Anda di halaman 1dari 16

1

MORFOLOGI SUNGAI

Pertemuan ke 4

a. Pengertian Morfologi Sungai

Istilah Sungai morfologi dan sinonim yang fluvial geomorfologi yang digunakan
untuk menggambarkan bentuk sungai saluran dan bagaimana mereka berubah dari
waktu ke waktu. Morfologi dari saluran sungai adalah fungsi dari sejumlah proses
dan kondisi lingkungan, termasuk komposisi dan terjadinya erosi kawasan dari
lapisan dasar (misalnya, pasir, tanah liat, batuan dasar), vegetasi dan tingkat
pertumbuhan tanaman, ketersediaan sedimen, ukuran dan komposisi sedimen
bergerak melalui saluran, laju transportasi sedimen melalui saluran dan tingkat
pengendapan di dataran banjir, lapisan dasar, dan regional aggradation atau
degradasi karena penurunan atau penggangkatan.

Morfologi sungai adalah ilmu yang mempelajari tentang geometri (bentuk dan
ukuran), jenis, sifat dan perilaku sungai dengan segala aspek dan perubahannya
dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, morfologi sungai ini akan
menyangkut juga sifat dinamik sungai dan lingkungannya yang saling terkait.

Morfologi Sungai menyangkut karakteristik fisik atau bentuk alur sungai, yang
meliputi :

 Konfigurasi alur sungai (plan-form), yaitu tentang sungai yang lurus,


bermeander, braided atau anastomosing.
2

 Geometri alur sungai, yaitu mengenai tampang melintang dan memanjang atau
menyangkut perubahan dasar sungai.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi morfologi sungai ;

 Debit sedimen dan debit air sungai


 Tampang melintang dan memanjang
 Resistensi dasar/tebing sungai
 Vergetasi di alur sungai
 Temperatur, kekentalan dan kecepatan air sungai
 Kondisi geologi
 Kegiatan manusia, dsb.

a. Perubahan morfologi sungai

Dasar sungai alluvial selalu berubah elevasinya yang disebabkan oleh


pergerakan material dasar dan berubah-ubahnya debit aliran sungai. Untuk jangka
panjang perubahan itu cenderung mengarah pada terjadinya agradasi ataupun
degradasi. Kejadiaan ini juga sering kali tidak diingini manusia, sehingga
diperlukan adanya penanganan, misalnya dengan memasang bangunan
pengendalian dasar sungai. Keseimbangan dasar sungai berdasarkan penampang
memanjang ditentukan oleh keseimbangan antara besarnya angkutan sedimen
dengan kapasitas angkut sungai terhadap sedimen.

Pengurangan angkutan sedimen atau bertambahnya debit sungai


berakibatnya kemiringan dasar sungai, sebaliknya bertambahnya debit sungai
berakibat berkurangnya kemiringan dasar sungai, sebaliknya bertambahnya
angkutan sedimen dan/atau berkurangnya debit sungai berakibat semakin
curamnya kemiringan dasar sungai. Proses ini pada umumnya berlangsung
lambat, namun dapat dipercepat oleh ulah manusia, misalnya dengan adanya
penggundulan hutan di dasnya pembangunan bendungan, pengerukan dasar
sungai yang terus menerus dan sebagainya. Jadi dasar sungai perlu dilindungi
sehubungan dengan adanya proses agradasi dan degradasi.
3

Gambar 4.1 Agradasi dan degradasi dasar sungai

Keseimbangan sungai alamiah tidak akan pernah mencapai kondisi yang


tetap. Hal ini disebabkan karena debit sungai selalu berubah secara terus menerus
sejalan dengan siklus curah hujan. Jadi variasi dalam debit dapat memberikan
bermacam-macam variasi kondisi dasar sungai, kekasaran dan lain-lain. Juga
dalam hasil perubahan daripada bagian sungai dapat menyebabkan perubahan
terhadap kondisi di daerah lain. Jika angkutan sedimen sebesar S yang masuk
kedalam suatu ruas sungai sampai lebih besar daripada harga keseimbangan
angkutan sedimen Se, maka akan terjadi proses agradasi sampai tercapai
keseimbangan baru.

Beberapa contoh untuk kondisi terjadinya agradasi dasar sungai (S > Se) :

 Agradasi yang terjadi di udik suatu waduk


 Anak sungai yang membawa sedimen dalam jumlah besar menuju ke
sungai utama akan mengakibatkan agradasi setempat.
 Sungai sebagai pengendali banjir yang kadangkala lebih dulu
menunjukkan tanda penimbunan sedimen pada saluran.

Contoh untuk keadaan dimana terjadi degradasi dasar sungai (S < Se).
 Degradasi yang terjadi di hilir suatu bendungan atau bendungan
 Material-material halus yang dibawa oleh air bersih menuju ke saluran
 Pengendalian dasar saluran dengan menambah kemiringannya.
4

1.) Agradasi

Agradasi atau kenaikan dasar sungai terjadi apabila jumlah sedimen yang masuk
lebih besar dari jumlah sedimen yang keluar dan dapat disebabkan oleh :

 Gejala alamiah yang biasa terjadi pada sungai bagian tengah dan hilir
dengan bahan endapan sedimen yang dihasilkan dari sungai bagian hulu
dan anak-anak sungainya.
 Perubahan kemiringan dasar sungai dari curam ke landai.
 Dibangunnya bendung/bendungan di bagian hilirnya.
 Pembuangan material padat ke badan sungai.

Untuk mengetahui laju pengendapan sedimen, perlu adanya pengontrolan elevasi


dasar sungai secara periodik, sehingga apabila batas limit telah tercapai dapat
segera diadakan tindakan.

Agradasi dasar sungai dapat menimbulkan masalah antara lain : berkurangnya


kapasitas pengaliran alur sehingga masalah banjir meningkat, berkurangnya
kapasitas bangunan-bangunan silang/jembatan sehingga diperlukan peninggian,
terganggunya bangunan pengambilan dan sebagainya.

Masalahnya agradasi dapat ditanggungi dengan :

 Pengerukan
 Pembuatan sudetan
 Penambahan kapasitas alur dengan normalisasi sungai
 Peninggian gelagar jembatan atau penambahan bukaan bentang

Pada umumnya masalah agradasi ini lebih sulit diatasi dari pada masalah
degradasi, dan pada umumnya dengan menangani langsung sumber masalahnya
yang biasanya berupa erosi dari DAS.

2.) Degradasi

Degradasi atau penurunan dasar sungai terjadi apabila jumlah sedimen yang
masuk lebih kecil dari jumlah sedimen yang keluar dan dapat disebabkan oleh :
5

 Gejala alamiah yang biasa terjadi pada ruas sungai bagian hulu
 Berkurangnya suplai bahan sedimen dari DPS hulu
 Tertahannya bahan sedimen di daerah hulu karena dibangunnya suatu
bendung/bendungan di bagian udiknya
 Terjadinya gerusan setempat di hilir bangunan
 Pengambilan material galian golongan C dari badan sungai
 Adanya perubahan kemiringan memanjang sungai dari landai ke curam
(ujung hulu sudetan)

Degradasi dasar sungai dapat berpengaruh terhadap penurunan muka air


tanah, stabilitas pondasi jembatan dan bangunan air lainnya dapat terganggu,
kedalaman alur pelayaran berkurang dan sebagainya.

Masalah degradasi dapat ditanggungi dengan :

 Perlindungan dasar sungai dengan rip-rap batu


 Pemasangan dinding pancang (sheet pile) pada koperan/kaki tembok
pangkal
 Pembuatan ruang olakan tambahan dari bronjong atau lantai datar
 Membuat bangunan pengendalian dasar sungai (ground sill, check-dam)
atau bendung (weir). Bangunan ini pada umumnya dibangun secara seri
dengan jarak dan ketinggian bangunan yang ditetapkan dengan optimasi.

b. Perhitungan morfologi sungai

Untuk menganalisa perubahan sungai sebagai akibat pengaruh kegiatan


manusia atau alamiah, model matematik dapat digunakan untuk suatu kondisi
tertentu. Suatu contoh, apabila dasar sungai terdiri dari alluvial penuh (tidak ada
bagian yang tidak dapat tergerus/keras) dan tebing sungai adalah tetap atau hanya
sedikit berubah, maka dapat digunakan skematis model satu dimensi untuk
menghitung perubahan dasar dan muka air yang terjadi.

Untuk suatu sungai dan percabangan sungai, dapat dikembangkan dua


model dimensi tetap dalam hal ini tebing sungai juga harus tetap (tidak tergerus).
6

1.) Model satu dimensi

Dengan menganggap lebar sungai adalah tetap, dapat digunakan persamaan


untuk pergerakan air, angkutan sedimen dan pergerakan dasar sungai berikut
(de Vries, 1973, Jansen, 1979).

Gambar 4.2 Sketsa penggunaan parameter

Persamaan momentum air :

̅
𝜕𝑈 ̅
𝜕𝑈 𝜕ℎ 𝜕𝑧 ̅ |U
U ̅|
̅
+ 𝑈 + 𝑔 +𝑔 = −𝑔 2
𝜕𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 C h

Persamaan kontinuitas air :

𝜕h 𝜕h ̅
𝜕𝑈
̅
+ 𝑈 + ℎ =∪
𝜕𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑥

Persamaan angkutan sedimen :

S = s ( Ū , ρs , D , C dan lain-lain)

Persamaan kontinuitas sedimen :

𝜕z 𝜕s
+ = 0
𝜕𝑡 𝜕𝑥

Dimana s adalah angkutan sedimen termasuk porositas, yang dapat


dihitung dari persamaan angkutan sedimen dengan dibagi (1- ϵ) di mana ϵ adalah
volume pori relatif.
7

Sistem ini membutuhkan banyak asumsi : lebar konstan, konsentrasi


rendah (s/q kecil) dan kekasaran konstan (C). Masalah kekasaran dapat di
eliminasi dengan mengasumsikan suatu kekasaran alluvial, sebagai contoh
diberikan oleh Engelund-Hansens :

C = C ( Ū ,h, D dan lain-lain)

Persamaan-persamaan ini berbentuk hiperbolik dengan tiga karakteristik


percepatan c1,2,3. Telah diperlihatkan de Vries (1973) bahwa untuk harga bilangan
Froude yang rendah (Fr < 0,6), percepatan tersebut adalah :

c1,2 = Ū ± √𝑔 ℎ

Ū ds/dū
c3 = ℎ (1−𝐹𝑟 2 )

Harga c1,2 berhubungan dengan gangguan pada permukaan air, sedangkan c3


berhubungan dengan perubahan dasar.

Untuk Fr < 0,6, c3 < c1,2 sehingga persamaan untuk pergerakan air
mungkin tidak sesuai dengan persamaan untuk sedimen. Pada keadaan ini aliran
juga dapat diasumsikan sebagai aliran yang langgeng (steady flow). Dengan
demikian persamaan 9.1 s/d 9.4 berubah menjadi :

̅𝜕𝑈
𝑈 ̅ 𝜕ℎ 𝜕𝑧 ̅ |U
U ̅|
+ 𝑔 +𝑔 = −𝑔 2 = R
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 C h

̅𝜕h
𝑈 ̅
𝜕𝑈
+ ℎ = 0 (q = konstant)
𝜕𝑥 𝜕𝑥

s = s ( Ū , ρs , D , C dan lain-lain)

𝜕z 𝜕s
+ = 0
𝜕𝑡 𝜕𝑥

Dengan mengeliminasi h dan s, akan didapat dua persamaan untuk Ū dan z :

G . q 𝜕𝑈̅ 𝜕𝑧
̅−
(𝑈 ) +𝑔 = R
𝑈 2 𝜕𝑥 𝜕𝑥
8

̅
Ds 𝜕𝑈 𝜕𝑧
̅
+ 𝜕𝑡 = 0 pers. 4.13
𝑑𝑈 𝜕𝑥

Untuk suatu debit q yang diketahui, yang mungkin berubah secara


̅ Dapat dihitung, apabila keadaan batas
perlahan sebagai fungsi dari waktu, 𝑈
𝜕𝑧
̅ Tersebut, harga s dapat dihitung dan selanjutnya .
diketahui. Untuk harga 𝑈 𝜕𝑡

Model gelombang sederhana

𝜕z 𝜕𝑧 𝑐3 ̅ |U
U ̅|
+ 𝑐3 =𝑅 = −𝑐3 2 = α
𝜕𝑡 𝜕𝑥 𝑔 C h

Persamaan ini merupakan untuk gelombang z (x,t) dengan percepatan 𝑐3 ,


di mana α memberikan tahanan terhadap gelombang. Untuk α = 0 (jarak dekat, di
mana gesekan dapat diabaikan), penyelesaian persamaan diatas merupakan
terhadap elevasi dasar yang bergerak ke hilir dengan percepatan 𝑐3 . Hal ini
merupakan suatu contoh masalah yang terjadi pada bentuk dasar.

Model gelombang sederhana

Untuk harga x dan t yang besar, diasumsikan terjadinya aliran seragam dan
langgeng, dapat dijabarkan model parabolik (Vregdenhil dan de Vries, 1973).
Persamaan pergerakan air berubah menjadi :

𝜕𝑧 ̅ |U
U ̅|
G = −𝑔 2
𝜕𝑥 C h

̅ / 𝜕𝑥 dapat dieliminasi, menghasilkan


Dengan menggunakan persamaan (4.13), 𝜕𝑈
:

𝜕𝑧 𝜕 2𝑧
−𝐾 2 =0
𝜕𝑡 𝜕𝑥

Dengan :

̅ 1𝑈
1 𝐶 2 𝑞 𝑑𝑠/𝑑𝑈 ̅ 𝑑𝑠/𝑑𝑈
̅ U ̅ 03
K= = .
3 𝑈̅2 3 𝑖0 ̅3
𝑈
9

Di mana indeks 0 menyatakan kondisi awal (seragam).

̅=U
Untuk perubahan yang kecil di mana 𝑈 ̅ 0 , maka :

1𝑈̅ 𝑑𝑠/𝑑𝑈
̅
K=
3 𝐼

̅𝑛 :
Untuk suatu hubungan yang sederhana s = m 𝑈

1 𝑠
K= N
3 𝐼

Telah dibuktikan oleh Vreugdenhil dan de Vries (1973), bahwa model parabolik
hanya berlaku untuk harga x yang besar dengan suatu anggapan kasar :

X > (2 sampai 3) h/l

Hal ini membatasi penggunann model parabolik, tetapi tetap dapat


digunakan, sebagai contoh untuk memperkirakan skala waktu dari perubahan-
perubahan dasar sungai. Dalam penerapan tersebut, K boleh diambil sebagai
perubahan yang lambat laun sebagai fungsi dari waktu.

Skala waktu morfologi

Dengan mengganggap sungai mengalir ke suatu danau, di mana pada t = 0,


elevasi danau turun sejauh Δz. Hal ini mengakibatkan degredasi dasar sungai
sampai waktu t = ∞ , dengan seluruh dasar turun sepanjang Δz.

Gambar 4.3 sketsa penggunaan parameter (sumbu –x positif di ambil arah udik).
10

Telah dibuktikan oleh de Vries (1975) bahwa dalam penyelesaian persamaan


(9.18) dapat dilakukan dengan :

𝑥
Z ( x, t ) = - Δz erfc [ 2 ]
√𝐾𝑡

Di mana ercf adalah fungsi kesalahan, yang dijabarkan dari :

2 ∞
erfc (y) = ∫𝑦 Exp (−𝑝2 ) 𝑑𝑝
√𝜋

y 0 0,1 0,2 0,5 1,0 2,0

Erfc (y) 1,00 0,89 0,78 0,48 0,16 0,005

Untuk menentukan skala waktu, dianggap suatu ketentuan “ Berapa lama


waktu yang diperlukan (T) pada suatu lokasi x = L, dasar sungai akan turun
sebesar 50 % dari harga akhir Δz”?

Dengan mengambil jarak L = 200 km dan erfc = 0,5, kemudian x/2 √𝐾𝑡 =
0,5 atau x √𝐾𝑡, de Vries (1975) telah melakukan perhitungan skala waktu untuk
berbagai sungai. Analisa ini dapat dikembangkan pada kasus di mana debit
bervariasi dalam waktu.

Dengan mengambil harga Y sebesar :

1𝑡ℎ 1 𝑛 1𝑡ℎ
Ɣ = ∫0 𝐾 (𝑡)𝑑𝑡 = ∫0 𝑆 (𝑡)𝑑𝑡
3 𝐵𝐼

Di mana B adalah lebar sungai dan S adalah angkutan sedimen total, akan didapat
:

N = L2 / Y

Di mana N adalah skala waktu yang dinyatakan dalam tahun.


11

Tabel 9.1 Skala waktu morfologi untuk jarak L = 100 Km

Sungai Lokasi I (* 104) 3h/i (km) N (tahun)


(km jarak dari laut)

Rhine (Belanda) Zaltbommel (100) 1,2 100 500

Rio Magdalena Puerto Berria (730) 5 30 50


(Kolombia)

Danube Dunaujvaros 0,8 180 40


(Hungaria) (1580)

Sungai Tana Bura (230) 3,5 50 50


(Kenya)

Rio Apure San Fernando 0,7 200 110


(Venezuela)

Mekong Pa mong 1,1 270 30


(Thailand)

Serang Godong 0,25 50 50


(Indonesia)

Untuk kebanyakan sungai, terlihat bahwa akan memerlukan beberapa


dasawarsa sebelum suatu elevasi dasar menyesuaikan terhadap perubahan yang
terjadi sepanjang jarak yang cukup panjang (devries, 1975).

Ribberink dan van der Sande (1985) telah memberikan suatu evaluasi yang
menarik dari beberapa model dengan batas penggunaan berdasar analisa
kwantitatif.

Model Numerik

Berbagai variasi skema numerik dapat digunakan seperti skema Lax.


Dapat dipelajari sebagai contoh cara Cunge dkk (1980) dan Vreugdenhil (1982).
Dalam penerapan skema-skema ini, harus diperhatikan ketelitian numerik,
khususnya yang berhubungan dengan stabilitas dan perendaman dan konversi dari
volume sedimen.
12

2). Model Dua Dimensi Horizontal

Metode yang telah dijelaskan tersebut, dapat dikembangkan untuk masalah


dua dimensi, contohnya untuk menghitung formasi pada dasar tikungan sungai
atau dekat percabangan sungai. Pada masa ini penggunaan model numerik masih
dalam tahap penelitian dan diverifikasi antara data model yang dikembangkan
oleh Struiksma dkk (1985). Model yang digunakan merupakan model aliran yang
baku untuk kedalaman aliran rata-rata, contohnya model aliran WAQUA. Untuk
angkutan sedimen digunakan Engelund Hansens dengan menggunakan suatu
koreksi pada kemiringan memanjang dasar.

0,05 𝐶2 𝜕𝑧
S = 1−𝑛 (𝐷50 𝑔 ∆)1/2 𝜃 5/2 ( 1 − 𝜀 )
𝑔 𝜕𝑠

di mana :

Δ = (ρs – ρa)/ρa
θ ̅2 - 𝑉̅ 2)/C2 Δ D50
=(𝑈
C = koefisien Chezy
ᶓ = suatu konstant
̅ , 𝑉̅ = kecepatan dalam arah x dan y
𝑈

Untuk mempelajari arah dari butir pasir, digunakan model van Bendegom
(Van Bendegom, 1947). Metode tersebut sudah dibandingkan dengan hasil
pengukuran dari suatu model berskala pada tikungan sungai yang ada. Dengan
menggunakan suatu percobaan untuk menentukan koefisien-koefisien dalam
persamaan, elevasi dasar dihitung untuk percobaan-percobaan yang lain dengan
hasil yang cukup baik.

Gambar 4.4 Prediksi profil dasar


13

3). Model Dua Dimensi Vertikal

Pada kasus-kasus di mana perubahan-perubahan geometri terjadi pada


jarak yang pendek, harus digunakan model dua dimensi vertikal, contohnya untuk
menghitung pengendapan pada suatu saluran. Persamaan untuk aliran langgeng
dapat dinyatakan dengan :

𝜕c 𝜕𝑐 𝜕 𝜕c 𝜕 𝜕c
U + ( 𝑤 – 𝑤𝑠 ) − (∈x )− (∈z )= 0
𝜕𝑥 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑧 𝜕𝑧

di mana :

u, w = kecepatan dalam arah x dan z


ws = kecepatan endap partikel
ϵx,z = koefisien diffusi turbulen untuk sedimen

Pada dasar dari kondisi batas, sebagai contoh penggerusan dan


pengendapan dari material harus ditentukan (van Rijn, 1986). Metode ini telah
diterapkan dengan berhasil untuk memprediksi pengendapan yang terjadi pada
saluran.

Gambar 4.5 Perkembangan dari saluran


14

c. Prediksi Perubahan Keseimbangan Akhir

Untuk memperkirakan respon sungai terhadap perubahan adalah upaya


yang tidak mudah karena menyangkut banyak parameter. Namun untuk sungai
aluvial yang sudah mencapai keseimbangan akhir, dengan debit yang konstant,
gambaran yang sangat kualitatif dapat diperoleh dari hubungan yang diberikan
oleh Jane.

Persamaan dasar yang digunakan :

1) Persamaan momentum untuk aliran yang langgeng dan seragam, menghasilkan


persamaan Chezy :

Q = B C h3/2 I1/2

2) Persamaan angkuatan sedimen yang disederhanakan :


s = m un
atau
s = D –p mI u n

Persamaan hasil akhir untuk menghitung kemiringan dasar (i) :

𝑛−3 2𝑛 𝑛 𝑛
S Dp 𝐵 3 = mI 𝐶 3 𝑄3 𝐼3

yang dapat juga ditulis sebagai :


𝑛−3 𝑛 𝑛
S Dp 𝐵 3 = 𝑄3 𝐼3

di mana tanda : : berarti “sebanding” dan dinyatakan dengan m’ . C2n/3.


Persamaan hasil akhir untuk menghitung kedalaman air (h) :
S Dp Bn - 1 = mI Qn h-n

yang dapat juga ditulis sebagai :


S Dp Bn - 1 : : Qn h-n
15

d. Penerapan kasus

Persamaan-persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk mempelajari


pengaruh dari kegiatan manusia terhadap sistem sungai yang sederhana.
Selanjutnya akan dipelajari : penyadapan air (dengan dan tanpa perubahan lebar),
pengambilan sedimen dan perubahan lebar (penyempitan). Untuk semua kasus
dibuatkan perbandingan antara dua keadaan yaitu keadaan sebelum dan sesudah
kegiatan manusia, dengan indeks 0 dan 1 untuk masing-masing keadaan.
(1) Penyempitan
Bo -- B1, sedangkan Q, S dan D tetap
a) Perubahan kemiringan
𝑛 𝑛
𝐼 3 𝐵1− 3 = konstan
𝑖1 𝐵 𝑛−3
= [𝐵1 ] 𝑛
𝐼0 0

b) Perubahan kedalaman
h-n B1-n = konstan

ℎ1 𝐵 𝑛−3
= [− 𝐵1 ] 𝑛
ℎ0 0

2) Penyadapan air
Qo -- Qo - ΔQ1, sedangkan S, B dan D tetap
a) Perubahan kemiringan

Q I = konstan

𝑖1 𝑄
= [𝑄− 0𝛥𝑄]
𝐼0

b) Perubahan kedalaman
Qn h-n = konstan

ℎ1 𝑄0 − 𝛥𝑄
= [ ]
ℎ0 𝑄0
16

3) Pengambilan sedimen
So -- So - ΔS, sedangkan Q, B dan D tetap
a) Perubahan kemiringan

𝑛 𝑛
S : : 𝐼 3 atau S 𝐼 − 3 = konstan

𝑖1 𝑆0 − 𝛥𝑆 3
= [ ]𝑛
𝐼0 𝑆0

b) Perubahan kedalaman

S : : ℎ−𝑛 atau S ℎ𝑛 = konstan

1
ℎ1 𝑆0
= [𝑆 ]𝑛
ℎ0 0 − 𝛥𝑆

Anda mungkin juga menyukai