Anda di halaman 1dari 6

Zakat dan Pengentasan Kemiskinan

```````````CRVQHMINEWS – Kemiskinan merupakan sesuatu yang masih menghantui masyarakat


kita. Banyak orang-orang miskin di sekitar kita, begitu juga dengan mereka yang masih hidup di
bawah garis kemiskinan (faqir). Satu penduduk miskin dapat kita bantu, muncul kembali penduduk
fakir dan miskin yang baru. Oleh karena itu, kepedulian kita terhadap mereka amat digugah dalam
Ajaran Islam.3Z

A. Konsep Zakat dalam Islam

Dalam Islam, zakat adalah ibadah sosio-economy yang memiliki posisi yang sangat penting,
strategis, dan menentukan (Yusuf Qardhawi, Al-Ibadah, 1993) baik dari sisi doktrin Islam maupun
dari sisi pembangunan ekonomi umat. Sebagai suatu ibadah, zakat termasuk salah satu rukun Islam
yang lima, seperti diungkapkan hadist Nabi riwayat Mus’id As-Sa’dani (Al-Arba’in An-
Nawawiyah, 1994) sehingga keberadaannya dianggap “Maklum min Ad-dien bi adildlarurah”
(diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keIslaman) (Ali Yafie, Fiqh
Sosial, 1994).

Dalam Al-Qur’an terdapat 82 ayat yang mensejajarkan shalat dengan kewajiban zakat, dan satu
kali disebutkan dalam konteks yang sama akan tetapi dalam ayat berbeda, yaitu Surat Al-Mukminun
ayat 2 dengan ayat 4 (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat, 1973). Al-Qur’an menyatakan bahwa kesediaan
berzakat dipandang sebagai indikasi utama kedudukan seorang kepada ajaran Islam (QS 9:5 dan
QS 9:11), sekaligus sebagai ciri orang yang mendapatkan kebahagian (QS 23:4), akan mendapatkan
rahmat dan pertolongan-Nya (QS 9:71 dan QS 22:40 sampai 41).

Kesadaran berzakat merupakan suatu keharusan bagi orang Islam yang diwujudkan melalui upaya
memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) lainnya
(QS 9:60). Kesadaran berzakat juga dipandang sebagai orang yang membersihkan, menyuburkan
dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya (QS 9:103 dan QS 30:39).

Al-Qur’an dan Hadist memberikan peringatan keras terhadap orang yang enggan mengeluarkannya,
berhak untuk diperangi (HR Iman Bukhari dan Muslim dari sanadnya Ibn Umar), harta bendanya
akan hancur dirusak (HR Imam Bazzar dan Baihaqi), dan apabila keengganan itu meluas ditengah
masyarakat, maka Allah SWT akan menurunkan azabnya dalam bentuk krisis ekonomi, seperti:
kemarau yang panjang, krisis moneter, dsb (HR Imam Thabrani).

Sedangkan di akhirat nanti, harta yang tidak dikeluarkannya akan menjadi azab bagi pemiliknya
(QS 9:34-35 dan Hadist Riwayat Imam Muslim dari sanadnya Jabir bin Abdullah). Karena itu
khalifah Abu Bakar Siddiq bertekad untuk memerangi orang yang mau shalat secara sadar dan
sengaja enggan berzakat (Said Sabiq, Fiqh Sunnah, 1968) Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa,
barang siapa yang melaksanakan shalat tapi enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada shalat
baginya (Abd Kasim bin Salam, Al-Amwaal, 1986).

Selain zakat, dikenal pula infaq dan shadaqah, yang keduanya merupakan bagian dari keimanan
seorang muslim. Artinya infaq dan shadaqah itu merupakan ciri utama orang yang benar
keimanannya (QS 8:3-4), ciri utama orang yang bertaqwa (QS 2:3 dan QS 9:134), ciri mukmin yang
mengharapkan balasan yang abadi dari Allah SWT (QS 35:29). Atas dasar itu, infaq dan shadaqah
sangat dianjurkan dalam segala keadaan, sesuai dengan kemampuan (QS 3:124). Jika enggan
berinfaq, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS 2:195). Infaq dan
shadaqah tidak ditentukan jumlahnya (bisa besar, kecil banyak atau sedikit) tidak ditentukan pula
sasaran penggunaannya yaitu semua kebaikan yang diperintahkan oleh ajaran Islam (2: 213).
Kewajiban Zakat dan dorongan untuk terus menerus berinfaq dan bershadaqah yang demikian
mutlak dan tegas dikarenakan dalam ibadah ini terkandung berbagai hikmah dan manfaat
(signifikansi) yang demikian besar dan mulia baik bagi muzakki (orang yang harus berzakat),
mustahik (orang yang menerima zakat) maupun masyarakat keseluruhan, antara lain tersimpul
sebagai berikut:

1. Sebagai realisasi iman kepada Allah SWT, berzakat merupakan upaya mensyukuri nikmatnya. Zakat
adalah ibadah, karena itu aturannya harus sesuai dengan petunjuk syari’ah.
2. Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan umat Islam,
seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus sarana pengembangan
kualitas sumber daya manusia muslim.
3. Menolong, membantu, dan membina kaum Dhuafa’ (orang yang lemah secara ekonomi) maupum
mustahik lainnya ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari
bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki, dan hasad yang mungkin timbul ketika
mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak
mempedulikan mereka.
4. 4. Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga
diharapkan akan lahir masyarakat marhamah di atas prinsip ukhuwah Islamiyah dan takaful ijtima’i.
5. Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi spiritual
keagamaan berdasarkan firman Allah, “Allah memusnahkan riba (tidak berkah), dan
mengembangkan sedekah (zakat)”. (QS 2:276).
6. Menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat
kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan batin dan kehidupan, sekaligus mengembangkan harta
yang dimiliki.
7. Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.

B. Signifikansi Zakat dalam Perekonomian Umat

Fakta sejarah membuktikan di zaman sahabat, ummayah, dan Abbasiah, ekonomi umat akan
tumbuh bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo
30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan
distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif. Kenyataan itu harus kita wujudkan
saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat diatasi.

Secara spiritual amalan zakat sesungguhnya bagaikan tabungan akhirat, namun hakekat zakat dalam
urusan dunia memiliki kekuatan yang maha dahsyat dalam membangun ekonomi umat (Islam)
khususnya. Beberapa pokok pikiran yang mendasari asumsi ini antara lain:

1. Terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terus menerus. Implikasi demografis ini secara
otomatis maka nilai totalitas kuantitatif zakat secara nasional akan meningkat tentunya diukur dari
sisi besarnya rupiah yang dikumpul,
2. Kemampuan pengumpulan zakat dan besarnya jumlah pemberi zakat (muzakki) sesungguhnya
dapat digunakan sebagai salah instrumen efektif untuk mengukur adanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Islam) secara umumnya,
3. Indikator empiris untuk mengaitkan adanya kenaikan tingkat kesadaran masyarakat (Muslim)
dalam membayar zakat. Tentunya indikator ini berkaitan dengan meningkatnya kesdaran dan
amalan jariah melalui zakat, infaq dan sadaqah,
4. Keberhasilan meningkatkan kualitas nilai zakat dan kuantitas muzakki merefleksikan efektifnya
manajemen zakat yang dikelola oleh BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Menggali potensi zakat perlu dilakukan melalui identifikasi objek zakat. Sosialisasi dalam
mekanisme penerimaan/pemungutan melalui petugas pengumpul zakat (Amil) sangat penting. Dan
yang terpenting setelah zakat terkumpul ialah mekanisme dalam penyaluran kepada mustahik
(penerima zakat). Efektifitas ini berkaitan pula dengan efisiensi dalam internal manajemen
termasuk kualitas dan profesionalitas amil zakat, dan transparansi dalam tata-kelola zakat.

Zakat sesungguhnya berfungsi pula sebagai sumber dana bagi pengembangan ekonomi syariah
dengan manajemen amanah. Zakat disalurkan bukan sekedar kepada fakir miskin yang lebih
ditujukan ke kepentingan konsumsi (keluarga), tetapi idealnya dana yang disalurkan dapat dijadikan
modal usaha bagi perbaikan ekonomi keluarga warga Muslim. Jadi sisi investasi atas zakat jauh
lebih bermanfaat dibandingkan sisi konsumsi dari zakat. Ia bagaikan memberi kail dan umpan untuk
pengembangan ekonomi ummat, dibandingkan memberi ikan yang siap dimakan untuk kepentingan
sesaat.

C. Pemberdayaan Zakat Melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat

Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif untuk memecahkan masalah kemiskinan,
diantaranya melalui Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat.
Di zaman Nabi, Amil (yang mengelola zakat) itu merupakan penggerak zakat, mereka yang
mengurus mulai dari proses hingga pendistribusiannya, termasuk memberikan pembinaan kepada
yang menerima, seperti kepada para fakir dan miskin.

Amil merupakan pengelola zakat, termasuk badan-badan zakat yang ada itu tugasnya bukan hanya
menerima dan memproses saja, tetapi berkewajiban juga dalam pendistribusiannya, termasuk
bagaimana dalam membina dan memberikan pembinaan kepada fakir miskin yang menerima zakat
itu. Amil Zakat diharapkan bisa ikut serta memberdayakan zakat secara benar dan tepat. Tentu,
diharapkan zakat yang diterima itu tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi bagaimana bisa
diberdayakan untuk mengangkat perekonomian mereka, misalnya dipakai untuk modal usaha, atau
mereka diberikan alat kerja sehingga mereka bisa terangkat kehidupannya menjadi lebih baik.

Ada data dalam sejarah, pada prinsipnya zakat itu untuk menekan angka kemiskinan, bukan untuk
memelihara kemiskinan. Buktinya dalam sejarah, mulai zaman Nabi, Khalifah sampai pada masa
Umar bin Abdul Aziz, ketika itu saat akan menyalurkan zakat merasa kesulitan karena hampir tidak
ada lagi yang menerima zakat, itu menunjukkan penekanan kemiskinan berhasil.

Tidak banyak yang sadar bahwa sebenarnya zakat adalah sebuah koreksi Islam atas konsep pajak
dalam sebuah negara. Ia merupakan potensi besar untuk mengubah wajah Indonesia menjadi negara
adil dan makmur (baldatun tayyibatun warabbun ghafur). Beranikah kita membayangkan bahwa
pengumpulan dana zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS) dapat melampaui penerimaan negara atas pajak
yang selama ini dibayarkan kepada negara? atau lebih lagi beranikah kita bermimpi penerimaan
dana zakat rakyat Indonesia dapat melampaui penerimaan APBN? Lalu pendistribusiannya
dilakukan berdasarkan pada pola dan konsep pendistribusian zakat yang 8 ( delapan ) asnaf itu.

Tentu saja banyak rakyat Indonesia yang senang, tentu karena pasti rakyat kecil dan miskin akan
segera tertolong dari lembah kesengsaraan hidup. Anak – anak sekolah dari keluarga tidak mampu
juga pasti akan segera tersubsidi secara merata dan adil. Lalu para pedagang asongan dan para
petani di pedesaan, dan peternak serta nelayan segera mendapat suntikan modal.

Sarana umum seperti jalan, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, arena olah raga, juga dibangun
secara memadai karena mendapatkan kompensasi pendistribusian dana sebagaimana mestinya
sebagai salah satu asnaf (fisabilillah). Dan tentu saja para penyelenggara negara (Amil) juga
mendapatkan gaji yang semestinya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak juga punya nafsu untuk
korupsi, karena mereka takut akan azab Allah. Mereka lebih banyak bersyukur karena menyadari
telah dibayar dengan uang dari bagian zakat lewat asnaf Amil.
Dalam konteks perolehan potensi dana zakat yang sudah terkumpul, boleh jadi diskripsi bakal tak
mungkin dicapai. Paling tidak untuk saat ini, tapi bahwa potensi tersebut bisa jadi kenyataan, siapa
yg tahu mengingat penduduk Indonesia yg mayoritas muslim. Dan untuk mewujudkan gagasan
tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit jika pemerintah ikut ambil bagian untuk penggalangan dana
ZIS ini.

Lembaga – lembaga pengelola dana ZIS telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan
dalam konteks pemanfaatan atau pendistribusian dana ZIS. Banyak sudah rakyat miskin yang
tertolong dengan bantuan dana ZIS karena pola pendistribusian tidak hanya menyentuh kebutuhan
konsumtif saja tapi juga sudah diupayakan menyentuh level kegiatan sektor produktif seperti
pemberian modal bagi usaha mikro, juga subsidi biaya sekolah bagi kalangan fakir miskin.

Melihat kenyataan tersebut jelas tidak diragukan lagi jika potensi pemanfaatan dana ZIS sangatlah
besar hanya saja problem yang dihadapi adalah bagaimana memaksimalkan potensi penggalangan
dana ZIS dari masyarakat yang mampu. Persoalan Zakat bukan hanya semata – mata persoalan
Departemen Agama ( red. Kemenag ) saja. Harapan dari ketua BAZNAS, KH. Didin Hafiddudin
yakni bagaimana menjadikan zakat sebagai salah satu sumber dana alternatif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

D. Zakat untuk Pemberdayaan UMK

Secara eksplisit, Islam menentang akumulasi harta kekayaan oleh kelompok tertentu dalam
masyarakat, “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”
(QS.59: 7). Ayat tersebut juga menekankan adanya sebuah proses regulasi harta. Peredaran harta
sebagai modal dalam aktivitas perekonomian merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan.

Akumulasi harta ini dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan antara kelompok kaya dan
miskin. Hal inilah yang terjadi dalam realitas kontemporer. Dimana pemilik modal berupaya
semaksimal mungkin mengakumulasikan modal menjadi motif ekonomi yang mendasari aktivitas
mereka di pasar. Modal dan harta tersebut menjadi senjata ekonomi untuk memperkaya diri.
Akibatnya, masyarakat kelas menengah-bawah, yang tidak memiliki modal, menjadi golongan yang
tertindas, dalam sistem kapitalis yang menghegemoni institusi ekonomi kontemporer.

Mayoritas masyarakat yang tersingkir, kemudian memilih dalam aktivitas-aktivitas ekonomi tingkat
bawah dalam Usaha, Mikro, dan Kecil (UMK). Dengan segala keterbatasannya, terutama pada
akses kepemilikan modal, pelaku UMK ini membangun perekonomian yang lebih riil. Justru, UMK
inilah yang menjadi penyelamat perekonomian nasional, ketika krisis ekonomi terburuk melanda
pada paruh akhir 1990-an. Di saat usaha makro yang padat modal berguguran, maka UMK mampu
menjadi buffer ekonomi yang menyerap sejumlah tenaga kerja yang terbuang dari sektor formal.

Di sini, zakat memiliki potensi besar untuk mereduksi ketimpangan kepemilikan modal bagi UMK
tersebut. Sebagai instrumen redistribusi kesejahteraan, zakat pada dasarnya merupakan mekanisme
share harta di kalangan masyarakat. Memang selama ini, share kesejahteraan tersebut telah
dijalankan dalam institusi zakat. Namun, agenda tersebut lebih banyak dirasakan dalam bentuk
karitatif, yang justru menimbulkan ketergantungan Mustahik (orang-orang yang berhak menerima
zakat). Sudah selayaknya, zakat ditransformasikan menjadi agenda redistribusi kesejahteraan
masyarakat secara produktif. Salah satu resolusi yang memungkinkan adalah memaksimalkan dana
zakat ini sebagai suntikan modal dalam pemberdayaan UMK.

Pelaku UMK pada umumnya merupakan masyarakat kelas bawah, yang menjadi prioritas utama
dari delapan asnaf penerima zakat. Di sini, implementasi pengelolaan zakat sedikit diubah. Jika
sebelumnya dana zakat disalurkan langsung sebagai sarana konsumtif. Maka, dalam agenda ini,
zakat dialokasikan secara produktif sebagai modal bagi UMK dalam pengembangan usahanya.
Untuk merealisasikan agenda tersebut, setidaknya diperlukan sejumlah agenda taktis yang saling
terkait, antara lain:

1. Transparansi dan Amil yang akuntabel. Dengan transparansi dan Amil yang akuntabel diharapkan
tingkat pengumpulan zakat dapat lebih maksimal.
2. Pencerdasan Muzakki. Disadari bersama bahwa para Muzakki belum banyak memahami tentang
hakikat penunaian zakat. Selama ini, zakat hanya dipahami sebatas zakat fitrah, sehingga potensi
ketersediaan zakat maal, yang jumlahnya mayoritas belum tergarap.
3. Instrumen formal dari regulasi zakat yang mendukung. Langkah yang paling memungkinkan adalah
dilakukannya regulasi tentang kewajiban zakat bagi Muzakki.
4. Program pemberdayaan UMK terpadu. Dari dana zakat yang terkumpul, kemudian dialokasikan
bagi tambahan modal kepada UMK. Modal UMK dari dana zakat ini dapat menjadi solusi yang lebih
baik dibandingkan dengan regulasi modal dalam pinjaman konvensional. Karena, modal usaha dari
dana zakat tidak ditujukan untuk menarik keuntungan dari dana yang digulirkan. Sehingga, pelaku
UMK dapat lebih ringan dalam mengembangkan usahanya.
5. Membentuk Lembaga Zakat yang fokus pada advokasi kebijakan publik dalam hal pemberdayaan
UMK. Diakui atau tidak, keberadaan lembaga advokasi dalam ranah kontemporer menjadi sangat
penting. Dengan keberadaan lembaga advokasi ini, maka kebijakan pemerintah akan dapat lebih
terarahkan dan berpihak pada pemberdayaan UMK.

E. ZAKAT DAN KERJA SEBAGAI SOLUSI PENGENTASAN KEMISKINAN

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya
aku akan membunuhnya”. Makna ucapan khalifah keempat tersebut ialah bahwa ia
mendeklarasikan secara tegas “perang terhadap kemiskinan”. Pada masa krisis ekonomi yang masih
berlangsung masalah kemiskinan sedang menjadi isu penting, karena jumlah rakyat miskin
membengkak secara luar biasa, dari 22,5 juta menjadi hampir 100 juta jiwa.

Islam sangat menekankan kepada kita untuk mampu mengatasi kemiskinan, Dalam Ajaran Islam,
kita menemukan petunjuk-petunjuk Allah Swt sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
saw dalam mengatasi kemiskinan. Ustadz Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Musykilatul Fakri
Wa Kaifa ‘Aalajahal Islam menyebutkan kiat-kiat Islam dalam mengatasi kemiskinan. Kiat-kiat
tersebut antara lain:

1. 1. Zakat; merupakan kewajiban yang harus ditunaikan kaum muslimin. Kewajiban zakat sama
kedudukannya dengan kewajiban shalat. Dalam Islam, perintah shalat dirangkai dengan perintah
zakat. Berarti, seorang muslim tidak sempurna keislamannya tanpa menunaikan keduanya,
sebagaimana firman Allah:Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-
orang yang ruku (QS 2:43).

Karena zakat merupakan upaya untuk mengatasi kemiskinan, maka dana zakat tidak hanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya konsumtif, karena para fakir dan miskin
nantinya hanya menggantungkan harapannya kepada zakat. Dana zakat itu bisa untuk biaya
pendidikan orang-orang miskin dan modal usaha.

Karena zakat menjadi salah satu pilar penting dalam Islam maka mereka yang tidak menunaikan
zakat bukan hanya tidak sempurna keislamannya, tapi juga tidak termasuk ke dalam kelompok
mu’min yang beruntung (QS 23:1-4), tidak termasuk muhsinin atau orang yang baik (QS 31:3-4),
tidak termasuk orang yang melakukan kebajikan dan ketaqwaan (QS 2:177), tidak bisa dibedakan
dengan orang-orang yang musyrik (QS 41:6), tidak memperoleh rahmat Allah (QS 7:156), tidak
berhak memperoleh pertolongan Allah (QS 22:41) dan sebagainya.
1. 2. Bekerja; merupakan keharusan mutlak yang harus dilakukan oleh seorang muslim, guna
memperoleh rezeki yang telah disediakan Allah Swt. Seorang muslim diperintahkan untuk berjalan
ke berbagai penjuru dunia untuk meraih rezeki yang halal. Sebagaimana firman Allah swt yang
artinya: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya (QS 67:15).

Bekerja adalah senjata utama untuk memerangi kemiskinan, modal pokok mencapai kekayaan dan
faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia. Ini berarti seorang muslim harus memiliki
ilmu dan ketrampilan agar dapat bekerja dan membuka lapangan kerja serta menumbuhkan
semangat untuk bekerja/ jiwa entrepreneur.

Oleh karena itu, seorang muslim yang telah menunaikan zakat dengan hati yang ikhlas, maka dia
akan digolongkan ke dalam kelompok orang yang bersaudara dalam Islam (QS 9:11). Akhirnya,
kita harus menyadari bahwa kemiskinan itu selalu menghantui kita sepanjang zaman dan
kemiskinan bisa terjadi secara tiba-tiba terhadap orang yang kaya. Maka harus kita ingat bahwa
selagi kita kaya dan berkecukupan, kita harus ingat pada mereka yang miskin dan kekurangan,
karena suatu ketika mungkin saja kita seperti mereka. Wallahu a’lam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai