Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS


SKENARIO 1
DEMAM DI PULAU SERIBU

KELOMPOK 13
Akhlis Mufid Auliya G0014016
Amalina Yasserli Amraini G0014024
Banatidika Ikrarida Dzakiyyah G0014054
Dinnar Pridea Rizky G0014074
Firdaus Mauliaditya W. A G0014102
Gustafat Abdur Rahman G0014110
Lastry Wardani G0014136
Mochammad Rizal Hermawan P G0014158
Nadira Rachmianti Hartanto G0014174
Rindu Permata Putri G0014200
Sola Sacra Providentia G0014224
Tuti Ratnasari G0014232

TUTOR:

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 1
“Demam di Pulau Seribu”

Pada bulan Agustus 2013, terdapat peningkatan angka kejadian demam


tinggi di Dinas Kesehatan Kepulauan Seribu. Dilaporkan adanya 427 kasus
demam tinggi dalam sebulan dengan Case fatality Rate (CFR) sebebsar 10%.
Kasus demam tinggi ini meningkat dibandingkan kasus sebelumnya dimana rata-
rata hanya dilaprkan 100 kasus dan jarang menyebabkan kematian. Dinas
Kesehatan setempat menurunkan tim untuk melakukan investigasi akan kondisi
yang terjadi. Mereka mencurigai adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit
malaria. Investigasi dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah penyelidikan
KLB.

Malaria memang masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia dan di


Indonesia. Di Indonesia, prevalensi dan insidensi penyakit malaria di Indonesia
masih tinggi, mencapai 417.819 kasus positif pada 2012. Andi mengatakan saat
ini 70 persen aksus malaria terdapat di wilayah Indonesia Timur, terutama
diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, dan Nusa
Tenggara. Wilayah endemik malaria di Indonesia Timur, ujar Andi, tersebar di 84
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk berisiko16 juta orang. Andi menjelaskan
faktor geogafis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak merata
merupakan beberapa penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu.
Selain itu faktor host, termasuk status gizi dan adanya penyakit tertentu juga
meningkatkan risiko infeksi malaria. Untuk itu, pihaknya juga melakukan
pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan pos malaria desa dan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) juga digerakkan melalui kecamatan hingga
RT-RT setempat untuk menurunkan House Index maupun Container Index pad
ajentik nyamuk.

Selain itu, juga dilakukan surveillance aktif dan surveillance migrasi. Saat
ini pemerintah menargetkan bebas malaria pada tahun 2030. Bebas malaria adalah
kondisi dimana Annual Parasite Incident (API), atau insiden parasit tahunan, di
bawah satu per 1.000 penduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk
lokal selama tiga tahun berturut-turut.
Diadaptasi dari: http://www.voaindonesia.com/content/kasus-malaria-di-
indonesia-masih-tinggi/1648507.html

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario.
Dalam skenario ketiga ini, penulis mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1. Case Fatality Rate (CFR) : Suatu angka yang dinyatakan ke dalam
persentase yang berisikan data jumlah kematian akibat suatu penyakit
tertentu dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menderita penyakit
tersebut pada periode yang sama.
2. Kejadian Luar Biasa : Timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu.
3. Prevalensi : Jumlah orang dalam suatu populasi yang
menderita suatu penyakit atau kondisi tertentu pada jangka waktu tertentu.
4. Insidensi : Gambaran tentang frekuensi penderita baru
suatu penyakit yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di satu
kelompok masyarakat.
5. House Index : Jumlah rumah yang positif jentik dari
seluruh rumah yang diperiksan.
6. Container Index : Jumlah kontainer yang ditemukan larva
dari seluruh kontainer yang diperiksa.
7. Surveillance aktif : Cara penemuan penyakit yang dilakukan
dengan melakukan kunjungan lapangan untuk melakukan penegakan
diagnosis secara epidemiologiberdasarkan gambaran umum penyakit
menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah yang selanjutnya diikuti
dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.
8. Surveillance migrasi : Melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap perpindahan penduduk terutama dari daerah endemis.
9. Annual Parasite Incident (API) : Jumlah penderita malaria positif per
seribu penduduk yang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
berisiko terkena malaria di wilayah yang sama.
10. Endemik : Suatu keadaan dimana suatu masalah
kesehatan (umumnya penyakit) frekuensinya pada suatu wilayah tertentu
menetap dalam waktu yang lama.

B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


Permasalahan pada skenario “Demam di Pulau Seribu” antara lain:
1. Kapan suatu kasus dapat disebut KLB?
2. Apa saja jenis penyakit penyebab KLB?
3. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan KLB?
4. Apa tujuan adanya istilah KLB?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi KLB?
6. Bagaimana cara penyelidikan dan laporan kasus KLB?
7. Apa perbedaan KLB dan wabah?
8. Apa saja macam-macam surveillance?
9. Bagaimana interpretasi nilai CFR di skenario?
10. Apakah yang dimaksud dengan sporadik, endemik, epidemik, dan
pandemik?
11. Apa tujuan dan mekanisme surveillance?
12. Apa penyebab tingginya insidensi dan prevalensi?
13. Apa tujuan dan manfaat dari pos malaria desa dan PSN?
14. Bagaimana penjelasan faktor geografis dan faktor host?
15. Bagaimana interpretasi House Index dan Container Index?
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)

1. Kapan suatu kasus dapat disebut Kejadian Luar Biasa


Pengertian:
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnyakejadian
kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakankeadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah.
Kriteria KLB:
Menurut Pasal 6 Permenkes 1501 Tahun 2010 terdapat tujuh kriteria
Kejadian Luar Biasa (KLB), yaitu:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak
ada atau tidak dikenal pada suatu daerah
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau
minggu menurut jenis penyakitnya
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1
(satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh
persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada
satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding
satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
2. Jenis penyakit yang dapat menyebabkan KLB
Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada sutu daerah menjadi salah satu kriteria dalam penetapan status
KLB, dimana jenis penyakit tersebut disebutkan dalam Pasal 4 Permenkes
1501 Tahun 2010, yaitu:
1. Kolera
2. Pes
3. Demam Berdarah Dengue
4. Campak
5. Polio
6. Difteri
7. Pertusis
8. Rabies
9. Malaria
10. Avian Influenza H5N1/ Pandemi 2005
11. Meningitis
12. Yellow fever
13. Chikungunya
3. Faktor-fator yang mempengaruhi KLB
Munculnya suatu penyakit dikarenakan adanya suatu interaksi antara faktor
penyebab penyakit atau agen, manusia sebagai host, dan faktor lingkungan
yang mendukung. Faktor-faktor tersebut dinamakan trias penyebab penyakit
atau trias epidemiologi. Hubungan antara host, agen, dan lingkungan ini
merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan
(equilibrium) pada seorang individu yang sehat. Gangguan terhadap
keseimbangan hubungan ini akan menimbulkan status sakit.
a. Agen penyakit
1) Zat nutrisi: ekses (kolesterol)/ defisiensi (protein)
2) Agen kimiawi: zat toksik (CO)/ alergen obat
3) Agen fisik (radiasi)
4) Agen infeksius:
- Parasit (skistosomiasis)
- Protozoa (amuba)
- Bakteri (tuberkulosis)
- Jamur (kandidiasis)
- Riketsia (tifus)
- Virus (poliomielitis)
b. Host (faktor intrinsik): faktor ini mempengaruhi pajanan, kerentanan,
respons terhadap agen.
1) Genetik (buta warna)
2) Usia
3) Jenis kelamin
4) Ras
5) Status fisiologis (kehamilan)
6) Status imunoogis (hipersensitivitas)
7) Penyakit lain yang sudah ada sebelumnya
8) Perilaku manusia (diet)
c. Lingkungan (faktor ekstrinsik): faktor ini mempengaruhi keberadaan
agen, pajanan, atau kerentanan terhadap agen.
1) Lingkungan fisik (iklim)
2) Lingkungan biologis:
- Populasi manusia (kepadatan penduduk)
- Flora (sumber makanan)
- Fauna (vektor antropoda)
3) Lingkungan sosial-ekonomi:
-pekerjaan (pajanan terhadap zat kimia)
Urbanisasi dan perkembangan ekonomi (kehidupan perkotaan)
Bencana dan musibah (banjir)
4. Pencegahan dan Penanggulangan KLB
Jika sudah dipastikan terjadi peningkatan kejadian kasus penyakit yang
lebih banyak daripada perkiraan normal di suatu area atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu yang disebut
outbreak, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menghentikan
kondisi tersebut seperti berikut:
a. Mengeliminasi sumber patogen:
1) Eliminasi atau inaktivasi patogen
2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction)
3) Pengurangan kontak antara pejamu rentan dan orang atau binatang
terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan sebagainya)
4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan,
memasak daging dengan benar, dan sebagainya)
5) Pengobatan kasus
b. Memblokade proses transmisi:
1) Penggunaan peralatan pelindung perseorangan (masker, kacamata,
jas, sarung tangan, respirator)
2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet
3) Pertukaran udara/ dilusi
4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara
5) Pengendalian vektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles,
pengasapan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan kelambu
berinsektisida, larvasida, dan sebagainya)
c. Mengeliminasi kerentanan
1) Vaksinasi
2) Pengobatan (profilaksis, presumtif)
3) Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan
massa)
5. Penyelidikan dan Laporan Kasus KLB
a. Identifikasi outbreak
Informasi tentang potensi outbreak biasanya bersumber dari
masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader
kesehatan, atau warga masyarakat. Namun informasi tersebut juga bisa
berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data surveilans, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal
(surat kabar dan televisi). Pada dasarnya outbreak merupakan deviasi
(penyimpangan) dari keadaan rata-rata insidensi yang konstan dan
melebihi ekspektasi normal. Untuk itu outbreak ditentukan dengan cara
membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus
dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar
deviasi yang masih berada dalam ekspektasi normal bersifat arbitrer,
tergantung dari tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi
kesehatan masyarakat dimasa yang lalu.
Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak:
1) Catatan surveilans dinas kesehatan;
2) Catatan morbiditas dan mortalitas di umah sakit;
3) Catatan morbiditas danmortalitas di puskesmas;
4) Catatan praktik dokter, bidan, perawat;
5) Catatan morbiditas upaya kesehatan sekolah (UKS).
b. Investigasi kasus
Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan
telah didiagnosis dengan benar (valid). Peneliti outbreak
mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria
sebagai berikut:
1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset);
2) Kriteria epidemiologis (karakteris-tik orang yang terkena, tempat
dan waktu terjadinya outbreak);
3) Kriteria laboratorium (hasi lkultur dan waktu pemeriksaan)
(Bustan, 2006).
Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam.
Definisi kasus yang baku dan seragam penting untuk memastikan
bahwa setiap kasus didiagnosis dengan cara yang sama, konsisten, tidak
tergantung pada siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana
dan kapan kasus tersebut terjadi. Penggunaan definisi kasus seperti
yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan
pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit secara
internasional. Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang
diduga mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu
klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus
dapat diklasifikasikan menjadi:
1) kasus suspek (suspected case, syndromic case)
2) kasus mungkin (probable case, presumptive case)
3) kasus pasti (confirmed case, definite case)
c. Investigasi kausa
Tujuan investigasi adalah untuk menemukan kausa outbreak, yang
bisa dilakukan dengan wawancara terhadap pasien (kasus) dan
narasumber terkait kasus. Peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter,
laboratorium, melakukan wawancara dan dokumentasi menggunakan
kuesioner dan formulir baku, untuk memperoleh informasi berikut:
1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada);
2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan);
3) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa;
4) Faktor-faktor risiko;
5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal
onset gejala untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan
kematian akibat penyakit);
6) Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan
balik hasil investigasi).
Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang
meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena
kesalahan pemeriksaan laboratorium). Informasi tentang masing-masing
kasus yang diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam tabel outbreak
(line listingpada tabel tersebut variabel-variabel tentang informasi kasus
diletakkan pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris.
d. Melakukan pencegahan dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk
mata tentang kausa, sumber, dan cara transmisi, maka langkah
pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu melakukan studi
analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons
pengendalian, makin besar peluang keberhasilan pengendalian. Makin
lambat repons pengendalian, makin sulit upaya pengendalian, makin
kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin sedikit kasus baru yang
bisa dicegah.
e. Melakukan studi analitik (jika perlu)
Fakta yang diperoleh dari investigasi kasus dan investigasi kausa
kadang belum memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa
outbreak. Jika situasi itu yang terjadi, maka peneliti perlu melakukan
studi analitik yang lebih formal. Desain yang digunakan lazimnya
adalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif. Studi analitik
untuk investigasi outbreak mencakup:
1) Pertanyaan penelitian;
2) Signifikansi penelitian;
3) Desain studi;
4) Subjek;
5) Variabel-variabel;
6) Pendekatan analisis data;
7) Interpretasi dan kesimpulan.
Makanan mana dari ke 4 jenis tersebut yang mengandung agen
kausal dan merupakan penyebab
f. Mengkomunikasikan temuan
Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada
berbagai pihak pemangku kepentingan kesehatan masyarakat. Pihak-
pihak yang perlu diberitahu tentang hasil penyelidikan outbreak
mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat, pejabat pembuat
kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas
pelayanan kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga
kasus, tokoh masyarakat, dan media. Penyajian hasil investigasi
dilakukan secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir).
Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada
penyajian hasil investigasioutbreak. Temuan-temuan disampaikan
dengan bahasa yang jelas, objektif dan ilmiah, dengan kesimpulan dan
rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti outbreak
memberikan laporan tertulis. Laporan tersebut mencakup langkah
pencegahan dan pengendalian, catatan kinerja sistem kesehatan,
dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang berguna
jika terjadi situasi serupa di masa mendatang
g. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak perlu dilakukan evaluasi kritis
untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan program maupun defisiensi
infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan
dilakukannya perubahan-perubahan yang lebih mendasar untuk
memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans itu
sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan identifikasi populasi-
populasi yang terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan strategi
intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi
di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap
kejadian outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk
mempelajari kekurangan-kekurangan dalam investigasi outbreak yang
telah dilakukan, dan kelemahan-kelemahan dalam sistem kesehatan,
untuk diperbaiki secara sistematis di masa mendatang, sehingga dapat
mencegah terulangnya outbreak.
6. Tujuan Adanya Istilah KLB
7. Penjelasan mengenai sporadik, endemi, epidemi, dan pandemi
a. Sporadik adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
(umumnya penyakit) yang ada di suatu wilayah tertentu frekuensinya
berubah-ubah menurut perubahan waktu (Azwar, 1988).
b. Endemi adalah adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
(umumnya penyakit) frekuensinya pada suatu wilayah tertentu menetap
dalam waktu yang lama (Azwar, 1988). Penyakit menular dikatakan
endemik apabila penyakit ini timbul secara konstan pada suatu daerah
dan populasi tertentu dengan tingkat prevalensi serta insiden yang
relatif tinggi (Bonita, 2006).
c. Epidemi adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
(umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam
waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat (Azwar,
1988). Epidemik adalah timbulnya suatu penyakit atau kondisi tertentu
yang melebihi perkiraan pada suatu daerah dan waktu tertentu. batas
yang melebihi perkiraan berbeda pada tiap penyakitnya. Hal ini bisa
dibandingkan dengan angka kejadian pada bulan atau tahun
sebelumnya. Epidemik yang menyebar luas ke daerah lain bisa disebut
dengan pandemik (Bonita, 2006).
d. Pandemi adalah adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
(umumnya penyakit) frekuensinya dalam waktu yang singkat
memperlihatkan peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya
telah mencakup suatu wilayah yang amat luas (Azwar, 1988).
8. Perbedaan KLB dan Wabah
Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari
pada keadaan yang lazaim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka.
Jenis-jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah
ditetapkan dengan didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, sosial
budaya, keamanan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
menyebabkan dampak malapetaka di masyarakat. Penetapan dan pencabutan
daerah dalam wilayah Indonesia yang terjadngkit wabah sebagai daerah
wabah dilakukan oleh Menteri Kesehatan.
Berbeda dengan Kejadian Luar Biasa, wabah harus mencakup:
a. Jumlah kasus yang besar
b. Daerah yang luas
c. Waktu yang lebih lama
d. Dampak yang ditimbulkan berat
9. Tujuan dan Mekanisme Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengmpulan dan analisis data
secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian disebarluaskan kepada
pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit
danmasalah kesehatan lainnya. Surveilans memantau terus-menerus
kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi
outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor,
dan reservoir.
Data epidemiologi yang dikumpulkan melalui surveilans akan digunakan
sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan
penanggulangan penyakit yang meliputi kegiatan:
1) Perencanaan Program Pemberantasan Penyakit.
Mengenal Epidemiologi Penyakit berarti mengenal apa yang kita hadapi
dan mengenal perencanaan program yang baik.
2) Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit
Bagaimana keadaan sebelum dan sesudah dan sesudah program
dilaksanakan sehingga dapat diukur keberhasilannya menggunakan data
sueveilans epidemiologi.
3) Penanggulangan wabah Kejadian Luar Biasa
Penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan wajib dilakukan
oleh setiap instansi kesehatan pemerintah, instansi kesehatan provinsi,
instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta
baik secara fungsional atau struktural. Mekanisme kegiatan surveilans
epidemiologi kesehatan merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara
sistematis dan terus menerus.
Surveilans beralasan untuk dilakukan jika dilatari oleh kondisi – kondisi
berikut ( WHO, 2002 ):
1) Beban Penyakit (Burden of Disease) tinggi, sehingga merupakan
masalah penting kesehatan
masyarakat.
2) Terdapat tindakan masyarakat yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut
3) Data yang relevan mudah diperoleh
4) Hasil yang diperoleh sepadan dengan upaya yang dilakukan
(pertimbangan efisiensi).
Mekanisme kegiatan surveilans epidemiologi kesehatan merupakan kegiatan
yang dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus dengan mekanisme
sebagai berikut :
1) Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya.
2) Perekaman, pelaporan dan pengolahan data
3) Analisis dan intreprestasi data
4) Studi epidemiologi
5) Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya
6) Membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut.
7) Umpan balik.
10. Jenis-jenis Surveilans
a. Surveilans Individu Surveilans individu mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius,
misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat
dikendalikan (Last, 2001).
b. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-
laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
c. Surveilans Sindromik
Surveilans sindromik melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit.
Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator
kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda,
atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber,
sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas,
pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel
melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk
memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya
yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
d. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah
laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu
memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan
lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari
klinik-klinik (DCP2, 2008).
e. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan
semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/
provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersa-ma.
Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang
sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan
untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan
surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data
khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al.,
2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:
1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common
services);
2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni,
pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi
pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi,
penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber
daya);
5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans
terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki
kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).
f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi
manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin
serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya
menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia,
yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka
penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit
lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-
penyakit yang baru muncul (new-emerging diseases), seperti
HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku
kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).
g. Surveilans Migrasi
Surveilans migrasi adalah kegiatan pengambilan darah orang-orang
yang baru datang dari daerah endemis malaria dalam rangka
mencegah masuknya kasus impor. Kasus impor adalah kasus malaria
yang berasal dari luar daerah. Tatalaksana pengawasan masuknya
malariadari luar daerah/surveilans migrasi dilakukan dengan
memeriksa sediaan darah dari seluruh pendatang dari luar daerah atau
penduduk setempat yang datang setelah berkunjung kedaerah malaria,
baik yang menunjukkan gejalamalaria atau tidak (Perbup Kulon
Progo, 2013).
h. Surveilans Khusus
Surveilans khusus adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi
terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau situasi
khusus kesehatan. Contoh surveilans khusus yaitu surveilans penyakit
tuberkulosa, penyakit malaria, penyakit demam berdarah, penyakit
kusta dan lain sebagainya.

Sedangkan berdasarkan cara pendekatan surveilans dibagi menjadi


surveilans pasif dan surveilans aktif.
1) Surveilans pasif
Cara ini memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif
murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO
diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus
dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis
perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif
adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.
Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua
kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu,
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena
waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk
mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
2) Surveilans aktif
Surveilans ini menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi
dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit,
dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian,
disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus
indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans
pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk
menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat
mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario pertama adalah
1. Mengetahui tingkat pencegahan penyakit
2. Mengetahui konsep munculnya penyakit/ konsep epidemiologi
3. Mengetahui rumus menghitung ukuran epidemiologi (prevalensi,
insidensi, attact rate, secondary attact rate)
4. Mengetahui interpretasi nilai CFR di skenario
5. Mengetahui penyebab tingginya insidensi dan prevalensi
6. Mengetahui tujuan dan manfaat dari pos malaria desa dan PSN
7. Mengetahui interpretasi House Index dan Container Index

F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru


Masing-masing anggota kelompok B-03 telah mencari sumber–
sumber ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang
sesuai dengan topik diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan
dalam pertemuan berikutnya.

G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh

1. Tingkat pencegahan penyakit


Pada proses pencegahan timbulnya penyakit terdapat tiga fase. Dua fase dari
tiga fase utama tersebut yaitu:
a. Fase sebelum sakit
Pra-pathogenesis phase atau Primary Prevention. Pada fase ini terdapat
dua macam pencegahan yaitu:
1) Health Promotion
Bisa dilakukan kegiatan seperti penyuluhan kesehatan, penyusunan
pola menu gizi untuk perbaikan gizi, dan pengendalian terhadap
faktor lingkungan yang dapat memengaruhi timbulnya suatu
penyakit.
2) General and Specific Protection
Bisa dilakukan kegiatan seperti memberikan kekebalan kepada
golongan yang rentan, perlindungan kerja, dan pengendalian
sumber-sumber pencemaran.
b. Fase selama proses sakit
Pathogenesis phase, terbagi dalam dua tingkat pencegahan yaitu
secondary prevention dan tertiary prevention.
1) Secondary Prevention
Kegiatan pokok yang dianjurkan dikenal sebagai kegiatan early
diagnosis dan prompt treatment yang meliputi kegiatan seperti
mencari kasus sedini mungkin, melakukan general check-up secara
rutin, survey selektif, dan pemberian pengobatan yang tepat pada
setiap permulaan kasus.
2) Tertiary Prevention
Pada tingkatan ini ada dua kegiatan pokok yang sangat dianjurkan
untuk diterapkan, yaitu dissability limitation yang meliputi
kegiatan seperti penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan
lanjutan dan pencegahan terhadap komplikasi/cacat setelah
sembuh, sedangkan rehabilitation meliputi kegiatan seperti
penyuluhan dan usaha berkelanjutan yang harus tetap dilakukan
setelah seseorang sembuh dan work therapy untuk memungkinkan
pengembangan kehidupan sosial setelah ia sembuh.

2. Konsep munculnya penyakit


3. Rumus menghitung ukuran epidemiologi
4. Interpretasi CFR pada skenario
5. Penyebab tingginya prevalensi dan insidensi
6. Tujuan dan manfaat Pos Malaria Desa dan PSN
7. Interpretasi House Index dan Container Index
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bonita R, Beaglehole R, Kjellsrom T (2006). Basic Epidemiology (2nd ed).
Geneva: WHO.

Bustan MN (2006). Pengantar Epidemiologi, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.

Greenberg RS, Daniel SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
Epidemiology. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.

Riyadi ALS (2016). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Usaha Nasional.

Anda mungkin juga menyukai