan restraint haruslah diantisipasi dan langkah-langkah diambil untuk
menuliskannya di rekam medis.

Hukum pidana menyatakan bahwa membatasi tindakan/ gerakan seseorang


tanpa persetujuan mereka dapat merupakan suatu bentuk tindak
kriminal.Perawat yang melakukan pembatasan yang tidak beralasan dapat
dituntut secara hukum dan dapat mengarah pada penahanan, bergantung
pada beratnya jenis pembatasan (restraint) tersebut.Penting diketahui bahwa
kapanpun restraint digunakan oleh perawat, haruslah sesuai dengan standar
profesional yang telah terjustifikasi dalam kondisi tertentu. Setiap tuntutan
yang diatur dalam hukum pidana akan mempertimbangkan apakah tindakan
pembatasan (restraint) tergolong suatu tindak kriminal berdasarkan Undang-
43
undang Parlemen, dalam hal ini dapat meliputi penyerangan / kekerasan,
penahanan yang tidak sah, penanganan yang buruk, atau kelalaian yang
disengaja.

Kontrak kerja sering membatasi lingkup praktik perawat dan mengharuskan


perawat untuk mengikuti kebijakan setempat yang berlaku, prosedur, ataupun
protokol yang berkaitan dengan restraint.Hal ini dapat berupa penjelasan
terperinci mengenai bagaimana suatu keputusan untuk melakukan
pembatasan dibuat dalam kondisi yang berbeda-beda, siapa yang
bertanggungjawab, dan persyaratan lainnya seperti: mengikuti pelatihan
berbasis kompetensi dan pelaksanaan asesmen risiko untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kerugian/ bahaya yang tidak diinginkan sebelum
menggunakan restraint

PERSETUJUAN ( INFORMEDCONSENT )


Persetujuan merupakan salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang
memberikan kekuasaan yang sah terhadap tata laksana atau keperawatan.Hal
ini dapat mencakup memberikan persetujuan terhadap suatu bentuk
restraint.Dasar persetujuan yang sah identik dengan persyaratan profesional
bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum melakukan suatu tindakan/
prosedur. Terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi sebelum penyataan
persetujuan oleh individu dapat diterima secara sah, yaitu:

1. Persetujuan harus diberikan oleh seseorang yang kompeten dalam segi


mental / kejiwaan
2. Individu yang membuat persetujuan harus memperoleh informasi yang
memadai mengenai kondisinya, risiko dan implikasi penggunaan restraint
3. Persetujuan ini harus dibuat tanpa adanya paksaan

44
PEMBERIAN DUKUNGAN DARI RUMAH SAKIT

Rumah sakit dan semua staf yang tercakup di dalamnya, mempunyai


kewajiban memberikan pelayanan. Untuk membantu memastikan tidak
terjadinya penggunaan restraint yang tidak perlu dan perawat/ staf lainnya
berkontribusi dalam membuat keputusan yang tepat mengenai penggunaan
restraint, rumah sakit sebaiknya menyediakan:

1. Suatu kebijakan / panduan untuk staf mengenai penggunaan restraint


2. Suatu pendekatan multidisiplin terhadap perencanaan asuhan
keperawatan masing-masing 
 individu, termasuk tinjauan ulang rencana
keperawatan pasien secara rutin
3. Suatu sistem pelaporan insiden di mana pasien/ staf mengalami bahaya/
menderita kerugian atau berpotensi bahaya, dan belajar dari pengalaman
tersebut
4. Alur yang jelas mengenai tindak lanjut etis terhadap penggunaan restraint
yang tidak pada tempatnya
5. Akses pengacara independen untuk pasien
6. Prosedur asesmen risiko sehingga risiko yang dapat timbul akibat
penggunaan restraint dapat 
 diantisipasi dan dikurangi
7. Edukasi yang sesuai, termasuk supervisi klinis, praktek, pembelajaran dari
contoh praktek yang 
 baik, dan pelatihan berbasis kompetensi
8. Audit rutin yang berkaitan dengan restraint, termasuk studi banding dengan
fasilitas layanan 
 kesehatan lainnya
9. Pelatihan perawatan untuk demensia dan meningkatkan kewaspadaan staf
di semua tingkat 
 layanan kesehatan

45
Rumah sakit juga sebaiknya memastikan bahwa:

1. Mahasiswa keperawatan atau asisten layanan kesehatan tidak


diikutsertakan dalam membuat 
 keputusan mengenai penggunaan
restraint karena kurang kompeten

2. Perawat tidak dipaksa untuk mengikuti keinginan dari keluarga pasien


untuk melakukan restraint terhadap pasien jika hal tersebut bukanlah hal
yang terbaik untuk pasien.

3. Menilai dan memantau penggunaan restraint di dalam fasilitas mereka.

4. Memastikan bahwa kebijakan rumah sakit telah memenuhi persyaratan


dalam standar minimal nasional yang ditetapkan oleh pemerintah
mengenai penggunaan restraint.
Restraint tidak boleh digunakan semata-mata untuk mengurangi beban
kerja.Rumah sakit tidak boleh menempatkan perawat dalam posisi di mana
mereka terpaksa melakukan restraint karena kurangnya staf yang bertugas
atau kurangnya sumber daya untuk menyediakan perawatan yang aman dan
berkualitas.

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU

Dengan bantuan dari pimpinan rumah sakit, kolega, dan manajer, dan saran
serta

sumber daya dalam panduan ini, staf perawat harus memastikan bahwa
mereka:

1. Memahami pengertian restraint


2. Menyediakan pelayanan yang terpusat kepada pasien sehingga
meminimalisasi kebutuhan 
 akan restraint
3. Memahami kerangka etik dan hukum yang berkaitan dengan restraint
4. Mengetahui tindakan apa yang dilakukan jika terdapat kecurigaan adanya
46
penggunaan 
 restraint yang tidak pada tempatnya / salah
5. Memahami kondisi / situasi dimana restraint diperbolehkan secara legal /
etis
6. Memahami cara untuk meminimalisasi risiko yang dapat timbul jika restraint
digunakan.

Penggunaan restraint selalu merupakan masalah emosional, yang menantang


dan memberikan keputusan yang sulit dalam melakukan perawatan
pasien.Perawat sebaiknya mendiskusikan dan memperdebatkan masalah ini,
serta bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan pelayanan dan
memperoleh solusi praktis yang sesuai dengan masing-masing individu
pasien.

1. Evaluasi kebijakan restraint ini dilakukan untuk melihat apakah setidaknya


hal-hal di bawah ini terlaksana dengan baik:
a. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restraint.
b. Kondisi-kondisi dimana restraint.harus dihentikan.
2. Peninjauan terhadap rekam medis pasien yang menjalani restraint dengan
tujuan untuk mengontrol perilaku yang membahayakan diri sendiri atau
orang lain mencakup hal-hal berikut ini:
a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan restraint selama
dirawat di rumah sakit.
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan restraint disepakati, dan
pertimbangan apa yang ada untuk memutuskan bahwa cara/ metode
lain yang lebih tidak restriktif kurang efektif dibandingkan restraint.
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk
mengetahui sejauh apa yang mereka ketahui dan pahami mengenai
kebijakan restraint. Jika terdapat pasien yang saat itu menggunakan
restraint, pastikan bahwa telah sesuai dengan indikasi.Tanyakan juga
mengenai kapan pasien dimonitor dan diperiksa terakhir kali.
d. Apakah selama ini penggunaan restraint telah sejalan dengan kebijakan
dan prosedur restraint yang berlaku di rumah sakit serta sesuai dengan
47
kebijakan pemerintah setempat.
e. Evaluasi mengenai laporan insiden yang terjadi di rumah sakit untuk
menentukan apakah cedera yang dialami oleh pasien terjadi sebelum
atau selama restraint digunakan. Apakah insiden tersebut terjadi lebih
sering pada pasien yang dilakukan restraint.
f. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekam medis mengindikasikan
bahwa pasien yang menerima restraint mengalami cedera, tentukan
apa yang telah dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah terjadinya
cedera berulang/ berikutnya. Tentukan apakah rumah sakit telah
melakukan modifikasi terhadap kebijakan restraint.
3. Kumpulkan data mengenai penggunaan restraint dalam kurun waktu yang
spesifik (misalnya 3 bulan) untuk melihat pola penggunaan restraint di unit-
unit tertentu, setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya.
4. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan restraint
meningkat di akhir pekan, saat hari libur, saat malam hari, saat jam
pergantian jaga tertentu, saat digunakan jasa perawat honorer, memiliki
kecenderungan di satu unit tertentu daripada unit lainnya.
a. Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan
restraint yang tidak sesuai dengan kepentingan/ kebutuhan pasien,
tetapi lebih kepada aspek ‘kenyamanan’, kurangnya staf, atau
kurangnya staf yang berpengalaman/ terlatih.
b. Peroleh pula jadwal piket perawat selama bekerja di rumah sakit untuk
melihat apakah terdapat pengaruh meningkatnya penggunaan restraint
di tingkat staf.
5. Lakukan juga wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani
restraint. Apakah alasan digunakannya restraint ini dijelaskan kepada
pasien dengan kata-kata yang dapat dimengerti?

48
DOKUMENTASI

Yang perlu dilakukan dokumentasi adalah :

 Jenis restraint yang di gunakan,observasi tiap 10-15 menit pertama, dan


selanjutnya maksimal 2 jam sekali dicatat dalam formulir observasi
Restaraint dengan fokus observasi :

Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain

 Nutrisi dan hidrasi

 Sirkulasi dan Range of Motion ekstremitas

 Tanda – tanda vital

 Kebersihan Personaldan eliminasi

 Status fisik dan psikologis

 Tindakan perawatan miring kiri dan miring kanan tiap 2jam

 Kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain

 DPJP atau dokter ruangan menjelaskan rencana restraint kepada pasien


atau keluarga pasien dan didokumentasikan pada form Persetujuan
Tindakan Restraint

 Perawat mencatat perlunya pengikatan fisik / restraint setelah dilakukan


asesmen awal keperawatan dan didokumentasikan pada form pengkajian
keperawatan dan rencana keperawatan

49
 DPJP atau dokter ruangan melakukan asesmen ulang perlunya restraint
maksimal setelah 24 jam dan didokumentasikan pada form catatan
perkembangan terintegrasi.

 Perawat melakukan monitoring jenis restraint, lokasi restraint fisik dan efek
restraint serta didokumentasikan pada form Obervasi Restraint.

50
g. PASIEN DENGAN USIA LANJUT, ANAK DAN PASIEN RISIKO DISIKSA
- Pada saat pasien masuk rawat diidentifikasi terhadap kelompok pasien
lemah, lanjut usia, anak-anak dan pasien risiko kekerasan.
- Pasien lemah , lanjut usia , anak-anak dan pasien dengan risiko
kekerasan harus dijaga oleh keluarganya.
- Petugas harus memberikan penjelasan kepada keluarga hal-hal yang
harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan terhadap pasien kelompok
ini.
- Rumah sakit harus memfasilitasi kesulitan komunikasi pada kelompok
pasien ini.
- Seluruh pasien anak ditempatkan di ruangan tersendiri dan tidak boleh
dicampur dengan pasien dewasa.
- Area pelayanan yang jarang atau jauh dari pengawasan perawat atau
petugas lain harus dalam kondisi terang atau ditempatkan petugas
keamanan, bila perlu terpantau oleh CCTV.
- Pelayanan pada kelompok pasien ini mengacu pada standar prosedur
operasional yang berlaku.

TATA LAKSANA
PASIEN DENGAN USIA LANJUT, ANAK DAN PASIEN RISIKO DISIKSA

D. Asuhan Pelayanan Pasien Usia Lanjut

1. Petugas rumah sakit harus melakukan identifikasi pasien usia lanjut di


semua area pelayanan.

2. Untuk pasien usia lanjut yang berobat / dirawat harus dipastikan


didampingi oleh keluarga.

3. Pelaksanaan asuhan baik kebijakan, SPO dan prosedur kepada pasien


usia lanjut pada dasarnya sama dengan pelayanan pasien umum yang
ada.

51
4. Untuk pasien usia lanjut yang menjalani rawat inap harus dicegah
terjadinya dekubitus oleh karena:

5. Berkurangnya jaringan lemak sub kutan


6. Berkurangnya jaringan kolagen dan elastisitas
7. Menurunnya efisiensi kolateral kapital pada kulit sehingga kulit menjadi
lebih tipis dan rapuh.
8. Ada kecenderungan lansia imobilisasi sehingga potensi terjadinya
dekubitus lebih besar.
9. Pelayanan yang perlu diperhatikan kepada usia lanjut diantaranya
adalah:

a) Pemenuhan kebutuhan nutrisi


b) Peningkatan keamanan dan keselamatan
c) Pemeliharaan kebersihan diri.
d) Pemenuhan pemenuhan kebutuhan ADL (activity daily living).
e) Pencegahan komplikasi
f) Selama perawatan pasien usia lanjut, petugas harus
memperhatikan harkat, martabat dan privasi pasien.

10. Perawatan pasien usia lanjut mengacu pada standar prosedur


operasional yang berlaku.

E. Asuhan Pelayanan Pasien Anak.

1. Petugas rumah sakit harus melakukan identifikasi pasien anak di semua


area pelayanan.

2. Pelaksanaan asuhan baik kebijakan, SPO dan prosedur kepada pasien


anak pada dasarnya sama dengan pelayanan pasien umum yang ada
kecuali untuk tindakan-tindakan yang khusus dilakukan pada anak.

3. Ruang perawatan anak ditetapkan dirawat di Ruang Rawat 1 dan untuk


ruang perawatan bayi di Kamar Bayi.

52
4. Pasien anak yang dirawat tidak boleh digabung dengan pasien dewasa
kecuali bila ada ikatan darah dan tidak menderita penyakit menular.

5. Pasien anak yang menjalani rawat inap harus ditunggu oleh anggota
keluarga.

F. Pasien Cacat (Difabel)

Untuk pasien cacat/difabel sesuai dengan panduan pelayanan pasien


difabel.

G. Pasien Berisiko Kekerasan

1. Petugas rumah sakit harus melakukan identifikasi terhadap pasien yang


berisiko kekerasan di semua area pelayanan.
2. Pelaksanaan asuhan baik kebijakan, SPO dan prosedur kepada pasien
dengan risiko kekerasan pada dasarnya sama dengan pelayanan
pasien umum yang ada.
3. Pelaksanaan asuhan bagi pasien korban kekerasan / kriminal :
a. Bila pasien datang sendiri tanpa petugas kepolisian maka
pelayanan seperti pasien biasa.
b. Bila pasien diantar petugas kepolisian dan meminta adanya visum
et repertum , maka dokter mengisi form permintaan visum dari
kepolisian .
4. Bila dari hasil pengkajian medis atau keperawatan didapatkan masalah
Psikologis , maka pasien dapat dikonsulkan ke bagian Psikolog /
Psikiater.
5. Pasien yang mengalami kekerasan seksual , maka Dokter IGD harus
merujuk ke RSCM untuk dilakukan visum et repertum
6. Pasien berisiko kekerasan sebisa mungkin ditempatkan di ruangan
yang dekat dengan nurse station bila memungkinkan, apabila tidak
memungkinkan maka diperlukan pengontrolan petugas yang lebih
intens/interval yang lebih cepat.

53
7. Pasien yang berisiko kekerasan dan menjalani rawat inap harus
ditunggu oleh anggota keluarga.
8. Sebagai pencegahan terhadap risiko kekerasan, maka rumah sakit
harus memfasilitasi dengan pencahayaan yang cukup, pembatasan
akses, kontroling petugas dan pemasangan CCTV.

H. Tugas dan Tanggung Jawab

A. DPJP

 Melakukan asuhan sesuai dengan kebutuhan pasien.

 Melakukan perujukan kepada disiplin ilmu yang lain sesuai


kebutuhan.

 Mengupayakan pencegahan komplikasi yang mungkin timbul.

 Memberikan informasi perkembangan kesehatan pasien dan


rencana asuhan yang diberikan.

B. Case Manager

 Menjadi penghubung antara pemberi layanan internal dan


eksternal .

 Mengkoordinasikan terapi dan asuhan yang diberikan oleh


masing-masing pemberi layanan kepada DPJP.

 Mengkordinasikan perkembangan pasien kepada DPJP.

C. Perawat

 Melakukan perawatan sehari-hari sesuai kebutuhan pasien


terutama pemenuhan kebutuhan dasar.

 Melakukan monitoring kondisi pasien dan melakukan pengontrolan


berkala pada pasien-pasien tersebut.

54
 Melaporkan perubahan yang terjadi baik ke arah perbaikan
maupun perburukan kepada case manager atau DPJP.

 Memberikan informasi kepada keluarga terkait asuhan


keperawatan yang telah diberikan maupun yang akan diberikan.

h. PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI YANG BERISIKO DAN


LAYANAN TERAPI YANG BERISIKO TINGGI LAINNYA.

Obat High Alert adalah : obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi ,


terdaftar dalam obat berisiko tinggi dan dapat menyebabkan cedera serius
pada pasien , jika terjadi kesalahan dalam penggunaannya .
Sebelum pemberian obat yang berisiko/High Alert, petugas harus
melakukan pemeriksaan kembali dengan prinsip 7 benar , yaitu :
1. Benar obat
2. Benar waktu dan frekuensi pemberian
3. Benar dosis
4. Benar cara pemberian
5. Benar identitas pasien
6. Benar informasi
7. Benar dokumentasi
Layanan terapi yang berisiko tinggi lainnya, seperti LASA (Look Alike
Sound Alike), mematuhi prosedur penatalaksanaan, yaitu :
a. Ada warning untuk Patient Safety, dengan menempelkan label
LASA
b. Mengeja nama obat dengan kategori LASA saat memberi dan
menerima instruksi .
c. Apabila obat dikemas dalam paket untuk kebutuhan pasien maka
diberikan tanda LASA pada kemasan obat .
d. Obat - obatan yang bentuknya mirip dan nama / pengucapan mirip
tidak boleh diletakkan berdekatan
55
e. Walaupun terletak pada kelompok abjad yang sama , harus
diselingi dengan minimal 2 obat non kategori LASA di antara atau di
tengahnya .

Hal – hal yang diperhatikan dengan Obat High Alert :

1. Penandaan :
a. Penandaan obat high alert dilakukan dengan Stiker High Alert
berwarna merah pada obat
b. Dilakukan double check
2. Penyimpanan :
a. Obat elektrolit konsentrasi tinggi ( elektrolit high concentrate )
hanya boleh disimpan dalam jumlah terbatas di IGD , OK ,
Perawatan Intensif dan Instalasi Hemodialisis
b. Obat High Alert disimpan di tempat terpiasah , dilokalisir , akses
terbatas , diberi Label High Alert .

3. LAYANAN RISIKO TINGGI :


a. LAYANAN TRANSFUSI DARAH DAN PRODUK DARAH
 Pelayanan transfusi darah adalah upaya pelayanan kesehatan
yang meliputi perencanaan, penyediaan darah, pendistribusian
darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien
untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
 Setiap pemberian darah dan produk darah harus mendapat
persetujuan dari pasien / keluarga berupa informed consent
 Penyelenggaraan pemberian darah dan produk darah sesuai
dengan standar prosedur operasional yang berlaku .

56
b. LAYANAN PENYAKIT MENULAR
Penyakit menular adalah sebuahpenyakit yang dapatditularkan
(berpindahdari orang satuke orang yang lain,
baiksecaralangsungmaupun dengan perantara).
Penyakitmenulariniditandaidenganadanya agent ataupenyebabpeny
akit yang hidupdandapatberpindahsertamenyerang host /inang /
penderita .

c. LAYANAN HEMODIALISIS
- Tindakan hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti fungsi
ginjal sementara yang menggunakan alat khusus dengan tujuan
mengeluarkan toksin uremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh.
- Instalasi Hemodialisis melaksanakan hemodialisis pada pasien
rawat jalan dan rawat inap.
- Persyaratan SDM, sarana dan prasarana di Instalasi Hemodialisis
mengacu pada Permenkes No.812 / MENKES/PER/VII/2010
Tentang Penyelenggaraan Dialisis pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
- Pelayanan hemodialisis dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah
memiliki izin praktek dan Surat Tanda Registrasi sesuai kompetensi
yang dimilikinya.
- Dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan standar profesi
, standar prosedur operasional yang ditetapkan dan tetap
memperhatikan mutu layanan dan keselamatan pasien
- Setiap pelaksanaan hemodialisis harus mendapat persetujuan
pasien / informed consent.
- Semua tindakan pelayanan hemodialisis harus dicatat dalam rekam
medis pasien.
- Pelaksanaan hemodialisis mengacu pada standar prosedur
operasional yang berlaku.

57
d. LAYANAN KEMOTERAPI
Saat ini RSKM tidak melayani Kemoterapi, bila ada pasien yang
akan mendapatkan layanan tersebut dirujuk ke RSMH.

e. LAYANAN TERAPI YANG BERISIKO TINGGI LAINNYA


Obat High Alert adalah : obat yang memerlukan kewaspadaan
tinggi, terdaftar dalam obat berisiko tinggi dan dapat menyebabkan
cedera serius pada pasien, jika terjadi kesalahan dalam
penggunaannya .

Hal – hal yang diperhatikan dengan Obat High Alert :

1. Penandaan :
o Penandaan obat high alert dilakukan dengan Stiker High Alert
berwarna merah pada obat
o Dilakukan double check
2. Penyimpanan :
o Obat elektrolit konsentrasi tinggi ( elektrolit high concentrate )
hanya boleh disimpan dalam jumlah terbatas di IGD, OK,
Perawatan Intensif dan Instalasi Hemodialisis
o Obat High Alert disimpan di tempat terpiasah, dilokalisir,
akses terbatas, diberi Label High Alert.

KEPALA RUMAH SAKIT KHUSUS


MATA PROVINSI SUMSEL

DR. dr. Anang Tribowo, Sp.M (K)


NIP. 19610101 198812 1 002

58

Anda mungkin juga menyukai