Berdasarkan amanat yang tertera dalam undang-undang tersebut, maka sudah sangat
jelas bahwa perlindungan bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya sangat
mutlak. Akan tetapi, dalam prakteknya, tidak semua guru mendapat jaminan
perlindungan dalam menjalankan tugasnya. Baik dari segi perolehan kesejahteraan,
jaminan status kepegawaian dan yang paling penting adalah jaminan perlindungan dari
ancaman kekerasan yang mungkin saja terjadi. Sampai saat ini, beberapa kenyataan atau
fenomena banyak dihadapi guru, sebagai bukti bahwa mereka belum sepenuhnya
memperoleh perlindungan profesi yang wajar.
Akibatnya, saat guru dihadapkan pada sebuah kasus hukum, guru tidak mempunyai
posisi yang menguntungkan dan dalam kasus-kasus tertentu guru juga di tuntut atas
kasus kekerasan terhadap siswa dan dalam kasus lain justru guru menjadi korban
kekerasan oleh siswa maupun orang tua siswa. Contohnya pada kasus pertama, guru
dilaporkan oleh wali murid mengenai pelanggaran hak perlindungan anak karena
memberikan sanks pelanggaran disiplin pada siswa seperti menjewer, lari mengelilingi
lapangan, push-up beberapa kali atau berdiri dilangan dengan posisi hormat pada
bendera. Sepeti halnya kasus yang terjadi SMPN 1 Bantaeng, hal ini bermula dari
bermain kejar-kejaran dan baku siram dengan sisa air pel. Ternyata, siraman tersebut
mengenai salah satu guru yang bernama Nurmayani. Siswa tersebut pun langsung
digiring ke ruang Bimbingan Konseling (BK) dan dicubit. setelah mendapat laporan dari
sang anak, wali murid yang juga merupakan anggota kepolisian itu pun langsung
melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum. Bu Guru Maya pun dipenjara sambil
menjalani persidangan. Kasus serupa juga terjadi pada seorang guru di SMAN 2 Sinjai
Selatan, Sulawesi Selatan, Mubazir, menertibkan siswa dengan memotong rambut
gondrong. Salah satu siswa Saharuddin, menolak upaya Mubazir, dengan alasan akan
memotong sendiri rambutnya. Namun, hampir seminggu rambut Saharuddin masih
panjang hingga Mubazir pun memotongnya secara paksa. Tidak terima dengan perilaku
sang guru, orangtua Saharuddin bernama Arifin-Najmiah pun menempuh jalur hukum.
Langkah ini membuat guru honorer Pendidikan Olahraga tersebut mendekam di penjara.
Lain halnya dengan kasus kedua, dalam hal ini justru guru menjadi korban kekerasan
siswa atau orang tua siswa seperti yang baru-baru ini terjadi, Kasus penganiayaan
terjadi di tengah proses belajar mengajar dalam mata pelajaran kesenian di kelas XII
SMAN 1 Torjun, pada Kamis 1 Februari 2018. Hal tersebut bermula ketika sang Guru
menegur MH yang tak menghiraukan instruksinya dalam mengajar, bahkan
mengganggu kawan-kawannya yang lain. Karena tegurannya tak mempan, Budi
mendatangi MH dan mencoretkan kuas bercat di wajah siswanya itu. Tak terima, MH
menyerang dan melayangkan pukulan ke sang guru. Pukulan siswa yang jago beladiri
itu mengenai pelipis dan tengkuk sang guru honorer berusia 27 tahun tersebut.
Sepulang ke rumah, Guru tersebut tak sadarkan diri,Keluarga lalu membawanya ke
RSUD Dr Soetomo. Sekitar pukul 21.40 WIB, ia dinyatakan meninggal dunia lantaran
mati batang otak akibat penganiayaan.
Uraian di atas memberi gambaran bahwa masih begitu banyak permasalahan yang
terjadi dalam dunia pendidikan, dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap guru. Permasalahan-permasalahan di atas perlu segera mendapatkan perhatian
dari banyak pihak, baik pemerintah (termasuk penegak hukum), legislatif, sekolah,
masyarakat, maupun guru itu sendiri.
Kejadian tersebut jugs tentu saja menambah panjang kasus kekerasan pada guru dan
menunjukkan tidak adanya penghormatan orang tua siswa kepada guru. Padahal, guru
adalah sosok yang wajib dipatuhi di sekolah. Dengan melihat bebrapa kasus di atas dapat
kitta ketahui bahwa posisi guru sebagai tenaga pendidik seringkali berada pada posisi
yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakuan masyarakat. Disatu sisi guru
dituntut untuk mampu membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan
nasional, akan tetapi upaya guru dalam menegakkan disiplin pada siswa seringkali di
halangi oleh adanya UU Perlindungan Anak dengan hak-hak anak yang harus dilindungi.
Padahal, disiplin merupakan salah satu faktor yang mampu mendorong tercapainya
tujuan pendidikan nasional, apabila disiplin siswa tidak terbentuk tentu saja tujuan
pendidikan nasional juga tidak dapat dicapai secara maksimal, dan dalam hal ini guru
juga yang akan disalahkan.
Disadari sepenuhnya, bahwa hingga saat ini Pemerintah belum sepenuhnya berhasil
memberikan layanan sesuai dengan ranah perlindungan yang diamanahkan di dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Termasuk dalam
jaminan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas keprofesionalannya,
dihadapkan dengan perlindungan anak (didik) yang telah memiliki dasar hukum yang
kokoh yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
(Idawati, 2014)
Ada beberapa hal yang menjadi sebab maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh
anak didik terhadap gurunya. Seperti yang dikutip dari (Joni, t.th.; Assegaf, 2004; dan
Eddyono, 2005 dalam Komara, Endang: 2016) banyak anak-anak menjalani hidup
mereka sendiri akibat kehilangan hak-haknya,. karena tidak memiliki arah yang tepat,
maka banyak anak mulai bersinggungan dengan hukum. Tindakan yang melawan hukum,
seperti pencurian, perkelahian, dan narkoba sering dilakukan oleh anak. Hal ini terjadi
karena mereka sudah kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka miliki.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya sifat agresif yang memunculkan tindak
kekerasan oleh siswa adalah pola asuh orang tua. Berdasarkan hasil penelitian Fortuna
(2008) yang dikutip dari Trisnawati, Junia. Dkk: 2014 menyatakan bahwa ada hubungan
pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Gustina (2011) juga menyatakan,
salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas adalah pola asuh dan perilaku
orang tua terhadap anak. pola asuh orang tua yang terlalu over protektif merupakan
beberapa contoh yang dapat menyebabkan seseorang berperilaku agresif.
Berdasarkan Penelitian Widyatuti (2002) yang dikutip dari Trisnawati, Junia. Dkk:
2014 faktor ketiga yang menyebakan kekerasan dan sikap agresif anak adalah hubungan
antara teman sebaya. Dalam penelitiannya disimpulkan bahawa bahwa teman sebaya
berpengaruh sebesar 1.227 kali untuk menyebabkan perilaku kekerasan. Kelompok teman
sebaya berpengaruh terhadap pertimbangan dan keputusan remaja untuk berperilaku.
Faktor selanjutnya yang menyebabkan timbulnya sifat agresif dan adanya kekerasan
yang dilakukan anak adalah adanya rasa frustasi. Berdasarkan Penelitian Khamsita
(2007) yang dikutip dari Trisnawati, Junia. Dkk: 2014 menyatakan faktor frustasi
berhubungan dengan dengan perilaku agresif, dimana semakin tinggi frustasi remaja
maka akan semakin tinggi perilaku agresifnya. Hasil penelitian Restu dan Yusri (2013)
juga menyatakan perilaku agresif yang dilakukan remaja di sekolah yaitu perilaku agresif
fisik dan verbal dan perilaku agresif tersebut disebabkan frustasi, kekuasaan, suhu dan
provokasi.
Harga diri yang terlalu tinggi dan ditambah kepribadian yang kurang matang, juga
sering menyebabkan seseorang tiba-tiba terpicu untuk melakukan aksi brutal dengan
menganiaya figur guru yang seharusnya dihormatinya, meskipun karena hal sepele.
Faktor lain yang bisa menjadi penyebab hal tersebut adalah berkaitan dengan arah
perkembangan iklim pembelajaran yang belakangan ini cenderung makin kompetitif,
impersonal, dan kurang membuka kesadaran siswa tentang arti penting kohesi sosial,
solidaritas, dan toleransi. Pendidikan karakter, pelajaran tentang budi pekerti sering kali
tidak dikembangkan dengan serius. Hal ini terjadi karena banyak sekolah yang lebih
mementingkan siswa sukses menempuh ujian nasional, kemudian dapat diterima di PTN
terkenal sebagai representasi reputasi sekolah.
C. SOLUSI
Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan
dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat
berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada
saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong
pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru dan melindungi profesi mereka dengan
kekuatan hukum yang jelas.
Perlindungan Guru dalam Profesinya Secara Yuridis, Abduhzen (2008)
mengemukakan bahwa sebagai sebuah profesi, dalam bekerja guru memerlukan jaminan
dan perlindungan perundang-undangan dan tata aturan yang pasti. Hal ini sangat penting
agar mereka selain memperoleh rasa aman, juga memiliki kejelasan tentang hak dan
kewajibannya, apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan, serta apa saja yang boleh
dan tidak boleh dilakukan pihak lain kepada mereka, baik sebagai manusia, pendidik, dan
pekerja.