Anda di halaman 1dari 27

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi
Nama : Tn. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 21 Tahun
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Alamat : Kota negara, OKU Timur
Pekerjaan : Buruh bangunan
MRS : 7 Agustus 2010 Pukul: 18.46 WIB

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Sesak napas dan nyeri dada

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 3 hari SMRS penderita mengaku sesak napas yang semakin menghebat dan nyeri dada.
Penderita dirawat di RSUD OKU Timur selama 2 hari kemudian dirujuk ke RSMH.
Riwayat terjatuh dari plafon dengan ketinggian ± 3 meter, 2 bulan SMRS. Posisi penderita
saat terjatuh miring ke sebelah kiri dengan dada kiri membentur lantai.
Riwayat benjolan sebesar telur ayam di punggung kiri, 1,5 bulan SMRS. Penderita pergi ke
tukang urut. Setelah diurut benjolan tersebut hilang namun timbul kembali.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Survei Primer
A: Baik
B: RR : 32 x/menit

1
C: TD : 130/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit

Survei Sekunder
Regio Thorax
Inspeksi : Asimetris, di posterior ditemukan benjolan setinggi costa VIII
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada hemitoraks sinistra, di posterior teraba benjolan setinggi
costa VIII
Perkusi : Redup pada hemitoraks sinistra
Auskultasi : Vesikuler menurun pada hemitoraks sinistra, bunyi jantung normal

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Rontgen Thorax (7-8-2010)

 Tampak bayangan radioopak pada hemitoraks sinistra setinggi ICS II ke bawah.


Bayangan airbronkogram pada hemitoraks sinistra berkurang.

2
 Bayangan airbronkogram (+) pada hemitoraks dextra. Bayangan jantung bergeser ke
hemitoraks dextra.
 Tampak fraktur costa VIII posterior
Kesan: Hemotoraks sinistra, fraktur costa VIII posterior

Pemeriksaan Laboratorium (7 Agustus 2010)


Hemoglobin : 10,3 g/dl (N: 14-18 g/dl)
Hematokrit : 30 vol % (N: 40-48 vol%)

1.5 Diagnosis Kerja


Trauma tumpul toraks dengan hemotoraks sinistra + fraktur costa VIII posterior sinistra

1.6 Penatalaksanaan
 O2
 IVFD
 Antibiotik
 Analgetik
 WSD

Pemasangan WSD
Initial : 600 cc cairan serohemoragik, chest tube di klem.
Undulasi :+
Air bubble :-
Expiratory Bubble: -
Produksi :-

Rontgen Thorax pasca pemasangan WSD

3
1.7 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

1.8 Follow up
Tanggal Perjalanan penyakit Penatalaksanaan
7/8/2010 Penderita MRS dengan diagnosa trauma tumpul  O2 sungkup
toraks dengan hemotoraks  IVFD RL gtt XXX /i
 Inj cefotaxim 2 x 1 gr
WSD, dalam anestesi lokal  Inj tramadol 3 x1 amp
 Darah initial 600 cc  Inj ranitidine 2 x 1 amp
 Undulasi (-)  Cek lab
 Air bubble (-)  Crossmatch
 Expiratory bubble (-)  Rho toraks AP duduk
 Produksi (-)  Pasang chest tube di OK
 Rawat bangsal B. toraks
Post WSD:
 O2 sungkup 5 l
 IVFD RL gtt XXX/i
 Terapi injeksi terskan
 Rho ulang jam 12 malam
 Crossmatch
 Obs tanda2 vital
8/8/2010 Hb 7,1 Inj ketorolak
Inj tramadol
Tranfusi
9/8/2010 KU: baik, sesak (-) Diet BB
TD:120/80 IVFD RL/D5 2/1 gtt XXX/i
N: 84 Ceftazidime
RR: 24 Ketorolak

4
T: 36,7 Ranitidine
Cek Hb, HT albumin
Chest tube Rho toraks AP duduk Cito
Undulasi (+ )
Produksi:200 cc/24 jam

Rho toraks (9/8/2010)

Kesan: tampak bayangan radioopak pada hemitoraks


sinistra, curiga herniasi organ intraabdomen ke
toraks
10/8/2010 KU: baik, sesak berkurang Rho toraks AP duduk Cito
TD:110/70 O2
N: 84 Diet nbtktp
RR:24 Ivfd RL/D5 2/1 gtt XXX/i
T:36,8 Ceftazidime
Ketorolak
R.toraks Ranitidine
I: simetris Rho toraks AP duduk
P: redup hemitoraks sin Ambroksol
A:Vesikuler menurun OBH
Chest fisioterapi
Aidactron 2x25mg
WSD: spironolakton
Produksi: 200cc/ 24 jam
Pasang NGT dan Rho toraks
Rho toraks (10/8/2010)
Rencana USG
Cek Lab lengkap
Aff NGT

Kesan: tampak bayangan radioopak pada hemitoraks


sinistra, curiga herniasi organ intraabdomen ke
toraks

Lab:
Hb : 9,1
HT : 29

5
11/8/2010 Kel: - Diet NBTKTP
I: simetris IVFD RL:D5% XXV gtt
P: sonor pada kedua hemitoraks Cross match
A: vesikuler Inj Ceftriakson 1x2 gr
Inj Ketorolak 3x1
Chest tube: Inj Ranitidine 2x1
Produksi – Rho toraks AP duduk
Undulasi + Rencana transfusi 2 kolf
Air bubble: - Spironolakton tab 2x1
OBH 3x1
Rho toraks (11/8/2010) Ambroksol 3x1
Chest fisioterapy

Lab:
Hb : 9,6
Ht : 30
12/8/2010 KU: baik Diet NBTKTP
TD:120/90 IVFD RL:D5% XXV gtt
N: 80 Antibiotik
RR:24 Analgetik
T:36,7 Expectoran
Chest Exercise
R.toraks Rontgen Thorax AP duduk
I: statis, dinamis simetris kanan=kiri
P: Stemfremitus kanan=kiri
P: Sonor kanan=kiri
A: Vesikuler kanan=kiri

WSD:
Undulasi: +
Produksi: o cc/18 jam
Expiratory Bubble: -
Air Bubble: -

Rho toraks (12/8/2010)

6
14/8/2010 KU: baik Diet NBTKTP
TD:120/80 IVFD RL:D5% XXV gtt
N: 82 Antibiotik
RR:24 Analgetik
T:36,3 Expectoran
Chest Exercise
R.toraks Rontgen OMD
I: statis, dinamis simetris kanan=kiri
P: Stemfremitus kanan=kiri
P: Sonor kanan=kiri
A: Vesikuler kanan=kiri

Rontgen OMD

Kesan:
 Tak tampak kelainan radiologis di gaster dan
duodenum pada pemeriksaan barium meal.
 Tak tampak herniasi
 Penebalan pleura kiri
15/8/2010 Keluhan: Tidak Ada IVFD RL gtt xv/menit
Tekanan Darah: 120/80 mmHg Antibiotik
Nadi: 76x/menit Analgetik
RR: 20 x/menit Expectoran
Suhu: 36,7°C Chest Exercise
AFF WSD
Regio Thorax
I: statis, dinamis simetris kanan=kiri
P: Stemfremitus kanan=kiri
P: Sonor kanan=kiri

7
A: Vesikuler kanan=kiri

WSD:
Undulasi: +
Produksi: o cc/24 jam
Expiratory Bubble: -
Air Bubble: -

17/8/2010 Keluhan: Tidak Ada Aff infus


Tekanan Darah: 120/80 mmHg Antibiotik
Nadi: 80x/menit Analgetik
RR: 18x/menit ACC Rawat Jalan Besok
Suhu: 36,7°C

Regio Thorax
I: statis, dinamis simetris kanan=kiri
P: Stemfremitus kanan=kiri
P: Sonor kanan=kiri
A: Vesikuler kanan=kiri

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi
Thorax (atau dada) adalah daerah tubuh yang terletak diantara leher dan
abdomen. Thorax rata dibagian depan dan belakang tetapi melengkung di bagian
samping. Rangka dinding thorax yang dinamakan cavea thoracis dibentuk oleh
columna vertebralis di belakang, costae dan spatium di bagian samping, serta
sternum dan cartilage costalis di depan. Di bagian atas, thorax berhubungan dengan
leher dan di bagian bawah dipisahkan dengan abdomen oleh diaphragma. Cavea
thoracis melindungi paru dan jantung dan merupakan tempat perlekatan otot-otot
thorax, ekstremitas superior, abdomen dan punggung.1
Cavitas thoracis (rongga thorax) dapat dibagi menjadi: bagian tengah yang
disebut mediastinum dan bagian lateral yang ditempati pleura dan paru. Paru diliputi
oleh selapis membrane tipis yang disebut pleura viceralis, yang beralih di hilus
pulmonalis (tempat saluran udara utama dan pembuluh darah masuk ke paru-paru)
menjadi pleura parietalis dan menuju ke permukaan dalam dinding thorax. Dengan
cara ini terbentuk dua kantong membranosa yang dinamakan cavitas pleuralis pada
setiap sisi thorax, diantara paru-paru dan dinding thorax.1
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut
terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior
dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga
memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi
membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternum. Perluasan

9
rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk
dievaluasi pada luka tusuk.2
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding
anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus
gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax.
Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.2
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu
muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar
sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura adalah membran
aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan
cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis
menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan
mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam
thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan
sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang
ada.2
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi
putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa /
tenang sekitar 75%.2

II. Definisi
Trauma thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan
gawat thorax akut.2

10
Trauma thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada, vertebra
thoracalis, jantung, paru-paru, aorta thoracalis dan pembuluh darah besar, namun
jarang mengenai esofagus. 3

III. Etiologi
1. Trauma tembus (tajam)
Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung
akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, peluru,
dsb). Sekitar 10-30% dari trauma tembus memerlukan operasi torakotomi.4
2. Trauma tumpul
Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks. Penyebabnya
antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga, dsb. Kelainan
tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. <10% trauma jenis ini
memerlukan operasi torakotomi.4

IV. Epidemiologi
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana
trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di
Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 –
30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas
kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma
thorax.2

V. Patofisiologi
Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pada trauma thorax adalah akibat dari
kegagalan ventilasi, kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar dan kegagalan
sirkulasi karena perubahan hemodinamik.5
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax.
Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak kuatnya pengangkutan oksigen ke

11
jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation /
perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan
dalam tekanan intrathorax (contoh tension pneumothorax, pneumothorax terbuka).
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan
tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolic
disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (Syok).5

VI. Kelainan akibat trauma Thorax


 Fraktur iga
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami
trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, nyeri pada pergerakan akibat
terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan
gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan secret dapat
mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna
dan disertai timbulnya penyakit paru-paru. Fraktur sternum dan scapula secara
umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami
trauma adalah iga bagian tengah (iga ke -4 sampai ke -9).2

 Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga
multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding daad. Jika kerusakan parenkin paru di bawahnya terjadi
sesuai dengan kerusakan pada tulang makan akan menyebabkan hipoksia yang
serius.2
Kesulitan utama pada kelainan flail chest yatu trauma pada parenkim paru
yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada
menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi,
efek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya

12
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan
gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail chest
mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding
dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris
dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi
iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih
jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multiple, akan terapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat.2
Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan
pernafasan, juga membantu dalam diagnosis flail chest. Terapi awal yang
diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan
resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka ada kerusakan parenkim paru
pada flail chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan
resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian
cairan benar-benar optimal. Terapi definitive ditujukan untuk mengembangkan
paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia
untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan
ventilator.2
Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan
intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan
pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan
penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu
untuk melakukan intubasi dan ventilasi.2

 Kontusio paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada
golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul
perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian
sehingga rencana penanganan definitive dapat berubah berdasarkan perubahan
waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi

13
penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 <65
mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2<90%) harus dilakukan intubasi
dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi
medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan
gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan
ventilasi mekanik.2
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif
tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse
oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat
bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi
penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan
ventilasi terlebih dahulu.2

 Pneumothorax
Pneumothorax diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara
pleura visceral dan parietal. Dislokasi fraktur veterbra juga dapat ditemukan
bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering
dari pneumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks
dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh
karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya
udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru.
Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak
mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi,
suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor.
Fototoraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis.2
Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. 7 Bila pneumotoraks
adalah dengan dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung
resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungan dengan WSD dengan atau
tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan
positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan peneumotoraks traumatic

14
atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya dapat menjadi life
thereatening tension pneumotorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan
ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi
sebelum penderita ditransportasi / rujuk.2

 Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound)


Pneumothorax terbuka defek atau luka yang besar pada dinding dada yang
terbuka menyebabkan pneumotorax terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura
akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding
dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir
melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea.2
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dnegan kasa steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi
efek flutter type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang
selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka
akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic wrap atau
Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka.2

 Tension pneumorothorax
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran
udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang
masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di
intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke

15
sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous
return); ini yang mengakibatkan kematian serta akan menekan paru kontralateral.6
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pada pleura visceral. Tension pneumothorax dapat
timbul sebagai komplikasi dari pneumotorax sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah
salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek ata luka tersebut dengan
pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme
flap-valve. Tension pneumothorax jua dapat terjadi pada fraktur tulang belakang
toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan
tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Bila ada
kemungkinan tension pneumothorax sebaiknya tidak menunggu foto Rontgen.
Dengan pungsi darurat rongga thorax berupa tusukan sederhana dengan jarum di
ruang antariga II, penderita dapat diselamatkan.6 Tension pneumothorax ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis
merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension
pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada
awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terjadi tension pneumothorax dapat membedakan keduanya.2
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang emngalami kelainan.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax
sederhana (catatan ; kemungkinan terjadi pneumotraks yang bertambah akibat
tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitive selalu

16
dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (Chest tube) pada sela iga ke 5 (garis
putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.2

 Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh
trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemothorax. Biasanya perdarahan berhenti spontan
dan tidak memerlukan intervensi operasi.2
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya rupture diafragma traumatic.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi
operasi pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang keluar
dari selang dada merupakan faktor utama.2
Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari 15%
pada foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan khusus.
Hemothorax sedang, artinya tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto
Rontgen, dipungsi dan penderita diberi transfusi. Pada pungsi sedapat mungkin
dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi kambuhan, perlu dipasang penyalir
sekat air. Pada hemothorax besar (lebih dari 35%) dipasang penyalir sekat air dan
diberikan transfusi.6
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi
bedah harus dipertimbangkan.2
Hemotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang dari satu jam setelah
trauma adalah indikasi untuk operasi. Sebelum operasi sebaiknya ditentukan
organ mana yang dicurigai sehingga teknik pembedahan dapat disesuaikan.

17
Perdarahan yang terjadi akibat fraktur iga biasanya tidak banyak dan dapat
berhenti sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya perdarahan dari
arteri interkostalis yang robek. Monitoring untuk semua kasus perdarahan dalam
rongga toraks setelah pemasangan water sealed drainage (WSD) adalah sebagai
berikut:7
 0-3 cc/Kg BB/ jam................................observasi
 >3 - <5 cc/Kg BB/jam.....................observai ketat, bila berturut turut
dalam 3 jam.........operasi
 3-5 cc/Kg BB/jam..................................operasi
Pembagian diatasa didasarkan pada pembagian syok:
Kelas % darah hilang dari total Volume darah dalam cc (volume
volume darah dalam tubuh darah 80cc/kg BB)
I 15 < 750
II 30 75-1500
III 40 2000
IV >40 > 2000

Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat mengakibatkan


neuralgia interkostalis tetapi tindakan ini cukup baik untuk menyelamatkan jiwa
sementara. Tindakan yang terbaik adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis
secara a vue.7

 Hemotoraks masif
Hemothoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus
yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan
hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi
kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax.
Jarang terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu
mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena
leher.2

18
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara
nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus
cairan kristaloid secara cepat dengan jarus besar dan kemudian pemberian darah
dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan
dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang
setinggi putting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga
pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan
untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,
kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml,
tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi.2
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus
menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi
penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi
untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal
yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah
selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan.
Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk
dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah
anterior medial dari garis putting susu dan luka di daerah posterior, medial dari
scapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi,
oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan
jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan
oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat
latihan.2

 Cedera trakea dan bronkus

19
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau
trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis,
dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkuntan dan gawat
nafas. Empisema mediastinal dservical dalam atau pneumothorax dengan
kebocoran udara massif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa
endotrakea (melalui control endoskop) di luar cedera untuk kemungkinan
ventilasi danmencegah aspirasi aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk
hemothorax atau pneumothorax.2

 Tamponade jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun
demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan pericardium terisi darah baik
dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.
Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun
relative sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas
jantung dan mengganggu pengisian jantung, mengeluarkan darah atau cairan
perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan
segera memperbaiki hemodinamik.1 Diagnosis tamponande jantung tidak mudah.2
Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian
suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan
berisik. Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan
tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya
tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi
pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat
tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan
tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat
inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan
menunjukkan adanya temponande jantung.2

20
PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus
dicurigai adanya temponande jantung. Pemasangan CVP dapat membantu
diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain.
Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat
membantu penilaian pericardium, tetapi banyak penelitan yang melaporkan angka
negative yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 % (medlinux). Pada penderita trauma
tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan
syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari perikard
merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan
respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini
menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan
pemeriksaan diagnostik tambahan.2
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah
dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung
pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi,
merupakan indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode
subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad
atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini
akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. 2
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, pemberian
cairan infuse awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan
cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan
perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik seldinger merupakan cara paling baik,
tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari
kantung perikard. Monitoring elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya
miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis
menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.2

 Kontusio Miocard.

21
Terjadinya karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti
memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera
jantung mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan
transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan
jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik (atls),
EKG mungkin meperlihatkan perubahan gelombang T – ST yang non spesifik
atau disritmia. Adapun penalaksanaan berupa suportif.2

 Trauma tumpul jantung


Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, rupture atrium atau ventrikel,
ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade
jantung yang harus diwaspadai saat primary suvery. Kadang tanda dan gejala
dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan
kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan
tersebut juga bias disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan /
atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari
miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard
adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding
jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi.
Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard
yang jelas. Kontraksi ventrikel premature yang multiple, sinus takikardi yang tak
bias diterangkan, fibrilasi atrium, l bundle branch block (biasanya kanan) dan
yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran
EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan
petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga
penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dapat disebabkan
adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang
terdiagnosis karena adanya konduksi yang abnormal mempunyai resiko
terjadinya distimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah
interval tersebut resika disritmia akan menurun secara bermakna.2

 Ruptur Diafragma

22
Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma
tumpul pada daerah thoraks inferior atau abdomen atas yang tersering oleh
kecelakaan. Trauma tumpul di daerah thoraks inferior akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma.
Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut, herniasi
organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat terjadi. Dapat pula terjadi
ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada
keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intra thoraks atau
intra abdominal). Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma, ataupun
kita bisa curigai bila terdapat luka tusuk dada yang didapatkan pada: dibawah ICS
4 anterior, didaerahh ICS 6 lateral, didaerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur
diafragma lebih sering terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian
dapat terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock dan
perdarahan pada cavum pleura kiri.

VII. Penanganan Trauma Toraks


Torakosentesis Jarum
Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumothorax. Jika
tindakan ini dilakukan pada penderita bukan tension pneumothorax, dapat terjadi
pneumothorax dan/atau kerusakan pada parenkim paru.
1. Identifikasi thorax penderita dan status respirasi
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan
3. Identifikasi sela iga, di linea midklavikula di sisi tension pneumothorax
4. Asepsis dan antisepsis dada
5. Anestesi local jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan
6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan
7. Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-
6 cm) ke kulit secara langsung tepat di atas iga ke dalam sela iga
8. Tusuk pleura parietal
9. Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum
memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumothorax telah diatasi

23
10. Pindahkan jarum dang anti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan
kateter plastic di tempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.8
Potensi morbiditas yang berhubungan dengan torakosentesis jarum termasuk
pneumothorax (dan potensi menjadi tension pneumothorax), tamponade jantung,
perdarahan (yang dapat mengancam jiwa), loculated intrapleural hematom,
atelektasis, pneumonia, emboli udara arteri (ketika torakosentesis jarum dilakukan
dan tidak ada tension pneumothorax), dan rasa sakit kepada pasien. 8

B. Chest Tube
1. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi putting (sela iga V) anterior linea
midaksilaris pada area yang terkena
2. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain
3. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga
4. Insisi transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan dan
diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat di atas iga
5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat
insisi untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan,
bekuan darah, dll
6. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube ke dalam rongga
pleura sesuai panjang yang diinginkan hingga lubang terakhir berada di
rongga pleura
7. Cari adanya “fogging” pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran
udara
8. Sambung ujung tube torakostomi ke WSD
9. Jahit tube di tempatnya
10. Tutup dengan kain/kasa dan plester.8

BAB III
ANALISIS KASUS

24
Seorang laki-laki usia 21 tahun, alamat Kota negara, OKU Timur masuk rumah sakit
dengan keluhan utama sesak napas dan nyeri dada. Dari anamnesis diketahui bahwa ± 3 hari
SMRS penderita mengaku sesak napas yang semakin menghebat dan nyeri dada. Penderita
dirawat di RSUD OKU Timur selama 2 hari kemudian dirujuk ke RSMH. Riwayat terjatuh
dari plafon dengan ketinggian ± 3 meter, 2 bulan SMRS. Posisi penderita saat terjatuh miring
ke sebelah kiri dengan dada kiri membentur lantai. Riwayat benjolan sebesar telur ayam di
punggung kiri, 1,5 bulan SMRS. Penderita pergi ke tukang urut. Setelah diurut benjolan
tersebut hilang namun timbul kembali.
Pada pemeriksaan fisik (survei primer) didapatkan airway baik, breathing di atas normal
dan circulation dalam batas normal. Penilaian airway dalam keadaan baik didasarkan pada
tidak ditemukan tanda obstruksi jalan napas. Tanda-tanda objektif untuk menilai jalan nafas
yaitu pada look, dimana penderita tidak mengalami sianosis pada daerah kuku dan sekitar
mulut, dan tidak bernafas menggunakan otot nafas tambahan. Sedangkan pada listen tidak
ditemukan suara berkumur (gurgling) yang menunjukkan tidak adanya lendir, muntahan,
darah, dan lain-lain di dalam mulut), tidak didapatkan snoring (menunjukkan tidak ada
sumbatan jalan nafas atas dimana lidah jatuh ke posterior pharynx), tidak didapatkan crowing
atau stridor (bersiul –menunjukkan adanya sumbatan di saluran nafas bawah terutama pada
bronkus akibat adanya benda asing), dan dan tidak dijumpai hoarness (suara parau –
menunjukkan sumbatan pada laring yang biasa terjadi akibat edema laring). Pada airway juga
diperhatikan stabilitas tulang leher dan segera dilakukan pemberian oksigen dengan sungkup
muka atau kantung nafas.
Pada penilaian Breathing dilakukan pemeriksaan berupa look, dan tidak ditemukan tanda-
tanda seperti sianosis dan flail chest, namun nampak dada asimetris. Pada feel didapatkan
nyeri tekan pada hemitoraks sinistra. Dengan perkusi ditemukan redup pada hemitoraks
sinistra, sedangkan pada listen didapatkan suara napas menurun pada hemitoraks sinistra
tanpa suara nafas tambahan dan dinilai frekuensi pernapasan di atas nilai normal yaitu 32
x/menit (RR normal pada orang dewasa: 16-24 kali/menit). Pada Circulation dinilai tekanan
darah 130/80 mmHg dan frekuensi nadi 100 x/ menit.
Pada survey sekunder, pada region thorax didapati pergerakan dada asimetris dan di
posterior teraba benjolan setinggi costa VIII. Pada pemeriksaan palpasi terdapat nyeri tekan
pada hemitoraks sinistra dan di posterior teraba benjolan setinggi costa VIII. Benjolan ini

25
merupakan tumor kistik akibat trauma tumpul yang dialami penderita. Pada pemeriksaan
perkusi dicurigai terjadi hemothorax sinistra karena didapati perkusi yang redup pada
hemitoraks sinistra. Pada pemeriksaan auskultasi didapati suara vesikuler menurun pada
hemitoraks sinistra yang kemungkinan besar pada pasien ini terjadi hemothorax.
Dilakukan pemeriksaan penunjang dengan foto thorax didapatkan kesan hemothorax
sinistra dan fraktur costa VIII posterior sinistra. Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan Hb
dibawah normal yaitu 10,3 g/dl dan menurun di hari kedua menjadi 7,1 g/dl sehingga
dikoreksi dengan cara pemberian tranfusi. Pada rontgen konrol dihari ke-2 dan ke-3
ditemukan bayangan radioopak pada hemitoraks sinistra dan dicurigai sebagai herniasi organ
intraabdomen ke toraks (susp. Ruptur diafragma). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan OMD
didapatkan kesan tak tampak herniasi sehingga kemungkinan ruptur diafragma dapat
disingkirkan. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kasus ini
dapat didiagnosis dengan trauma tumpul toraks dengan hemotoraks sinistra + fraktur costa
VIII posterior sinistra.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah dengan memberikan O 2 sungkup
untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Pemberian IVFD Ringer Laktat yang ditujukan untuk
membuka jalur intravena, sehingga dapat dengan mudah memasukkan obat melalui
parenteral. Analgetika diberikan untuk mengurangi nyeri dada. Pemberian antibiotik
dilakukan untuk profilaksis infeksi. Pemasangan WSD ditujukan untuk mengeluarkan darah
dari rongga thorax. Dengan melihat kondisi pasien dan tindakan yang telah dilakukan,
prognosis pasien ini quo ad vitam bonam dan quo ad fungsionam bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu. Jakarta: EGC,
1998.

26
2. Trauma Thorax. Available from: http://medlinux.blogspot.com/2008/06/trauma-
thorax.html. tertanggal 7 Agustus 2010.
3. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan. McGraw-Hill’s,
2004
4. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses dari:
www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-
Umum.html.p:1 tertanggal 7 Agustus 2009
5. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses dari:
www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan-
spesifik.html. tertanggal 7 Agustus 2009.
6. Sjamsuhidajat R., de Jong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC, 2005
7. Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian Bedah Toraks Bagian
Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002.
8. American College of Surgeons. Trauma Toraks. Dalam: Advanced Trauma Life
Support. Chicago: American College of Surgeons, 2004; p. 111-27.

27

Anda mungkin juga menyukai