Anda di halaman 1dari 3

DI tahun kedua kepemimpinannya, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla

tak sepi rundung gaduh, berbagai kontroversi kerap mewarnai roda pemerintahan. Ironisnya konflik
antar anggota kabinet yang semestinya hanya untuk konsumsi internal kini malah diumbar ke luar. Mulai
dari persoalanan teknis koordinasi, hingga terkait kebijakan strategis negara seperti perpanjangan
kontrak karya Freeport di Indonesia.

Dilangkahinya Menko Kemaritiman dan Energi Rizal Ramli dalam rencana perpanjangan kontrak
Freeport oleh Menteri ESDM Sudirman Said menunjukkan ketidakberesan internal kabinet. Lalu
perbedaan sikap Wapres Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dalam menyikapi manuver
Sudirman melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD) terkait dugaan
pencatutan nama Presiden dan Wapres dalam kasus ‘Papa Minta Saham’ memperkuat indikator
buruknya tata kelola manajerial pemerintahan.

Ketidaksolidan pemerintah dalam menyikapi persoalan penting dan genting menimbulkan pertanyaan
mendasar sekaligus kekhawatiran, siapakah yang sebenarnya saat ini memegang kendali atas kekuasaan
negara? Presiden Jokowi atau kekuatan lainnya? Sejak awal sebagian kalangan meragukan kapabilitas
dan kapasitas Jokowi menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa dalam memimpin negara, Jokowi akan berada di bawah kendali sekelompok elite politik
dan pemilik modal.

Dugaan menjadi kenyataan jika kita segarkan ingatan terhadap beberapa kebijakan penting pemerintah,
seperti misalnya pengangkatan Budi Gunawan sebagai wakapolri yang sebelumnya diusulkan menjadi
calon kapolri dinilai sebagai representasi dari kendali Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri
terhadap Jokowi. Terkait kebijakan impor minyak dari Angola dianggap sebagai manivestasi bahwa
Jokowi dikendalikan oleh Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh.

Dalam hal penetapan upah buruh yang tidak lagi mengacu kepada Komponen Hidup Layak (KHL) setiap
tahunnya, melainkan menggunakan formula baru dinilai sebagai bukti Presiden Jokowi dikendalikan oleh
para kelompok pengusaha, khususnya Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi
yang tak lain sahabat dekat Jusuf Kalla.

Negara Bayangan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan William Reno (1995) di Siera Leone dan Barbara Harris-White
(1999) di India menyebutkan konsekuensi dari melemahnya peranan pemerintah pada massa transisi
akan menyebabkan beralihkan kendali atas kekuasaan dari pemerintahan formal kepada kekuatan
informal. Berkembangnya praktek pemerintahan informal oleh kekuatan politik dan ekonomi di luar
struktur formal pemerintahan itu merupakan fenomena shadow state (negara bayangan).

Menurut peneliti LIPI, Syarif Hidayat (2010) praktek Shadow State dapat ditemui di Indonesia. Proses
transisi demokrasi sarat diwarnai persekongkolan politik dan bisnis antara kandidat elite penguasa
dengan klien politik dan bisnis, sehingga apabila dia berhasil memenangkan kontestasi politik maka
kandidat terpilih akan memberikan loyalitasnya kepada kelompok elite yang berada di luar struktur
formal pemerintahan, namun memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pemerintahan formal. Baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat menentukan pembuatan keputusan dan implementasi
kebijakan.

Pemangku otoritas informal berperan sebagai penghubung (connected actor) antara pejabat negara
dengan klien-klien. Mereka yang berperan sebagai Shadow State pada umumnya adalah mereka yang
terlibat secara dominan dalam pemenangan kandidat, misalnya mentor politik atau orang dekat yang
memiliki pertalian emosional dengan capres terpilih, para donator yang memberi sumbangan dana
besar, para pembisik yang dikenal dengan sebutan Think Tank, bisa juga pengendali sesungguhnya
adalah adalah struktur partai politik pengusung sang kandidat terpilih.

Tujuan dari Shadow State tidak lain dan tidak bukan adalah untuk pelanggengan kekuasaan dan
monopoli alokasi sumber-sumber kekayaan negara melalui berbagai pembuatan keputusan politik dan
implementasinya. Dalam jangka panjang, Shadow State akan merusak sendi-sendi negara, yang mana
hal itu terlihat dari praktek praktek Rent Seeking yang tidak terkendali mulai dari level pusat hingga
daerah. Gerry Van Klinken (2007), mengatakan bahwa perburuan rente merajalela di Indonesia melalui
jaringan patron-client di antara elite-elite penguasa.

Presiden Boneka

Publik secara bebas mengatakan, presiden yang dikendalikan oleh aktor di belakang layar, dimana aktor
tersebut bisa tunggal bisa juga jamak adalah presiden boneka. Proposisi ini masih harus dibuktikan
secara empirik, adalah terlalu dini untuk mengatakan bahwa Shadow State telah mencengkram
pemerintah sehingga Jokowi diposisikan sebagai presiden boneka. Karena, kalaupun benar para
pemangku otoritas informal berupaya mengendalikan pemerintahan formal, sudah barang tentu Jokowi
tak sudi dijadikan sebagai boneka, sebagai seorang Presiden, Jokowi punya harga diri dan akan
melakukan perlawanan.

Terlepas dari keraguan atas kapabilias dan kapasitasnya sebagai pemimpin nasional, Jokowi secara
perlahan tampak menunjukkan ikhtiar untuk membebaskan diri dari persepsi diri sebagai presiden
boneka yang dikendalikan oleh Shadow State. Seperti misalnya keputusan pembatalan Budi Gunawan
sebagai Kapolri, penolakan revisi UU KPK, pembatalan pembelian helikopter VVIP kepresidenan dan
pembatalan proyek kereta cepat dari RRC dapat dipandang sebagai sikap mandiri Jokowi sebagai
presiden. Apakah pembuktian itu sudah cukup? Jelas belum, ujian sesungguhnya adalah terkait
perpanjangan kontrak Freeport di Papua.

Amerika Serikat sebagai pemilih mayoritas saham Freeport menghendaki agar kontraknya diperpanjang,
tampaknya Presiden Jokowi akan menyetujui permintaan tersebut, terlebih lagi konglomerat James
Riady yang merupakan pendukung Jokowi saat Pilpres memiliki koneksi kuat dengan negeri Paman Sam.
Namun, Jokowi punya opsi untuk mencantumkan beberapa klausul persyaratan tambahan sebagai
bentuk keseriusannya menuntut keadilan atas pengelolaan kekayaan alam Indonesia.
Apabila Jokowi sungguh-sungguh mengambil langkah demikian, maka setidaknya hal itu akan menjadi
legacy dan menegaskan persepsi bahwa Jokowi bukan orang yang mudah didikte oleh siapapun. Dan
memang sudah sepantasnya begitu, presiden tidak boleh tunduk kepada Shadow State. Lawan!

Anda mungkin juga menyukai