Anda di halaman 1dari 8

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena alam yang terjadi secara global. Berbagai
negara turut menaruh peduli pada perubahan iklim yang terjadi pada beberapa tahun kebelakang
ini. Kepedulian berbagai negara tersebut terlihat dengan diselenggarakannya konferensi PBB
mengenai perubahan iklim. Konferensi tersebut dilakukan guna membahas mengenai berbagai
keadaan iklim di berbagai negara serta kebijakan dalam menanggulangi perubahan iklim.
Perubahan iklim yang terjadi di berbagai negara memiliki berbagai dampak bagi penduduk
negara tersebut.

Perubahan iklim memberikan dampak yang besar di berbagai negara. Adapun dampak dari
terjadinya perubahan iklim adalah bertambahnya intensitas kejadian cuaca ekstrim di suatu
wilayah, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu dan permukaan air laut (Surmaini et. al.
2010). Dampak perubahan iklim dapat memengaruhi keadaan di daratan maupun di pesisir atau
laut. Perubahan iklim yang terjadi di daratan dapat memengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman pertanian. Hal serupa juga dapat terjadi di pesisir maupun laut. Perubahan iklim yang
terjadi di pesisir atau laut dapat memengaruhi kehidupan organisme di wilayah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pesisir ?
2. Bagaimana adaptasi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pesisir
2. Untuk mengetahui adaptasi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim
1.4 Manfaat
1. Agar Mahasiswa dapat mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kehidupan
masyarakat pesisir
2. Agar Mahasiswa dapat mengetahui adaptasi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim
BAB II. PEMBAHASAN

Perubahan Iklim
Konvensi PBB (1990) mengenai perubahan iklim yang menyatakan: “Climate change means a
change of climate which is attributed directly or inderictly to human activities that alters the
composition of the global atmosphere and which is in addition to natural climate variability
observed over comparable time periods. Diposaptono et.al., (2009) menjelaskan perubahan iklim
adalah perubahan pada unsur-unsur dalam jangka waktu yang panjang (50-100 tahun) yang
dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Dari
penjelasan Diposaptono terlihat bahwa anomali iklim yang terjadi pada waktu yang singkat
bukanlah disebut sebagai perubahan iklim. Apabila memaknai perubahan iklim dengan kedua
definisi tersebut, perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim yang terjadi pada periode
waktu yang panjang dan dapat dibandingkan. Contohnya dengan mengamati data suhu dan
melihat ada kecenderungan naik dari waktu ke waktu tertentu dan fluktuasinya semakin
membesar, atau anomali iklim semakin sering terjadi dibanding periode waktu sebelumnya,
maka dapat dikatakan perubahan iklim sudah terjadi.
Tomkins dan Adger (2004) menjelaskan bahwa manifestasi inti dari perubahan iklim
meliputi perubahan bertahap dalam suhu dan curah hujan rata-rata, rentang yang lebih besar
dalam variasi musiman dan antar-tahunan, peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian
ekstrem, serta transformasi potensi bencana ekosistem. Makna perubahan iklim menurut
Tomkins dan Adger lebih menitik beratkan indikator-indikatornya yang terjadi tidak dalam
waktu yang singkat. Tomkins dan Adger dalam penjelasannya tersebuk juga memaknai
perubahan iklim sampai pada sisi dampaknya.
Satria (2009) perubahan iklim bersumber dari tingkat global dimana pemanasan global
sebagai akibat meningkatnya emisi karbon (CO2) yang dapat mencairkan es di kutub dan
meningkatkan permukaan air laut. Satria juga menambahkan, Pemanasan global terjadi akbibat
peningkatan suhu global karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya
emisi gas-gas seperti Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan CFC sehingga energy matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi. Jadi, perubahan iklim global adalah akumulasi dari aktivitas
ekonomi yang bersumber dari energi fosil dan juga deforestasi yang makin parah.
1. Dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pesisir
1.1 Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut
Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa
bentuk, antara lain: asidifikasi air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, meningkatnya
permukaan air laut, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang pasang/tsunami. Dampak
turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya
struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal
heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan
perubahan susunan rakitan spesies.
a. Asidifikasi:
Peningkatan CO2 di udara sebagian besar (± 30%) diserap oleh laut sehingga mempengaruhi
pH air laut. Dalam 100 tahun terakhir, pH air laut diperkirakan mengalami penurunan antara 0,14
sampai 0,35. Dampaknya paling jelas terlihat pada organisme dengan kerangka luar dari kapur,
seperti kerang dan binatang karang.
Peningkatan kandungan CO2 dalam air laut menyebabkan berubahnya keseimbangan
system karbonat. Pertumbuhan terumbu karang di laut sangat tergantung dari kemampuan
binatang karang di dalamnya untuk menyusun kerangka luar dari kapur. Penurunan karbonat dan
bikarbonat dalam air (sebagai akibat dari meningkatnya kandungan CO2) akan menurunkan
kejenuhan aragonit sehingga akan memperlambat pertumbuhan terumbu karang di laut. Selain
itu, kerangka kapur dari terumbu karang yang saat ini sudah kuat, bisa melemah dan terumbu
karang akan mengalami erosi. Jika hal ini terjadi maka kehidupan ikan-ikan yang termasuk
dalam kategori ’reef associated species’ akan
terganggu. Berdasarkan perkiraan World Resource Institute melalui dokumentasi FishBase, 70%
dari ikan-ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan termasuk dalam kategori reef associated
species. Dengan demikian, meningkatnya kandungan CO2 di laut yang diserap dari udara, pada
akhirnya akan mempengaruhi sumber mata pencaharian masyarakat dari perikanan tangkap
(Hughes et al, 2003).
Melemahnya struktur karangka kapur terumbu karang akan mengurangi fungsi lain dari
ekosistem terumbu karang. Terumbu karang telah terbukti sebagai pelindung pantai dari
serangan gelombang maupun tsunami. Para peneliti mencatat bahwa setengah dari energi
gelombang/tsunami berkurang setelah melewati terumbu karang yang sehat. Peningkatan CO2
air laut, secara tidak langsung bisa menyebabkan abrasi pantai (Obura D.O., 2005; Nyström &
Folke 2001).
Perubahan sistem karbonat air laut juga berpengaruh pada ikan. Sebagian besar spesies ikan
mengalami penurunan kemampuan reproduksi pada kejenuhan aragonit yang lebih rendah.
Sistem lainnya yang juga terganggu adalah tekanan osmosis dan laju metabolisme. Sebagai
dampak turunannya, ikan akan semakin mudah terserang penyakit. Pada akhirnya, populasi ikan
akan berkurang dan berkurang juga potensi salah satu sumberdaya bagi masyarakat pantai
(Hughes et al, 2003: Nyström M and Folke C., 2001).
b. Suhu Permukaan Air Laut
Pemanasan global merupakan dampak pertama yang bisa dirasakan dari perubahan iklim.
Sekitar 80% suhu udara akhirnya diserap oleh laut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak
tahun 1961, peningkatan suhu air laut sudah mencapai kedalaman 3.000 m. Pemanasan ini
membuat air laut mengembang dan menjadi salah satu sebab meningkatnya permukaan air laut.
Peningkatan suhu permukaan air laut tercatat dalam satuan ‘degree heating weeks’
(DHW). Hal ini akan menyebabkan stress pada binatang karang sehingga mengeluarkan simbion
zooxanthellae dari dalam tubuhnya. Tanpa zooxanthellae, binatang karang menjadi transparan,
sehingga dalam skala luas hanya tampak karangka kapur yang berwarna putih. Peristiwa ini
disebut dengan bleaching atau pemutihan karang (Hoegh-Guldberg, 1999; Salm & Coles, 2001)
Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada
binatang karang dan zooxantjealle kembali bersimbiose dengan karang. Namun paling tidak hal
ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika
bleaching terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan
lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan
sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir
(Bellwood, Hoey & Choat, 2003)
Peristiwa bleaching yang diikuti oleh kematian karang selama ini terjadi di wilayah-
wilayah di luar Indonesia. Hal ini diduga karena pengaruh up welling yang banyak terjadi pada
perairan di sekitar Indonesia sehingga peningkatan suhu air laut tidak terjadi dalam waktu yang
relative lama. Namun tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selamat dari coral bleaching
selamanya.
Meningkatnya suhu permukaan air laut dan suhu udara juga berpengaruh pada organisme
laut. Peneliti mencatat kemungkinan perubahan ratio sex pada penyu karena pengaruh
pemanasan global. Secara alami, inkubasi telur penyu akan terjadi pada suhu yang relative tinggi.
Akibatnya, tukik yang menetas sebagian besar akan menjadi betina (CCSP, 2003). Sebaliknya,
secara alami, satu induk betina membutuhkan pasangan 10 induk jantan (pengkayaan genetik)
dalam proses perkawinan. Ramalan pergesaran ratio sex pada penyu bisa membahayakan
struktur rakitan spesies.
c. Peningkatan permukaan air laut
Pemanasan global sebagian besar (80%) akan diserap oleh laut. Hal ini akan menyebabkan
volume air laut mengembang. Meningkatnya suhu permukaan bumi juga menyebabkan
mencairnya es di kedua kutub bumi. Kedua fenomena ini akan menyebabkan semakin
meningkatnya permukaan air laut ke arah darat. Dari pengamatan terhadap permukaan air laut
selama ini, air laut diperkirakan akan mengalami peningkatan antara 60 – 100 cm dalam 100
tahun kedepan.
Meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia bisa menenggelamkan beberapa gugus
pulau karang. Jika pulau-pulau tersebut merupakan gugus pulau terluar sebagai tempat untuk
mengukur batas jurisdiksi, maka hal ini bisa merubah kedaulatan negara pada akhirnya.
Departemen Kelautan dan Perikanan sedang melakukan studi kemungkinan sejumlah pulau yang
akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut.
Meningkatnya permukaan air laut akan mempengaruhi keberadaan formasi lingkungan
pantai, seperti hutan bakau. Pada kondisi normal, diduga hutan bakau bisa beradaptasi terhadap
peningkatan permukaan air laut. Karena terjadinya secara perlahan, maka hutan bakau akan
beradaptasi untuk tumbuh ke arah daratan. Masalahnya adalah bahwa sebagian besar hutan
bakau sudah terisolasi oleh konstruksi atau bangunan di bagian daratan. Peluang untuk
mengalami adaptasi menjadi hilang, kecuali pada tempat-tempat dimana formasi lingkungan
pesisir masih cukup alami (Done et al, 2003; Salm & Coles, 2001)
1.2 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kondisi Ekologi
Perubahan iklim global mengakibatkan kerugian yang sangat besar di tingkat lokal.
Perubahan iklim berimbas pada segala sektor khususnya wilayah pesisir. Masyarakat yang paling
rentan dalam perubahan iklim adalah masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(Diposaptono et.al 2009 dan Satria 2009). Indonesia memiliki 17.480 pulau dan 65 persen pulau-
pulau yang ada di Indonesia merupakan pulau-pulau kecil yang sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Hingga saat ini telah tercatat sebanyak 24 pulau-pulau kecil di Indonesia hilang
disebabkan oleh tsunami, abrasi dan kegiatan pertambangan pasir yang tidak terkendali.
Indikator dan Dampak-dampak perubahan iklim terhadap lingkungan sebagai berikut
(Priwardhani 2013; dan Diposaptono et.al 2009):
1. Indikator perubahan suhu tahunan dan periode 20 tahun terakhir berdampak sebagai berikut:
a. Melelehnya kutub, sehingga naiknya paras muka air laut
b. Coral Bleaching (kematian & pemutihan terumbu karang) selain akibat juga dari
penggunaan kimia potassium
2. Indikator perubahan volume curah hujan tahunan dan periode 20 tahun terakhir berdampak
pada Hujan badai, banjir bandang dan abrasi.
3. Indikator Kenaikan volume air laut berdampak pada genangan di lahan rendah dan rawa, Erosi
pantai, Gelombang Ekstrim dan banjir, Intrusi Air laut ke sungai dan air tanah.
1.3 Dampak Perubahan Iklim terhadap Sosial dan Ekonomi Nelayan
Perubahan iklim yang terjadi juga berdampak pada kondisi sosial, budaya dan ekonomi
nelayan. Indikator dan Dampak-dampak perubahan iklim terhadap sosial, budaya dan ekonomi
nelayan sebagai berikut (Surtiari 2011; Priwardhani 2013; dan Diposaptono et.al 2009):
1. Indikator perubahan pola musim dan pola angin yang dianut nelayan menyebabkan
nelayan sulit memperkirakan kondisi laut, menggangu kegiatan kenelayanan dan keselamatan
nelayan.
2. Dengan indikator hilangnya beberapa hewan yang menjadi penanda pergantian musim,
bergesernya waktu dimulai dan berakhirnya musim, tidak terlacaknya angin dan gelombang
yang telah dipercayai menjadi penada awal dan berakhirnya musim, berubahnya kecepatan
angin pada musim-musim tertentu serta jangka waktu terjadinya angin dan gelombang pada
musim tertentu berdampak pada ketidakpastian waktu untuk melaut.

2 Adaptasi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim


2.1 Adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan
Pusat keanekaragaman hayati laut di dunia terletak di wilayah Segi-Tiga Karang. Wilayah ini
terdiri dari sebagian besar Indonesia, Malaysia (Sabah), Filipina, Papua New Guinea, Kepulauan
Solomon dan Timor Leste. Keanekaragaman hayati Laut di wilayah Segi-Tiga Karang telah
menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di sekitarnya. Ancaman utama dari
keanekaragaman hayati laut tersebut adalah penangkapan yang tidak ramah lingkungan
(destructive fishing) dan penangkapan berlebih (over-fishing). Saat ini sumberdaya tersebut
sangat potensial mengalami ancaman dari sumber baru, perubahan iklim global yang diduga
dampaknya akan lebih luas (IPCC, 2007b).
Mengingat besarnya kerugian dari kehilangan keanekaragaman sumberdaya hayati Laut
sebagai dampak dari perubahan iklim global, Presiden Indonesia mengajak kelima negara
lainnya untuk melakukan aksi secara bersama-sama dalam melindungi sumberdaya tersebut.
Prakarsa ini terkenal dengan sebutan Coral Triangle Initiative (CTI) yang disambut oleh kelima
negara lainnya di wilayah Segi-Tiga Karang dan didukung oleh Australia dan Amerika Serikat.
Keenam negara di wilayah Segi-Tiga Karang saat ini sedang mempersiapkan rencana
kerja dengan tema Perlindungan Terumbu Karang, Perikanan dan Ketersediaan Pangan. Rencana
Kerja (National Plan Of Action: NPOA) dari masing-masing negara saat ini sedang dibahas pada
tingkat Senior Oficial dan rencananya akan dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC)
pada bulan Mei 2009 di Manado, Indonesia.
Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak
perubahan iklim global terdiri dari komponen: pengelolaan bentang laut (sea scape
management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan ‘resilient
principles’ dalam pembangunan jejaring kawasan konservasi laut, mitigasi bencana, rehabilitasi
pesisir dan perlindungan spesies yang terancam punah. Semua komponen dalam rencana kerja
ditujukan untuk melindungi ketersedian sumberdaya hayati laut dan mengurangi dampak
kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global.

2.2 Adaptasi Perubahan Iklim


Dalam mencegah terjadinya dampak yang luar biasa akibat perubahan iklim, maka
diperlukan strategi preventif dan represif dalam pengendalian perubahan iklim. Strategi
pengendalian dampak secara preventif dan represif adalah dengan melakukan adaptasi dan
mitigasi. Adaptasi adalah respons terhadap stressor, berbeda dengan mitigasi yang melibatkan
pre-empting tantangan dan mengambil langkah untuk menghindari ancaman seperti mengurangi
emisi atau mengurangi dampak banjir dengan membangun tanggul (Scoones, 1998). Banyak dan
beragam deskripsi tentang pemaknaan adaptasi dan mitigasi sendiri. Adaptasi menurut
pemahaman tersebut lebih mengarah pada kegiatan represif, sedangkan mitigasi bisa dilakukan
karena alasan preventif ataupun represif.
Menurut Murdiyarso (2005), adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara
penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi
terhadap perubahan iklim. Selanjutnya Smit dan Wandel (2006) menjelaskan bahwa adaptasi
termasuk tindakan yang diambil untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi,
sedangkan kemampuan adaptasi adalah kemampuan untuk mengambil tindakan tersebut. Smit
dan wandel (2006) juga melihat adaptasi pada aspek tindakan yang dilakukan serta seberapa
besar kemampuan yang dilakukan dalam mengambil tindakan tersebut.
Konsep adaptasi yang dinyatakan oleh Mulyadi (2007) dikutip Helmi dan Satria (2012)
adalah salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian
usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan
lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. Hal ini di dukung oleh pernyataan
Bennet (1976) dan Pandey (1993) dikutip Helmi dan Satria (2012) yang memandang adaptasi
sebagai suatu perilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.
Perilaku responsif tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi
tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang
ada. Perilaku tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati
keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu
untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya.
Berikut bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ( nelayan) dalam
menghadapi perubahan iklim (Priwardhani 2013; Helmi dan Satria 2012; Rochmayanto dan
Kurniasih 2013), yaitu:
1. Dalam aspek ekonomi, disini muncul strategi pergeseran mata pencaharian dan divesifikasi
mata pencaharian.
2. Dalam aspek teknik dan teknologi penangkapan, disini mucul strategi penganekaragaman
alat tangkap dan strategi mengubah daerah penangkapan (fishing ground).
3. Dalam aspek sosial budaya, disini muncul strategi memanfaatkan hubungan sosial dan
memobilisasi anggota keluarga.

Anda mungkin juga menyukai