Anda di halaman 1dari 12

Kejang umum tonik klonik / generalized tonic clonic seizure (GTCS) adalah jenis bangkitan yang

mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti
hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik). (Browne & Holmes, 2004; Kantor, 2006)
Terdapat 2 jenis GTCS, yaitu:

a. GTCS primer: serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal sejak awal mula
serangan.
b. GTCS sekunder: serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi umum.
(Lumbantobing, 2004; Kantor, 2006) Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan
sangat cepat sehingga tidak tampak secara klinis atau bahkan pada perekamanEEG.

Etiologi dan Usia


GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian manifestasi klinik
dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun kanak-kanak. (Browne & Holmes, 2004)
Misalnya, benign neonatal convulsions, benign myoclonic epilepsy of infancy, childhood absence
epilepsy, juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy, GTCS yang terjadi saat bangun
tidur, (Ko, 2007) temporal lobe epilepsy syndrome, frontal lobe epilepsy syndrome, West
syndrome, dan lain-lain. (Browne & Holmes, 2004) Dengan perkembangan ilmu, telah dapat
ditentukan lokus-lokus genetik yang pasti dari berbagai tipe atau sindrom epilepsi. (Ko, 2007)
GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. (Browne & Holmes,
2004) Hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital dan trauma
saat lahir, febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma kepala,
lesi desak ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, strok, dan
penyakit degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit metabolik yang juga
berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit, uremia, hipoglikemia, dan
disfungsi hepar yang berat. (McIntosh, 2001)
Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada neonatus. Pada pasien
usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder yang berasal dari lesi fokal otak.
(Ko, 2007)

Patofisiologi
Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi dalam satu
neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran neuron bersifat
semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya menghalangi perubahan cepat
yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang melewatinya. Ion Na mempunyai
konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan ion K berkonsentrasi tinggi di
intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan potensial membran yang menyebabkan
depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion K menyebabkan hiperpolarisasi. Saat
membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai ambang, saluran ion Na terbuka,
menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang menghasilkan potensial aksi. Efluks K dari sel
menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K mengganti ion-ion yang berpindah ini dengan
menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi sepanjang akson mentransmisikan informasi
sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi
influks ion Ca yang mencetuskan pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor
postsinaptik. Proses ini akan menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris (EPSP
dan IPSP) di mana penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang direkam
oleh EEG. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara gamma-
aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak. Impuls
listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen maupun eferen
membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan struktur-struktur di bawahnya
ataupun dengan hemisfer kontralateral. (Goetz, 2003)
Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi aktivitas
listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini. Bangkitan dihasilkan oleh
letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak. Fungsi neuron-neuron kortikal
terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas listrik abnormal. Bangkitan dapat timbul
karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta adanya sinkroni dari pelepasan neuronal. Baik
pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat terganggu, menyebabkan predisposisi terjadinya
sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal. (Goetz, 2003) Eksitasi yang berlebihan
mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut sistim neuronal yang
berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sementara itu,
bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal
(sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik
eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan bertambahnya hubungan sinaptik ini
menyokong pelepasan sinkronisasi. (Widjaja, 2004)
Reseptor glutamat sa ngat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps glutaminergik
merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit reseptor dengan
akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi jangka panjang pada
sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya ion Ca. Selain itu, transport
glutamat/mekanisme uptaketermasuk dalam penunjang utama ikut sertanya dalam
epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial
bertambahnya eksitabilitas. (Widjaja, 2004)
Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan sifat
membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik)
dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik dipusatkan
pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan kalsium. Mutasi atau
hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan transmisi di akson, influks
ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal, dan bertambahnya
kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang. (Widjaja, 2004)
Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat
membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan memperbaiki
konsentrasi K esktraseluler yang meningkat waktu terjadi kejang. Gliosis dapat meempengaruhi
kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut serta dalam pembentukan kejang. (Widjaja, 2004)
Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian sub-populasi sel-
sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan
dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung mudah terangsang
(hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat. (Widjaja, 2004)
Mekanisme berhentinya kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang berhenti sebagai
akibat proses inhibisi aktif, dengan mekanisme seperti blok depolarisasi, perubahan lingkungan
ekstraseluler seperti penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca intraseluler. Agen-agen
endogen seperti norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi antikonvulsan mungkin berperan
dalam berhentinya kejang. (Browne & Holmes, 2004)
Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu dari otak,
yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha dijelaskan dengan
model kindling. Kindling adalah pemberian berulang stimulus elektris atau agen-agen
epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang menghasilkan
berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang berkembang menjadi
general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA, hilangnya neuron yang biasanya
mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik output sel-sel eksitatorik. (Browne &
Holmes, 2004)
Gambaran Klinis

Pasien mungkin tidak memberikan sama sekali temuan-temuan pada pemeriksaan neurologis bila
tidak sedang mengalami kejang. (Ko, 2007)

a. Gejala prodromal
Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodromal yang terjadi selama beberapa
jam atau hari sebelum suatu bangkitan. Gejala-gejala yang umum adalah perubahan mood,
gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan, iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi,
dan, perasaan riang. Gejala-gejala lain yang lebih jarang dilaporkan adalah nyeri abdomen,
wajah pucat, atau nyeri kepala. Mayoritas pasien mengalami gangguan kesadaran tanpa
gejala-gejala pendahuluan.
b. Aura
Pasien dengan GTCS primer tidak mengalami aura. Aura mewakili bangkitan parsial
sederhana, dan riwayat aura mengidentifikasikan bangkitan parsial. (Ko, 2007) GTCS
sekunder dapat dimulai dengan gejala atau tanda bangkitan parsial sesuai dengan fokus
asalnya (bangkitan parsial sederhana atau kompleks, atau keduanya)
c. Fase tonik
Fase tonik biasanya terdiri atas fase fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang lebih lama,
disertai gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata terbuka, bola mata
terputar ke atas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan badan (dada tertekuk ke
pelvis). Fase fleksi menyebar ke seluruh ekstremitas, meliputi lengan lebih tampak
daripada tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak daripada otot-otot distal. Lengan
terangkat, mengalami aduksi, dan berotasi eksternal. Tungkai dan panggul terfiksir,
mengalami aduksi, dan berotasi secara eksternal. (Browne & Holmes, 2004)
Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher. Mulut
tertutup rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut berkontraksi, seringkali
dengan mengeluarkan ‘tonic cry’ saat udara dikeluarkan dari korda vokalis. Lengan
kemudian diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan dapat tetap fleksi, adduksi, dan
berotasi eksternal. (Browne & Holmes, 2004)
Selama periode transisi dari tonik menjadi klonik, kontraksi menjadi makin berkurang.
Rigiditas tonik digantikan oleh tremor halus, yang amplitudonya makin meningkat dan
frekuensinya menurun dari 8 menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan penurunan tonus secara
intermitten yang dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke proksimal. Durasi fase ini 10-
30 detik. (Browne & Holmes, 2004)
Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tanda-tanda
otonom sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi dan tekanan
darah, berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun tekanan kandung
kemih meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter.
d. Fase klonik
Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya tonus otot
(fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara
ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama tampak makin
jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Tiap hentakan dapat disertai oleh ‘cry’. Durasi
fase ini antara 30-50 detik. (Browne & Holmes, 2004) Miksi dapat terjadi pada akhir fase
klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap mengalami apneu selama fase ini. Kejang
ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung selama 1-2 menit.
e. Gejala otonomik
Gejala otonomik bermula dari fase pre-iktal, mencapai maksimal pada akhir fase tonik, dan
menurun hebat saat onset fase klonik. Gejala-gejala autonom yang dapat terlihat adalah
peningkatan tekanan darah nadi, tekanan buli-buli, tonus spinkter, flushing, sianosis,
piloereksi, perspirasi, saliva, dan sekresi bronkial. (Browne & Holmes, 2004)
Apnea dimulai dengan ekspirasi hebat saat onset fase tonik, menetap selama fase tonik dan
klonik, dan kadang sampai periode post-iktal awal
f. Fase post-iktal awal
Relaksasi otot sempurna tidak langsung terjadi pada fase post-iktal. Setelah 5 menit setelah
hentakan klonik yang terakhir, kontraksi tonik yang baru berlangsung dari beberapa detik
sampai 4 menit. Tonus otot-otot sefalik meningkat, lidah dapat tergigit. (Browne &
Holmes, 2004)
Antara hentakan klonik terakhir dan fase post-iktal awal, otot spinkter buli-buli berelaksasi,
dan inkontinensia dapat terjadi. (Browne & Holmes, 2004)
Respirasi mulai kembali menjadi normal pada fase post-iktal awal. Peningkatan sekresi
menyebabkan onstruksi parsial. Respirasi terhambat, dan otot-otot bantu napas aksesorius
diaktivasi. Tekanan darah dan resistensi kulit kembali normal, tetapi takikardia menetap.
Sianosis berubah menjadi pucat. Gangguan kesadaran menjadi komplit, dan refleks-refleks
pupil dan kutaneus tidak didapatkan. Refleks tendon sangat bervaraisi. Durasi fase ini 1-5
menit.
g. Fase post-iktal lanjutan
Pada fase post-iktal lanjutan, flaksiditas berkembang sempurna. Denyut jantung kembali
normal, refleks tendon biasanya hilang, dan respon plantar biasanya ekstensor. Pasien
dapat tebangun dengan melewati berbagai tingkatan koma, konfusi atau kebingungan, atau
terus berlanjut tidur tanpa terbangun. (Browne & Holmes, 2004) Nyeri kepala dan otot
sering ditemukan. Pasien sendiri tidak mengingat peristiwa kejangnya. (Ko, 2007) Durasi
fase ini 2-10 menit. Sehingga total durasi kejang GTCS 5-15 menit. Pada GTCS sekunder
yang berkembang dari bangkitan parsial, durasi fase individual dan ekspresi klinis sangat
bervariasi sesuai jalur saraf yang dilewatinya.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar prolaktin plasma, bila diperiksa dalam 10-20 menit saat kejang, meningkat 5-
30 kali kadar normal. Kadar prolaktin plasama merupakan alat diagnosik yang berguna
untuk menyingkirkan pseudoseizure yang menyerupai kejang tonik-klonik. Kadar
prolaktin tidak meningkat pada bangkitan absans, mioklonik, dan pada kejang parsial
sederhana atau kompleks.
b. Kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, vasopresin, growth
hormone, and endorfin beta serum juga meningkat post-iktal tetapi dalam durasi yang
sangat singkat. Sehingga sulit dilacak secara klinis.
c. Pada 15% pasien, terutama pada kejang yang berkepanjangan, mungkin didapatkan
pleiositosis likuor (umumnya 10 sel/mm3 dan jarang sampai sebanyak 50 sel/mm3).
d. Asidosis metabolik dan peningkatan kadar laktat dan kreatinin kinase sering ditemukan
setelah kejang.
2. Pemeriksaan Radiologis
a. Abnormalitas dalam CT scan ditemukan dalam 10% pasien dengan GTCS primer.
Karena CT scan tidak mendeteksi kebanyakan jenis abnormalitas struktural congenital,
MRI adalah pilihan pemeriksaan.
b. Pada GTCS sekunder yang terjadi karena gangguan migrasi neuronal, yang dapat
dideteksi MRI adalah lissencephaly, pachygyria, band atau laminar
heterotopia, subependymal heterotopias, focal cortical dysplasia polymicrogyria,
focal subependymal heterotopias, dan schizencephaly.
Pasien dengan GTCSs dan epilepsi general idiopatik tidak mempunyai bukti-bukti abnormalitas
otak yang terlokalisir, regional, ataupun umum pada anamnesis, pemeriksaan fisik atau neurologis,
tes laboratorium, atau pemeriksaan radiologis.
Diagnosis Banding

GTCS perlu dibedakan dengan sinkop dan pseudoseizure pada pasien dari segala usia. Pada anak-
anak, GTCS perlu dibedakan dengan breath-holding spell dan sindrom QT memanjang. (Browne
& Holmes, 2004)
GTCS primer yang merupakan bagian dari epilepsi general atau idiopatik perlu dibedakan dengan
kejang parsial yang menjadi GTCS sekunder sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik.
Dicurigai GTCS primer bila (a) tidak terdapat bukti gangguan struktural otak, (b) terdapat riwayat
kejang dalam keluarga, (c) terdapat penyerta kejang mioklonik atau absans, (d) kejadian kejang
biasanya segera setelah bangun tidur, (e) hentakan mioklonik bilateral saat onset kejang, dan (f)
terdapat generalized spike-waveatau polispike wave pada rekaman EEG interiktal. Dicurigai
GTCS sekunder bila terdapat (a) aura, (b) tanda gangguan struktural otak (dari pemeriksaan fisik
atau radiologis), (c) onset dengan gejala atau tanda kejang parsial sederhana, kejang parsial
kompleks atau keduanya, dan (d) gelombang tajam atau lambat fokal pada rekaman EEG
interiktal. (Browne & Holmes, 2004)
Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan GTCS adalah kejang parsial
kompleks, gangguan keseimbangan, kejang demam, distonia, dan hiperventilasi.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul saat terjadinya GTCS adalah:

1. Trauma oral
Dapat terjadi maserasi lidah, bibir, atau pipi
2. Trauma kepala
Fraktur tengkorak, kontusio, hematoma subdural atau epidural dapat disebabkan oleh jatuh
atau karena aktivitas klonik.
3. Fraktur
Fraktur kompresi vertebra thorakal atau lumbar dapat terjadi asimptomatik, dan lebih
sering pada orang tua
4. Pneumonia aspirasi
Aspirasi bahan sekresi atau muntahan dapat terjadi saat refleks-refleks protektif normal
jalan napas mengalami inhibisi post-iktal, dan hal ini dapat berbahaya

TATALAKSANA
1. Pertolongan pertama saat kejang dan pencegahan komplikasi
Secara umum, setiap orang yang menyaksikan terjadinya kejang bertanggungjawab untuk
mencegah luka fisik, memastikan keamanan, dan mengawasi dengan baik. Penderita tidak
boleh ditinggalkan sendirian. Bila diperlukan, penolong harus mencari pertolongan.
(Browne & Holmes, 2004)
Bila memungkinkan, tempatkan alat bantu ‘airway’ oral yang lunak pada mulut penderita
untuk mencegah trauma oral dan menjamin drainase sekret selama kejang. Pasien
sebaiknya ditempatkan di tempat aman sebelum terjatuh. Selama fase klonik, tangan atau
benda lunak dapat digunakan untuk mencegah trauma kepala. Letakkan pasien pada posisi
lateral dekubitus untuk menjamin drainase sekret dan mencegah aspirasi.
2. Prinsip dasar tata laksana epilepsy
Tujuan utama tata laksana epielpsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien
dengan upaya menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah
timbulnya komplikasi dan mencegah timbulnya efek samping obat. (Perdossi, 2007)
Keberhasilan pengobatan epilepsi ditentukan oleh ketepatan diagnosis, jenis obat anti
epilepsi (OAE), kepatuhan, sikap dan pengetahuan pasien dan keluarga tentang epilepsi.
(Limoa, 2004)
Prinsip-prinsip terapi farmakologis:
a. Obat anti epilepsi diberikan bila: (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)
 Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau
sindroma epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.
 Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek
samping obat yang mungkin timbul.
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis
bangkitan atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap
sampai mencapai hasil optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan
politerapi. Bila kadar OAE kedua telah mencapai kadar terapi, dosis OAE
pertama diturunkan bertahap.
b. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila:
 Dijumpai focus epilepsi yang jelas pada EEG
 Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan
 Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak.
 Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung
 Riwayat bangkitan simptomatik
 Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP
 Bangkitan pertama berupa status epileptikus
 Efek samping dan interaksi OAE perlu diperhatikan.

TERAPI FARMAKOLOGIS GTCS PRIMER DAN SEKUNDER

Berdasarkan pedoman tata laksana epilepsi yang dikeluarkan Perdossi tahun 2007 berdasarkan
jenis bangkitan, untuk GTCS primer, OAE lini pertama adalah adalah sodium valproat,
lamotrigine, topiramate, dan carbamazepine. OAE lini keduanya adalah clobazam, levetiracetam,
dan oxcarbazepine. OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah clonazepam, phenobarbital, dan
phenytoin. Sementara itu, untuk GTCS sekunder, OAE lini pertama adalah carbamazepine,
oxcarbazepine, sodium valproat, topiramate, lamotrigine; OAE lini kedua adalah clobazam,
gabapentine, levetiracetam, phenytoin, dan tiagabine; dan OAE lain yang dapat dipertimbangkan
adalah clonazepam dan phenobarbital. Untuk sindrom epilepsi umum tonik-klonik (GTCS),
disarankan sodium valproat, lamotrigine, carbamazepine, dan topiramate sebagai OAE lini
pertama; levetiracetam sebagai OAE lini kedua; dan clobazam, clonazepam, oxcarbazepine,
phenobarbital, dan phenytoin sebagai OAE lain yang dapat dipertimbangkan.

Dalam terapi OAE, perlu diperhatikan farmakokinetik obat dan efek samping obat, baik yang
terkait dosis maupun idiosinkrasi
MEDIKAMENTOSA

Sejumlah obat-obatan digunakan untuk terapi GTCS. Pilihan obat sebaiknya diseusiakan secara
individual dengan pasien dan sindrom epilepsi, tidak hanya tipe kejang.

 Asam valproat dianggap sebagai lini pertama karena sifatnya yang spectrum
luas, termasuk kejang mioklonik.
 Fenitoin dan karbamazepin merupakan pilihan kedua yang logis di antara obat-
obat generasi lama, tetapi obat-obat generasi baru tampaknya bekerja sama
efektifnya bila tidak lebih baik, dan mempunyai efek samping ynag lebih
ringan, terumata penggunaan jangka panjang.
 Di antara obat-obat generasi baru, lamotrigine, topiramate, dan zonisamide
merupakan obat-obat spectrum luas yang lain yang relative mudah ditoleransi.
 Fenobarbital tetap digunakan oleh banyak neurologis, walaupun efek
sampingnya terhadap kognisis menurunkan penggunaannya.
 Untuk epilepsi general refrakter, felbamate juga digunakan sebagai obat yang
efektif. Efek samping obat ini mengharuskan monitoring blood counts dan tes
fungsi hati yang ketat.
PEMBEDAHAN
Studi-studi pendahuluan memperlihatkan stimulasi nervus vagus (VNS) efektif untuk epilepsi
general. Food and Drug Administration (FDA) USA telah menerima VNS sebagai salah satu terapi
untuk kejang parsial. Dalam suatu penelitisn open label, pasien GTCS berespon baik. Tidak ada
pilihan pembedahan yang lain untuk GTCS murni.

DIET
Diet ketogenik direkomendasikan untuk meningkatkan konrol kejang. Diet ketogenik
dikembangkan di Klinik Mayo dan Institut John Hopkins, berdasarkan observasi bahwa bangkitan
meningkat bila terjadi perasaan lapar. Mekanisme pasti kerja diet ini masih belum diketahui. Diet
ini memperodukasi kondisi ketotik, tetapi memberikan kalori adekuat dari protein dan lemak.
Biasanya digunakan untuk epilepsi intractabel, terutama untuk anak-anak. Diet ini jarang diberikan
lagi pada orang dewasa, karena diet ini sangat sulit dipertahankan.
Penelitian-penelitian menunjukkan reduksi frekuensi kejang yang bermakna pada 50% pasien
yang mendapatkan diet. Efek-efek samping terutama pada traktus GI, termasuk kembung,
konstipasi, batu ginjal, penurunan kualitas tulang dan berat badan. Diet ini mengandung
perbandingan rasio lemak:karbohidrat= 4:1. Keton pada urin diperiksa tiap hari dan normalnya
lebih dari 4.

Medikamentosa
Tujuan farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
Kategori Obat: Obat Anti Epilepsi
Obat-obatan ini mencegah rekuerensi bangkitan dan mengakhiri aktivitas bangkitan elektris dan
klinis.
L.1. Valproate
Dianggap sebagai pilihan utama epilepsi general primer, mempunyai spectrum yang sangat luas
dan efektif pada kebanyakan tipe kejang, termasuk kejang mioklonik. Mempunyai mekanisme
kerja multipel termasuk meningkatkan kadar GABA dalam otak dan aktivitas saluran kalsium tipe-
T.
Untuk dewasa, dosis inisial valproat injeksi (100mg/ml vial) 10-15 mg/kgBB/hari, tingkatkan 5-
20 mg/kgBB/minggu sampai maksimum dosis 60 mg/kgBB/hari atau sampai batas dosis yang
ditoleransi; kecepatan pemberian iv 20 mg/menit. Sementara dosis oral sama dengan dosis injeksi.
Sementara, untuk anak-anak, dosis inisial adalah 20 mg/kgBB/hari i.v, dan dosis pemeliharaan 30-
60 mg/kg/hari iv.v.
L.2. Phenytoin
Efektif pada kejang tonik-klonik dan sering digunakan. Mempunyai efek samping jangka
panjangnya berupa osteopenia dan ataksia serebelar. Mempunyai kinetika obat zero-order dan
interaksi obat yang signifikan.
Untuk dewasa, loading dose adalah 15-20 mg/kg/hari per oral atau i.v. Dosis pemeliharaan 5
mg/kg/hari per oral atau i.v, dengan kecepatan pemberian tidak melebihi 50 mg/kgBB. Sementara
dosis inisial pediatrik adalah 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v, dengan dosis pemeliharaan 5-7
mg/kgBB/hari per oral atau i.v.
L.3. Fenobarbital
Salah satu oabt anti epilepsi utama yang digunakan sejak awal 1900-an. Sekarang diketahui bahwa
obat ini dapat menyebabkan beberapa efek samping kognitif sehingga kemudian kurang disukai.
Lebih menguntungkan diberikan dalam bentuk dosis sekali sehari, karena mempunyai waktu paruh
yang sangat panjang.
Dosis dewasa adalah 90 mg per oral terbagi dalam 4 dosis, ditingkatkan 30 mg/hari sampai dosis
pemeliharaan biasanya adalah 90-120 mg/hari. Sementara itu, dosis inisial pediatric adalah 3-5
mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 3-5 mg/kgBB/hari per oral.
L.4. Karbamazepin
Obat antiepilesi generasi lama yang digunakan sebagai lini kedua bersama fenitoin. Efek samping
adalah osteopenia. Dosis dewasa adalah 400-1200 mg/hari per oral, terbagi dalam 3 kali sehari.
Dosis awal 5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 15-20 mg/kgBB/hari per oral.
L.5. Lamotrigine
Obat anti epilepsi generasi lebih baru dengan spectrum kerja yang luas seperti valproat. FDA
mengakuinya baik sebagai epilepsi general dan parsial primer. Mempunyai beberapa mekanisme
kerja. Kekurangan utamanya adalah dosis harus ditingkatkan sangat perlahan dalam beberapa
minggu untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnya rash. Dosis dewasa untuk minggu pertama
dan kedua adalah 50 mg/hari per oral; bila diberikan bersama dengan valproat (VPA), mulai
dengan 25 mg 4 kali per hari. Pada minggu ketiga dan keempat, 100 mg/hari per oral dalam dosis
terbagi; bila diberikan bersama VPA, 25 mg/hari. Tingkatkan 100 mg/hari dalam 4 minggu; bila
diberikan bersama VPA, tingkatkan 25-50 mg tiap minggu. Dosis pemeliharaan tanpa VPA adalah
300-500 mg per oral dalam dosis terbagi. Sementara itu dosis pemeliharaan tanpa VPA adalah
100-200 mg/hari per oral. Untuk pediatrik, dosis inisial adalah 1-2 mg/kgBB/hari per oral. Dosis
pemeliharaan adalah 5-10 mg/kgBB/hari per oral. Obat ini merupakan satu-satunya obat yang
diakui oleh FDA untuk sindrom Lennox-Gastaut untuk pasien berusia kurang dari 16 tahun.
L.6. Zonisamide
Salah satu dari obat generasi baru yang memblok saluran kalsium tipe T, memperpanjang
inaktivasi saluran natrium dan merupakan suatu inhibitor karbonik anhidrase. Dosis inisial dewasa
adalah 100 mg/kg/hari per oral terbagai dalam 2 dosis, tingkatkan 100mg/hari/minggu sampai ke
dosis pemeliharaan 100-300 mg dua kali sehari per oral.
L.7. Felbamat
Obat ini diakui oleh FDA untuk terapi kejang parsial refreakter dan sndrom Lennox-Gastaut.
Mempunyai banyak mekanisme kerja, termasuk (1) inhibisi NMDA-associated sodium channels,
(2) potensiasi aktivitas GABA-ergic, dan (3) inhibisi voltage-sensitive sodium channels. Hanya
digunakan untuk kasus-kasus refrakter karena risiko anemia aplastik dan toksisitas hepar, sehingga
dibutuhkan tes darah reguler. Dosis inisial dewasa adalah 600 mg tiga kali sehari per oral,
tingkatkan 600-1200 mg/hari tiap minggu sampai dosis maksimum 1200-1600 mg tiga kali per
hari per
oral.
L.7. Topiramat
Obat anti epilepsi spektrumluas yang diakui untuk kejang tonik-klonik umum primer. Mekanisme
kerjanya meliputi blok kerja state-dependent sodium channel, potensiasi aktivitas inhibitorik dari
neurotransmitter GABA, dapat memblok aktivitas glutamate, dan sebagai inhibitor karbonik
anhidrase. Dosis dewasa adalah 50 mg/hari per oral, titrasi 50 mg/hari tiap interval 1 minggu
sampai dosis target 200 mg 2 kali per hari. Sementara itu, dosis inisial pediatrik adalah 25 mg atau
50 mg/hari per oral; lakukan titrasi sampai dosis 6 mg/kg/hari.
L.8. Levetiracetam
Diindikasikan untuk kejang tonik-klonik primer pada dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih.
Diindikasikan untuk kejang umum tonik klonik primer pada dewasa dan dan anak usia lebih dari
6 tahun.
Dosis inisial dewasa adalah 500 mg 2 kali per hari per oral, dapat ditingkatkan 1000 mg/hari 4 kali
dalam 2 minggu, tidak melebihi 1500 mg dua kali per hari. Dosis anak kurang dari 6 tahun belum
dapat ditentukan. Untuk anak usia 6-15 tahun, dosis 10 mg/kg per oral 2 kali sehari; dapat
ditingkatkan dosis harian 20 mg/kg 4 kali dlaam 2 minggu, tidak melebihi 30 mg/kg dua kali sehari.
Untuk anak usia >tahun, dosis sama seperti pada dewasa.

Anda mungkin juga menyukai