Anda di halaman 1dari 6

Isu yang membuat gaduh adalah pelarangan pengoperasian alat tangkap

cantrang, yang seharusnya mulai berlaku pada 1 Januari 2018. Karena


adanya desakan massal, secara terbatas untuk sementara masih
diperbolehkan beroperasi
- Apa yang menjadi alasan kuat alat tangkap cantrang dilarang beroperasi?

Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan


peluang cantrang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Indonesia (WPPNRI) hingga Desember 2016. Berdasarkan Surat Edaran
Nomor: 72/MEN-KP/II/2016, tentang Pembatasan Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Cantrang di WPPNRI. Nelayan tetap wajib mengganti
cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan demi
kelangsungan sumberdaya ikan.
KKP telah mengundangkan Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang
Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan
Pukat Tarik (Seine Nets) di WPPNRI bukanlah tanpa alasan karena alat
tangkap tersebut termasuk dalam alat tangkap yang dapat merusak habitat
ikan.

Hal ini sejalan dengan Pilar Pembangunan Kelautan dan Perikanan, yaitu
keberlanjutan (sustainability) sumber daya ikan yang dapat membuat
kualitas perikanan Indonesia meningkat di mata dunia, sehingga
pertumbuhan ekonomi sektor perikanan Indonesia semakin kuat dengan
berbasis ekosistem.

Sampai dengan Desember 2016, KKP memberikan toleransi kepada


nelayan untuk tetap bisa melaut menggunakan alat penangkap ikan
cantrang yang merupakan kelompok alat penangkap ikan pukat tarik (seine
nets). Namun demikian, kemudahan tersebut diberikan dengan syarat
dilakukan pengukuran ulang terhadap kapal penangkap ikan yang
menggunakan cantrang. Hal ini karena banyaknya kapal nelayan cantrang
yang melakukan mark down agar dapat tetap beroperasi, sehingga perlu
dilakukan pengukuran ulang.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT), Narmoko Prasmadji


mengatakan, saat ini banyak kapal cantrang yang tidak melaut bukan
karena dilarang, tetapi karena nelayan nakal yang melakukan mark
down kapal menjadi ukuran <30 GT. Sementara kapal yang di mark
down >30 GT.

Alat penangkap ikan cantrang tetap dilarang, namun KKP masih


memberikan kemudahan dalam penggunaan alat penangkap ikan cantrang
di WPPNRI yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan Surat Edaran
Nomor: 72/MEN-KP/II/2016, tentang Pembatasan Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Cantrang di WPPNRI.

“Penggunaan alat penangkap ikan cantrang, tetapi dibatasi dengan


beberapa syarat khusus, selain pengukuran ulang kapal, ketentuan lainnya
yaitu, kapal cantrang hanya diperbolehkan beroperasi di wilayah
pengelolaan perikanan provinsi tempat diterbitkannya SIPI (Surat Izin
Penangkapan Ikan) dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) kapal
perikanan sampai dengan 12 mil dan tata cara pengoperasiannya
berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkap Ikan di WPPNRI,” ujar
Narmoko.

Narmoko menambahkan, kapal cantrang harus memiliki spesifikasi ukuran


tertentu untuk dapat beroperasi, dimana ukuran selektifitas dan kapasitas
alat penangkap ikan cantrang, yaitu mesh size minimal 2 (dua) inch dan tali
ris atas (panjang sayap) minimal 60 meter. Selain itu, hasil tangkapan
didaratkan dan tercatat di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum
dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Nelayan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang telah


ditetapkan oleh pemerintah dan tidak melakukan mark down kapal
cantrang untuk dapat melaut. Saat ini, kapal cantrang <30 GT masih dapat
beroperasi dengan mematuhi ketentuan yang telah dibuat

ASYARAKAT nelayan yang tergabung dalam aliansi nelayan seluruh Indonesia


melakukan demo besar-besaran di Istana Negara pada Rabu, 17 Januari 2018 dengan
satu tuntutan agar pelarangan penggunaan alat tangkap Cantrang di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia dicabut pemerintah.

Demo masyarakat nelayan yang didominasi nelayan Pantai Utara Jawa (Pantura) itu
mendesak pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang larangan pengoperasian pukat hela (Trawl) dan
pukat tarik (Cantrang) di wilayah perairan Indonesia, karena dianggap menyengsarakan
nelayan.

Dibalik aksi demo besar-besaran ini, muncul pertanyaan besar, apakah benar demo ini
murni dari inisiatif masyarakat nelayan? Karena secara logika, alat tangkap Cantrang
harganya relatif mahal sekitar Rp 150 juta per unit dan biasanya dioperasikan dengan
menggunakan kapal ikan berkapasitas 30 GT. Artinya, alat tangkap ini kemungkinan
besar milik pengusaha perikanan atau pemilik modal besar, bukan nelayan orang per
orang atau kelompok nelayan. Patut diduga, nelayan hanya diperalat pemilik modal
besar untuk demo besar-besaran ke istana, dengan satu tujuan bisnis mereka bisa tetap
berjalan seperti dulu dan kembali menikmati hasil kegiatan usaha perikanan tangkap itu.

Fakta di lapangan memang memperlihatkan banyak nelayan yang diberhentikan dari


perusahaan perikanan tangkap khususnya di wilayah pesisir Pantura dengan alasan
kapal Cantrang dilarang beroperasi oleh pemerintah. Bahkan kegiatan ibu-ibu rumah
tangga nelayan untuk membuat ikan asin, terasi dan produk olahan ikan lainnya berhenti
karena tidak ada pasokan bahan baku ikan. Dalam kondisi seperti ini, pendapatan
nelayan menjadi hilang dan kehidupan nelayan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari.

Kondisi ini merupakan momen yang tepat bagi pebisnis perikanan untuk mendorong
nelayan mendesak pemerintah agar alat tangkap Cantrang dapat digunakan kembali,
sehingga para nelayan dapat bekerja kembali di perusahaan-perusahaaan perikanan
seperti sediakala. Oleh sebab itu, operasional alat tangkap Cantrang ini bagaikan napas
kehidupan nelayan. Kondisi ini disambut masyarakat nelayan dengan melakukan
beberapa kali demo di tingkat lokal, regional dan tingkat nasional dan puncaknya di
Jakarta beberapa hari yang lalu.
Bila dikaji lebih dalam, pelarangan alat tangkap ikan Cantrang tentu punya dasar ilmiah
yang objektif. Tidaklah mungkin sembarangan Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) mengeluarkan peraturan untuk melarang pengoperasian alat tangkap Cantrang
tanpa alasan yang kuat.

Alat tangkap ikan jenis Cantrang sesungguhnya prinsip pengoperasiannya sama dengan
Pukat Harimau (Trawl) hanya kapasitas Cantrang lebih kecil dari Pukat Harimau. Oleh
sebab itu, Cantrang dapat kita sebut sebagai Mini Trawl atau Pukat Harimau Mini. Alat
tangkap ini beroperasi di perairan dangkal hingga menyapu dasar perairan laut, dan
semua jenis ukuran ikan masuk ke dalamnya karena alat itu tidak selektif.

Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 60 % hasil tangkapan Cantrang adalah hasil


sampingan (bycatch) yang kurang bernilai ekonomis, dan hanya sekitar 40 % yang
bernilai ekonomis sebagai ikan konsumsi.

Bila tidak ada yang memanfaatkan hasil sampingan tangkapan itu, misalnya untuk pakan
ternak atau bahan pembuatan tepung ikan, atau produk olahan lainnya, maka hasil
sampingan itu akan terbuang sia-sia ke laut. Kondisi ini sangat berdampak negatif ter-
hadap perkembangan populasi ikan dalam ekosistem perairan laut dan dapat
menyebabkan deplesi sumberdaya ikan dalam jangka panjang yang mengancam
keberlanjutan perikanan laut.

Kita tahu bahwa Pukat Harimau (Trawl) telah dilarang beroperasi di wilayah perairan
Indonesia sejak tahun 1980 sesuai Kepres No. 39/1980. Dengan dilarang beroperasinya
Trawl di Indonesia, maka berbagai pihak terutama yang berkepentingan dengan usaha
perikanan tangkap melakukan modifikasi terhadap alat itu dan muncullah alat tangkap
Cantrang dengan prinsip operasi yang sama dengan Trawl yang bebas dari jeratan
peraturan perundang-undangan. Alhasil, alat tangkap Cantrang bebas beroperasi hingga
tahun 2015 dan sudah banyak masyarakat nelayan dan pebisnis perikanan tangkap yang
menikmati manisnya hasil operasi Cantrang itu.

Tuntutan aliansi nelayan Indonesia itu sudah dipenuhi pemerintah yakni dengan
mencabut Permen KP No. 2 Tahun 2015 dengan beberapa ketentuan yang sifatnya
pengendalian, mulai dari jumlah unit cantrang, kapasitas kapal dan upaya pengalihan ke
alat tangkap yang lebih ramah lingkungan melalui satgas khusus. Yang menjadi
pertanyaan, apakah pemerintah pusat melalui KKP dan pemerintah daerah melalui Dinas
Kelautan dan Perikanan di tingkat provinsi/kabupaten/kota mampu melakukan
pengendalian akan pertumbuhan jumlah alat tangkap Cantrang ? Buktinya, jumlah alat
tangkap Cantrang yang tercatat tahun 2015 sebanyak 5.781 unit, tetapi tahun 2017
sudah mencapai 14.357 unit (KKP, 2017). Berarti perkembangannya tidak terkendali dan
tampaknya banyak unsur manipulasi dan markdown ukuran kapal Cantrang.

Oleh sebab itu, banyak pihak meragukan bahwa jumlah alat tangkap Cantrang dapat
dikendalikan secara cermat, karena sudah menjadi rahasia umum usaha perikanan tang-
kap itu sangat banyak data yang dimanipulasi seperti selama ini walaupun ada satgas
pengawas perikanan tangkap. Berarti keputusan pemerintah untuk membebaskan
pengoperasian alat tangkap Cantrang di wilayah perairan Indonesia sangat dilematis,
antara kepentingan ekonomi dan ekologis bahkan mungkin kepentingan politis.

Penulis melihat bahwa pencabutan Permen KP No.2/2015 bernuansa politis, karena


tahun 2018 dan tahun 2019 adalah tahun politik di Indonesia. Tahun 2018 akan ber-
langsung Pilkada serentak dan tahun 2019 akan berlangsung Pilpres. Bila masalah
Cantrang ini tidak segera diselesaikan pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan hal
itu akan dijadikan pihak-pihak tertentu menjadi isu politik untuk meraup suara. Bagaima-
napun kita tidak dapat menganggap enteng akan massa atau suara masyarakat nelayan.
Oleh sebab itu alasan rasional untuk kepentingan kelestarian sumberdaya perikanan
dalam jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan mungkin harus
dipinggirkan dulu demi kepentingan politik yang lebih besar di waktu mendatang.

Harapan kita, dengan dicabutnya larangan pengoperasian Cantrang di perairan


Indonesia benar-benar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan, sehingga
secara nyata angka kemiskinan nelayan dapat menurun signifikan.

Anda mungkin juga menyukai