Anda di halaman 1dari 31

HOME VISIT

SKIZOFRENIA RESIDUAL

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ

Disusun Oleh:
Nindya Putri Prasasya (20174011113)
Damar Arya Bagaskara (20174011101)
Raudatul Maulida (20174011098)

BAGIAN ILMU ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD WONOSARI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HOME VISIT

SKIZOFRENIA RESIDUAL

Disusun oleh:

Nindya Putri Prasasya (20174011113)


Damar Arya Bagaskara (20174011101)
Raudatul Maulida (20174011098)

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Wonosari

dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ


PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi
kasus yang berjudul:

“SKIZOFRENIA RESIDUAL”
Penulisan presentasi kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena
itu maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Ida Rochmawati, M.Sc., Sp.KJ. selaku dokter pembimbing dan dokter
Spesialis Penyakit Jiwa RSUD Wonosari.
2. Perawat di poli Jiwa RSUD Wonosari.
3. Teman-teman coass atas dukungan, kerjasamanya dan doanya.

Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih


memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah
pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Wonosari, 4 April 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

PENGANTAR .............................................................................................................. 3
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 4
BAB 1 ........................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5
A. IDENTITAS PASIEN .................................................................................... 5
B. ANAMNESIS ................................................................................................. 6
C. STATUS PSIKIATRI................................................................................... 10
D. PEMERIKSAAN FISIK ............................................................................... 12
BAB II ......................................................................................................................... 14
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 14
A. Definisi ......................................................................................................... 14
B. Epidemiologi ................................................................................................ 15
C. Etiologi ......................................................................................................... 15
D. Gambaran Klinis dan Diagnosis ................................................................... 17
E. Perjalanan penyakit dan Prognosis ............................................................... 22
F. Diagnosis Banding ....................................................................................... 22
G. Penatalaksanaan ............................................................................................ 23
BAB III ....................................................................................................................... 26
PEMBAHASAN ......................................................................................................... 26
A. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA .................................................... 27
B. FORMULASI DIAGNOSTIK MULTIAXIAL ........................................... 27
C. PENATALAKSANAAN ............................................................................. 28
D. PROGNOSIS ................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 30

4
BAB 1

PENDAHULUAN

A. IDENTITAS PASIEN
1. PASIEN (ALLOANAMNESIS)
Nama : Sdr. S
Umur : 35 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Randukuning II 02/08 Selang Wonosari GK
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status : Belum menikah
Pendidikan : TK
Suku : Jawa
Tgl Periksa : 02 April 2018
Tgl home Visit : 04 April 2018

2. AYAH PASIEN (ALLOANAMNESIS)


Nama : Bp.NK
Umur : 72 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Randukuning II 02/08 Selang Wonosari GK
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Status : Menikah
Suku : Jawa

5
B. ANAMNESIS
1. KELUHAN UTAMA
Pasien kontrol post mondok di RSJ Ghrasia dengan riwayat bingung,
tidak mau beraktivitas dan berbicara sendiri.

2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien dibawa ke poli jiwa oleh orang tua dan bapak dukuh dengan
riwayat bingung, tidak mau beraktivitas dan berbicara sendiri. Pasien saat ini
mengeluhkan kadang-kadang sulit tidur, ingatan masih sering lupa, rendah diri,
gelisah, bicara masih kacau dan belum bisa berkomunikasi dengan baik (seperti
menjawab pertanyaan dari orang lain). Pasien saat ini sudah mulai dapat
merawat diri sendiri seperti mandi dan berpakaian. Pasien mengalami hal
seperti itu sejak kelas 6 SD dengan menunjukkan keluhan seperti pandangan
kosong, suka menyendiri, bicara sendiri dan terkadang mengamuk akan tetapi
keluarga selalu membawa pasien ke kyai atau ustad. Pasien tidak mengeluhkan
mendengar bisikan yang orang lain tidak dengar, melihat bayangan yang orang
lain tidak lihat, mengamuk, pikiran curiga dan dikejar-kejar. Pusing (-), mudah
lelah (-), mual (-) dan pehgal-pegal (-).
Menurut ayahnya, pasien mengalami keluhan seperti itu karena kurang
adanya perhatian dari keluarga, kadang keluarga pernah berselisih pendapat,
serta pasien sering diejek dan dimarahi oleh teman-temannya. Pasien merasa
keluhan yang dialaminya sedikit berkurang ketika meminum obat rutin yang
diberikan oleh dokter.
3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
a. Riwayat Psikiatrik: Menurut keluarga pasien, Sdr. S pernah mondok di
RSJ Grhasia sebanyak 2 kali, terakhir 1 bulan yang lalu (Februari 2018)
dengan riwayat bingung.

6
Pertama kali mondok dengan riwayat telanjang dipinggir jalan, tidak
pernah mandi kurang lebih sekitar 2 bulan, rawat diri buruk, tidur di
sembarang tempat serta menyendiri.
b.Riwayat Medis: Pasien belum pernah mondok di rumah sakit karena sakit
yang serius. Pasien hanya sakit biasa dan sembuh sendiri.
 Riwayat penyakit gula : Disangkal
 Riwayat tekanan darah tinggi: Disangkal
 Riwayat asma : Disangkal
 Riwayat Trauma : Disangkal

4. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pasien ini merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pasien tinggal
bersama kedua orang tua di rumah. Menurut kelurga pasien, Sdr. S merupakan
seorang yang pendiam, sering menyendiri dan kurang percaya diri.
a. Prenatal dan perinatal : Info dari keluarga pasien, Sdr. S dahulu
dilahirkan secara normal di rumah. Riwayat ASI ekslusif.
b. Early Childhood : Pasien sewaktu kecil diasuh oleh kedua orang
tua dan dibantu juga oleh tetangga pasien.
c. Middle Childhood : Pasien merupakan seorang yang pendiam,
sering menyendiri dan kurang percaya diri. Keluarga pasien mengatakan
pasien sering merasa rendah diri terhadap teman-temannya karena sering
diejek dan dimarahi teman-temannya.
d. Late Childhood : Pasien tidak lulus SD sehingga tidak dapat
melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
e. Remaja :
 Riwayat pendidikan :Pendidikan terakhir pasien yaitu TK.
 Agama :Islam

7
 Aktivitas sosial :Pasien tidak pernah bergaul dengan
orang-orang sekitar.
 Kebiasaan sehari-hari :Pasien hanya di rumah saja (duduk dan
tiduran).

5. RIWAYAT KELUARGA
a. Riwayat keluhan serupa : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat penyakit gula : Disangkal
d. Riwayat asma : Disangkal
e. Genogram Keluarga

8
Ny. P
Tn. S

Ny. F Tn. MR Ny. P

X
Tn. Y Tn. J Tn. C

IP

FR RD

KETERANGAN:

X
: Perempuan : Meninggal :

: Laki Laki : Tinggal 1 rumah

: Pembuat keputusan / Decision maker : Pasien

9
6. RIWAYAT PERSONAL SOSIAL
a. Riwayat merokok : Pernah, SMRSJ Grhasia
b.Riwayat minum minuman keras : Disangkal
c. Riwayat minum obat-obatan terlarang : Disangkal

7. SITUASI SEKARANG
Pasien tinggal satu atap bersama dengan kedua orang tua. Situasi rumah bersih
dan rapi. Sirkulasi rumah pasien kurang baik. Rumah pasien tergolong sederhana
karena bangunannya yang terbuat dari bambu. Pasien biasanya menghabiskan
waktu di rumah saja. Sekeliling rumah pasien terdapat banyak sawah, hutan dan
kandang ayam di depan rumah.

C. STATUS PSIKIATRI
a. Gambaran Umum
 Penampilan:
Pasien seorang laki laki sesuai umur, berpenampilan sesuai usia,
berbadan kurus tinggi, dengan postur membungkuk berambut pendek
dan rapi. Pasien menggunakan kaos berwarna kuning dan menggunakan
celana pendek. Tampak bingung, sering menunduk, berbicara sendiri,
rawat diri baik dan kurang kooperatif.
 Perilaku:
Tenang
 Sikap Terhadap Pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa kurang kooperatif
b. Sensorium & Kognitif
 Tingkat Kesadaran

10
Compos Mentis
 Orientasi
Orang : sulit dinilai
Waktu : sulit dinilai
Tempat: sulit dinilai
 Daya ingat
Jangka Panjang : sulit dinilai
Jangka Pendek : sulit dinilai
Segera : sulit dinilai
c. Emosi
 Mood : sulit dinilai
 Afek : sempit, tumpul
 Kesesuaian : inapropiate
d.Pikiran
 Bentuk Pikir : sulit dinilai
 Isi Pikir : Waham curiga sulit dinilai
e. Gangguan Persepsi
 Halusinasi Visual : sulit dinilai
 Halusinasi auditorik : sulit dinilai
 Halusinasi taktil : sulit dinilai
 Halusinasi Olfaktori : sulit dinilai
f. Pembicaraan
 Kecepatan : Cepat, Volume suara lirih
 Kuantitas : Bicara sendiri
 Kualitas : Tidak relevan
 Hendaya berbahasa : Tidak ada

g.Psikomotor

11
 Hipoaktif
h.Insight (Tilikan)
 Sulit dinilai
i. Reliabilitas / Taraf dapat dipercaya
 Tidak dapat dipercaya

D. PEMERIKSAAN FISIK
a. Kesadaran : Compos Mentis
b.Tanda Tanda Vital
 Tekanan Darah : 120/90 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu Badan : 36,7 oC
c. Pemeriksaan Kepala
 Bentuk Kepala : Mesocephal, rambut pendek
 Wajah : Simetris
 Mata : konjungtiva anemis (-/-) sclera icteric (-/-)
 Telinga : Sekret (-/-), nyeri (-/-), pardarahan (-/-).
 Hidung : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-), deformitas (-/-)
 Mulut : sianosis (-)
d. Pemeriksaan Leher : JVP meningkat (-/-), PKGB (-)
e. Pemeriksaan Thorak
 Pulmo :
o Inspeksi : Simetris
o Palpasi : Nyeri Tekan (-/-)
o Perkusi : Sonor
o Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
 Cor :

12
o Inspeksi : Kuat angkat (-)
o Palpasi : Iktus kordis tidak melebar
o Perkusi : Batas atas jantung kanan terdapat pada SIC II
parasternalis dextra, batas atas jantung kiri pada SIC II
parasternalis sinistra, batas bawah jantung kanan pada SIC VI
parasternalis dextra, dan batas bawah jantung kiri pada SIC V pada
garis mid clavicula sinistra.
o Auskultasi: SI-II murni, bising (-)
f. Pemeriksaan Ekstremitas Atas : Akral Hangat, Sianosis (-/-)
g. Pemeriksaan Ekstremitas Bawah : Akral Hangat, Sianosis (-/-)

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat
didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang
timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma
yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai
dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan
kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang
disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam
fungsi peran dan kehidupan sosial.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran waktu
terjaga.
2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal
3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan kognitif
(seperti kesukaran konsentrasi)
Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stres emosional / trauma psikologik
yang besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia yang lazim.Gangguan
stres pascatraumatik dapat terjadi dengan segera, hal ini dapat dilihat langsung pada
bencana alam, pengalaman seseorang terhadap reaksi dari trauma tersebut merespon
kejadian yang baru dialaminya di luar kontrol dirinya, menangis, hilang ingatan sesaat,
menjerit-jerit, histeria dan sebagainya. Gangguan stres pascatraumatik juga dapat
disebabkan oleh stres ringan yang pada awalnya, akan tetapi stres berlangsung secara
kontinu, stres tersebut berlangsung sampai berminggu-minggu, bulan dan bahkan
tahunan.

14
B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum diperkirakan
dari 1 sampai 3 persen dimana 0,5 % untuk pria dan 1,2 % pada wanita, anak-anak juga
mengalami gangguan tersebut. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau
penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan
anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang,
kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh.
Walaupun gangguan stres pascatraumatik dapat tampak pada setiap usia,
gangguan ini paling menonjol pada dewasa muda, karena sifat situasi yang
mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres
pascatraumatik.Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma
untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan sangat
mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan
ekonomi atau menarik diri secara sosial.
Penelitian terhadap korban yang selamat dalam kamp NAZI menemukan bahwa
97% dari korban masih terganggu dengan kecemasan sampai 20 tahun setelah ia
dibebaskan dari kamp tersebut. Banyak dari mereka yang membayangkan trauma
hukuman mati di dalam mimpi mereka dan merasa takut bahwa sesuatu dapat terjadi
pada pasangan atau anak-anak saat tidak terlihat (Krystal, 1968)
Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa 15% dari
veteran tersebut mengalami gangguan stres paca-traumatik sejak kepulangan mereka
(Centers Disease Control, 1988), sementara penelitian lain menyebutkan bahwa reaksi
stres terhadap horor perang juga ditemukan pada Perang Dunia I yang disebut dengan
shell shock sindrom dan combat fatigue pada Perang Dunia II

C. Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres
pascatraumatik. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres
pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan,

15
namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus
ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya
dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Penelitian terakhir pada gangguan stres pascatraumatik sangat menekankan
pada respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri.
Walaupun gejala gangguan stres pascatraumatik pernah dianggap secara langsung
sebanding dengan beratnya stresor, penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya.
Jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian orang tidak akan mengalami
gangguan stres pascatraumatik. Sebaliknya peristiwa yang mungkin tampaknya biasa
atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin dapat menyebabkan gangguan
stres pascatraumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan
penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan.
Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma
psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi atau mengungkapakan keadaaan perasaan sebagai ciri yang umum.
Jika trauma psikis terjadi pada masa anak- anak, biasanya dihasilkan perhentian
perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional
sering kali terjadi. Mereka tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam keadaan
stres.

BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA

16
D. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah pengalaman
ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekakuan emosional
dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak
berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah peristiwa.
Pemeriksaaan status mental seringkali mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan
penghinaan. Pasien mungkin juga menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan
panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan
bahwa pasien memiliki gangguan daya ingat dan perhatian.Gejala penyerta dapat
berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls yang buruk dan depresi. Berbagai ciri
anti sosial mungkin ditemukan termasuk penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol
dan obat, perasaan bersalah yang menonjol, insomnia, ilusi dan halusinasi, disosiasi,
serangan panik, agresi, kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan
memusatkan perhatian (konsentrasi).
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stres pascatraumatik ditulis untuk
memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-III-R

17
menggambarkan stresor di luar rentang pengalaman manusia pada umumnya. Karena
kriteria adalah tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya
(Kriteria A).Dalam DSM-IV, kriteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R,
bahwa pasien secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan
D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R, mereka menyebutkan penghindaran
persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan kesadaran pada pasien. DSM-IV
menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (reexperiencing), menghindar dan
kesadaran yang berlebihan (hiperarousal) harus berlangsung lebih dari 1 bulan. Bagi
pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat mungkin
adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stres
pascatraumatik yang memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut
(jika berlangsung kurang dari tiga bulan ) atau kronis (jika gejala berlangsung tiga
bulan atau lebih). DSM-IV juga memungkinkan klinisi menentukan bahwa gangguan
adalah dengan onset lambat jika onset gejala adalah enam bulan atau lebih setelah
peristiwa stres.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik :

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau
kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman
kepada integritas fisik diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya
atau horor.

18
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)
cara berikut :
1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang
kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi
kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman kembali
pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode kilas balik disosiatif,
termasuk yang terjadi saat terbangun atau saat terintoksikasi).
4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal
atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan
kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti
yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan
yang berhubungan trauma
2) Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang
menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas
yang bermakna
5) Rentang afek yang terbatas
6) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma ) yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur

19
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respon kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :

Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan

Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih

Sebutkan jika :

Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah


stressor

Tabel dari DSM- IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoerder, ed 4. Hak
cipta American Psychiatric Association, Washington 1994.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Akut
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini ditemukan :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau
kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman
kepada integritas diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya
atau horor.

20
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang
menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam
keadaan tidak sadar)
3. derelisasi
4. depersonalisasi
5. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek
penting dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara
berikut : bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau
suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar
dengan mengingat kejadian traumatik
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma
(misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur,
iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang
berlebihan, dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu
kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti
meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi
dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan
terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu
eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.

21
E. Perjalanan penyakit dan Prognosis
Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah
trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi
dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stres. Kira-kira
30% pasien piulih secara lengkap, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus
menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk. Prognosis
yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang
dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak
adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak
kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia
pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan
kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor
tertentu.Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan
dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya, pasien yang mendapat
dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak mengalami gangguan atau tidak
mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.

F. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik
dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala
adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan
dengan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga
menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik
sampai efek zat hilang. Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru
didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak
tepat. Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien

22
yang menderita gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan
kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan
mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya
dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan
disosiatif, gangguan buatan atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan
kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik.
Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan
sebab akibat. Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku
menghindar, kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh
pasien gangguan stres pascatraumatik.Sebagian karena publisitas yang telah diterima
gangguan stres pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga
mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura – pura.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma
Terdapat tiga pendekatan terapetik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan
kecemasan yaitu :
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1. Peredaan gejala
2. pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3. Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik dengan
abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik.

23
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi
perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat
untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan
juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi
menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan
kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi
penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatik, mendorong mereka untuk santai, dan
mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur,
menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-
teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat
dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan
merencanakan pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model intervensi
krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan
penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua
pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan
peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan
in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada
desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien metoda
penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stres, termasuk teknik relaksasi dan
pendekatan kognitif. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik
penatalaksanaan stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil
dari teknik pemaparan adalah lebih lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah
dilaporkan efektif pada kasus gangguan stres pascatraumatik. Keuntungan terapi
kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan
dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam.
Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui
periode gejala yang mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin

24
diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau
kekerasan lainnya.

Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena
ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk
meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan
gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada
penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat.
Fluvoxamine tampaknya lebih efektif. Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg
untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis
sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum.
Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan,
sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan
kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan
benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik
psikososial diterapkan. Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian
benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen
dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan.
Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan
dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya

25
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik,
telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka. Selain itu juga
terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis
Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus
gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau
lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan,
Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk
melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress
pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress
pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada
pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled
studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa
laporan mengenai kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat
dalam gangguan stress pascatrauma.

BAB III

PEMBAHASAN

26
A. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Pasien seorang laki laki, usia sekitar 18 tahun, berpenampilan sesuai usia, berbadan
proporsional, dengan postur membungkuk berambut pendek dan rapi. Pasien
menggunakan kaos berwarna abu abu dan menggunakan celana jeans. Tampak cemas,
menggenggam tangan, mata kiri berkedip involunter, daya tangkap cukup, kooperatif,
rawat diri baik. Menurut ayahnya, pasien mengalami cemas, khawatir dan berdebar
sejak sekitar 5 bulan yang lalu, yaitu sekitar bulan November.. Dari keterangan
keluarga, gejala tersebut tiba-tiba muncul setelah kecelakaan sepeda motor yang
dialami oleh teman dekatnya. Pasien dan keluarga menyangkal pernah mengalami hal
serupa sewaktu dulu dan tidak pernah mondok dirumah sakit karena sakit yang berat
dan trauma.
Pada pemeriksaan status mental didapatkan kuantitas bicaranya cukup, relevan
dan tidak ada hendaya. Pasien ketika ditanya menjelaskan dengan panjang lebar dan
jelas Tilikan diri pasien cukup, pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan
namun tidak mengetahui penyebab penyakitnya.Pada saat diperiksa keterangan pasien
dapat dipercaya. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal.

B. FORMULASI DIAGNOSTIK MULTIAXIAL


Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan pola peilaku dan psikologis yang
secara klinis bermakna dan menimbulkan suatu gangguan dalam melakukan
kegiatan sehari hari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami gangguan jiwa.

a. Axis I : F43.1 gangguan stres pasca trauma


b. DD : F43.22 gangguan penyesuain reaksi campuran anxietas dan
depresi
F43.23 gangguan penyesuain dengan predominan gangguan
emosi lain
F43.8 Reasi stress berat lainnya

27
c. Axis II : F60.6 gangguan kepribadian cemas (menghindar)
d. Axis III : Tidak ada (none)
e. Axis IV : Tidak ada (none)
f. Axis V : GAF: 86: Gejala minimal,berfungsi baik,cukup puas,tidak
lebih dari maslah harian yang biasa.

C. PENATALAKSANAAN
Farmakoterapi diberikan untuk mengatasi gejala yang dialami oleh pasien. Pada
pasien ini memiliki gangguan yang berupa konsekuensi langsung (direct consequence)
dar stres akut yang berat atau tramu yang berkelanjutan. Stress yang terjadi atau
keadaan tidak nyaman yang berkelanjutan merupakan faktor penyebab utama dan tanpa
hal itu gangguan tersebut tidak terjadi. Gangguan-gangguan ini dapat di angggap
sebagai respon malaadaptif terhadap stress berat atau stres berkelanjutan, dimana
mekanisme penyesuain (coping mecanisme) tidak berhasil mengatasinya sehingga
menimbulkan maslah dalam fungsi sosialnya.

a. Terapi farmakologi
 R/ tab fluoexetin mg 20 XX
S 2 dd 1
Pada pasien ini terjadi penurunan neurotrasmiter serotonin sehingga
diberikan Fluoexetin bekerja dengan cara meningkatkan aktivitas dan
sirkulasi zat kimia di otak yang disebut serotonin. Fluoexetin sendiri
merupakan golongan SSRI yang efek sedasi,otonomik dan kardiologi
minimal.
b. Terapi non Farmakologi
 Terhadap Pasien
o Memotivasi terhadap pasien untuk meminum obat secara rutin.
o Memotivasi pasien agar tetap bersosialisasi terhadap keluarga
dan tetangga

28
 Terhadap Keluarga Pasien
o Memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarga
mengenai gangguan yang dialami oleh pasien.
o Memberikan semangat, apresiasi, dan dukungan emosional
kepada keluarga dalam merawat pasien.
o Menyarankan untuk sering mengingatkan pasien agar rutin
meminum obat.
o Memberikan edukasi kepada pasien agar dapat memulai
aktivitasnya sedikit demi sedikit sehingga peran pasien dalam
keluarga dapat kembali.

D. PROGNOSIS
Kira-kira 30% pasien piulih secara lengkap, 40% terus menderita gejala ringan,
20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang
kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak
kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia
pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan
kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor
tertentu.Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan
dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya, pasien yang mendapat
dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak mengalami gangguan atau tidak
mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. PatrickD. McGorry. 2010. VeryLow-DoseRisperidone in First-


EpisodePsychosis: A Safe and EffectiveWaytoInitiateTreatment. Melbourne:
The University of Melbourne.
2. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
3. Grover, S. 2010. Acute and Transient Psychosis: An Overview. India: PGIMER.
4. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric
Press, Washington, 1994
5. Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins,
Baltimore, 1993
6. Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta,
2003
7. Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry.
3rd ed, British Libarry, USA: 335-342.
8. http: // med linux.blogspot.com/2007/08/gangguan Stres Pasca Trauma.html
9. http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/ gangguan Stres Pasca
Trauma.html

30
31

Anda mungkin juga menyukai