Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus
meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya,
berkurangnya produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu
aktivitas sosial. Rinitis alergi juga mempengaruhi secara signifikan terhadap
anggaran kesehatan. Di Amerika biaya untuk rinitis alergi saja mencapai 2.7
milyar dolar setahun dan hampir 3.8 juta waktu bekerja dan sekolah hilang setiap
tahunnya akibat rinitis alergi.
Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-
15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi di negara industri lebih
banyak daripada negara agraria, sedangkan diperkotaan lebih tinggi daripada di
pedesaan.
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang tersering
menyebabkan rinitis alergi yaitu tungau, dan tungau debu rumah.
Rinitis alergi dapat meyebabkan ko-morbiditas antara lain sinusitis, asma
brokhial, konjungtivitis dan otitis media. Kejadian otitis media sangat erat
hubungannya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius yang berkaitan dengan
tekanan telinga tengah.
Peran rinitis alergi pada penyakit telinga tengah belum dapat dipahami
sepenuhnya. Beberapa penelitian melaporkan mekanisme gangguan fungsi tuba
Eustachius pada rinitis alergi didasari kesamaan antara mukosa rongga hidung,
nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah, sehingga proses inflamasi alergi di
mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa nasofaring dan tuba Eustachius.
Keluhan dan gejala awal yang dirasakan penderita gangguan fungsi tuba
Eustachius antara lain nyeri telinga, berdengung, rasa penuh di telinga hingga
vertigo, hal ini menyebabkan rasa tidak nyaman dan dapat mempengaruhi kualitas
hidup penderita.
Jika terjadi gangguan fungsi tuba, dapat berlanjut menjadi otitis media efusi akut
dan kronis, atelektasis membran timpani, dan retraction pocket/cholesteatoma.

1
Penelitian mengenai hubungan rinitis alergi terhadap gangguan fungsi tuba
Eustachius belum banyak dilaporkan. Lazo Saenz, et al., (2005) melaporkan
penelitian mengenai gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius pada subjek rinitis
alergi, sedangkan Kuldeska, et al., (2005) melakukan pemeriksaan audiometri dan
timpanometri pada subjek rinitis alergi seasonal dan perennial. Karya, et al.,
(2007) di Makassar melaporkan studi mengenai pengaruh rinitis alergi sesuai
klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius. Wulandari
(2010) melaporkan hubungan antara rinitis alergi dengan penurunan tekanan
telinga tengah. Saat ini belum ada penelitian tentang hubungan rinitis alergi
dengan gangguan fungsi tuba Eustachius di RS H.Adam Malik Medan, namun
terdapat penelitian sebelumnya melaporkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara alergi dan OMSK, dimana OMSK selalu diawali oleh gangguan
fungsi tuba, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui berapa besar hubungan
rinitis alergi dengan terjadinya gangguan fungsi tuba.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
RINITIS ALERGI

A. ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah :
 Pangkal hidung (bridge)
 atang hidung (dorsum nasi)
 Puncak hidung (hip)
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit dan
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung . Kerangka tulang terdiri dari :
 tulang hidung (os nasal)
 prosessus frontalis os nasal
 prosessus nasalis os frontal
 Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang
Beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung ,
yaitu :
 sepasang kartilago nasalis lateralis superior
 sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor)
 tepi anterior kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung

3
adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah :
1. lamina perpendikularis os etmoid
2. vomer
3. Krista nasalis os maksilaris
4. Krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan adalah :
1. Kartilago septum
2. kolumela
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan yang terkecil
adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus, yaitu :
1. meatus inferior, terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral ronggga hidung. Pada meatus inferior
terdapat pula muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
2. meatus medius, terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
3. meatus superior merupakan ruangan di antara konka superior dan
konka media.
Terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Batas rongga
hidung :
1. dinding anterior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum
2. dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kibriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kibriformis merupakan lempeng tulang
berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,
atap hidung dibentuk oleh os sfenoid.

4
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus uncinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
resessus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang
sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus-sinus yang terkait. Perdarahan hidung, pada bagian atas rongga
hidung mendapat perdarahan a.Etmoid anterior dan posterior. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang
a.fasialis. Persarafan hidung bagian depan dan atas rongga hdung
mendapat persarafan sensoris dari n.Etmoidalis anterior. Rongga hidung
lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.Maksilaris
melaui ganglion sfenopalatina. Fungsi penghidu berasal dari n.Olfaktorius.

B. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejalabersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.

C. EPIDEMIOLOGI
Meskipun insiden rhinitis alergi yang tepat tidak diketahui, tampaknya
menyerang sekitar sekitar 10 % dari populasi umum. Dapat timbul pada
semua golongan umur, terutam anak dan dewasa, namun berkurang
berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan,
sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh.

D. ETIOLOGI

5
Penyebab tersering adalah allergen inhalan (dewasa) dan allergen ingestan
(anak-anak). Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Dipeberat oleh faktor non-spesifik,
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembapan yang tinggi. Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara
pernafasan, misalnya tungau debu rumah, serpihan epitel kulit
binatang, rerumputan serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.

E. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergika merupakan suatu penyakit inflamasi ang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi
laergi terdiri dai 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Cepat(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya dan late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlansung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergn atau
tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji
(Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel
di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk kmpleks peptida MC kelas II yang kmudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin

6
seperti IL I yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berprolifersi menjadinTh
1 dan Th 2.

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sepertin IL 3, IL 4, IL 5, dan IL


13, IL 4 da IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di
permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen
spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.
Selain histamin juga di keluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2, Leukotrien C4, bradikinin, Platelet Activating Factor
dan berbagai sitokin (IL3,IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF) dan lainlain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor III pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin2. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain itu, histamine juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran ICAM I.

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinifil dan netrofil di jaringan target.
Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut
dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL 3, IL 4,IL 5 dan GM-CSF dan ICAM I pada secret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau responsive hidung adalah akibat
peranan eosinofil dan mediator inflamasi dari granulnya seperti

7
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinohilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik, iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.

F. GAMBARAN HISTOLOGIK
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan sub
mukosa. Di luar serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan
dapat terjadi persisten sepanjang tahun, sehingga terjadi perubahan
irreversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa
sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masunya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi berupa :
1. Respon primer, yaitu proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag).
Bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag
tidak berhasil selurunya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
2. Respon sekunder, yaitu reaksi bersifat spesifik. Yang mempunyai 3
kemungkinan yaitu : system imunitas seluler atau humoral atau
keduaduanya dibangkitkan. Bila Ag dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tertier.
3. Respon tertier, yaitu reaksi imunologik yang terjadi yang tidak
menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau
menetap, tergantung dari daya eleminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu :
 Tipe 1 (reaksi anafilaksis/immediate hypersensitifity)
 Tipe 2 (reaksi sitotoksik)
 Tipe 3 (reaksi kompleks imun)
 Tipe 4 (delayed hypersensitivity).

G. KLASIFIKASI
Berdasarkan sifat berlangsungnya :

8
1. Rinitis alergi musiman (seasonal), terjadi pada Negara dengan 4
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari dan spora
jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial), timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, timbul sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan. Gangguan
fisiologik pada golongan pereteral lebih ringan dibandingkan
golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Klasifikasi WHO :
 Intermitten : bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu.
 Persisten : bila gejala lebih dari 4 hari /minggu dan lebih
dari 4 minggu.
Berdasarkan berat ringannya penyakit :
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain
yang mengganggu.
2. Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.

H. GEJALA KLINIK
 Serangan bersin berulang lebih dari 5 kali dalam satu kali
serangan.
 Rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, kadang disertai lakrimasi.
 Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit berlangsung
lama(lebih dari 2 tahun) adalah bayangan gelap di daerah bawah
mata (allergic shiner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi
hidung. Anak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung
tangan (allergic salute). Lama- lama akan timbul garis melintang di
dorsum nasi (allergic crease).
 Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria, atau
eksim.

I. DIAGNOSIS
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis

9
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal yang kadang disertai dengan banyaknya air mata kelur
(lakrimasi).

2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada
anak adalah allergic shiner, allergic salute, dan allergic crease, serta
facies adenoid. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3. Pemeriksaan Penunjang
 Hitung jenis : peningkatan kadar Ig E
 RAST (Radio Immuno Sorbent Assay Test)
 ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test)
 Pemeriksaan stologi hidung
 Prick test
 Skin End-point Titration(SET)
 Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT)
 Diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test)

J. DIAGNOSIS BANDING
1. Rinitis non alergi
2. Rinitis infeksiosa
3. Common cold

K. PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak
dengan allergen penyebabnya.
2. Medikamentosa
Antihistamin, dianjurkan AH-1 karen a bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sl target. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral.

10
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa, dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal.
Preparat kortikosteroid, diberikan bila respon fase lambat tidak
berhasil diatasi dengan pengobatan sebelumnya.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
3. Operatif
Tidakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan
cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari
adalah pembentukan IgG bocking antibody dan penurunan IgE.
Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal
dan sub-lingual.

L. KOMPLIKASI
Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah :
 Polip hidung
Alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknyapolip hidung dan kekambuhan polip hidung.
 Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
 Sinusitis Paranasal.

BAB III
LAPORAN KASUS

11
IDENTITAS PASIEN
Nama : NY. YL
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Suku bangsa : Lampung
Alamat : Tanggamus

ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilaukan degan metode Autoanamnesis.

Keluhan Utama :
Sering bersin-bersin yang hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu

Keluhan Tambahan :
Hidung sering gatal sejak 1 tahun yang lalu, keluar cairan dari hidung berwarna
bening dan encer, hidung tersumbat.

Riwayat penyakit Sekarang :


pasien datang dengan keluhan sering bersin-bersin yang hilang timbul sejak 1
tahun SMRS. Bersin-bersin dirasakan terus-menerus jika kambuh, selama lebih
kurang 3 jam, setiap serangan lebih dari 5 kali dan lebih dari 4 hari dalam
seminggu. Bersin-bersin didahului oleh hidung gatal-gatal dan kemudian keluar
ingus encer dari hidung yang berwarna jernih, tidak berbau, tidak disertai darah
dan membasahi beberapa helai tissue, kadang-kadang disertai dengan keluarnya
air mata. Keluhan ini lebih sering muncul saat pagi hari, cuaca dingin dan
terkena debu sewaktu membersihkan rumah. Mata terasa gatal dan berair. Sakit
kepala dirasakan setiap bersin. pasien mengaku tidak demam, adanya nyeri pada
wajah disangkal,Telinga terasa penuh dan berair tidak ada, Riwayat sakit
tenggorokan tidak ada, pasien mengaku tidak ada rasa menelan cairan di
tenggorokan, Alergi makanan tidak ada, Riwayat gatal-gatal dan bentol pada kulit
atau kaligata tidak ada, Sesak napas atau napas berbunyi menciut tidak ada, Pasien

12
mengaku membeli obat pilek biasa sendiri diwarung keluhan berkurang jika
meminum obat tetapi kambuh lagi.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien menderita asma pada waktu masih anak-anak, namun sekarang tidak
pernah kambuh lagi

Riwayat Penyakit keluarga


Adik dari ayah (tante) pasien menderita penyakit dengan keluhan yang sama

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan


· Pasien seorang IRT
· Ventilasi rumah cukup baik
· Tidak ada memelihara binatang peliharaan dirumah
· Tidak menggunakan karpet dan kasur kapuk.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Frekuensi Nafas : 18 x/ menit
Frekuensi Nadi : 78 x/menit
Suhu : afebris

Pemeriksaan Sistemik
Kepala : tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorak : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+), normal, distensi
tidak ada
Ekstremitas : Edema tidak ada, perfusi jaringan baik

13
STATUS LOKALIS THT
Telinga

KANAN TELINGA LUAR KIRI


Normotia Bentuk telinga luar Normotia
Normal,nyeri tarik (-) Daun telinga Normal, nyeri tarik (-)
Normal,nyeri tekan Retroaurikular Normal, nyeri tekan (-),
(-), tidak ada benjolan tidak ada benjolan
Tidak ada Nyeri tekan tragus Tidak ada

KANAN LIANG TELINGA KIRI


Lapang Lapang / Sempit Lapang
Warna menyerupai Warna Epidermis Warna menyerupai kulit
kulit
Tidak Ada Sekret Tidak ada
Ada Serumen Tidak ada
Tidak ditemukan Kelainan Lain Tidak ditemukan

KANAN MEMBRAN TIMPANI KIRI


Intak Bentuk intak
Putih mutiara Warna Putih mutiara
(+) Reflek Cahaya (+)
(-) Perforasi (-)
Retraksi (-) Kelainan Lain Retraksi (-)

Hidung

14
KANAN HIDUNG KIRI
Normal Bentuk Hidung Luar Normal
Tidak ditemukan Deformitas Tidak ditemukan
Tidak ada Nyeri Tekan Tidak ada
ada  Dahi Tidak ada
 Pipi
Tidak ditemukan Krepitasi Tidak ditemukan

Rhinoskopi Anterior
Kanan Kiri
Cukup lapang Cavum Nasi cukup lapang
Sedang, serous sekret Sedang, serous
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Eutrofi, livide, licin, Konka inferior Eutrofi, livide, licin,
edema (-) edema (-)
Eutrofi, livide,licin, Konka media Eutrofi, livide,licin,
edema (-) edema (-)
Deviasi (-),licin, septum Deviasi (-),licin
Tidak ada Krista, abses, massa Tidak ada

Rhinoskopi Posterior (Nasofaring)

Kanan Kiri
Cukup lapang Koana cukup lapang
Warna merah muda, Mukosa Warna merah muda,
edema (-) edema (-)
Tidak ada Jaringan granulasi Tidak ada
Eutrofi, livide, licin, Konka inferior Eutrofi, livide, licin,
edema (-) edema (-)
Tidak ada Adenoid Tidak ada
Tidak tertutup secret, Muara tuba Eustachius Tidak tertutup secret,
edema (-) edema (-)
Tidak ada Post naal drip Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada

Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Tidak oedem, tidak bergranular
Mukosa Tidak hiperemis

15
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, tidak hiperemis

Tonsil

TONSIL Hasil Pemeriksaan


Pembesaran T1-T1
Kripta Tdak melebar
Destritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Sikatrik Tidak ada
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Inspeksi : Tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja :
Rinitis Alergi persisten derajat ringan
Diagnosis Banding :
- Rinitis vasomotor
- Rhinitis infeksi
Pemeriksaan Anjuran :
-Tes Alergi
Terapi :
medikamentosa:
- Rhinos tab 2x1
- Metil prednisolon 3 x 4 mg
non medikamentosa:
- hindari allergen
- tidak tidur memakai kispas angin

Prognosis :
Quo ad vitam : bonam

16
Quo ad santionam : bonam
Quo ad fungtionam : bonam

BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang wanita usia 32 tahun dengan diagnosis kerja Rhinitis
Alergi Persisten derajat ringan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
yaitu seragan bersin berulang dengan keluarnya ingus yang encer dan banyak,
hidung dan mata gatal, kadang-kadang keluar air mata. Keluhan ini timbul pada
pagi hari, cuaca dingin dan saat terkena debu. Keadaan ini timbul karena histamin
akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.Histamin juga akan menyebabakan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore (keluar ingus). Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Catonic Protein (ECP),
Eosinophilic Derivate Protein (EDP), Mayor Basic Protein (MBP), Eosinophilic
Peroxidase (EP).

Faktor risiko pada pasien ini adalah pasien mempunyai riwayat asma pada saat
anak-anak namun sekarang tidak pernah kambuh lagi. Dari riwayat penyakit
keluarga juga diketahui bahwa adik ayah pasien juga menderita penyakit dengan
gejala yang sama.

17
Berdasarkan klasifikasi rhinitis alergi menurut WHO tahun 2000, pasien
digolongkan pada rinitis alergi persisten karena gejala yang timbul lebih dari 4
hari/minggu, sedangkan untuk tingkat berat ringan penyakitnya digolongkan pada
derajat ringan karena keadaan ini tidak mengganggu aktivitas harian, berolahraga,
sekolah, belajar dan hal-hal lain.

Pada pemeriksaan hidung luar, ditemukan allergic shiner, yaitu bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasisvena sekunder akibat obstruksi
hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan konkha inferior dan
media dekstra dan sinistra berwarna livide akan tetapi masih dalam ukuran
normal. Ditemukan sekret pada meatus media dekstra dan sinistra berwarna
bening, encer.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memberikan antihistamin H1,


yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target. Antihistamin
berguna untuk mengatasi gejala pada respon cepat seperti rinore, bersin dan gatal.
Selain itu juga diberikan kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi. Selain itu
pasien disarankan untuk menghindari faktor-faktor pencetus dan menjaga daya
tahan tubuh. Pasien dianjurkan untuk melakukan tes alergi untuk mengetahui
faktor penyebab rhinitis alerginya sehingga penanganan pasien dapat lebih
terarah.

18

Anda mungkin juga menyukai